Tinjauan tentang Instrumen Musik Tradisional Angklung

10. Tinjauan tentang Instrumen Musik Tradisional Angklung

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik Angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. (Anonim. http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Angklung≈ action=edit)

a. Sejarah Instrumen Musik Tradisional Angklung Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut Angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik Angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari a. Sejarah Instrumen Musik Tradisional Angklung Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut Angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik Angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari

Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi Angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan Angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas Angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu, seperti Angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya.

Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama disawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama Angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitem beyan, mengawali

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan Angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, Angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan Angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

b. Jenis-Jenis Instrumen Musik Tradisional Angklung

1) Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh Angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup Angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun Angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) Angklung setelah dipakai.

Kesenian Dogdog Lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan Dogdog Lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan Angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah- pindah sesuai petunjuk gaib. Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbukakan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, Dogdog Lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian Dogdog Lojor adalah 2 buah Dogdog Lojor dan 4 buah Angklung besar. Keempat buah Angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan Gonggong, kemudian Panembal, Kingking, dan Inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

3) Angklung Gubrag

Angklung Gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), Angklung Gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),

4) Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan Angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian Badeng

(Anonim.

http://id.wikipedia.org/w/index.

php?title=Angklung≈action=edit).

c. Sejarah Masuknya Instrumen Musik Tradisional Angklung di Malaysia. Alunan bunyi Angklung di Malaysia mulai terdengar sejak kedatangan masyarakat Ponorogo (Indonesia) membawa kesenian Reog, dimana set gamelan yang mengiringinya adalah terdiri dari 2 Angklung, kendang, sebuah saron, terompet, kempul dan gong. Mereka adalah kaum imigran yang didatangkan ke Malaya pada tahun 1930-an dan bekerja diperkebunan karet atau ladang kelapa sawit. Selain dari pada itu ada juga diantara mereka yang kemudian datang secara bersendirian atau mungkin sebelumnya, telah datang membuka ladang-ladang baru. Maka untuk keperluan itu mereka juga membuat irigasi atau dalam bahasa Malaysia dikenal dengan nama Parit. Semakin lama semakin banyak parit-parit baru dibuka untuk mengairi ladang-ladang mereka.

suatu kelompok tertentu, para imigran bersepakat untuk memberikan nama pada permukiman yang ditempatinya dengan mengambil nama mereka untuk diabadikan seperti, Parit Kromo, Parit Wongso, Parit Bingan, Parit Warijo atau nama dari daerah asalnya seperti Parit Semarang, Parit Kudus ada juga nama Kampung Jawa, Kampung Pacitan.dan lain sebagainya.

Perkumpulan Reog merupakan wadah bagi para imigran orang Jawa asal Ponorogo untuk menyalurkan bakatnya dibidang kesenian. Pada awalnya hanya sebagai sarana pertemuan atau pertunjukan untuk keperluan hajatan orang Jawa, namun kemudian kaum imigran lainnya seperti dari Bugis, Banjar, Bawean bahkan masyarakat Melayu sendiri juga tertarik untuk menonton ataupun mengundang pertunjukan ini. Di Malaysia pertunjukan itu lebih dikenal sebagai pertunjukan Barongan. Dari kesenian inilah bunyi Angklung mulai dikenal oleh masyarakat Malaysia, karena alat ini adalah merupakan salah satu alat musik iringan untuk pertunjukan Reog dan Kuda Kepang. Pada kesempatan lain pertunjukan Kuda Kepang juga sering di undang untuk memeriahkan suatu acara tertentu. Hal ini terjadi karena pada bagian kuda kepang mabuk adalah bagian yang ditunggu-tunggu oleh para penonton, dimana para pemain kuda kepang secara tidak sadar dapat memamerkan aksinya seperti, makan kaca, mengupas sabut kelapa dengan menggunakan gigi, memanjat pohon dan lain sebagainya.

Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1960-an, yaitu set Angklung Daeng Soetigna yang bertangga nada kromatik telah diperkenalkan oleh Pimpinan Perwakilan Dagang Indonesia di Batu Pahat (300 km ke arah selatan dari Kuala Lumpur). Di daerah ini memang cukup banyak para imigran berasal dari Jawa. Diantara mereka yang pernah belajar bermain Angklung di kantor tersebut adalah Pak Margono bin Sitir asal dari Madiun, Pak Buang asal dari Ponorogo, Pak Sawi asal dari Blitar, Pak Simun bin Iman Rejo asal dari Ponorogo, Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1960-an, yaitu set Angklung Daeng Soetigna yang bertangga nada kromatik telah diperkenalkan oleh Pimpinan Perwakilan Dagang Indonesia di Batu Pahat (300 km ke arah selatan dari Kuala Lumpur). Di daerah ini memang cukup banyak para imigran berasal dari Jawa. Diantara mereka yang pernah belajar bermain Angklung di kantor tersebut adalah Pak Margono bin Sitir asal dari Madiun, Pak Buang asal dari Ponorogo, Pak Sawi asal dari Blitar, Pak Simun bin Iman Rejo asal dari Ponorogo,

Selanjutnya pada tahun 1968 dalam rangka pemulihan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia telah dilakukan kunjung misi muhibah dari Komando Mandala Siaga ABRI ke Kuala Lumpur. Disamping acara resmi dengan para petinggi militer pemerintah Malaysia, juga diadakan acara malam kesenian Indonesia. Dari berbagai acara pertunjukan tarian dan nyanyian, pertunjukan Angklung mendapat sambutan yang sangat membanggakan. Bapak Obby salah satu pemaian Angklung menjelaskan bahwa pergelaran Angklung dipimpinan langsung oleh Bapak Daeng Soetigna almarhum sedangkan Bapak Sanui almarhum mendapat kepercayaan menjadi kondakter untuk memepersembahkan berbagai lagu. Secara keseluruhan kedatangan rombongan ini mendapat sambutan yang sangat menggembirakan dan dalam suasana penuh persahabatan.

Keberhasilan misi muhibah Komando Mandala Siaga tersebuat, ditindak lanjuti dengan kunjungan ke dua yang dilakukan pada tahun 1972. Misi kali ini dilakukan oleh rombongan Pemerintah Daerah Jawa Barat, dimana orkestra Angklung masih manjadi materi pertunjukan yang diandalkan. Disamping itu masih ada pertunjukan lainnya: seperti gamelan, tarian Sunda, Calung dan dendangan lagu-lagu popular pada masa itu.

Menurut Bapak Tatang Benyamin salah satu pemain Angklung dalam rombongan itu, menjelaskan bahwa misi muhibah dengan tema Guriang Tresna Wisata yang maksudnya adalah perjalanan untuk menjalin cinta perdamaian ini, tidak saja dipertunjukan di Kuala Lumpur akan tetapi juga dipertunjukan di beberapa kota di Semenanjung Malaysia maupun di Sabah dan Serawak. Rupa-rupanya pertunjukan Menurut Bapak Tatang Benyamin salah satu pemain Angklung dalam rombongan itu, menjelaskan bahwa misi muhibah dengan tema Guriang Tresna Wisata yang maksudnya adalah perjalanan untuk menjalin cinta perdamaian ini, tidak saja dipertunjukan di Kuala Lumpur akan tetapi juga dipertunjukan di beberapa kota di Semenanjung Malaysia maupun di Sabah dan Serawak. Rupa-rupanya pertunjukan

Selanjutnya, ketertarikan itu ditunjukan oleh pimpinan Bank Negara Malaysia dengan membeli satu set besar Angklung dari Bandung, agar dapat dimainkan oleh para staf dan para pegawainya Setelah terbentuk grup Angklung yang dianggotai oleh kurang-lebih 30 orang, pihak bank memohon kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia Malaysia di Kuala Lumpur untuk mencarikan tenaga pengajar. Untuk keperluan tersebut ditugaskan salah satu guru kesenian dari Sekolah Indonesia Kuala Lumpur yaitu Bapak Ade Sule Almarhun untuk melatih grup ini. Kumpulan ini adalah merupakan kumpulan Angklung pertama yang dibentuk di Malaysia.

Maka semenjak itu bergemalah alunan musik Angklung di bumi Malaysia yang dimainkan oleh masyarakat Malaysia sendiri. Gema itu semakin bertalu-talu dengan hadirnya guru Angklung lainnya, seperti Pak Suhaemi Nasution almarhum dan Pak Abdul Aziz alamarhum yang juga staf di KBRI Kuala Lumpur. Mereka mengajar musik Angklung di sekolah-sekolah, di lembaga pemerintahan, maupun perkumpulan masyarakat lainnya di sekitar Kuala Lumpur.

Pada tahun 1973 sampai dengan 1976 Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia telah mengundang untuk bekerja sebagai pelatih Gamelan dan Angklung. Bapak Suhemi Nasution ditugaskan untuk mengajar pada kursus Angklung tersebut. Pesertanya sebanyak lebih kurang 35 orang yang terdiri dari sebagian besar guru musik di sekolah dan sebagian lagi para penggiat seni dari seluruh Malaysia. Kursus yang berlangsung selama 6 hari ini, merupakan kursus yang pertama kalinya diadakan oleh Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan dan mendapat sambutan yang sangat menggembirakan. Bahan ajar kursus

Ismai almarhum, pengetahuan musik dan belajar membaca notasi angka diajarkan oleh Bapak Suhaemi Nasution. Angklung yang digunakan didatangkan dari Saung Angklung Udjo Bandung, yang dibeli pada tahun 1972 oleh Encik Ayub bin Ismail. Beliau adalah salah satu pegawai dari Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan yang pernah belajar karawitan Jawa dan Pedalangan di Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta

Pada tahun 1974, kursus lanjutan diadakan kembali oleh Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan di tempat yang sama yaitu di kompleks olah raga Kampung Pandan Kuala Lumpur. Disamping belajar teori dan praktek bermain Angklung, juga ditunjukan cara membuat Angklung oleh Bapak Margono bin Sitir dari Parit Puasa Batu Pahat, Johor. Pak Margono pernah belajar bermain Angklung di Kantor Perwakilan Dagang Indonesia Batu Pahat, juga mendapat petunjuk dari Bapak Murdoko untuk membuat Angklung kromatik. Pada mulanya beliau hanya dapat membuat Angklung tradisional untuk kelengkapan set gamelan kesenian Barongan atau Kuda Kepang. Set Angklung tersebut hanya ada 2 buah yaitu, yang bernada 5 (sol) berisi 3 tabung yang terdiri dari 1 tabung nada tengah dan diapit oleh 2 tabung terdiri dari nada oktav bawah dan oktav atas, sedangkan yang nada 3 (mi) dengan susunan tabung dan nada yang sama.

Berbekal pengetahuan itu dan mencontoh Angklung dari Indonesia yang digunakannya sebagai babon, beliau mencoba membuat Angklung bertangga nada kromatik dengan menggunakan bahan bambu yang terdapat di perkebunan rumahnya atau disekitar kampung yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Simun di Kampung Sri Medan, Batu Pahat, namun mereka tidak pernah puas karena jenis bambu yang ada di Malaysia tipis dan ringan. Angklung tersebut tidak dapat menghasilkan kwalitas suara yang diharapkan, seperti Angklung yang di datangkan dari Indonesia. Setelah ketrampilan Pak Margono membuat Angklung dikenal oleh para Berbekal pengetahuan itu dan mencontoh Angklung dari Indonesia yang digunakannya sebagai babon, beliau mencoba membuat Angklung bertangga nada kromatik dengan menggunakan bahan bambu yang terdapat di perkebunan rumahnya atau disekitar kampung yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Simun di Kampung Sri Medan, Batu Pahat, namun mereka tidak pernah puas karena jenis bambu yang ada di Malaysia tipis dan ringan. Angklung tersebut tidak dapat menghasilkan kwalitas suara yang diharapkan, seperti Angklung yang di datangkan dari Indonesia. Setelah ketrampilan Pak Margono membuat Angklung dikenal oleh para

Selama bekerja pada tahun 1973-1976 di Malaysia telah melatih Angklung untuk perkumpulan Angklung Kelas Perpaduan Negara dan Kadet Tentara Darat di Kuala Lumpur, Sekolah Politeknik dan Persatuan Guru di Ipoh, Sekolah Menengah Perempuan di Kuala Kangsar, Perkumpulan Belia di Sremban, Sekolah Dasar dan Perkumpulan Belia di Pontian. Kesemua perkumpulan tersebut menggunakan set Angklung yang dibeli dari Saung Angklung Udjo di Bandung.

Perkembangan musik Angklung pada masa ini sangat menggembirakan. Hal ini terbukti dengan semakin sibuknya pak Suhaemi Nasution, Pak Ade Sule dan Pak Abdul Aziz mengajar beberapa kumpulan di sekitar Kuala Lumpur, demikian halnya dengan para pelatih Angklung warga negara Malaysia yang pernah belajar dengan beliau berdua atau melalui bengkel Angklung yang telah disebutkan diatas.

Pada tahun 1996 sampai dengan 1998 salah satu alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung bernama Dudi Mulyadi asal Sumedang, telah mengajar musik Angklung, Kulintang dan Gamelan di Majlis Kebudayaan Daerah Johor Bahru. Disamping itu, beliau juga mengajar di beberapa sekolah menengah dan di beberapa bengkel yang diselenggarakan oleh Pejabat Daerah Kebudayaan dan Yayasan Warisan Johor. Anjung Seni Warisan adalah salah satu tempat kunjungan wisata di Johor Bahru dan ditempat itu ada perkumpulan Angklung dan kulintang yang dilatih oleh Dudy Mulyadi. Atas prakarsa beliau permainan Angklung digabungkan dengan musik kulintang dimana melodi Angklung Arumba (yang dimainkan oleh seorang pemain) ditambahkan atau untuk menggantikan melodi kulintang.

kerajinan Angklung diteruskan oleh salah satu pekerjanya bernama pak Tumian seterusnya beliau mendirikan perusahaan Angklung di Skudai Johor Bahru. Angklung hasil karyanya mempunyai kwalitas yang hampir setara dengan Angklung buatan dari Bandung. Kemungkinan hal ini dikarenakan bambu yang digunakan sebagai bahan baku adalah bambu berwarna coklat muda yang dipanen dari kebun milik pak Margono berkat hasil penanaman bambu yang bibitnya dibawa dari Madiun.

Secara-cara kecil-kecilan perusahan Pak Tumian dapat memenuhi pesanan dari Sekolah-sekolah di sekitar Johor dan sekitarnya, dengan set yang beragam seperti yang dijual dari Saung Angklung Udjo. Sebagai perbandingan harga satu set melody Angklung Arumba berjumlah 38 buah dijual dengan harga RM 2.600.00 atau sekitar Rp 6.400.000,00 (enam juta empat ratus ribu rupiah).

Selain dari pada tahun 2006 telah berdiri tempat pertunjukan Angklung yang dipimpin oleh Sam Mat Kous. Tempat itu diberi nama Wariseni Budaya yang beralamat di Galeri Shah Alam. Laman Budaya, di Selangor. Disamping membuat pertunjukan Galeri tersebuat juga menerima panggilan untuk membuat bertunjukan dan memberikan kursus disekolah-sekolah. atau peminat musik Angklung lainnya.

Pada perkembangan berikutnya Angklung melodi arumba yang tiga tabung itu sering dimainkan secara solo yang diiringi dengan 2 hingga 3 alat tertentu atau digabungkan dengan ensambel musik lainnya ataupun dimainkan dengan iringan musik CD karaoke. Selanjutnya permainan Angklung secara solo itu, sering terlihat dimainkan di Shoping Center, Mall, Cafetaria, Pasar Seni Kuala Lumpur atau ditempat tertentu untuk memeriahkan suatu acara. Malahan permainan seperti itu juga pertunjukan dalam rancangan AF ke 6 di ASTRO TV Malaysia oleh peserta dari Johor Bahru dengan nama panggilan Toi yang juga merupakan salah satu murid Dudy Mulyadi.

acara pertunjukan tertentu, selain dari pada itu permainan solo melodi Angklung juga telah menjadi trend para penggiat musik Angklung di Malaysia. Salah satunya adalah Khairul Nizam bin Baharom yang lebih dikenal dengan nama panggilan Toi. Dengan ketrampilannya bermain Angklung secara solo telah mendapat 2 medali emas di World Performing Art Hollywod di Amerika pada tahun 2005 dan juga tampil dalam acara AF6 pada awal tahun 2008.

Pada giliran berikutnya jumlah para solois lainnya semakin bertambah dan diminati untuk membuat pertunjukan dengan bentuk seperti yang telah saya sebutkan diatas. Mereka dapat memainkan berbagai lagu Malaysia. lagu pop barat terkini dan mengalunkan lagu- lagu pop Indonesia yang juga diminati oleh kaum muda di Malaysia. Mereka menawarkan harga RM 1000 atau Rp. 2.800.000 untuk pertunjukan selama 1 jam, bahkan Toi memasang tarif RM 3000 (Hari Setianto.

Angklung,

Bamboo’s

Vivid

Sounds . http://www.indonesiaculture.net/2010/01/Angklungbamboo%e2%80%99 % -vivid-sounds/feed/).

Bagan 1: Kerangka Pemikiran

Keterangan: Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai bentuk penghargaan atas hak kepemilikan intelektual, perlindungan hukum atas hak-hak tersebut memerlukan perangkat hukum dan mekanisme perlindungan yang memadai. Melalui cara inilah HKI akan mendapat tempat yang layak sebagai salah satu bentuk hak yang memiliki nilai ekonomis.

Karya Intelektual termasuk karya cipta yang berarti karya manusia yang lahir dengan curahan pikiran, karsa, tenaga, bahkan waktu, dan biaya.