Penggunaan Tanah di Indonesia, 1963 - 2000 1)

Tabel 9. Penggunaan Tanah di Indonesia, 1963 - 2000 1)

INDONESIA (%)

JAWA

LUAR JAWA

Pemukiman di pedesaan dan 2)

4.0 3.4 12.2 13.0 13.9 0.1 0.3 2.0 1.9 7.7 0.4 0.5 2.7 2.7 2.7 perkotaan

Tanah Sawah 19.1 19.9 26.5 26.0 26.5 0.9 1.2 2.5 2.8 2.5 2.1 2.5 4.1 4.4 4.1 pertanian

Ladang & rakyat

Kebun 3) 19.2 16.7 24.7 24.4 25.7 2.9 2.7 5.8 5.1 5.8 4.0 3.6 7.1 6.4 7.1

ehutanan

Perkebunan skala besar

y ah non k

Tanah bera 4) & semak belukar

ila W

Padang rumput 0.1 0.1 0.5 0.3 0.3 0.0 0.0 2.2 1.1 1.2 0.0 0.0 2.1 1.0 1.1 Wilayah Kehutanan 5)

22.6 21.9 18.1 22.8 24.3 67.0 67.3 61.9 71.5 65.3 63.9 64.2 58.9 68.2 62.6 Lainnya 6)

28.5 27.2 4.9 1.1 1.8 Total lahan

Sumber: Badan Pusat Statistik 2001b (Tabel 1, 2, 3, and 4), 2001c (hlm. 4 and 200); Biro Pusat Statistik 1963 (Tabel 1, 7A, 8A dan 9.1.A), 1964 (Tabel A.2 dan H.1), 1974 (Tabel I.1.2 dan VII.3.1), 1975 (Tabel 1 dan 8), 1983 (Tabel I.1), 1985c (Tabel 1 and 2), 1985d (Tabel V.3.3), 1994c (Tabel 1 dan 2), 1994d (Tabel 1 dan 2), 1994e (Tabel 1.1

etimpangan

dan 5.3.1) Catatan:

1) Pemanfaatan tanah untuk jalan, saluran air, irigasi, fasilitas olahraga, pemakaman, dan fasilitas publik lainnya tidak dimasukkan. 2) Di wilayah perkotaan termasuk untuk pemukiman dan wilayah industri. 3) Data BPS memasukkan tegalan, kebun, huma, ladang, kolam, tambak, dan empang. Sedangkan untuk pekarangan dan halaman digabungkan dalam kategori tanah

pemukiman. 4) Menurut BPS, tanah bera adalah tanah yang ditinggalkan sementara agar kembali subur, biasanya menjadi bagian dari aktivitas pertanian berputar (shifting agriculture).

Enam Dekade K

5) Seperti yang didefiniskan dalam peraturan pemerintah. 6) Contohnya rawa, bendungan, dan lain-lain kawasan perairan-darat non sungai dimasukkan dalam kategori ini.

Kecenderungan di bawah ini merupakan interpretasi dari Tabel 9 di atas:

1. Secara umum, jumlah lahan pertanian yang digunakan petani (baik, sawah, kebun, atau ladang) meningkat 6,1% dari total lahan di Indonesia pada tahun 1963 menjadi 10% pada awal 1980-an. Seperti telah disinggung dalam pembahasan tentang hasil sensus-sensus pertanian sebelumnya, pertumbuhan jumlah lahan yang tersedia bagi petani tidak menjawab persoalan penurunan rata-rata luas lahan yang dikuasai petani atau pertumbuhan jumlah petani tak bertanah (landless peasants).

2. Kenaikan yang cukup tajam pada jumlah tanah pertanian rakyat dan penggunaan tanah untuk pemukiman, khususnya akibat perkembangan kota-kota, sejak tahun 1983 merupakan akibat dari konversi wilayah kehutanan dan daerah berawa untuk digunakan sebagai tanah pertanian; sementara pada waktu yang bersamaan juga banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi pemukiman di wilayah pinggiran kota atau untuk tujuan non pertanian lainnya (industri dan infrastruktur). Dengan kata lain, secara makro kehilangan lahan pertanian akibat konversi untuk kegatan non pertanian dikompensasi dengan konversi kawasan kehutanan menjadi lahan-lahan pertanian baru.

3. Pada tahun 1983 wilayah hutan, baik di Jawa maupun di luar Jawa, mengalami penurunan. Berbeda dengan wilayah di luar Jawa yang penurunan area hutannya diakibatkan oleh peralihan menjadi perkebunan skala besar dan proyek transmigrasi, di Jawa perubahan tersebut terjadi akibat ekspansi perluasan tanah pertanian rakyat.

4. Menghilangnya wilayah hutan selama kurun waktu 1973-1983 ‘tergantikan’ pada periode berikutnya (terlihat dari data areal kehutanan di tahun 1993 yang kembali membesar). Klaim pemerintah atas sebagian besar wilayah hutan sebagai “hutan Negara” berdasarkan undang-undang kehutanan dan peraturan yang terkait dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 76 membawa akibat dimasukkannya perkebunan rakyat, agroforest, tanah bera 77 , padang ilalang, bahkan kadangkala tanah pedukuhan yang berada di dalam kawasan “hutan negara” dinyatakan (dihitung) sebagai wilayah kehutanan. Hal itu menjelaskan mengapa pada kurun waktu 1983-1993 wilayah kehutanan meningkat secara signifikan sedangkan tanah bera dan lainnya menurun. Konflik yang muncul antara penduduk lokal dengan pemegang otoritas kehutanan di wilayah-wilayah hutan konservasi dan hutan lindung

Enam Dekade Ketimpangan Enam Dekade Ketimpangan

yang terkait dengan penetapan kawasan hutan konservasi menempati urutan kelima belas dari 1.753 keseluruhan kasus dalam semua kategori. 79 Di wilayah luar Jawa, banyak sekali areal pertanian yang dikuasai penduduk lokal diklaim sebagai “hutan Negara”. Pada kenyataannya, masyarakat telah menggunakan hutan sebagai areal pertanian ladang-berpindah (shifting agriculture) selama beberapa generasi (Ruwiastuti, Fauzi, dan Bachriadi

1998). 80 Program pengembangan hutan konservasi juga telah mengubah banyak areal pertanian dan pemukiman rakyat menjadi kawasan hutan di Jawa. 81

5. Sementara penurunan jumlah area yang dinyatakan sebagai kawasan kehutanan, khususnya di luar Jawa, dari tahun 1993 hingga 2000 (dari 71,5% menjadi 65,3%) khususnya diakibatkan oleh deforestasi lalu konversi kawasan kehutanan menjadi lahan perkebunan besar juga perluasan kawasan pemukiman.

6. Antara tahun 1963 dan 2000 area perkebunan skala besar, khususnya di luar Jawa, meningkat dari 0,8% menjadi 8,7% - peningkatan tajam terjadi sejak tahun 1973. Kenaikan tersebut tercermin pada berkurangnya areal hutan – khususnya hutan-hutan konservasi – dan tanah-tanah bera.