Komposisi petani yang memiliki tanah berdasarkan luas penguasaan tanah dan sumber

Tabel 6. Komposisi petani yang memiliki tanah berdasarkan luas penguasaan tanah dan sumber

pendapatan utama tahun 1983-1993

sumber pendapatan (bulanan) Luas

sumber pendapatan (bulanan)

sumber pendapatan (bulanan)

tanah ∑

Sektor Sektor non- (ha)

Sektor

Sektor

Sektor pertanian

Sektor

pemilik

pertanian pertanian tanah

Jumlah ( juta)

Jumlah Jumlah

% rata- % rata-

rata ***) rata ***)

2.6 24.3 198.1 75.7 617.9 0.10 -0.19

1.4 50.0 13.1 50.0 13.1 1.7 n.a

n.a

2.0 49.8 22.6 50.2 22.8 2.6 n.a

n.a

5.0 49.9 27.5 50.1 27.5 6.0 n.a

n.a

4.8 51.8 440.1 48.2 Enam Dekade K 409.9

4.4 50.1 79.7 49.9 79.4 4.7 n.a

Dihitung dari hasil sensus pertanian tahun 1983, 1993 dan 2003 (Biro Pusat Statistik 1985b, Tabel 10 dan 112; dan 1995, Tabel 8; dan data sensus pertanian 2003 yang didapat langsung dari kantor BPS Jakarta, 30 January 2007)

Catatan: *) Data Sensus Pertanian tahun 1983 tidak memberikan laporan tentang sumber pendapatan petani yang menguasai lahan lebih dari 3 hektar. Dalam tabel ini semua data sumber pendapatan petani yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar digabungkan. **) Data Sensus Pertanian tahun 1993 tidak dapat dihitung sesuai kebutuhan tabel ini. Data yang digunakan adalah data sumber pendapatan seluruh pemilik tanah.

27 ***) dalam rupiah.

Dari susunan data pendapatan bulanan petani pengguna lahan (per rumah tangga) pada tahun 1983 nampak pendapatan rata-rata dari kedua sektor (pertanian dan non pertanian) relatif seimbang. Secara umum, kontribusi kedua sektor bagi total pendapatan petani yang mengusai tanah (seperti terlihat dalam angka pendapatan rata-rata dari total pendapatan petani) mengalami perubahan pada tahun 1993, dan umumnya pendapatan dari sektor pertanian lebih besar dari sektor lain. Pada tahun 2003, angka-angka tersebut kembali seimbang. Namun jika dilihat lebih seksama pada kelas penguasaan tanah di tahun 2003, ‘petani-petani kecil’ memperoleh pendapatan lebih banyak dari luar sektor pertanian. Sebaliknya, bagi kelas petani pengguna lahan di atas 1 hektar persentase pendapatan mereka dari aktifitas pertanian jauh lebih besar dibanding dari sektor non pertanian. Sementara petani yang menguasai tanah antara setengah hingga 1 hektar memperoleh pendapatan seimbang dari kedua sektor.

Dari Tabel 6 dapat diasumsikan bahwa dalam kurun waktu 1983 hingga 2003 terdapat pertumbuhan kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang menyumbang pada perubahan komposisi pendapatan petani-petani kecil; mereka tidak lagi tergantung sepenuhnya pada pertanian. Namun, di luar pertumbuhan kesempatan kerja di sektor non pertanian, dapat pula ditambahkan penjelasan bahwa kecilnya upah di sektor pertanian atau minimnya keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan pertanian telah mendorong para petani kecil mencari alternatif lain di luar pertanian. Hal itu berbeda dengan petani yang menguasai lahan besar, luasnya tanah yang dikuasai membuat mereka dapat meningkatkan skala ekonomi dari kegiatan pertanian, bahkan berinvestasi di sektor lain termasuk untuk memperoleh pendidikan. Ini dapat dilihat dari pendapatan rata-rata setiap bulannya, semakin besar tanah yang dikuasai maka semakin besar dan baik pula pendapatan rata-rata setiap bulannya, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor lain di luar pertanian.

Dengan kata lain, dalam ekonomi pertanian Indonesia yang tidak terlalu menguntungkan, hanya petani yang menguasai lahan luas – paling tidak di atas

1 hektar – yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari kedua sektor. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Booth: “Ini menunjukkan kecenderungan yang jelas antara meningkatnya pendapatan dengan luas lahan yang dikuasai… rumah tangga pertanian yang menguasai tanah besar mendapat penghasilan secara rata-rata lebih baik dari semua sumber, baik secara langsung ataupun bukan dari tanah-tanah yang dikuasainya, dibanding

28 Enam Dekade Ketimpangan 28 Enam Dekade Ketimpangan

penting bagi pendapatan rumah tangga” 66 (Booth 2002: 185 and 187). Dinamika Ketunakismaan (Landlessness) dan Kepenyakapan (Share Tenancy)

Pada Tabel 7 terlihat gambaran tentang ketunakismaan (landlessness) dalam kategori ‘landless-tenants’ atau ‘petani penyakap yang tidak memiliki tanah’. Dari tabel ini dapat dilihat kecenderungan turun-naiknya jumlah ‘landless-tenants’ di Indonesia sejak tahun 1963 hingga 2003, dimana jumlahnya cenderung terus berkurang sejak 1983.

Konsep ‘landless-tenant’ itu sendiri merujuk kepada rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah sama sekali tetapi dapat menguasai/menggarap tanah dengan cara menyakap (sharecropping tenancy). Kita dapat membedakan tiga jenis rumah tangga petani berdasarkan status penggarapan tanah yang dilakukannya, yakni: (1) petani yang menggarap sendiri tanah miliknya, dan hanya tanah itu saja yang dia kerjakan/garap (owner-operators only); (2) petani pemilik tanah yang selain menggarap tanah miliknya juga menggarap tanah orang lain dengan cara menyakap (owner operator cum-tenant); dan (3) petani yang tidak memiliki tanah tetapi menggarap tanah orang lain dengan cara menyakap (landless-tenants). 67

Enam Dekade Ketimpangan