Pengaturan Hak Cipta di Indonesia

1. Pengaturan Hak Cipta di Indonesia

a. Kepemilikan Hak Cipta

Subyek hak cipta, bisa manusia dan badan hukum. Inilah yang oleh Undang-Undang Hak Cipta dinamakan dengan Pencipta. Menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Dari bunyi Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tersebut, secara singkat bahwa Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama melahirkan suatu ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dengan sendirinya Pencipta juga menjadi Pemegang Hak Cipta, tetapi tidak semua Pemegang Hak Cipta adalah penciptanya. Pengertian Pemegang Hak Cipta dinyatakan dalam Pasal 1 angka (4) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002: “Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut”.

Dengan demikian, Pencipta Hak Cipta otomatis menjadi Pemegang Hak Cipta, yang merupakan Pemilik Hak Cipta, sedangkan yang menjadi Pemegang Hak Cipta tidak harus Penciptanya, tetapi bisa pihak lain yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.

penggolongan Pencipta Hak Cipta dalam beberapa kualifikasi, sebagai berikut:

1) Seseorang, yakni :

a) Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal HKI;

b) Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan;

c) Seseorang yang berceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya;

d) Seseorang yang membuat Ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan atau hubungan kerja atau berdasarkan pesanan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: (1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta

adalah: (a) orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan

pada Direktorat Jenderal; atau (b) orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan. (2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.

2) Dua orang atau lebih

Jika suatu Ciptaan diciptakan oleh beberapa orang, maka yang paling dianggap sebagai penciptanya:

a) Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan yang bersangkutan atau menghimpunnya;

b) Perancang Ciptaan yang bersangkutan. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: b) Perancang Ciptaan yang bersangkutan. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan:

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: “Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu”.

3) Lembaga atau instansi pemerintah

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: (1) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak

lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.

(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.

4) Badan hukum

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: “Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya”.

b. Hak Eksklusif Pemilik Hak Cipta

Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk membuat salinan atau reproduksi Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk membuat salinan atau reproduksi

Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun. Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula hak terkait, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (Pasal 1 angka 12 dan Bab VII Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya. Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (Bab V Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002).

Pelanggaran hak cipta menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 ialah apabila orang yang tanpa ijin dari pencipta melakukan hak eksklusif dari pencipta yaitu mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dari pencipta tanpa ijin darinya. Sedangkan untuk karya sinematografi dan program komputer, orang lain dilarang untuk menyewakan ciptaan tanpa persetujuan dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta dari sinematografi dan program komputer tersebut.

d. Pengecualian dari Pelanggaran Hak Cipta Pembatasan-pembatasan/ pengecualian hak cipta tercantum dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Pembatasan-pembatasan tersebut sebenarnya berkisar pada beberapa hal, sebagai berikut:

1) Mengenai substansinya;

2) Mengenai cara-cara yang dilakukan;

3) Mengenai tujuan-tujuan yang dibolehkan.

Mengenai substansinya, maka substansi atau materi yang dianggap sebagai bukan pelanggaran hak cipta adalah:

1) Lambang Negara dan lagu kebangsaan;

2) Segala sesuatu yang diperbanyak atau diumumkan pemerintah;

3) Berita aktual;

4) Program computer;

5) Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra dalam huruf

braile.

Mengenai cara-cara yang lazim dilakukan sebagai bentuk tindakan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta adalah:

1) Reproduksi atau perbanyakan ciptaan;

2) Pengumuman atau publikasi;

3) Pengambilan Ciptaan;

4) Perubahan Ciptaan;

5) Pembuatan salinan;

Mengenai tujuan tertentu yang diijinkan dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta adalah:

1) Untuk kepentingan pendidikan;

2) Untuk kepentingan penelitian;

3) Untuk kepentingan penulisan karya ilmiah;

4) Untuk kepentingan penulisan laboran;

5) Untuk kepentingan penulisan kritik;

6) Untuk peninjauan suatu masalah;

7) Untuk kepentingan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;

8) Untuk kepentingan ceramah;

9) Untuk kepentingan pertunjukan atau pementasan yang tidak

dipungut bayaran;

10) Untuk kepentingan aktivitasnya bagi perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan, pusat dokumentasi;

11) Untuk kepentingan pembuatan salinan atau cadangan program komputer oleh pemilik program;

12) Untuk kepentingan non komersial;

13) Untuk kepentingan nasional.

e. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan: buku, pamphlet dan semua hasil karya tulis lain, drama dan drama musical, tari, koreograf, segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung, seni batik; lagu atau musik dengan atau tanpa teks; arsitektur; ceramah, pidato dan ciptaan jenis lain, alat peraga, peta, terjemahan, tafsir, saduran dan bungarampai diberikan jangka waktu perlindungan selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Sementara untuk ciptaan yang telah disebutkan diatas yang dimiliki oleh

2 orang atau lebih diberikan perlindingan hak cipta selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Selanjutnya hak cipta atas ciptaan: program komputer, senimatografi, fotografi, database dan karya hasil pengalih wujudan diberikan perlindungan selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Hak cipta atas perwajahan karya tulis 2 orang atau lebih diberikan perlindingan hak cipta selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Selanjutnya hak cipta atas ciptaan: program komputer, senimatografi, fotografi, database dan karya hasil pengalih wujudan diberikan perlindungan selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Hak cipta atas perwajahan karya tulis

Selama jangka waktu perlindungan hak cipta, pemegang hak cipta memiliki hak ekslusif untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan itu dilahirkan. Namun demikian hak ekslusif itu tidak bersifat mutlak karena Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 membenarkan adanya penggunaan secara wajar sehingga dianggap bukan sebagai pelanggaran hak cipta.

f. Penegakan Hukum

Pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:

1) Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;

2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;

3) Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau

4) Mengubah isi ciptaan.

untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta (Pasal

66) dalam hal penyidikan di bidang hak cipta bahwa selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan hak kekayaan intelektual diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta.

Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang hak cipta memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap tindak pidana di bidang hak cipta yaitu pidana penjara dan/atau denda, hal ini sesuai dengan ketentuan pidana dan/atau denda dalam Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai berikut :

1) Pasal 72 ayat (1): Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

2) Pasal 72 ayat (2): Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

3) Pasal 72 ayat (3): Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

4) Pasal 72 ayat (4): Barangsiapa melanggar Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

5) Pasal 72 ayat (5): Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 19, Pasal 20, atau Pasal 49 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

7) Pasal 72 ayat (7): Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

8) Pasal 72 ayat (8): Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

9) Pasal 72 ayat (9): Barangsiapa dengan sengaja melanggar Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

10) Pasal 73 ayat (1): Ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta atau hak terkait serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan.

11) Pasal 73 ayat (2): Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang seni dan bersifat unik, dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan. Penjelasan yang dimaksud dengan “bersifat unik” adalah bersifat lain daripada yang lain, tidak ada persamaan dengan yang lain, atau yang bersifat khusus.

Ketentuan pidana tersebut di atas, menunjukkan kepada pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait lainnya untuk memantau perkara pelanggaran hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi perdata berupa ganti kerugian dan tidak menutup hak negara untuk menuntut perkara tindak pidana hak cipta kepada Pengadilan Niaga dengan sanksi pidana penjara bagi yang melanggar hak cipta tersebut. Ketentuan- ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dimaksudkan untuk memberikan ancaman pidana denda yang paling berat, paling banyak, sebagai salah satu upaya menangkal pelanggaran hak cipta, serta untuk melindungi pemegang hak cipta.

a. Kepemilikan Hakcipta

Hasil karya pada dasarnya dimiliki oleh penciptanya seperti komposer lagu, penulis buku, pencipta halaman web atau siapa saja yang membuat atau menciptakan hasil karya tersebut. Walau bagaimanapun, apabila pembuatan hasil karya tersebut dibuat oleh pekerja yang diupah, maka pemiliknya ialah orang mengupah atau majikan pekerja tersebut (Seksyen 26 Akta Hakcipta 1987), Kecuali ada persetujuan sebaliknya antara kedua Pihak). Hak milik kepada hakcipta tersebut berpindah dari pencipta kepada pihak yang mengupah atau majikan melalui penyerahakan, lisensi atau pemberian wasiat. Dalam keadaan ini penerima hak merupakan pemiliknya.

b. Hak Eksklusif Pemilik Hakcipta

Apabila seorang pencipta telah memenuhi syarat yang ditetapkan maka beliau dilindungi di bawah Akta Hakcipta 1987 dengan mendapat beberapa hak eksklusif. Terhadap keseluruhan atau sebagian besar hasil karya hak cipta baik dalam bentuk asal atau dalam bentuk karya Derivative (Seksyen 13 (1)). Hak-hak eksklusif tersebut antara lain:

1) pengeluaran semula dalam apa-apa bentuk bahan;

2) penyampaian kepada orang awam;

3) pertunjukan, tayangan atau permainan kepada awam;

4) pengedaran salinan-salinan kepada orang awam melalui penjualan

atau pemindahan pemunyaan secara lain; dan

5) penyewaan secara komersial kepada orang awam.

1) hak-hak untuk membuat salinan karya tersebut dalam berbagai

bentuk.

2) hak untuk melakukan penyampaian kepada khalayak umum.

3) hak untuk pertunjukan, tayangan atau permainan kepada orang

umum.

4) hak untuk mengedarkan salinan hasil karya hak cipta kepada khalayak ramai dengan menjual atau melalui cara-cara pemindahan.

5) hak untuk menyewa secara komersial kepada orang awam.

Pelanggaran hakcipta bisa terjadi dalam beberapa keadaan seperti diatur dalam Seksyen 36 Akta Hakcipta 1987.

1) Pelanggaran secara langsung

Pelanggaran hak cipta terjadi apabila seseorang yang bukan pemilik hasil karya hak cipta tersebut melakukan atau menyebabkan orang lain melakukan hak-hak ekslusif pemilik hak cipta tanpa ijin pencipta. Seksyen 36 (1) Akta Hakcipta 1987 mengatur pelanggaran terhadap hak cipta yang terjadi apabila seseorang tanpa ijin pemilik hak cipta, melakukan atau menyebabkan orang lain melakukan perbuatan yang diatur oleh hak cipta di bawah Akta ini.

2) Pelanggaran secara tidak langsung

Pelanggaran hakcipta juga bisa terjadi apabila seseorang mengimpor suatu produk hasil pelanggaran hakcipta yang berasal dari luar negeri bagi tujuan perdagangan atau komersial tanpa persetujuan pemilik yang asli salinan asli hasil karya tersebut. Seksyen 36 (2) Akta Hakcipta 1987 mengatur mengenai pelanggaran terhadap hak cipta yang terjadi apabila seseorang tanpa persetujuan atau ijin pemilik hak cipta itu mengimpor suatu produk ke dalam Malaysia.

3) Melintasi langkah-langkah teknologi yang bermanfaat.

Pelanggaran hakcipta terjadi apabila seseorang melakukan atau menyebabkan orang lain melintasi langkah teknologi yang digunakan oleh pencipta berkaitan dengan pemenuhan hak mereka. Apabila pencipta suatu web (misalnya: website universitas) menggunakan teknologi-teknologi tertentu untuk menghalang orang lain meniru atau mengambil tanpa ijin hasil karya mereka seperti menetapkan password tertentu untuk digunakan, maka orang lain yang masuk web tersebut tanpa menggunakan password dan merusak sistem, maka dapat dikatakan orang tersebut melakukan pelanggaran.

Pelanggaran hak cipta berlaku apabila perbuatan pembuangan atau pengubahan informasi pengurusan hak elektronik tanpa ijin dari pemilik hasil karya. Pelanggaran hakcipta terjadi apabila seseorang dengan sadar melakukan pembuangan atau pengubahan segala informasi pengurusan hak elektronik dari suatu hasil karya hak cipta tanpa ijin dan melakukan pengedaran, pengimporan untuk mengedarkan salinan hasil karya yang berkenaan. Informasi pengurusan hak maksudnya informasi yang mengenal pasti karya, pencipta karya atau informasi tentang ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat penggunaan karya, nomor atau kode yang melambangkan informasi tersebut di mana informasi tersebut dilampirkan pada satu salinan karya atau berkaitan dengan penyampaian karya kepada umum.

d. Pengecualian dari Pelanggaran Hakcipta

Dalam keadaan tertentu, suatu perbuatan yang bisa menjadi pelanggaran hak cipta akan dikecualikan dari pelanggaran apabila perbuatan tersebut termasuk dalam Seksyen 13 (2) (a) Akta Hakcipta 1987 mengatur mengenai pengecualian-pengeculian dalam hak cipta antaranya: Secara urusan yang wajar untuk maksud penelitian yang bukan mencari keuntungan, pendidikan (untuk kepentingan pribadi), kritikan, ulasan atau laporan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini, tunduk kepada syarat bahwa penggunaan itu adalah untuk penggunaan umum, maka harus disertakan dengan satu pengakuan judul karya dan penciptanya, kecuali jika karya itu yang berkaitan dengan perbuatan untuk maksud penelitian yang bukan mencari keuntungan, pendidikan untuk kepentingan pribadi dan laporan-laporan peristiwa saat ini dengan cara rekaman suara, film, atau siaran. Terdapat kurang lebih 20 (dua puluh) pengecualian yang diberi. Walau bagaimana pun pengecualian yang pertama yaitu pengecualian terhadap urusan yang wajar selalu digunakan bagi mempertahankan diri apabila tindakan Dalam keadaan tertentu, suatu perbuatan yang bisa menjadi pelanggaran hak cipta akan dikecualikan dari pelanggaran apabila perbuatan tersebut termasuk dalam Seksyen 13 (2) (a) Akta Hakcipta 1987 mengatur mengenai pengecualian-pengeculian dalam hak cipta antaranya: Secara urusan yang wajar untuk maksud penelitian yang bukan mencari keuntungan, pendidikan (untuk kepentingan pribadi), kritikan, ulasan atau laporan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini, tunduk kepada syarat bahwa penggunaan itu adalah untuk penggunaan umum, maka harus disertakan dengan satu pengakuan judul karya dan penciptanya, kecuali jika karya itu yang berkaitan dengan perbuatan untuk maksud penelitian yang bukan mencari keuntungan, pendidikan untuk kepentingan pribadi dan laporan-laporan peristiwa saat ini dengan cara rekaman suara, film, atau siaran. Terdapat kurang lebih 20 (dua puluh) pengecualian yang diberi. Walau bagaimana pun pengecualian yang pertama yaitu pengecualian terhadap urusan yang wajar selalu digunakan bagi mempertahankan diri apabila tindakan

e. Jangka Waktu Perlindungan

Jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta diatur dalam yaitu Akta Hakcipta 1987 Seksyen 17 sampai dengan Seksyen 23. Hakcipta mengenai karya sastera, musik atau seni (selain fotografi) diberikan Akta Hakcipta selama hidup pencipta dan lima puluh tahun setelah kematiannya. Jika sesuatu karya sastera, musik atau seni (selain fotografi) tidak pernah diterbitkan sebelum kematian penciptanya, maka hakcipta akan timbul hingga lima puluh tahun dari permulaan tahun kalender berikutan dengan tahun yang karya itu mula mula diterbitkan.

Jika suatu karya sastra, musik atau seni (selain dari fotografi) diterbitkan tanpa nama atau dengan mengguna nama samaran, hakcipta akan timbul hingga lima puluh tahun dari permulaan tahun kalendar berikutan dengan tahun yang karya itu pertama kali diterbitkan dengan syarat bahawa jika identitas pencipta telah diketahui, jangka waktu perlindungan hakcipta akan dihitung lima puluh tahun dari permulaan tahun kalender berikutan dengan tahun yang karya itu mula mula diterbitkan. Hakcipta mengenai sesuatu edisi diterbitkan akan timbul hingga lima puluh tahun dari permulaan tahun kalendar berikutan dengan tahun yang edisi itu pertama kali diterbitkan. Hakcipta mengenai sesuatu rekaman suara akan timbul hingga lima puluh tahun Jika suatu karya sastra, musik atau seni (selain dari fotografi) diterbitkan tanpa nama atau dengan mengguna nama samaran, hakcipta akan timbul hingga lima puluh tahun dari permulaan tahun kalendar berikutan dengan tahun yang karya itu pertama kali diterbitkan dengan syarat bahawa jika identitas pencipta telah diketahui, jangka waktu perlindungan hakcipta akan dihitung lima puluh tahun dari permulaan tahun kalender berikutan dengan tahun yang karya itu mula mula diterbitkan. Hakcipta mengenai sesuatu edisi diterbitkan akan timbul hingga lima puluh tahun dari permulaan tahun kalendar berikutan dengan tahun yang edisi itu pertama kali diterbitkan. Hakcipta mengenai sesuatu rekaman suara akan timbul hingga lima puluh tahun

f. Penegakan Hukum

Akta Hakcipta 1987 merupakan Undang-Undang yang bersifat quasi pidana di mana tindakan perdata/ civil dan tindakan pidana bisa diambil. Pelanggaran hak cipta merupakan kesalahan menurut undang- undang hakcipta. Pemilik bisa mengambil tindakan perdata dengan orang yang melakukan salinan pelanggaran tersebut atau membuat laporan kepada pihak berkuasa agar tindakan hukum selanjutnya bisa diambil. Untuk pemilik yang mempunyai bukti yang kukuh untuk mengambil tindakan kepada pihak tertentu yang telah melakukan pelanggaran hak cipta hasil karya pemilik, maka pemilik bisa terus mengemukakan saman melalui advokat yang telah dilantik. Meskipun demikian, tindakan melalui hukum pidana juga bisa dilakukan dengan membuat laporan kepada pihak polisi dan hukuman berbentuk penjaraa dan denda bisa dikenakan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Di Indonesia, perlindungan terhadap instrumen musik tradisional diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dimana masuk dalam kategori folklor. Penjelasan Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa:

“Folklor merupakan sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:

a. cerita rakyat, puisi rakyat;

b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;

c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;

d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional”.

Berikut ini akan diuraikan mengenai pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berhubungan dengan pengaturan perlindungan instrumen musik tradisional:

a. Definisi Hak Cipta Pasal 1 angka (1)

“Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“. Pasal 1 angka (5)

“Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain”.

b. Definisi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta Pasal 1 angka (2) b. Definisi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta Pasal 1 angka (2)

“Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut“.

c. Hak Ekslusif Pasal 2 ayat (1)

“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“.

Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan

atau

memperbanyak”,

termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.

d. Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya tidak Diketahui (Pasal 10)

1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,

sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.

2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih 3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

e. Pengecualian

Pasal 15 (c) disebutkan bahwa “pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta”. Bahwa apabila suatu folklor berupa instrumen musik tradisional dimana pemegang hak ciptanya adalah Negara, digunakan untuk keperluan pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut biaya dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak, maka hal tersebut bukan merupakan pelanggaran.

f. Masa Berlaku Hak Cipta

Pasal 31 ayat (1) (a) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu. Tujuan dari pemberlakuan tanpa batas waktu adalah agar folklor instrumen musik tradisional sebagai hasil ekspresi kebudayaan rakyat yang bersifat komunal/ milik bersama tetap berada dalam perlindungan Negara dan untuk menghindari adanya klaim atau tindakan pihak asing yang dapat merusak hasil ekspresi kebudayaan tersebut. Hal ini juga akan menghindari adanya batas waktu perlindungan seperti ciptaan yang lain seperti 50 tahun setelah Pasal 31 ayat (1) (a) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu. Tujuan dari pemberlakuan tanpa batas waktu adalah agar folklor instrumen musik tradisional sebagai hasil ekspresi kebudayaan rakyat yang bersifat komunal/ milik bersama tetap berada dalam perlindungan Negara dan untuk menghindari adanya klaim atau tindakan pihak asing yang dapat merusak hasil ekspresi kebudayaan tersebut. Hal ini juga akan menghindari adanya batas waktu perlindungan seperti ciptaan yang lain seperti 50 tahun setelah

g. Penyelesaian Sengketa (Pasal 56) (1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi

kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.

(2) Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

(3) Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Pemegang hak cipta dalam folklor instrumen musik tradisional hak ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap instrumen musik tradisional yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan pertunjukan karya ciptaan instrumen musik tradisional yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta.

h. Sanksi Pidana Pasal 72 ayat (1) menjelaskan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)”.

Bahwa setiap orang asing yg melakukan pelanggaran terhadap hak eksklusif negara sebagai pemegang hak cipta atas foklor instrumen Bahwa setiap orang asing yg melakukan pelanggaran terhadap hak eksklusif negara sebagai pemegang hak cipta atas foklor instrumen

Pengaturan Perlindungan Instrumen Musik Tradisional (folklor) dan usaha pelestariannya di Indonesia sudah dimulai sejak diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta, terakhir diatur kepemilikan atas Folklor ini atau pemegang Hak Ciptanya, menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu negara. Negaralah memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajian tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka negaralah ‘yang mewakili’ kepentingan rakyatnya (dalam hal ini; masyarakat tradisional di Indonesia) sebagai pemegang hak cipta. Bentuk hak eksklusif dari negara atas kerya cipta terhadap folklor dan hasil kebudayaan rakyat adalah hak untuk mengumumkan atau memperbanyak atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut undang-undang yang berlaku .

Apabila pihak asing memanfaatkan karya budaya/ pengetahuan tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia atau masyarakat tradisional, negara harus mempertahankannya dan menggugatnya (Muhammad Djumhana, 2006: 61) .

Di bawah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tersebut dirancang suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", namun sampai sekarang PP tersebut belum disahkan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folkor dalam Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Dalam draft Peraturan Pemerintah tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam : Di bawah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tersebut dirancang suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", namun sampai sekarang PP tersebut belum disahkan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara", adalah jabaran lebih khusus mengenai pengaturan folkor dalam Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Dalam draft Peraturan Pemerintah tersebut yang disebut sebagai folklor dipilah ke dalam :

2) ekspresi lagu atau musik dengan atau tanpa lirik;

3) ekspresi dalam bentuk gerak seperti tarian tradisional, permainan, dan

upacara adat;

4) karya kesenian dalam bentuk gambar, lukisan, ukiran, patung, keramik, terakota, mozaik, kerajinan kayu, kerajinan perak, kerajinan perhiasan, kerajinan anyam-anyaman, kerajinan sulam-sulaman, kerajinan tekstil, karpet, kostum adat, instrumen musik, dan karya arsitektur, kolase dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan folklor.

Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, Negara memegang Hak Cipta terhadap karya peniggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya, folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Di samping itu, negara juga seyogyanya berkewajiban untuk memelihara dan melindunginya dari gangguan pihak lain. Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersil tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2002 ini dimaksudkan untuk menghindari pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Jangka waktu perlindungan Hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 Ayat (1) (a)) maksudnya ciptaan-ciptaan yang hak ciptanya dipegang atau dilaksanakan oleh Negara, mendapatkan perlindungan tanpa batas waktu, artinya untuk selamanya.

Pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional sebenarnya juga diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT). RUU PTEBT merupakan suatu wujud koreksi dan pengimplikasian dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Pasal 10 tentang Negara yang memegang hak cipta atas folklor.

dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Namun dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tentang definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasannya dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional, baik komersil maupun non komersil. Berikut ini penulis paparkan beberapa poin penting yang diatur dalam RUU PTEBT diantaranya:

1) Ketentuan Umum (Pasal 1)

a) Pengetahuan Tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat.

b) Ekspresi Budaya Tradisional adalah karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat.

c) Tradisi adalah warisan budaya masyarakat yang dipelihara dan/atau dikembangkan secara berkelanjutan lintas generasi oleh suatu komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat.

d) Perlindungan adalah segala bentuk upaya melindungi Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional terhadap pemanfaatan secara komersial yang dilakukan tanpa izin.

e) Kustodian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional adalah komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat yang memelihara dan mengembangkan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional tersebut secara tradisional dan komunal

f) Pemanfaatan adalah pendayagunaan Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional secara komersial.

g) Pemohon adalah orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing yang mengajukan permohonan izin akses pemanfaatan.

h) Permohonan izin akses adalah permohonan untuk mendapatkan izin akses pemanfaatan yang diajukan kepada Menteri.

i) Permohonan pencatatan adalah permohonan pengajuan pencatatan

perjanjian pemanfaatan. j) Izin Akses Pemanfaatan adalah izin yang diberikan oleh Menteri kepada orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing sebelum melakukan perjanjian pemanfaatan.

berkedudukan hukum di negara di luar Indonesia serta tunduk pada hukum negara tersebut.

l) Badan hukum Indonesia penanaman modal asing adalah badan hukum yang didirikan, berkedudukan hukum serta tunduk pada hukum di Indonesia, dan menggunakan modal asing baik sepenuhnya maupun sebagian.

m) Pemegang izin akses pemanfaatan adalah orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing yang telah memperoleh izin akses pemanfaatan.

n) Perjanjian pemanfaatan adalah perjanjian antara Kustodian Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional dan orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing, mengenai pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional.

o) Kuasa adalah advokat atau konsultan hukum yang diberi kuasa oleh

Pemohon. p) Tim Ahli Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional adalah tim khusus independen yang diangkat oleh Menteri yang membidangi Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

q) Menteri adalah Menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

2) Perlindungan PTEBT (Pasal 2)

a) PTEBT yang dilindungi mencakup unsur budaya yang: (1) memiliki karakteristik khusus yang terintegrasi dengan

identitas budaya masyarakat tertentu yang melestarikannya; (2) disusun, dikembangkan, dipelihara, dan ditransmisikan dalam

lingkup tradisi.

b) Pengetahuan Pengetahuan Tradisional yang dilindungi mencakup ide/gagasan, konsep, keterampilan, pembelajaran dan praktik kebiasaan lainnya, dan inovasi yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional termasuk diantaranya pengetahuan pengobatan termasuk obat terkait dan tata cara penyembuhan, pengetahuan tentang ruang dan waktu, pengetahuan pertanian, pengetahuan lingkungan alam, pengetahuan tentang flora dan fauna, pengetahuan tentang zat dan bahan mentah, pengetahuan tentang anatomi tubuh, pengetahuan tentang astronomi, serta pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetik.

c) Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi mencakup salah satu

atau kombinasi bentuk ekspresi berikut ini:

1) karya sastra ataupun narasi informatif dalam bentuk lisan maupun tulisan yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan; 1) karya sastra ataupun narasi informatif dalam bentuk lisan maupun tulisan yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan;

3) seni gerak, mencakup antara lain: tarian, beladiri, dan

permainan;

4) seni teater, mencakup antara lain: pertunjukan wayang dan

sandiwara rakyat;

5) seni tempa, mencakup antara lain: pembuatan senjata tradisional, alat musik tradisional, perhiasan, alat produksi, dan peralatan rumah tangga;

6) seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan

7) upacara adat, mencakup antara lain: prosesi, perlengkapan, pembuatan alat dan bahan perlengkapan, serta penyajiannya.

3) Jangka Waktu Perlindungan (Pasal 3)

Jangka waktu perlindungan kekayaan intelektual PTEBT diberikan selama masih dipelihara oleh Pemilik dan/atau Kustodiannya.

4) Lingkup Perlindungan PTEBT (Pasal 4)

a) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

b) Bentuk perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional meliputi pencegahan dan/atau pelarangan terhadap:

a) Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin akses pemanfaatan dan perjanjian pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing;

b) Pemanfaatan yang dalam pelaksanaan pemanfaatannya tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PTEBT tersebut; dan/atau

c) Pemanfaatan yang dilakukan secara menyimpang dan menimbulkan kesan tidak benar terhadap masyarakat terkait, atau yang membuat masyarakat tersebut merasa tersinggung, terhina, tercela, dan/atau tercemar.

5) Pendokumentasian (Pasal 19)

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pendataan dan pendokumentasian mengenai Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional di seluruh Indonesia.

(2) Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didokumentasikan guna menyediakan informasi tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan pihak lain yang berkepentingan.

(4) Untuk kepentingan inventarisasi data Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional nasional, pihak yang melakukan pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan hasil pendokumentasian kepada Menteri dan Gubernur;

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendataan dan pendokumentasian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6) Ketentuan Sanksi

Terhadap para pelaku, baik secara pribadi kelompok: korporasi atau negara, maka pemberian sanksi harus dapat ditentukan sesuai dengan tingkat maupun keberadaan yang bersangkutan, apakah pembuatannya hanya untuk pribadi dalam artian melakukan penelitian untuk ilmu pengetahuan, atau korporasi/negara untuk kekayaannya. Mengenai penerapan sanksi terdapat teori-teori yang mendukung antara lain adalah sebagai berikut:

a) Tindak pidana materil dan formil

Dalam RUU ini mengenal tindak pidana formil dan materil, tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 25 yang merujuk pada ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf (a) menyatakan sebagai berikut: “Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin akses pemanfaatan dan perjanjian, pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing”. Inti dari pasal tersebut di atas adalah adanya larangan terhadap orang dan/ atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan wilayah Indonesia tanpa izin. Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 8, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 9 (a) harus ditolak apabila: “Pemanfaatan yang akan dilakukan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, moralitas, agama, nilai budaya atau kesusilaan”. Dalam ketentuan pasal ini Dalam RUU ini mengenal tindak pidana formil dan materil, tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 25 yang merujuk pada ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf (a) menyatakan sebagai berikut: “Pemanfaatan yang dilakukan tanpa izin akses pemanfaatan dan perjanjian, pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing”. Inti dari pasal tersebut di atas adalah adanya larangan terhadap orang dan/ atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan wilayah Indonesia tanpa izin. Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 8, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 9 (a) harus ditolak apabila: “Pemanfaatan yang akan dilakukan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, moralitas, agama, nilai budaya atau kesusilaan”. Dalam ketentuan pasal ini

b) Tindak Pidana Administratif

Semua kategori kejahatan sebagaimana yang dirumuskan di atas adalah sanksi pidana yang sebetulnya adalah sanksi administrasi. Sanksi administrasi bisa digunakan kekuatan hukum pidana untuk menimbulkan efek jera yang lebih tinggi. Namun dalam RUU ini rumusan-rumusan tindak pidana masuk dalam ketentuan tindak pidana, artinya dari segi teknik perancangan perundang-undangan, ketentuan ini secara sengaja ditempatkan sebagai delik pidana, bukan sebagai sanksi administrasi. Seharusnya berdasarkan perbedaan bidang hukum ketentuan- ketentuan sanksi administrasi tidak dicantumkan dalam Bab/ bagian ketentuan pidana tetapi dalam sanksi administrasi. Selain itu, tindak pidana hanya ditujukan kepada pemegang izin. Dalam hal ini jika pemegang izin yang berdalil telah memiliki izin melakukan suatu tindakan yang melawan hukum, seperti melaukan penelitian dan bertentangan dengan masyarakat hukum adat setempat, maka tindakan tersebut adalah semata-mata pihak yang melakukan aktivitas tersebut. Di sana sama sekali tidak diperhitungkan pertanggungjawaban pidana memberi izin.

c) Tindak Pidana oleh Badan Hukum

Dalam RUU ini sebenarnya telah mengenal badan hukum selaku pelaku tindak pidana. Ketentuan ini di atur dalam Pasal 1 angka (10) yang menyatakan sebagai berikut: “Izin Akses Pemanfaatan adalah izin yang diberikan oleh Menteri kepada orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing sebelum melakukan perjanjian pemanfaatan”. Apabila memperhatikan dalam ketentuan RUU

tersebut, khususnya dalam Pasal 1 angka (10) maka pertanggungjawaban pidana dari pengurus badan usaha yang

ekspresi budaya nasional telah di atur dengan tegas. Perlindungan Hak Cipta atas instrumen musik tradisional sangat diakomodir dalam ketentuan RUU PTEBT ini. Dalam Pasal 2 ayat (3) dijelaskan kategori perlindungan ekspresi budaya tradisional dimana Instrumen musik tradisional seperti contohnya angklung merupakan bentuk Ekspresi Budaya Tradisional dalam bidang seni musik yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat lokal atau masyarakat adat. Ketentuan RUU PTEBT akan sangat mengakomdir segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan ekspresi budaya tradisional terdapat mekanisme yang jelas terkait perijinan, pemanfaatan, dan lembaga yang jelas dalam pengurusan perijinan tersebut, serta terdapat ketentuan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Sehingga instrumen musik tradiosional yang merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional dalam bidang seni musik, diharapkan perlindungan ini dapat mencegah klaim dari pihak asing dan apabila pihak asing ingin menggunakan dalam hal komersil terdapat prosedur dalam perijinannya.