PULAU KECIL

Prospek Pengembangan Pariwisata Gili Air Kedepan

Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara No 11 Tahun 2011 menetapkan Kawasan Gili Matra sebagai kawasan strategis pengembangan ekonomi sector pariwisata, bersama dengan Kawasan Sira-Medana. Kawasan strategis ini mendapatkan prioritas utama dalam perencanaan pembangunan daerah karena semenjak Kabupaten Lombok Utara resmi menjadi Kabupaten Pemekaran (Definitif tahun 2010), pendapatan terbesar daerah berasal dari (sesuai urutan) pariwisata, perikanan, perkebunan dan pertanian.

Dalam prosesnya, pengadaan dan perbaikan infrastruktur dan promosi menjadi prioritas pengembangan pariwisata Gili Matra. Infrastruktur yang dimaksud mulai dari akses transportasi darat dan laut di Lombok dan sekitarnya, sampai dengan angkutan penyebrangan menuju Gili Matra secara umum, dan Gili Air secara khusus. Kemudian prasaran akomodasi dan advertising, baik melalui media visual, eletronik, maupun cetak.

Sejalan dengan pengadaan dan perbaikan infrastrukur, beberapa komponen baik internal maupun eksternal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam prosesnya. Diantaranya adalah MP3EI yang secara nasional (skala koridor dan general provinsi) mengakomodir pertumbuhan ekonomi dari berbagai sector sesuai dengan potensi dan karakteristik yang ada di setiap daerah. Berikutnya adalah multi-institutional atau kelembagaan multipihak yang menjadi stakeholder dalam mengawal perkembangan pariwisata Gili Matra secara umum dan Gili Air secara khusus sampai dengan Pariwisata berkelanjutan.

MP3EI sebagai media percepatan pertumbuhan ekonomi

MP3EI memainkan perannya dengan membagi koridor-koridor ekonomi di Indonesia. NTB tergabung dalam Koridor 5 bersama Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bali-Nusra). Pengembangan Koridor Ekonomi Bali –Nusa Tenggara mempunyai tema Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Tema ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di koridor ini yang mana 17% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan serta memiliki ketmpangan pendapatan yang cukup tnggi yaitu sebesar IDR 17,7 juta per kapita (antara kabupaten/kota terkaya dan termiskin di dalam koridor ini). Namun demikian, koridor ini memiliki kondisi sosial yang cukup baik, sebagaimana terlihat dari tngginya tngkat harapan hidup sebesar 63 tahun, tngkat melek huruf sebesar 80 persen serta tngkat PDRB per kapita sebesar IDR 14,9 juta yang lebih tnggi dibandingkan PDB per kapita nasional sebesar IDR 13,7 juta.

Pembangunan kepariwisataan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara difokuskan pada 9 Destnasi Pariwisata Nasional. Sistem industri jasa memiliki peranan strategis untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan nasional. Selain itu, juga memberikan kontribusi dalam perolehan devisa negara serta berperan dalam mengentaskan kemiskinan.

Peningkatan jumlah kunjungan wisman pada tahun 2010 berdampak pada nilai kontribusi pariwisata yaitu sebesar USD 7,6 miliar dengan kenaikan dari tahun 2008 sebesar USD 7,3 Peningkatan jumlah kunjungan wisman pada tahun 2010 berdampak pada nilai kontribusi pariwisata yaitu sebesar USD 7,6 miliar dengan kenaikan dari tahun 2008 sebesar USD 7,3

Gambar 8. Kondisi Pariwisata Bali-Nusra Bagi Perekonomian Indonesia

Selain itu sebagai pusat pertumbuhan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, Bali juga memiliki tngkat pertumbuhan pariwisata yang stabil dan ditandai dengan jumlah kunjungan wisatawan cenderung meningkat, yaitu sebesar 1.328.929 orang (2006), 1.741.925 orang (2007), 2.081.786 orang (2008), 2.384.819 orang (2009), 2.546.023 orang (2010), dengan rata-rata tngkat hunian hotel lebih dari 60 persen. Bali juga memiliki jalur penerbangan nasional ke berbagai destnasi Indonesia dan penerbangan internasional dari dan ke Bali dalam jumlah yang memadai sehingga Bali mempunyai kemampuan sebagai pintu gerbang sekaligus pusat distribusi pariwisata di Indonesia.

Tabel 7. Data Pariwisata Koridor Bali-Nusra terhadap Perekonomian Indonesia

Keterangan: Data sementara tahun 2010 kunjungan wisman direct ke Bali – Nusa Tenggara melalui Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Padang Bai, Benoa, Bandara Selaparang dan Pelabuhan Benete, Bandara El Tari, lintas batas Atambua, Pelabuhan Maumere dan Kupang. Sumber: P2DSJ Kemenbudpar dan BPS

Beberapa strategi umum dalam MP3EI untuk dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tnggal wisatawan selama berkunjung ke Bali – Nusa Tenggara, antara lain:

 Meningkatkan keamanan di dalam Koridor Bali – Nusa Tenggara, antara lain melalui penerapan sistem keamanan yang ketat;

 Melakukan pemasaran dan promosi yang lebih fokus dengan target pasar yang lebih jelas. Strategi pemasaran untuk setap negara asal wisatawan perlu disesuaikan dengan

menerapkan tema ”Wonderful Indonesia, Wonderful Nature, Wonderful Culture, Wonderful People, Wonderful Culliner,dan Wonderful Price”. Kegiatan pemasaran

dan promosi ini diharapkan dapat membuat Bali menjadi etalase pariwisata dan meningkatkan citra Bali sebagai tujuan utama pariwisata dunia;

 Memberdayakan Bali Tourism Board untuk mengkoordinasikan usaha pemasaran dan promosi Bali;

 Meningkatkan pengembangan destnasi pariwisata di wilayah Bali Utara dalam rangka meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan dan lama tnggal wisatawan;  Meningkatkan destnasi pariwisata di luar Bali (Bali and Beyond) dengan menjadikan Bali sebagai pintu gerbang utama pariwisata Indonesia sepert wisata pantai (Bali,

Lombok, NTT), wisata budaya (Bali), wisata pegunungan (Jatm, Bali, Lombok), dan wisata satwa langka (Pulau Komodo). Kunci sukses dari strategi ini adalah dengan pengadaan akses sepert peningkatan rute penerbangan ke daerah-daerah pariwisata di sekitar Bali, yang disertai pemasaran yang kuat dan terarah;

 Meningkatkan kualitas dan kenyamanan tnggal para wisatawan dengan meningkatkan sarana dan prasarana sepert ketersediaan air bersih, listrik dan transportasi serta

komunikasi;  Meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal terutama SDM pariwisata di NTB dan

NTT, serta mengembangkan gerakan sadar wisata khususnya di wilayah Nusa Tenggara

Selain meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, faktor lain untuk meningkatkan pendapatan kegiatan ekonomi utama ini adalah meningkatkan jumlah pembelanjaan wisatawan. Perubahan pola ekonomi dunia juga mempunyai dampak pada pariwisata daerah. Oleh karena itu, pemerintah dan industri pariwisata harus secara proaktf mengidentfkasi dan mengeksplorasi pasar-pasar baru yang bisa mendorong laju pertumbuhan pariwisata di masa mendatang

Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum tersebut, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan berikut:

 Kemudahan perluasan pemberian Visa Entry, Visa On Arrival dan Visa On Board bagi wisatawan mancanegara serta perpanjangan visa bagi pengguna kapal layar yacht asing;

 Pengembangan standar pembangunan terminal cruise dan marina sekaligus sebagai

port of entry;

 Mempermudah pemberlakuan CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory)

bagi wisatawan asing pengguna kapal layar yacht;  Mengurangi/menghilangkan biaya impor sementara bagi pelaku asing wisata bahari (kapal layar yacht) yang masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia;  Meninjau kembali RTRW Bali, NTB dan NTT untuk mendukung rencana

pengembangan pariwisata di Bali;  Penyusunan Standard Operatng Procedure (SOP) percepatan perizinan dan

penyediaan Pelayanan Terpadu Satu Atap untuk semua perizinan untuk pengembangan kawasan wisata.

Konektvitas (infrastruktur) Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektvitas untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama pariwisata, dilakukan melalui:

 Peningkatan kapasitas dan pelayanan bandar udara, sepert pengembangan bandar udara di Lombok yang dapat diberdayakan sebagai “matahari kembar” selain Bandara Ngurah Rai (untuk membagi beban lalu lintas penumpang yang ada di koridor ekonomi ini, karena jumlah pengunjung yang akan masuk ke koridor ini diproyeksikan akan melebihi kapasitas Bandar Udara Ngurah Rai pada tahun 2020);

 Peningkatan kapasitas dan pembangunan infrastruktur jalan, sepert rencana pembangunan Jalan Tol Nusa Dua – Benoa;

 Peningkatan akses jalan perlu ditngkatkan untuk menghubungkan daerah-daerah pariwisata di luar Bali bagian selatan dan di dalam wilayah NTB dan NTT;

 Pembangunan Kereta Api Wisata Lingkar Bali (dalam rencana jangka panjang);  Peningkatan pelabuhan dan marina yang telah ada agar memenuhi standar (sepert

kapal cruise dan kapal layar yacht);  Pembangunan pembangkit listrik baru yang dapat meningkatkan ketersediaan listrik bagi Bali dan Nusa Tenggara.

Terkait dengan Pembangunan Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara teridentfkasi rencana investasi baru untuk kegiatan ekonomi utama Pariwisata, Perikanan, Peternakan serta infrastruktur pendukung sebesar sekitar IDR 133 Triliun. Berikut ini adalah gambaran umum investasi yang ada di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara:

Tabel 8. Aglomerasi Indikasi Ivestasi

Kelembagaan (institusional) multipihak

Lembaga dalam artian institusi adalah segala sesuatu yang sifatnya berkelompok, memiliki visi, misi dan tujuan dengan status berbadan hukum. Institusi pemerintahan, NGO, dan lembaga ekonomi (UKM) merupakan beberapa institusi yang berstatus badan hukum. Namun, kelembagaan yang dimaksudkan adalah lembaga yang dapt mengawal mulai dari perencanaan, pengkajian, perancangan, implementasi, monitoring, dan evaluasi demi menciptakan kepariwisataan yang berkelanjutan dan comprehensive.

Kelembagaan (institusi) ditekankan pada proses kolaborasinya, bukan pada objek ‘kelembagaannya’. Keterlibatan lembaga yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat

untuk meningkatkan kapabilitasnya menjadi scope terkecil dari kelembagaan, sampai pada tingkatan tertinggi adalah pemerintah pusat (institusi pemerintahan).

Analisa kebutuhan pariwisata untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi daeraha harus sejalan dengan analisa kebutuhan masayrakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi pariwisata dan pertumbuhan ekonomi masayrakat. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata harus menjadi program yang jelas.

Jika dilihat dari sisi penerimaan pariwisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, faktor enabler menjadi prioritas utama. artinya masyarakat yang buka merupakan enabler harus diperkuat kapasitasnya, baik oleh masayrakat yang enabler maupun lembaga-lembaga yang memang bertujuan dalam peningkatan kapasitas. Karena ketika masyarakat yang bukan merupakan enabler diabaikan, dikhawatirkan justru akan mengganggu keberlanjutan pariwisata, sehingga ketimpangan pertumbuhan ekonomi justru semakin terjadi. Dengan hal ini, tujuan dari MP3EI dan sustainable development belum bisa diwujudkan.

Perencanaan konsep pun tidak dapat hanya melibatkan satu pihak saja, missal: salah satu perusahaan BUMN saja, namun harus melibatkan banyak pihak ( lembaga). Seperti misalnya Dinas perhubungan yang mengakomodir alur transportasi laut harus bersimbiosis dengan Dinas Pariwisata yang memilki kewenangan atas pengelolaan pariwisata, kemudian kembali bersimbiosis dengan Dinas ketenagakerjaan yang membuka pekerjaan bagi masyarakat di Pelabuhan (lokal maupun regional). Dengan ini, masayrakat harus dilibatkan, misalnya dengan meberi penyuluhan dan sosialisasi berantai kepada masyarakat lainnya terkait pengelolaan pariwisata. Masayrakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang secara otomatis akan mempersiapkan dagangannya untuk mencukupi kebutuhan pariwisata. Demikian dengan masayarakat petani dan nelayan, ataupun lainnya. Artinya, masyarakat- masayrakat ini termasuk masayrakat yang enabler . Berdasarkan analisis ini, masyarakat yang terkategorikan ‘tidak’ enabler harus diberdayakan dan ditingkatkan peran serta kapasitasnya agar menjadi enabler , sehingga memberikan dampak positif bagi jalannya pariwisata dan member manfaat terhadap masayarakat itu sendiri.

Pada intinya, kolaborasi multipihak (multi-stakeholder) antar institusi/kelembagaan harus dipupuk dari hulu hingga hilir untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan sustainability tourism. Tidak hanya pariwisatanya yang harus berkelanjutan, tetapi hubungan kelembagaan juga tetap harus diperhatikan keberlanjutannya. Mulai dari kelembagaan (institusi) lokal, institusi non pemerintah, akademik, dan Institusi pemerintah.

Lampiran

Awiq-awiq merupakan pranata atau aturan lokal yang dibuat, dilaksanakan dan diataati bersama dilakukan oleh masyarakat setempat secara bersama, untuk mengatur hubungan antar manusia, masyarakat dengan masyarkat, masyarakat dengan alam dan masyarakat dengan pencipta. Awiq-awiq lahir atas kesepakatan bersama maka awiq-awiq pada hakekatnya adalah aturan lokal yang merupakan hak untuk mengatur lingkungannya sendiri dan merupakan aturan/kesepakatan yang dibuat dan dijalankan bersama.

Di Desa Gili Matra telah membuat sebuah Keputusan Nomor 12/Pem.1.1./06/1998 tentang Awiq-awiq Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Pembuatan Awiq- awiq ini dilaksanakan oleh Pengurus Kelompok Pelestarian Lingkungan Terumbu Karang (KPLTK), dimana sekarang ini terdapat 3 KPLTK yang mewakili tiga dusun. Keputusan awiq-awiq ini berbentuk formal seperti bentuk-bentuk surat keputusan yang biasa dipakai oleh pemerintah. Bagian menimbang yang berisi keadaan potensi pesisir dan laut serta kepedulian akan kondisinya yang terancam kerusakan. Bagian mengingat berisi berbagai undang-undang dan peraturan tentang pengarutan pemanfaatan dan pelestarian SDA. Bagian memutuskan berisi penetapan untuk mengeluarkan awiq-awiq desa yang terdiri dari 19 bab dan 33 pasal, yaitu Ketentuan Umum, Zonasi Dusun Gili Air, Zonasi Dusun Gili Meno, Zonasi dusun Gili Trawangan, Koleksi Biota Laut, Budidaya Mutiara, Kelembagaan dan Sumber Dana Pengelolaan, Sangsi, Ketentuan Peralihan, dan Penutup. Dokumen ini dilengkapi dengan sketsa yang bersifat makro yang menggambarkan letak zona-zona dengan landmarks serta petunjuk mengenai kegiatan-kegiatan apa yang boleh, boleh dengan izin dan tidak boleh di zona-zona tersebut.

Namun aturan tersebut dianggap gagal dalam penerapannya, sehingga muncul aturan lokal yang baru yang dibuat oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU), tepatnya tanggal 19 Maret 2000 dan kemudian direvisi/disempurnakan pada tanggal 30-31 Agustus 2004 oleh berbagai komponen baik nelayan, tokoh masyarakat/tokoh agama, Pemerintah Desa/Kecamatan dan LSM. Aturan ini lahir karena adanya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Aturan formal yang dibuat oleh pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut akibat dari lemahnya penegakan hukum.

Dalam awiq-awiq ini memuat tentang pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang kaitannya dengan pemanfaatan sektor perikanan dan sektor pariwisata. Dalam awiq-awiq dijelaskan mengenai zonasi untuk beberapa jenis pengelolaan kawasan pesisir, yakni zona konservasi, zona pemanfaatan untuk wisata serta zona pemanfaatan bagi perikanan (Awiq- awiq Desa Gili Matra, 2001). Diberlakukannya awiq-awiq rusaknya beberapa kawasan terumbu karang yang karena beberapa hal yaitu (Satria et al, 2002): (1) Penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi yang dapat merusak lingkungan seperti bom, potasium sianida atau penangkapan ikan secara destruktif lainnya yang dapar mengancam kelestarian laut; (2) Pengrusakan laut dengan menggunakan muroami, miniayem dan sejenisnya; (3) Pengambilan karang untuk bahan kapur dan bangunan yang dilakukan penduduk setempat Dalam awiq-awiq ini memuat tentang pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang kaitannya dengan pemanfaatan sektor perikanan dan sektor pariwisata. Dalam awiq-awiq dijelaskan mengenai zonasi untuk beberapa jenis pengelolaan kawasan pesisir, yakni zona konservasi, zona pemanfaatan untuk wisata serta zona pemanfaatan bagi perikanan (Awiq- awiq Desa Gili Matra, 2001). Diberlakukannya awiq-awiq rusaknya beberapa kawasan terumbu karang yang karena beberapa hal yaitu (Satria et al, 2002): (1) Penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi yang dapat merusak lingkungan seperti bom, potasium sianida atau penangkapan ikan secara destruktif lainnya yang dapar mengancam kelestarian laut; (2) Pengrusakan laut dengan menggunakan muroami, miniayem dan sejenisnya; (3) Pengambilan karang untuk bahan kapur dan bangunan yang dilakukan penduduk setempat

Degradasi sumberdaya terumbu karang di kawasan Gili Trawangan sejak elnino 1998 lebih disebabkan karena faktor manusia. Degradasi yang disebabkan oleh faktor manusia hanya bisa dikendalikan oleh ketegasan dalam menjalankan aturan dan sanksi yang diberlakukan. Berbagai aturan telah dibuat dan disepakati untuk menjaga sumberdaya terutama terumbu karang, seperti awig-awig, aturan zonasi pemerintah, aturan yang dibuat eco trust dan lain- lain. Tapi masih ada pelanggaran terhadap aturan yang ada dan umumnya dilakukan oleh masyarakat dan pelaku wisata. pelanggaran tersebut menyebabkan atau mengancam keberlanjutan sumberdaya terutama terumbu karang.

Pemberian sanksi terhadap pelanggaran lebih bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atau mendidik dan tidak membuat jera terutama bagi para wisatawan untuk berkunjung atau menyelam di Gili Trawangan. Sanksi yang bisa diterapkan adalah sanksi materi atau denda, misalnya bagi setiap satu kali penyelam memegang karang dikenakan sanksi denda Rp. 25 000. Dana tersebut digunakan untuk perbaikan atau rehabilitasi eksositem dan kegiatan konservasi yang lainnya.