Pengelolaan Pulau Kecil Secara berkelanj

PULAU KECIL

Pengelolaan Pulau Gili air, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara

Barat

Gendewa Tunas Rancak 4113205004

Program Pasca Sarjana Teknik Manajemen Pantai

Institut Teknologi Sepuluh November 2013

Pengembangan dan Pengelolaan Pulau kecil

Pulau Gili Air, Kabupaten Lombok utara, Nusa Tenggara Barat

Gendewa Tunas Rancak/4113205004 Teknik Manajemen Pantai Institut Teknologi Sepuluh November

Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 13.446 (http://www.metrotvnews.com). Sebagai Negara kepulauan terbesar, pembangunan di Indonesia masih terkesan sentralistik, baik dalam segi pengambilan kebijakan, pembangunan infrastruktur, serta perputaran dan pertumbuhan ekonomi. Pusat pembangunan di Indonesia berada di 5 pulau terbesar, yaitu Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.

Selain 5 pulau besar sebagai pusat pembangunan, pulau-pulau kecil di Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan. Tentunya potensi Sumber Daya Alam yang akan dikembangkan, namun tahapannya harus setelah atau sejalan dengan peningkatan potensi Sumber Daya Manusia di pulau-pulau tersebut. Integrasi antara sumber daya manusia yang baik dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak akan menciptakan benefit yang berkelanjutan, baik dari segi investasi maupun ekonomi, serta kehidupan sosial-budaya.

Permasalahannya, potensi-potensi ini belum diimbangi dengan infrastruktur yang memadai, baik dari segi transportasi, penggunaan energy (missal: listrik), public services, maupun konsumsi pangan. Sebuah pertanyaan umum seperti ‘mengapa ketika mengkontak kerabat yang berada di Sumba lebih susah dari pada mengkontak kerabat yang berada di Jakarta ’. Alasannya tentu saja sinyal, BTS di Jakarta lebih lengkap dan mencakup semua wilayah, jauh dibandingkan kondisi di Sumba yang hanya memilki beberapa BTS tertentu.

Demikian halnya misalnya dengan kesehatan, betapa besar perjuangan seorang ibu yang akan melahirkan di Desa Pulau Koloray, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara ketika tidak bisa melahirkan secara normal. Untuk melahirkan Cesar, san ibu harus rela terombang-ambing menempuh perjalanan laut selama kurang lebih 2 jam untuk sampai Pelabuhan Daruba. Baru kemudian menempuh perjalanan darat sekitar 1 jam untuk bisa sampai rumah sakit.

Kasus lain ketika listrik menjadi problem bagi pulau dengan pengembangan pariwisata. Masih banyak wilayah di Indonesia belum menikmati listrik 24 jam (di beberapa tempat, listrik hanya menyala ketika malam hari), bahkan tidak sama sekali. Pariwisata membutuhkan akses listrik yang cukup besar, walaupun tidak sedikit diantara wisatawan yang justru menyukai suasana ‘asli’ tanpa listrik.

Dengan kondisi demikian, perlu untuk melakukan pengembangan pulau-pulau kecil yang lebih terintegrasi satu sama lain dan multi-approach. Tujuannya jelas, mensejahterakan Dengan kondisi demikian, perlu untuk melakukan pengembangan pulau-pulau kecil yang lebih terintegrasi satu sama lain dan multi-approach. Tujuannya jelas, mensejahterakan

Pulau-pulau kecil biasanya didefenisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuni pulau tersebut. Luasan pulau-pulau kecil 7% dari wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB dalam UNCLOS, definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Namun, definisi pulau kecil masih dalam pengembangan sampai saat ini. Berikut ini adalah beberapa definisi pulau kecil yang dikeluarkan oleh beberapa instansi dan lembaga terkait:

 CSC (1984) : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 5.000 km 2  UNESCO : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km 2  SK Menteri : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 10.000 km 2  DKP dengan jumlah penduduk < 20.000 orang

Seringkali dianggap bahwa SDM merupakan faktor utama pengelolaan pulau kecil, baik SDM yang akan mengelola maupun masyarakat yang berada di kawasan pariwisata. Beberapa masayrakat dan komunitas merupakan Enabler dalam pengembangan potensi pariwisata, beberapa diantaranya justru dianggap sebagai peghambat. Seperti misalnya community di Bali yang sudah sangat welcome terhadap pariwisata yang masuk secara massive, justru mendukun dan berperan sebagai penggerak ekonomi pariwisata. Community inilah yang merupakan enabler dari pengembangan potensi pariwisata. Disisi lain, pengembangan pariwisata secara massive sampai dengan kawasan central religious dan budaya di Bali merupakan sumber keresahan komunitas masyarakat lokal (masyarakat adat dan hukum adat), karena mengakibatkan sistem subak (pengelolaan air dan distribusinya dengan kearifan lokal, dengan ketentuan yang telah ditentukan pada masa kerajaan Bali dahulu kala) masyarakat perlahan hilang, sementara harus memenuhi kebuthan sehari-hari yang seumbernya adalah sawah. Keresahan, ketika berujung pada penolakan, baik dalam sikap antipasti maupun penolakan secara tegas ini adalah faktor yang dikategorikan sebagai faktor penghambat Industri Pariwisata. Sementara menurut beberapa pakar, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

Artinya, dalam pengembangan pariwisata di pulau kecil, harus terdapat keseimbangan antara kebutuhan dan masukan pariwisata, capacity building masyarakat, carrying capacity pulau, infrastruktur pendukung, dan kearifan lokal untuk mencapai pariwisata berkelanjutan. Kehilangan salah satu aspek dari hal-hal tersebut akan menjadikan ketimpangan di salah satu Artinya, dalam pengembangan pariwisata di pulau kecil, harus terdapat keseimbangan antara kebutuhan dan masukan pariwisata, capacity building masyarakat, carrying capacity pulau, infrastruktur pendukung, dan kearifan lokal untuk mencapai pariwisata berkelanjutan. Kehilangan salah satu aspek dari hal-hal tersebut akan menjadikan ketimpangan di salah satu

GIli Air merupakan sebuah pulau kecil di sebelah Barat Pulau Lombok yang memiliki potensi pariwisata sangat baik dan dikenal dengan gugus GIli Matra (GIli Trawangan, GIli Meno, dan GIli Air). Jika dilihat secara perspektif, konsep pengembangan pariwisata di GIli trawangan lebih cenderung ke Massive and Open Tourism, kemudian GIli Meno dengan Exclusive and private tourism , sedangkan GIli Air dengan Culture tourism . Walaupun tidak terdokumentasikan, konsep pengembangan pariwisata ini berjalan dengan sendirinya berdasarkan kehidupan masayrakat Gili Matra serta minat dan keinginan wisatawan selama ini. Konsep ini seakan ‘memudahkan’ wisatawan baik domestic maupun mancanegara untuk menikmati potensi pariwisata di GIli Matra sesuai dengan minat masing-masing. Bagi wisatawan yang ingi menikmati pariwisata yang eksklusif dan privat, maka akan lebih memilih untuk menuju ke GIli Meno. Ketika wisatawan lebih menyukai keramaian dan suasana yang lebih ‘open and free’ akan lebih memilih menuju GIli Trawangan. Sedangkan bagi wisatawan yang memiliki ‘hobby’ dan menyukai eksotisme alam dibalut dengan kekuatan culture (budaya), akan lebih memilih GIli Air.

Sebagai salah satu penghasil pemasukan terbesar (sector pariwisata) untuk Kecamatan Pemenang, yaitu sebanyak 48,33% (BPS, 2005), Gili Air merupakan sebuah objek kajian pengembangan pariwisata yan cukup comprehensive, mulai dari hulu sampai dengan hilir. Artinya, selain menjadi penghasil pemasukan terbesar bagi Kecamatan Pemenang, pariwisata juga menjadi tulang punggung penghidupan masyarakat GIli Air, baik secara langsung maupun tidak langsung (misalnya: penjual ikan di pasar, ikan dibutuhkan untuk makanan sehari-hari di hotel dan cottage). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara Pasal 30-32, disebutkan bahwa Desa Gili Matra ataupun Gili Matra merupakan kawasan strategis pertumbuhan ekonomi, sector pariwisata.

Kondisi Eksisting Gili Air – Gili Air

Status Kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra

Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Matra) merupakan tiga pulau kecil yang dijadikan satu desa dengan nama desa Gili Matra yang terdapat di Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara pada awalnya desa Gili Matra diajukan sebagai kawasan Konservasi Perairan Nasional pada tanggal

16 Pebruari tahun 1993 berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 85/kpts-II/1993 kemudian ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional pada tahun 2001 dengan nama Taman Wisata Alam Laut

Gili Matra. Ini berdasarkan surat keputusan menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal

15 Maret 2001 dengan luas 2.954 hektar. Setelah terbitnya berita acara serah terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada tanggal 4 Maret 2009 maka pemegang kebijakan di TWAL Gili Matra adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bedasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009. Pada tanggal 3 September 2009, Nomenklaturnya di rubah dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, dengan luas 2.954 hektar.

TWP Gili Matra di kelola oleh sebuah UPT yang di bentuk oleh Direktorat Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan nama Balai Kawasan Konservasi perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang NTT. Penentuan status TWP tersebut adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi laut yang memiliki keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Keunikan biodiversity sumber daya kelautan seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, kekayaan flora dan faunanya menjadikan potensi tersebut sebagai obyek wisata yang banyak diminati para wisatawan domestik maupun mancanegara.

Sejarah Kawasan

Kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan telah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal

16 Februari 1993 dengan luas kawasan 2.954 hektar.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 kawasan Gili Air, Meno dan Trawangan ditetapkan menjadi TWAL Gili Matra dengan luas kawasan 2.954 hektar.

Tanggal 4 Maret 2009 diterbitkan berita acara serah terima kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada departemen Kelautan dan Perikanan.termasuk di dalamnya TWAL Gili Matra.

Tanggal 3 September 2009 bedasarkan Surat Keputusan menteri Kelautan dan perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009 nomenklaturnya di rubahdari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi Taman Wisata Perairan (TWP).

Letak, Luas dan Batas Kawasan

TWP Gili Meno, Air dan Trawangan dengan luas 2.954 hektar, yang meliputi luas daratan Gili Air ± 175 ha dengan keliling pulau ±5 km, Gili Meno ±150 ha dengan keliling pulau ±4 km dan Gili Trawangan ±340 ha dengan keliling pulau ±7,5 km dan selebihnya merupakan perairan laut.

Secara geografis TWP Gili Matra terletak pada 8º 20º – 8º 23º LS dan 116º00º – 116º 08º BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, kawasan ini terletak di desa Gili Matra Secara geografis TWP Gili Matra terletak pada 8º 20º – 8º 23º LS dan 116º00º – 116º 08º BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, kawasan ini terletak di desa Gili Matra

Batas-batas Taman Wisata Perairan Gili Matra adalah sebagai berikut : Utara : berbatasan dengan laut Jawa. Selatan : berbatasan dengan selat Lombok. Barat : berbatasan dengan laut Jawa. Timur : berbatasan dengan Tanjung Sire.

Topografi dan Oseanografi

Topografi Gili Air dan Gili Meno adalah datar dengan ketinggian hampir sejajar dengan permukaan laut. Akibat gempa bumi pada tahun 1978 Gili Air mengalami penurunan sekitar 1,5 m, sedangkan Gili Trawanganpada bagian tengah kearah utara datar dan pada bagian tengah ke arah tenggara berbukit dengan ketinggian ± 20 meter diatas permukaan laut.

Keadaan oseanografi mempunyai pola yang sama dengan kawasan disekitar ketiga pulau, yaitu mempunyai pantai yang pada umumnya datar dan berpasir putih dengan kedalaman perairan pantai 1-3 meter pada batas 20 meter. Kisara pasang surut mencapai ± 3 meter.

Iklim, Temperatur dan Curah Hujan

Keadaan iklim di Taman Wisata Perairan Gili Matra sama seperti halnya dikabupaten Lombok Utara pada umumnya., yaitu beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 20 -

30  C. Suhu udara tertinggi maksimum 32 C pada bulan Nopember dan suhu udara minimum 20  C terjadi pada bulan Juni. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu mencapai 459 mm, sedangkan terendah pada bulan Juli/Agustus Mencapai titik nol.

Geologi dan Tanah

Keadaan geologi dan tanah pada pulau-pulau dalam kawasan TWP Gili Matra pembentukannya sama dengan daratan Pulau Lombok bagian utara. Keadaan tanah terdiri dari tanah coklat dengan bahan induk endapan pasir.

Hidrologi

Air tanah yang dimanfaatkan di ketiga pulau adalah air tanah yang berupa resapan air hujan. Pada umumnya air tanah yang berkadar garam rendah berada di tengah pulau. Untuk Gili trawangan yang luasnya cukup besar di bagian tengahnya, masih memungkinkan untuk memperoleh air tawar dengan kadar garam rendah. Sedangkan di Gili Meno dan Gili Air yang luasnya lebih kecil, mempunyai persediaan air dengan kadar garam rendah lebih terbatas.

Gambar 2. Peta Rencana Zonasi Taman Wisata Alam Perairan GIli Matra

Gili Air dalam Gugus Gili Matra

Gambar 3. Sketsa Dusun GIli Air Sumber: I-CATCH Desa Gili Matra, 2012

Kawasan ini menjadi obyek wisata bahari yang sangat digemari oleh wisatawan baik mancanegara maupun domestik, terutama untuk snorkeling, fishing, diving, surfing, sun bathing, shifting dan camping.

Kawasan ini memiliki potensi wisata yang cukup menarik yaitu pantai pasir putih yang indah, berbagai jenis terumbu karang diantaranya: Karang Lunak (Heliophora sp.), Anthiphates sp, Montiphora dan Acropora dan berbagai jenis ikan hias yang menawan. Aktifitas wisata yang dapat dilakukan : diving, snorkeling, sun bathing, kanoing, swimming, foto hunting dan fishing.

Tata Guna Lahan Secara umum, pola pemanfaatan lahan di Gili Air dan kedua gili lainnya ini hampir sama. Di bagian pinggir pulau paling banyak digunakan untuk penyediaan jasa akomodasi seperti hotel melati, pondok wisata, bungalow, restoran, cafe dan warung. Selain itu, berbagai kegiatan seperti perdagangan berskala kecil, dan penyediaan jasa pariwisata seperti dive shop, travel Tata Guna Lahan Secara umum, pola pemanfaatan lahan di Gili Air dan kedua gili lainnya ini hampir sama. Di bagian pinggir pulau paling banyak digunakan untuk penyediaan jasa akomodasi seperti hotel melati, pondok wisata, bungalow, restoran, cafe dan warung. Selain itu, berbagai kegiatan seperti perdagangan berskala kecil, dan penyediaan jasa pariwisata seperti dive shop, travel

Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan Gili Matra Sumber: Amir, 2011

Pendidikan

Dari Segi Pendidikan di GIli Air, terdapat sebuah Pendidikan Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar Negeri, serta pendidikat tingkat SMP dan MTs. Sedangkan tingkat SMA hanya terdapat di GIli Trawangan berupa SMK Pariwisata yang dikelola oleh masyarakat. Beberapa diantara penduduk, yang mampu menyelesaikan pendidikan tingkat SMP harus meneruskan ke sekolah lanjutan (SMA atau SMK) di Pulau Lombok, terutama di Kecamatan Pemenang.

Tabel 1. Jenis Sekolah yang terdapat di Gili Air berdasarkan Jenjang Pendidikannya

No Jenis Sekolah

Tahun

Jumlah Murid

1 SD GIli Air

2 TK GIli Air

3 MTs GIli Air

Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Penduduk

Berdasarkan data di kantor desa, jumlah penduduk Desa Gili Matra sampai tahun 2010 adalah sebanyak 3.575 jiwa, yang terdiri dari 3.550 penduduk lokal dan 25 orang asing yang menetap dan berusaha di kawasan tersebut. Dibandingkan dengan keadaan penduduk pada tahun 2004 yang hanya berjumlah 2.897 jiwa, maka jumlah pertambahan penduduk pada kurun waktu itu sebanyak 678 orang atau meningkat 23,4% (rata-rata tumbuh 3,9% pertahun). Kondisi ini jauh lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata penduduk kecamatan Pemenang yang hanya 2,89% pertahun (BPS Pemenang, 2010).

Tabel 2. Jumlah Pendudukdi Desa Gili Matra

Dusun Jumlah

Total KK

Jumlah (orang)

GIli Air

GIli Meno

Trawangan Total

11 14 3.575 Sumber: Kantor Desa Gili Matra 2010

Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan penduduk Desa Gili Matra berjumlah 1.781 jiwa laki-laki dan 1.769 jiwa perempuan dengan Kepala Keluarga sebanyak 990 KK. Penduduk terbanyak terdapat di Dusun Gili Air, sedangkan yang paling sedikit di Dusun Gili Meno. Data menunjukkan pula bahwa terdapat 25 orang warga negara asing (WNA) yang menetap dan membuka usaha di ket iga gili tersebut, mereka memiliki dan mengelola hotel, restaurant, dan sekolah selam. Dari jumah penduduk tersebut, yang termasuk usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 2.888 orang yang terdiri dari 1.394 laki-laki dan 1.494 perempuan. Jika dibandingkan dengan luas daratan Gili Matra, maka tingkat kepadatan penduduknya adalah 657 jiwa/km².

Pekerjaan masyarakat

Berdasarkan data diskusi kelompok terfokus yang telah dilakukan di kantor Desa Gili Matra pada tahun 2013, mata pencaharian yang dominan saat ini di GIli Air adalah kegiatan yang berkaitan dengan jasa pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsungg. Beberapa bekerja di bidang transportasi, restoran dan warung, penginapan, pramuwisata dan karyawan. Jenis pekerjaan berikutnya adalah sebagai nelayan penangkap ikan, karyawan, dan pedagang serta sebagian lainnya berusaha di perkebunan kelapa. Data pasti terkait jumlah dan jenis pekerjaan masi bersifat skala desa, seperti yang terlihat pada tabel 3.

Usaha pariwisata di kawasan ini mulai berkembang sekitar akhir dasawarsa 1980-an yaitu sejak ditetapkannya kawasan pariwisata Senggigi dan sekitarnya sebagai salah satu obyek wisata andalan di NTB. Usaha budidaya rumput laut dahulunya ada, namun sekarang usaha Usaha pariwisata di kawasan ini mulai berkembang sekitar akhir dasawarsa 1980-an yaitu sejak ditetapkannya kawasan pariwisata Senggigi dan sekitarnya sebagai salah satu obyek wisata andalan di NTB. Usaha budidaya rumput laut dahulunya ada, namun sekarang usaha

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk di Gili Matra

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)

1 Petani/Buruh Tani

2 Karyawan Hotel/Ressort

5 Jasa wisata

Total (orang)

Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Berdasarkan data diskusi, Rata-rata gaji karyawan yang bekerja di hotel dan restaurant sebesar Rp. 1.200.000 perbulan atau Rp. 14.400.000 pertahun, penghasilan ini belum termasuk insentif yang diberikan pada hari raya keagamaan dan kelebihan target. Penghasilan dari transportasi laut rata-rata antara Rp. 150.000-Rp. 250.000/hari, sementara transportasi darat (cidomo) rata-rata Rp.150.000-Rp. 200.000/hari. Adapun penghasilan pemandu wisata (guide) sangat fluktuatif dengan kisaran rata-rata antara Rp. 100.000-Rp. 250.000/hari. Untuk penyewaan sepeda dan alat snorkeling rata-rata Rp.75.000-Rp. 150.000/hari.

Kesehatan

Untuk menangani masalah kesehatan penduduk, di setiap gili sudah tersedia Puskesmas Pembantu (Pustu) yang dilayani oleh seorang bidan dan satu polindes yang terletak di Gili Air. Namun, fasilitas yang tersedia di Pustu sangat minim, sehingga belum dapat bermanfaat untuk masayrakat secara optimal.

Selain itu, terdapat sebuah klinik swasta yang berada di Gili Air. Klinik ini dimiliki oleh seorang pendatang asal Australia dengan fasilitas yang cukup memadai. Namun, standard harga yag digunakan adalah US $ . Kondisi ini memaksa masayarkat tidak berminat untuk berobat ke klinik tersebut, karena biayanya yang sangat tinggi

Agama dan adat istiadat

Menurut observasi dan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat, sebagian besar penduduk Desa Gili Matra awalnya berasal dari Sulawesi Selatan, berikutnya adalah suku Sasak, Bali, Jawa dan Madura. Sebagian besar penduduk di ketiga gili ini adalah pemeluk Agama Islam dan sebagian kecil beragama Hindu dan Kristen.

Secara umum, interaksi sosial masyarakat di desa ini masih cukup baik, namun demikian, proses sosial yang bersifat potensi konflik juga masih ada. Konflik berkepanjangan antara masyarakat lokal dengan pemerintah berkaitan dengan kepemilikan lahan terutama yang terdapat di Gili Trawangan sampai ekarang masih berlangsung namun relatif kurang mempengaruhi kondisi wisatawan yang berkunjung. Untuk menjaga kelestarian alam dan keamanan di kawasan wisata bahari di Gili Matra, telah dibuat awiq-awiq (kearifan lokal) Secara umum, interaksi sosial masyarakat di desa ini masih cukup baik, namun demikian, proses sosial yang bersifat potensi konflik juga masih ada. Konflik berkepanjangan antara masyarakat lokal dengan pemerintah berkaitan dengan kepemilikan lahan terutama yang terdapat di Gili Trawangan sampai ekarang masih berlangsung namun relatif kurang mempengaruhi kondisi wisatawan yang berkunjung. Untuk menjaga kelestarian alam dan keamanan di kawasan wisata bahari di Gili Matra, telah dibuat awiq-awiq (kearifan lokal)

Selain itu, berdasarkan Keputusan Desa Gili Matra Nomor 12/Pem.1.1/06/1998 tentang Awig-Awig Pemeliharaan Dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, memberikan sanksi yang berat terhadap warga masyarakat, pengusaha pariwisata dan wisatawan yang melanggar aturan tersebut.

Fasilitas Usaha Pariwisata

Fasilitas pelayanan wisata seperti sarana transportasi dan akomodasi cukup tersedia di kawasan ini. Selain itu sarana pendukung untuk kegiatan snorkling dan SCUBA diving tersedia cukup lengkap. Pada dive shop tersebut juga terdapat sedikitnya seorang instruktur selam, sehingga wisatawan dapat mengikuti program pelatihan yang ditawarkan.

Para wisatawan yang akan berkunjung ke kawasan pariwisata bahari Tiga Gili Matra, dapat menggunakan perahu motor melalui pelabuhan Bangsal. Jarak terdekat dari pelabuhan Bangsal adalah ke Gili Air dengan waktu tempuh sekitar 15 menit, selanjutnya adalah Gili Meno dengan waktu tempuh sekitar 25 menit, dan yang terjauh adalah ke Gili Trawangan dengan waktu tempuh sekitar 40 menit. Secara lebih detail. Aksesibilitas menuju GIli Matra Dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Aksesibiltas Menuju GIli Matra

Tempuh Tempuh (Km)

(menit)

Padang Bai – Malaka –

 135 dan kecil

Fast Boat kapasitas besar

Gili Air

Lembar – Mataram –

Kendaraan

– Bangsal. umum/pribadi, Taxi,

Lembar – Mataram –

Kendaraan pribadi, Taxi,

Senggigi - Bangsal

carteran

Mataram – Senggigi -

Kendaraan pribadi, Taxi,

Bangsal

carteran Kendaraan

Mataram – Pusuk –

umum/pribadi, Taxi, Carteran

Bangsal.

Bandara Internasional

6 Lombok - Selaparang –

Kendaraan pribadi, Taxi,

carteran, Damri

Pusuk - Bangsal Bandara Internasional

7 Lombok - Senggigi –

Kendaraan pribadi, Taxi,

carteran, Damri

Bangsal Sumber: Pengolahan Data, 2013

Bangsal

Padang Bai

Malaka

Gambar 4. Alur Aksesibilitas Menuju Gili Matra Sumber: www.openstreetmap.org

Fasilitas akomodasi yang ada di Kawasan Pariwisata Gili Matra sampai saat ini rata-rata berupa hotel bertanda bunga melati, home stay, bungalow, pondok wisata dan sejenisnya. Di kawasan ini, tidak terdapat hotel berkelas bintang karena kebijakan yang ditetapkan tidak membolehkan membanguna usaha sarana pariwisata dan lainnya yang berpotensi memberikan tekanan terhadap stabilitas tanah.

Tabel 5. Jumlah Akomodasi dan Konsumsi di Gili Matra

No Dusun

Rumah makan

GIli Air

3 2 21 25 GIli Meno

2 2 17 19 Gili Trawangan 5 12 70 67

Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Daya dukung dan luas lahannya yang sangat kecil dengan tingkat perkembangan yang pesat, maka diperlukan pengaturan dan pengendalian terhadap pengelolaan tata ruang kawasan. Untuk itu, melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 500 Tahun 1992, telah ditetapkan Rencana tata Ruang Resort Pariwisata Tiga Gili Matra

Gambar 5. Peta Lokasi Wisata Gili Matra Secara Keseluruhan, 2010 Sumber: Amir, 2011

Untuk wilayah peruntukan pariwisata bahari, ditetapkan penggunaan yang diperkenankan adalah Areal renang, Areal berperahu (boating, sailing), Areal selancar angin (wind surfing), Areal memancing (game fishing), Areal ski air (water skiing), Areal menyelam (diving, snorkling), dan dermaga.

Selain itu, untuk wilayah peruntukan akomodasi, masing-masing Gili ditetapkan jumlah kamarnya masing-masing untuk Gili air sebanyak 200 kamar, Gili Meno 100 kamar dan Gili Trawangan 200 kamar. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai akhir tahun 2010, jumlah fasilitas akomodasi berupa hotel berkelas melati yang tercatat di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lombok Barat telah melebihi 500 kamar untuk seluruh tiga gili. Fakta di lapangan menunjukkan , jumlah unit akomodasi dan jumlah kamarnya sesungguhnya telah melebihi angka tersebut karena setiap penambahan kamar dan pengembangan unit , tidak seluruhnya dilaporkan sesuai persyaratan yang ditentukan.

Adapun untuk memberikan pelayanan jasa penyediaan makanan dan minuman kepada wisatawan nusantara di Kawasan Pariwisata Bahari Gili Matra, terdapat beragai jenis rumah makan, restoran dan warung-warung dengan harga murah. Selain itu, untuk menyediakan makan dan minum juga terdapat sejumlah café yang memiliki suasana rileks dan menyediakan hiburan musik hidup dan audio visual. Jumlah restoran dan rumah makan di kawasan penelitian berjumlah 111 unit dengan jumlah kursi sebanyak 3.339 kursi. Selain Adapun untuk memberikan pelayanan jasa penyediaan makanan dan minuman kepada wisatawan nusantara di Kawasan Pariwisata Bahari Gili Matra, terdapat beragai jenis rumah makan, restoran dan warung-warung dengan harga murah. Selain itu, untuk menyediakan makan dan minum juga terdapat sejumlah café yang memiliki suasana rileks dan menyediakan hiburan musik hidup dan audio visual. Jumlah restoran dan rumah makan di kawasan penelitian berjumlah 111 unit dengan jumlah kursi sebanyak 3.339 kursi. Selain

Wisatawan

Wisatawan yang berkunjung ke Gili Indah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu wisatawan nusantara (Wisnu) dan wisatawan Mancanegara (Wisman). Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra dari tahun ketahun memperlihatkan peningkatan. Gili Trawangan merupakan daerah yang paling banyak dikunjungi wisatawan dibanding Gili yang lain di Kawasan Gili Matra. Jumlah wisatawan pada tahun 2009 sebanyak 88.200 orang yang terdiri dari 69.477 orang (78,77%) wisatawan mancanegara dan 18.723 orang (21,23%) wisatawan nusantara (Kecamatan Pemenang Dalam Angka, 2009) . Hal ini berarti rata-rata perhari wisatawan yang datang ke Gili Matra sekitar 241 orang.

Pada tahun 2005 wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra sekitar 32.373 orang dengan rata-rata 90 orang/hari, jika dibandingkan dengan wisatawan pada tahun 2009 (berdasarkan source Kecematan Pemenang Dalam Angka) terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu sekitar 172,44% pada kurun waktu lima tahun terakhir atau rata-rata meningkat 34,488% pertahun. Namun jika melihat data statistik yang ada, sejak berkembangnya wisatawan ke Gili Matra, tingkat pertumbuhan rata-rata wisatawan adalah 7,4% pertahun. Kondisi ini diprediksikan akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga potensi terjadinya degradasi sumberdaya alam laut dan pesisir semakin meningkat pula jika tidak dilakukan upaya-upaya untuk memelihara kelestarian dan keberlanjutannya

Tabel 6. Jumlah dan Asal Wisatawan

No Asal Wisatawan Jumlah

6 Wisatawan Nusantara 18.723

Total

88.200 Sumber: Kecamatan Pemenang Dalam Angka, 2009

Diperkirakan jumlah pengeluaran Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Gili Matra pada tahun 2009 adalah $ US 56 / hari dengan rata-rata lama tinggal 4 hari, sehingga total penerimaan pertahun (69.477 wisman) sebesar $ US 15.562.848. Sedangkan pengeluaran Wisatawan nusantara adalah Rp. 336.028 / hari dan lama tinggal 2 hari sehingga total penerimaan setahun (18.723 wisnu) Rp. 25.165.808.976 (Amir, 2011)

Pengelolaan Pariwisata Gili Air untuk Kesejahteraan Masyarakat

Pariwisata dan gili air merupakan sebuah idiom yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pariwisata telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat GIli Air. Berbeda dengan GIli Trawangan yang telah total mengikuti industry pariwisata, Gili Air masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang terbalut dalam Awiq-awiq (kearifan lokal) yang ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dengan sanksi yang mengikat.

Nilai-nilai lokal yang masih berkembang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Maka dari itu, perkembangan pariwisata GIli Air kedepannya , selain ‘menjual’ eksotisme alam, juga menjunjung tinggi nilai lokal untuk kesejahteraan masayrakat. Tidak ada definisi baku terkait dengan kesejahteraan, namun dalam hal ini adalah bagaimana mengelola pariwisata namun tetap memenuhi Kedaulatan Pangan, Kecukupan Air, Kemandirian Energi, dan Keberlanjutan Mata Pencaharian tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal dan hak masyarakat GIli Air.

Akulturasi budaya dari pariwisata

BKKPN telah mnetapkan kawasan GIli Matra sebagai Taman Wisata Perairan dengan tujuan konservasi. Pembuatan peta rencana zonasi pun telah dibuat sebagai penguatan rencana zonasi. Namun beberapa nelayan masih menjaring dan memancing ikan di derah zonasiyang dilarang. Beberapa diantaranya masih melakukan aktifitas yang dilarang dalam peraturan zonasi.

Berdasrkan investigasi yang dilakukan, terjadinya pelanggaran-pelanggaran ini diakibatkan Karena (1) banyak masyarakat yang tidak mengetahui informasi terkait dilakukannya zonasi, maupun definisi mengenai zonasi sehingga secara otomatis tidak mengikuti larangan yang ditetapkan. Hal ini berarti bahwa Rencana zonasi TWP belum tersosialisasikan secara menyeluruh kepada masyarakat; (2) Ketika masyarakat (tetutama nelayan) telah mengetahui batasan dan larangan zonasi, permasalahan utama ternyata berada pada zonasi itu sendiri. Daerah-daerah yang dilarang untuk melakukan aktifitas pemanfaatan sumber daya alam oleh masayarakat merupakan daerah perairan dimana masyarakat biasa memanfaatkan sumber daya alam (memancing atau menjaring). Ketika dilakukan zonasi, belum ditetapkan juga kawasan alternative untuk nelayan ketika harus melaut di kawasan yang dilarang dalam zonasi. Jika diteruskan, dampak akan berlanjut tidak hanya pada masayrakat nelayan saja, tetapi pada kondisi pariwisata di GIli Air. Menu utama di beberapa restaurant adalah Ikan- ikan yang diperoleh oleh nelayan. Ketika jumlah ukan semakin terbatas, maka kondisi pariwisata juga akan berkurang.

Proses keluar masuknya individu maupun kelompok melalui pariwisata akan memberikan dampak pada akulturasi budaya. Artinya, kemampuan masyarakat untuk menerima wisatawan yang dating juga menjadi pertimbangan dalam pariwisata. Ketika masyarakat mampu menerima keberadaan pariwisata dalam kehidupan sehari-hari, ini akan menjadi Proses keluar masuknya individu maupun kelompok melalui pariwisata akan memberikan dampak pada akulturasi budaya. Artinya, kemampuan masyarakat untuk menerima wisatawan yang dating juga menjadi pertimbangan dalam pariwisata. Ketika masyarakat mampu menerima keberadaan pariwisata dalam kehidupan sehari-hari, ini akan menjadi

bukan hal asing bagi masayarakat GIli Trawangan. Berbeda dengan Gili Air yang senantiasa menjaga nilai-nilai lokal dan adat, upacara tetap

dilakukan, bahkan menjadi salah satu paket wisata yang menjanjikan bagi wisatawan. Tidak jarang wisatawan sengaja berkunjung ke GIli Air hanya untuk melihat prosesi adat dan ritual ini (bahasa lokal: Selamat Labuhan , Nyawen, dan mandi safar )

Gambar 6. Prosesi Mandi Safar di GIli Air

Nilai-nilai budaya dan nilai lokal yang tetap dijaga dan akan selalu direvitalisasi menjadikan GIli Air sebagai pulau eksotis dengan ragam pariwisata yang unik. Artinya, masayrakat GIli Air merupakan faktor Enabler masuknya pariwisata, namun faktor ini juga tetap dikuatkan Nilai-nilai budaya dan nilai lokal yang tetap dijaga dan akan selalu direvitalisasi menjadikan GIli Air sebagai pulau eksotis dengan ragam pariwisata yang unik. Artinya, masayrakat GIli Air merupakan faktor Enabler masuknya pariwisata, namun faktor ini juga tetap dikuatkan

Kedepannya, pelestarian dan revitalisasi nilai lokal menajdi tantangan seiring bertambahnya jumlah wisatawan setiap tahunnya. Butuh dukungan dari banyak pihak untuk tetap melestarikan budaya-budaya lokal. Mulai dari instansi pemerintah (DInas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Dinas linnya), Lembaga Masyarakat / LSM, masyarakat GIli Air, dan Perangkat Desa. Berdasrkan hasil diskusi kelompok, masayrakat GIli Air mengatakan bahwa cukup Gili Trawangan yang mengalami akulutrasi secara massive, GIli Air akan menyaring budaya baru yang masuk, dan tetap mempertahankan budaya lokal.

Kebutuhan Masyarakat Gili Air dan Pariwisata

Infrastruktur menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi perkembangan pariwisata dimanapun kegiatan ini dilakukan. Sejauh ini, tidak terdapat masalah terkait infrastruktur dalam penyelenggaraan pariwisata di GIli Air. Namun bukan berarti beberapa tahun kedepan akan terbebas dari masalah.

1. Kebutuhan akan pasokan makanan menjadi sebuah ketergantungan bagi masyarakat GIli Air. Sebagian bear (kecuali ikan) makanan yang berada di GIli Air di suplai dari Pulau Lombok. Masa yrakat GIli Air telah berada dalam ‘zona nyaman’ pada sistem keterganungan distribusi barang dari luar. Belum terpikirkan ketika terjadi bencana alam dan melumpuhkan aktifitas pelabuhan Bangsal (pelabuhan utama menuju GIli Matra) secara total. Otomatis suplai makanan akan terhenti seketika.

Berangkat dari hal ini, perlu diupayakan kembali konsumsi makanan lokal yang jauh sebelum pariwisata menjadi sebuah kedaulatan (pangan) masyarakt GIli Air. GIli Air

dinamakan ‘GIli Air’ adalah karena banyak terdapat air di beberapa titik, yang menjadikan tanah menjadi subur. GIli air merupakan sumber makanan dari dua gili di sekitarnya (Trawangan dan Meno). Namun, masuknya pariwisata mengakibatkan kedaulatan pangan ini berubah menjadi ketergantungan bahan pangan secara perlahan. Memang ketersediaan makanan di GIli Air menyesuaikan dengan selera para wisatawan. Namun, tidak ada salahnya mencoba menyajikan makanan lokal dari bahan lokal yang berada di GIli Air. Sehingga mengutangi ketergantungan dari Pulau Besar, Lombok. Karena tidak jarang, dengan komposisi menu yang sudah disesuaikan dengan selera wisatawan (western food), wisatawan justru memilih untuk menikmati makanan khas Indonesia, seperti nasi goreng dan sate.

Solusi alternatif :

a. Menciptakan kembali kedaultan pangan di Gili air, dengan cara mengembangkan tanaman lokal di lahan yang masih kosong. Menurut hasil diskusi, 70% kepemilikan lahan di Gili air masih didominasi oleh masyarakat setempat dengan status a. Menciptakan kembali kedaultan pangan di Gili air, dengan cara mengembangkan tanaman lokal di lahan yang masih kosong. Menurut hasil diskusi, 70% kepemilikan lahan di Gili air masih didominasi oleh masyarakat setempat dengan status

b. Mengembangkan panganan lokal sebagai menu utama di restaurant dan café-café di Gili air.

c. Pengembangan panganan lokal akan meminimalisir pengggunaan bahan plastic yang merupakan masalah utama sampah di Gili Air. Estetika merupakan aspek yang penting dalam pengembangan pariwisata, tidak lepas juga dari aspek ekologis. Dengan menekan laju penggunaan bahan plastic melalui pengembangan pangan lokal.

d. Masa tanam dan masa panen bahan pangan lokal sejatinya dapat menjadi sebuah paket wisata tersendiri, demikian halnya dengan pengolahan bahan pangan lokal tersebut. Artinya, selain panorama eksotisme taman bawah laut dan budaya, harvesting season juga dapat menjadi salah satu stimulant pengembangan pariwisata di Gili air.

e. Pengembangan pangan lokal akan membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dan meningkatkan pendapatan masayrakat yang bermata pencaharian bukan pengelola pariwisata, atau enabler pengembangan pariwisata secara tidak langsung.

2. Ketergantungan menjadi masalah utama bagi kecukupan air di GIli Air. Walaupun jauh sebelum pariwisaata maasuk ke gili air, jumlah air melimpah, namun kini untuk memenuhi kebutuhan air, masyarakat GIli Air harus menyebrang ke Pulau Lombok, atau meminta ‘delivery’ air setiap dua hari sampai dengan 4 hari sekali. Beberapa diantaranya telah mencoba menampung air hujan dalam wadah sebagai upaya menyediakan kecukupan air.

Oleh karenanya, pembangunan pariwisata GIli Air kedepannya harus memenuhi aspek kebutuhan dasar bagi masyarakat dan keberlanjutan pariwisata. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan pun tidak hanya berperspektif pada estetika atau utilitas akses transportasi saja, namun perencanaan pembangunan yang dilakukan harus bisa menjaga keberlanjutan dan kecukupan dari kebutuhan-kebuthan ini.

Solusi Alternatif:

a. Masyarakat Gili Air dan GIli Matra secara umum telah memasukkan pengadaan perpipaan bawah laut (diluar ADD dan DAK) untuk distribusi air dalam Musyawarah Pengembangan Desa (MusrenbangDes) dan telah diakomodir dalam poin-poin RPJMDes Gili Indah (Matra). Permasalahannya adalah tidak serta merta melakukan pengajuan pengadaan saja, namun perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait a. Masyarakat Gili Air dan GIli Matra secara umum telah memasukkan pengadaan perpipaan bawah laut (diluar ADD dan DAK) untuk distribusi air dalam Musyawarah Pengembangan Desa (MusrenbangDes) dan telah diakomodir dalam poin-poin RPJMDes Gili Indah (Matra). Permasalahannya adalah tidak serta merta melakukan pengajuan pengadaan saja, namun perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait

b. Membuat atau mengajukan instalasi Desalinasi air laut sederhana yang tidak berukuran besar untuk memenuhi kebutuhan kecukupan air di Gili air secara khusus, dan Gili Matra secara umum.

c. Malekukan Rain harvesting pada saat musim hujan. Curah hujan Kabupaten Lombok utara cukup tinggi (147,67 mm pada tahun 2008), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk kebutuhan kehidupan dan pariwisata. Air hujan yang ditampung akan di saring (filtrasi) terlebih dahulu dengan metode sederhana untuk skala rumah tangga, dan metode yang lebih kompleks (missal: bio-sand filter) untuk skala hotel dan penginapan lainnya sebelum digunakan sebagai air baku. Jika digunakan untuk air bersih (bahan baku air minum), maka perlu dilakukan pemanasan terlebih dahulu untuk meminimalisi bakteri pathogen dan unsure kimia yang terkandung dalam air (asumsi nya adalah air hujan yang turun adalah air hujan yang terindikasi asam). Pemanasan skala rumah tangga dapat dilakukan dengan sederhana menggunakan tungku ataupun kompor (dimasak), kemudian untuk skala hotel atau penginapan, dapat menggunakan metode pemanasan yang lebih panjang , seperti menggunakan UV (penyinaran).

d. Restorasi lahan resapan air dan run off dengan meminimalisir penggunaan bahan pendukung pariwisata yang dapat menghambat laju infiltrasi air ke dalam tanah. Dengan demikian, kestabilan akuifer (air tanah permukaan) dalam tanah dapat terjaga kuantitasnya. Berkurangnya kuantitas akuifer dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (land subsidence) seprti misalnya Jakarta. Penurunan muka tanah untuk pulau kecil akan berakibat sangat serius, yaitu akan berkurangnya luasan pulau. Dengan terjaganya proses infiltrasi, masayrakat dan pengelola pariwisata dapat memanfaatkan air tanah (sumur) dengan ketentuan yang harus disepakati bersama, agar tidak terjadi over eksploitasi air tanah.

3. Kemandirian energy di GIli Air dapat dikatakan cukup terpenuhi. Pasokan listrik melalui kabel bawah laut dari Lombok menjadi salah satu solusi. Namun tetap perlu mempertimbangkan ketika terjadi konsleting arus lirtrik, sehingga tidak dapat bekerja dengan baik dalam menusplai kebutuhan listrik di GIli Air. Sekitar tahun 2012 T-File, sebuah kelompok pemuda Institut Teknologi Bandung mensurvey perairan GIli matra untuk kelayakan dan kecocokan pemasangan instalasi pembangkit listrik tenaga arus laut terapung. Berdasarkan hasil kajian T-Files, arus perairan GIli matra dinyatakan kurang kuat, sehingga belum bisa untuk mengoprasikan instalasi secara optimal.

GIli air juga memiliki generator pembangkit listrik besar di bagian tengah pulau. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi jika terjadi konsleting pada suplai energy listrik GIli air juga memiliki generator pembangkit listrik besar di bagian tengah pulau. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi jika terjadi konsleting pada suplai energy listrik

Suplai energy penting untuk menjadi pertimbangan pengembangan pariwisata. Aktifitas yang dilakukan wisatawan tidaklah sama antara satu dan lainnya keitika melakukan aktifitas pariwisata. Beberapa wisatawan lebih senang menikmati ‘view’ yang indah sambil menulis atau mengejakan laporan menggunakan gadget (missal: laptop). Tentu ini mebutuhkan suplai energy yang baik, selain itu wifi di setiap Bar juga pasti akan membutuhkan listrik untuk dapat diaktifkan. Kedepannya, dirasa perlu untuk melakukan controlling dan monitoring serta maintenance peralatan yang digunakan untuk mensuplai energy listrik, dan generator sebagi alternative pembangkit listrik.

Solusi Alternatif :

a. Rumah tangga masyarakt juga membutuhkan energy yang cukup untuk memasak sehari-harinya. Dalam hal ini, bukan energy listrik yang digunakan, namun kayu bakar dan LPG. Untuk kayu bakar, telah ada peraturan desa dan diperkuat dengan awiq-awiq terkait wilayah yang boleh diambil kayu nya, berapa jumlahnya, dan bagaimana mekanisme penanaman ulang (awiq-awiq yang berlaku: ambil 1, tanam 5). Peraturan Desa ini telah disesuaikan dengan wilayah zonasi, agar tidak terjadi pelanggaran zonasi dan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhannya.

b. Khusus untuk LPG, merupakan kasus yang sama dengan pangan di GIli air, yaitu harus di suplai dari Lombok. Beberapa UKM di GIli air telah menyediakan LPG 3 Kg untuk memnuhi kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Artinya, cukup hanya beberapa UKM saja yang berangkat ke Lombok untuk mendapatkan LPG, sehingga masyarakat dapat memnuhi kebutuhannya, serta hotel dan restaurant dapat melanjutkan aktifitas pariwisatanya.

c. Pengembangan energy alternative untuk mencukupi kebutuhan akan energy listrik. Misalnya adalah memanfaatkan energy matahari dengan menggunakan solar panel. Dengan adanya solar panel, emisi bahan bakar fossil akan menjadi berkurang dan secara perlahan akan memperbaiki carrying capacity pulau.

d. Transportasi utama di GIli Air (dan dua Gili lainnya) adalah Sepeda dan cidomo (dokar). Awiq-awiq dan peraturan desa menyatakan bahwa setiap pemilik cidomo harus mengelola sendiri kotoran yang dihasilkan kuda, apabila terjadi kemungkinan terburuk misalnya adalah kotoran kuda yang tercecer dijalan, maka cidomo milik masyarakat tidak boleh beroprasi lagi. Beberapa masayrakat juga masih memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, sapi dan kambing. Jika dilakukan pengkajian yang lebih mendalam, kotoran ternak (kuda, ayam, sapi dan kambing) dapat dimanfaatkan sebagai biogas untuk menggantikan penggunaan kayu bakar. Dari segi ekologis, pemanfaatan biogas lebih ramah lingkungan dari pada pembakaran yang berasal dari kayu bakar. Sama halnya dengan masa panen panganan lokal, pembuatan biogas dapat menjadi paket wisata berwawasan d. Transportasi utama di GIli Air (dan dua Gili lainnya) adalah Sepeda dan cidomo (dokar). Awiq-awiq dan peraturan desa menyatakan bahwa setiap pemilik cidomo harus mengelola sendiri kotoran yang dihasilkan kuda, apabila terjadi kemungkinan terburuk misalnya adalah kotoran kuda yang tercecer dijalan, maka cidomo milik masyarakat tidak boleh beroprasi lagi. Beberapa masayrakat juga masih memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, sapi dan kambing. Jika dilakukan pengkajian yang lebih mendalam, kotoran ternak (kuda, ayam, sapi dan kambing) dapat dimanfaatkan sebagai biogas untuk menggantikan penggunaan kayu bakar. Dari segi ekologis, pemanfaatan biogas lebih ramah lingkungan dari pada pembakaran yang berasal dari kayu bakar. Sama halnya dengan masa panen panganan lokal, pembuatan biogas dapat menjadi paket wisata berwawasan

4. Untuk menjadikan ini sebuah siklus kehidupan berpariwisata yang kompleks, keberlanjutan mata pencaharian sangat penting untuk kesjehateraan masyarakat. Masyarakat GIli Air sangat bergantung padapariwisata, sehingga, ketika terjadi Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, travel warning menjadi ancaman utama untuk kemajuan pariwisata. Bagi nelayan, tidak dapat menjual di GIli Air, maka dapat menjual ke Pulau Lombok, walupun cost lebih banyak, namun proses penjualan tetap berjalan. Bagaimana dengan pelaku pariwisata secara langsung, tentu tidak dapat berbuat apa-apa selain menunggu dan kembali membangun pariswisata di GIli Air melalui media-media promosi.

Dari kasus bom bali, dirasa penting untuk membuat keberlanjutan mata pencaharian. Artinya, bukan berarti pekerjaan yang dilakukan tidak mendapatkan kendala, namun harus mempertimbangggkan apabila ada situasi diamana masyarakat tidaka dapat melakukan aktifitas tersebut. Artinya, perlu untuk mempertimbangkan alternative mata pencaharian ketika pekerjaan utama tidak dapat dilakukan.

Bottom-up concept

Perencanaan pengembangan pariwisata yang dilakukan sebagikanya berangkat dari masyarakat. Bukan berarti permintaan masyarakat harus dipenuhi, tetapi perlu dikaji lebih lanjut untuk dapat diimplementasikan dengan memeprtimbangkan aspek ekonomi, infrastruktur, ekoligi, sosial, budaya, dan regulasi. Penilian dan apresisasi utamanya adalah pada proses pelibatan masyarakat dari awal. Proses partisipatif ini memberikan semangat yang luar biasa bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Proses partisipatif dalam hal ini tidak seperti musrenbangdes ataupun fasilitasi PNPM-MP, yang kebanyakan orientasinya mengacu pada infrastruktutr. Pelibatan masayrakat dalam hal ini adalah menemukan solusi untuk permasalahan yang mereka hadap, seperti ketergantungan, peningkatan pendidikan, kebutuhan air, dan pemunuhan hak nya sebagai masyarakat.

Untuk itu, pada bulan Juni 2013, para pemuda Gili Air, mencoba menginisiasi diskusi terkait arah pengembangan wilayah pulau GIli Air dan pariwisata gili air. Diskusi ini melibatkan banyak pihak, termasuk wisatawan(mancanegara dan domestic), baik yang mengikuti proses diskuis di Kantor Desa Gili Matra (kantor desa berada di Dusun GIli Air) maupun yang diwawancarai ketika bertemu dijalan. Pemerintah desa berperan sebagai narasumber utama dan pemberi pertimbangan, serta pengawal hasil diskusi. Sedangkan beberapa LSM juga turut menghadiri dan mengkoordinir kehadiran narasumber-narasumber yang dapat membantu proses diskusi.

Gambar 7. Proses Diskusi Paritisipatif Perencanaan Pembangunan GIli Air