7
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Hukuman
1. Pengertian Efektifitas dan Hukuman
Secara etimologi, efektifitas merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective menjadi efektif, lalu berubah menjadi efektifitas.
Sedangkan menurut terminologi efektifitas berarti: “Dapat membawa hasil”.
1
Sedangkan dalam kamus Ensiklopedia Indonesia, Efektifitas secara terminologi berarti, “menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan”.
2
Jadi suatu usaha akan dapat dikatakan efektif kalau usahanya itu mencapai tujuannya.
Hukuman sebagai salah satu alat pendidikan mendapat perhatian besar dari para filosof dan ahli pendidik muslim seperti: Ibnu Sina, al-Ghozali, al-Abdari,
Ibnu Khaldun, dan Muhammad Athiyyah al-Abrasyi. Mereka sepakat berpegang pada prinsip yang menyatakan:
اعلْا نم رْيخ اقولْا
“Menjaga tindakan preventif lebih baik ketimbang mengobati tindakan kuratif”.
3
Tindakan kuratif dikatakan metode yang buruk dibandingkan dengan tindakan preventif karena tindakan mencegah adalah lebih baik daripada
1
G. B Yuwono, Pedoman Umum Ejaan Indonesia, yang telah disempurnakan. Surabaya: Indah, 1987, cet, ke-1, h. 39.
2
Hasan Shadili, Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, t. th, h. 883.
3
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999, h, 200.
mengobati, apabila seorang anak sudah mencoba sesuatu yang buruk dan sudah tercebur ke dalamnya maka akan lebih sulit lagi untuk mengajaknya untuk
meninggalkan perbuatan buruk itu. Jadi hukuman yang berupa metode kuratif itu merupakan metode terburuk atau bisa dikatakan sebagai metode terakhir setelah
metode lain tidak efektif digunakan. Adapun diantara para ahli pendidikan yang mengemukakan pendapatnya
tentang pengertian hukuman diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Menurut KH. R. Zainuddin Fananie. “Pembalasan atas kerja yang tidak baik, yang merugikan bagi yang bersama,
atau bagi dirinya anak didikan sendiri, supaya berhenti dan bertaubat dari kerjanya, dan menjadi cermin bagi lain-lainnya itulah yang disebut
hukuman”.
4
b. Menurut Amier Daien Indrakusuma.
“Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa. Dan dengan adanya nestapa itu anak
akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulanginya”.
5
Kata “nestapa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sedih sekali atau susah hati
, sedangkan “kenestapaan” berarti kesusahan hati atau kesedihan.
c. Menurut M. Ngalim Purwanto.
“Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang orang tua, guru dan sebagainya sesudah terjadi
pelanggaran, kejahatan, atau kelemahan”.
6
d. Menurut Drs. Suwarno.
“Hukuman adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud
4
KH. R. Zainuddin Fananie, Pedoman pendidikan Modern, Jakarta, Fananie Center, 2010, Cet. ke-1, h. 108.
5
Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1973, h. 150.
6
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995, ed. Ke-2, Cet ke-8, h. 186.
agar penderitaannya itu betul-betul dirasakannya untuk menuju kearah perbaikan”.
e. Menurut A. Mursal Hadi yang dikutip dari buku karangan Dr. Zaenuddin,
dkk. “Hukuman adalah suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja
menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani
sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran”.
7
Dari semua pendapat yang telah dikemukakan diatas maka penulis dapat mengambil sebuah pemahaman bahwa hukuman adalah sesuatu yang diberikan
kepada anak yang dapat membuatnya menderita dengan maksud agar penderitaannya itu dapat merubahnya ke arah yang lebih baik lagi.
Selain pendapat beberapa ahli pendidikan yang mengemukakan pengertian tentang hukuman secara umum, sedangkan dalam syariat Islam telah diterangkan
oleh sebuah ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa kita diperbolehkan memberikan hukuman kepada orang yang telah melakukan kesalahan, ayat
tersebut berbunyi:
{
ءاسنلا :
}
7
Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet ke-1, h. 86.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta
myaratereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar ”. Q. S. An-Nisa’ 4: 34.
8
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa„id bin Rabi„ yang telah menampar istrinya yaitu Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah,
karena telah melakukan nusyûz pembangkangan. Habibah sendiri kemudian datang kepada Rasul s.a.w. dan mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasul.
Rasul kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa„id. Akan
tetapi, Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an- Nisa„
ayat 34 ini. Rasulullah s.a. w. pun lalu bersabda yang artinya, “Aku menghendaki
satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.
9
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-
Farabi, „Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki
Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya.
Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:
8
Tim Depag, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1992, ed. Revisi, h. 123.
9
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, juz V, hlm. 53-54.
Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca Al quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu[946], dan Katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan
.” QS Thaha [20]: 114.
Rasul pun diam. Setelah itu, turunlah surat an- Nisa’ ayat 34 di atas hingga
akhir ayat.
10
Hukuman yang dilakukan oleh Sa’id bin Rabi’ kepada istrinya bukan semata- mata karena dia dendam kepada istrinya, melainkan karena ada sebab yang
memaksa dia melakukan itu yaitu kesalahan pembangkangan yang dilakukan oleh istrinya. Dan ketika Rasulullah ingin memberikan qishash
kepada Sa’id karena perlakuannya kepada istrinya tersebut turunlah surat An-nisa ayat 34 yang
membolehkan pemberian hukuman kepada istri karena pembangkangannya. Selain ayat tersebut terdapat sebuah hadits yang juga berkaitan dengan
pembahasan hukuman, yaitu:
ربس نْب عْيبرلا نْب ْ علْا دْبع نْب مرح انربْخأ رْجح نْب ع انثدح لاق دج ْنع ْيبأ ْنع تربس عْيبرلا نْب ك ملْا دْبع مع ْنع نهجْلا
: لاق
ها لْوسر .
م :.
نْينس عْبس غ ب اذإ اّلا بّلا اْوم ع ,
ْوبرْضا رْ ع غ ب اذإ اهْي ع
{ مرتلا ا ر
} .
10
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al- Ma’tsûr, juz III, hlm. 512-513. Beirut: Darul Fikr.
Artinya: “Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Harmalah bin Abdul Aziz Ar Rabi’
bin Sabrah Al Juhani memberitahukan kepada kami dari pamannya yaitu Abdul Malik bin Ar Rabi bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Ajarkanlah anak kecil melakukan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah dia karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh
tahun”. H. R. Tirmidzi.
11
Dari kedua dalil naqli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman boleh dilakukan dan bahkan harus dilakukan kepada orang-orang yang telah melakukan
suatu kesalahan atau pelanggaran dan sebelumnya ia telah tahu bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan atau dilanggar. Hukuman ini bermaksud untuk memberi
peringatan atau teguran.
2. Syarat-syarat hukuman
Dalam lingkungan sekolah selalu saja ada anak yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku di sekolah dan konsekuensi dari pelanggaran
tersebut adalah hukuman. Hukuman diberlakukan jika alat pendidikan yang lain seperti peringatan atau teguran sudah tidak efektif lagi digunakan, maka hukuman
sebagai alternatif terakhir yang dapat digunakan oleh pendidik. Hukuman ini mempunyai tujuan umum yaitu untuk memberikan kesadaran kepada pelanggar
bahwa perbuatannya itu salah. Karena menurut Stern, kesadaran dapat terjadi karena adanya konflik.
12
Dalam hal ini juga, seorang pemikir Islam yaitu Al-Ghozali, tidak sependapat kepada orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat dan sekaligus memberi
hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah jalan yang paling akhir apabila teguran, peringatan dan nasihat-
nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelanggaran.
13
11
H. Moh. Zuhri, dkk. Terjemahan sunan At-Tirmidzi, Semarang: CV. As Syifah, 1992, Cet ke-1, jilid 1, h. 504-505.
12
Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, Cet. Ke-1, h. 241.
13
Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet ke-1, h. 86.
Hendaknya para pendidik atau guru mempergunakan cara-cara yang dapat menjauhkan anak melakukan perbuatan tidak baik yang dilakukan dalam bentuk
persuatif dan kekeluargaan. Bila guru ingin mencegah anak berbuat buruk lebih baik menggunakan cara-cara yang membiarkan mereka seolah-olah tidak
diperhatikan metode
ضْرْع
, bukan cara langsung menegurnya dengan keras atau kasar metode
خْرْس
. Bahkan mereka diperlakukan dengan kasih sayang, karena dengan demikian, anak tidak akan selalu berperilaku buruk. Dalam sebuah
Hadits disebutkan : “Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila
menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki. HR. Ath-Thahawi.
Berkaitan dengan hal ini Al-Ghozali mengatakan: “Karena dengan menegur
secara kasarkeras akan menyingkapkan rasa takut dan menimbulkan keberanian menyerang orang lain, dan mendorong timbulnya keinginan untuk melakukan
pelanggaran, sedang cara yang mendorong ke arah pengertian metode
ضْرْع
atau cara persuatif, membuat anak cenderung ke arah mencintai kebaikan, dan berpikir kreatif dalam memahami suatu kejadian oleh karena itu dengan cara ini
anak akan dapat mengambil faedah dari kegemaran berpikir kritis terhadap suatu makna dalam setiap kejadian bahkan senantiasa mereka mencintai ilmu beserta
sebab- sebab timbulnya ilmu itu”.
Menurut Ibnu Sina: “Suatu kewajiban pertama ialah mendidik anak dengan
sopan santun, membiasakannya dengan perbuatan yang terpuji sejak mulai disapih, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya”.
Jika terpaksa harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan
kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-
kadang dipuji, didorong keberaniannya untuk berbuat baik. Perbuatan demikian merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus.
Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak
merasa ringan, dan memandang hukuman itu sebagai suatu yang remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras
ultimatum dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.
Hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang bersalah mempunyai syarat dan macamnya, karena hukuman yang baik itu bukanlah yang bersifat memojokkan
tetapi menyadarkan dan mendidik. Ada beberapa ahli yang mengemukakan syarat-syarat hukuman yang mendidik.
KH. R. Zainuddin Fananie dalam bukunya mengatakan bahwa syarat-syarat diberikannya hukuman adalah sebagai berikut:
1. Agar hukuman itu menimbulkan rasa dan pengakuan salah, dan ingin
bertaubat. Anak yang dihukum dengan tidak mengetahui atau merasa kesalahannya, memandang hukuman yang diberikan kepadanya itu
semata-mata hanya merupakan tindakan dari kebencian orang yang menghukumnya pendidik saja.
2. Hendaklah hukuman itu seimbang dengan kesalahan.
3. Hukuman itu harus membuat anak yang bersalah merasa sakit dan
merasakan kepahitan. 4.
Supaya hukuman tadi membawa penyesalan, perasaan pedih dalam hatinya. Maka dari itu hendaknya jangan ada yang merasa sayang dan
kasihan ketika mendapat hukuman itu. 5.
Supaya anak didik itu paham bahwa hukuman adalah hasil resiko atau buah dari tiap-tiap kesalahan yang lazim diberikan.
6. Keadilan.
Jangan sekali-kali hukuman itu diberikan melainkan kepada anak yang jelas melakukan kesalahan, dan perbuatan salah itu memang sengaja
dilakukan.
7. Hukuman diberikan bervariatif berlainan menurut umur, karakter atau
tabi’at, sebagaimana juga hukuman diberikan bervariatif menurut kesalahan yang dilakukannya.
14
Selain dari itu ada juga ahli pendidikan yang berpendapat bahwa syarat-syarat pemberian hukuman harus berfifat mendidik, yaitu antara lain:
a. Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggung-jawabkan. Ini berarti
bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang. b.
Hukuman harus bersifat memperbaiki. c.
Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan.
d. Jangan menghukum ketika sedang marah.
e. Hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau
dipertimbangkan sebelumnya. f.
Bagi anak, hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sendiri sebagai kedukaan atau penderitaan yang sebenarnya.
g. Jangan melakukan hukuman badanfisik.
h. Hukuman tidak boleh merusakkan hubungan baik antara pendidik dengan
anak didik. i.
Sehubungan dengan butir hukuman di atas, maka perlu adanya kesanggupan memberi maaf oleh pendidik.
15
Dari syarat-syarat di atas, jelaslah terlihat dan dapat dimaklumi bahwa di dalam memberikan hukuman harus bersifat mendidik dan harus disertai dengan
pertimbangan apakah hukuman yang akan dijatuhkan itu sesuai dengan kesalahannya, sehingga dalam hal ini seorang pendidik tidak boleh berbuat
seenaknya dalam menjatuhkan hukuman. Menurut Al- Gazhali, “Sebelum
memberikan hukuman, pendidik harus menyelidiki latar belakang yang menyebabkan ia berbuat kesalahan serta mengenai umur yang membuat kesalahan
tersebut harus dibedakan antara yang kecil dan yang besar dalam menjatuhkan
14
KH. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, Jakarta: Fananie Center, 2010, Cet. Ke-1, hal. 113.
15
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan..., h. 192.
hukuman dan memberi pendidikan”.
16
Pendidik yang baik tidak boleh memberikan hukuman dengan perasaan dendam, karena alasan rasa dendam di
dalam memberikan hukuman itu sangat tidak baik dampaknya, dan hukuman yang telah dijatuhkan harus dapat dipertanggung-jawabkan.
Pada dasarnya hukuman yang diinginkan disini adalah hukuman yang bersifat mendidik, jadi pendidik diharapkan jangan menjatuhkan hukuman yang dapat
menyakiti badanfisik, sebab itu akan mmeberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak, dan kemungkinan besar yang timbul bukannya rasa
sesal si anak tetapi malah menimbulkan rasa kesal pada anak, dan mungkin bahkan anak akan merasa dendam terhadap guru yang menjatuhkan hukuman
tersebut. Dan pada akhirnya itu akan membuat hubungan baik antara guru dengan murid menjadi renggang, dan jika hukuman yang dijatuhkan efektif, maksudnya
dapat membuat anak menyesal maka sebaiknya pendidik jangan bersikap memojokkan atau mengungkit-ungkit kesalahannya dahulu, sebab itu akan
membuat si ank menjadi rendah diri dan sulit untuk bergaul kembali. Jadi, yang terpenting hendaklah guru dapat bersikap lebih bijaksana dalam memberikan
hukuman serta dapat memberi maaf kepada siswa yang telah menyesali kesalahannya untuk kemudian tidak berbuat kesalahan untuk yang kesekian
kalinya. Oleh karena itu setelah pendidik menjatuhkan hukuman baiknya pendidik
perlu melihat reaksi atau tanggapan anak yang muncul. Untuk itu ada pendapat beberapa ahli yang mengemukakan teorti tentang reksi yang mungkin timbul.
Menurut pendapat Prof. Gunning, Khonstamm, dan Scheller, yaitu: “Hukuman itu tiada lain pengasahan kata hati atau mengbangkitkan kata hati”. Maksud dari
hukuman membangkitkan kata hati disini adalah hukuman yang bernilai positif yaitu hukuman yang dapat membuat anak menyesal dan kemudian berusaha
memperbaikinya, sedangkan hukuman yang bernilainegatif adalah hukuman yang dapat menimbulkan reaksi buruk yang tidak diinginkan seperti mendendam atau
menentang, dikarenakan hukuman yang diberikan tidak seimbang dengan apa
16
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, Cet. Ke-6, h. 155.
yang diperbuatnya dan ini menimbulkan reaksi negative dari anak. Menurut Agus S
ujanto, bahwa: “Anak akan bersikap menentang, apabila tuntutan yang diterima terlalu berat”.
17
3. Macam-macam Hukuman
Ada yang berpendapat bahwa hukuman itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1.
Hukuman preventif yaitu, hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran, sehingga hal itu dilakukannya
sebelum pelanggaran dilakukan. 2.
Hukuman corektif yaitu, hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah dilakukannya. Jadi,
hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran. Selain macam-macam hukuman yang terdapat di atas ada pula beberapa ahli
yang mengemukakan tentang macam-macam hukuman ini, antara lain adalah: a.
Hukuman Asosiatif Umumnya orang yang mengasosiasikan antara hukuman dan kejahatan atau
pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk menyingkirkan perasaan yang tidak
enak hukuman itu, biasanya anak akan menjauhi perbuatan yang baik atau yang dilarang.
b. Hukuman Praktis
Hukuman ini diberikan kepada anak yang agak besar, yang telah mengerti bahwa itu adalah akibat yang logis dari perbuatannya yang tidak baik. Anak
mengerti bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang dia perbuat. c.
Hukuman Normatif Hukuman ini bermaksud untuk memperbaiki moral anak-anak, hukuman ini
dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma-norma etika. Jadi hukuman normatif sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-
anak, dengan hukuman ini pendidik berusaha mempengaruhi kata hati anak,
17
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru, 1984, h. 241.
menginsafkan anak itu terhadap perbuatannya yang salah dan memperkuat kemauan untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan.
Menurut pendapat Suwarno, hukuman dapat dibagi menjadi empat, yaitu: a.
Hukuman yang bersifat menjerakan, dengan tujuan agar setelah anak melakukan pelanggaran dan mendapat hukuman, kemudahan ia merasa
jera dan akhirnya tidak mengulanginya lagi. b.
Bentuk tujuan menakut-nakuti. Teori ini bertujuan untuk menimbulkan rasa takut pada orang yang belum pernah melakukan pelanggaran, sifat
hukuman ini semakin lama semakin berat. c.
Bentuk hukuman pembalasan, bertujuan untuk mengembalikan atau membalas dengan apa yang pernah dirusak anak.
d. Hukuman membetulkan, teori ini bertujuan untuk memperbaiki anak
kepada hal-hal yang positif dan memperbaiki hubungan antara anak didik dengan pendidik.
18
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan oleh pendidik harus disesuaikan dengan kesalahan
yang telah diperbuat. Jadi seorang pendidik harus hati-hati dan teliti dalam memberikan hukuman, agar tidak terjadi kesalah pahaman antar guru, anak didik
serta orang tua yang anak didik tersebut. Hukuman akan menjadi efektif apabila seorang anak memandang hukuman yang telah diberikan itu sesuai dan logis
untuknya. Apalagi jika ia menerima hukman tersebut karena ia memandang yang memberikan hukuman tersebut memang patut disegani, bukan karena rasa takut
tetapi karena kewibawannya. Oleh karena itu wibawa sangat dibutuhkan sekali oleh seorang pendidik.
4. Tujuan Hukuman
Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang maksud atau tujuan dari pada hukuman, dan salah diantaranya yaitu Ngalim Purwanto yang menyatakan bahwa
maksud atau tujuan orang dalam memberikan hukuman itu sangat berkaitan dengan pendapat orang-orang mengenai teori hukuman, seperti:
a. Teori Pembalasan
18
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta, Aksara Baru, 1982, Cet ke-1, h. 118.
Menurut teori ini hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang, tentu saja teori ini
tidak boleh dipakai dalam pendidikan sekolah. b.
Teori Perbaikan Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan. Jadi
maksud hukuman ini ialah untuk memperbaiki pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. Teori inilah yang bersifat paedagogies, karena
bermaksud memperbaiki pelanggar baik lahiriyah maupun batiniyah. c.
Teori Perlindungan Menurut teori ini hukuman diadakan untuk menlindungi masyarakat dari
perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan.
d. Teori Ganti Rugi
Menurut teori ini hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman ini
banyak dilakukan dalam masyarakat atau pemerintah. Dalam proses pendidikan, teori ini tidak cocok karena dengan menerima hukuman semacam ini anak jadi
merasa tidak bersalah karena kesalahannya telah terbayar dengan hukuman. e.
Teori Menakut-nakuti Menurut teori ini hukman diadakan untuk menimbulkan rasa takut kepada si
pelanggar akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut untuk melakukan perbuatan tersebut dan mau meninggalkannya. Teori ini juga
membutuhkan teori perbaikan, sebab dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan itu hanya karena rasa takut bukan karena kesadaran
bahwa perbuatannya bahwa perbuatannya memang salah dan tidak baik, dalam hal ini anak tidak terketuk kata hatinya.
19
Selain menurut Drs. Ngalim Purwanto di atas sedangkan pendapat Charles Schaefer mengenai tujuan hukman tersebut bahwa: “Tujuan jangka pendek dari
hukuman itu adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang panjangnya ialah untuk mengajar dan mendorong anak-
19
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan..., h. 188.
anak untuk menghentikan sendiri tingkah laku mereka yang salah, agar anak dapat mengarahkan dirinya sendiri. Anak-anak ingin dikoreksi, tetapi mereka
menghendaki koreksi yang bersifat mengasuh d an mendorong mereka”.
Dari pendapat diatas, maka dapat dikemukakan, bahwa tujuan atau maksud dari hukuman adalah mencegah, mengoreksi, dan memberi kesadaran kepada anak
agar anak memahami kesalahannya sekaligus memperbaikinya dan tidak lagi mengulanginya dikemudian hari serta agar membuat anak berpikir lebih dewasa
lagi. 5.
Prinsip-prinsip Hukuman a.
Prinsip Psikologi kejiwaan Pada dasarnya setiap anak memiliki banyak perbedaan baik dari segi fisik
maupun psikis. Perbedaan inilah yang menjadi problem bagi guru didalam menentukan sikap maupun menjatuhkan hukuman kepada anak didiknya yang
melakukan pelanggaran. Oleh karena itu seorang guru harus mengetahui dan memahami benar, bagaimana tabi’at, kesenangan, pembawaan, ataupun
akhlaknya. Untuk itu semua seorang guru dituntut mengenal muridnya dari dekat. Agar ia selalu mempertimbangkan langkahnya ketika ia menghadapi seorang
murid yang bermasalah. Suatu hukuman mungkin akan cocok untuk seorang anak, tetapi belum tentu cocok juga bagi anak yang lainnya. Sebagaimana ungkapan Al-
Gozhali yang berbunyi: “Bila dokter mengobati seluruh pasiennya dengan satu macam obat saja, tentu banyak dari mereka yang akan mati”.
20
Dari ungkapan di atas dapat dinyatakan bahwa seorang guru harus mempunyai berbagai macam
metode dalam menghadapi anak muridnya. b.
Prinsip keadilan Yang dimaksud prinsip keadilan disini adalah prinsip untuk menyesuaikan
antara bentuk pelanggaran serta siapa yang melakukannya. Menurut Charles Schaefer: “Untuk kepentingan keadilan tetaplah ingat untuk mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut: Pelanggaran yang pertama atau sudah beberapa kali,
20
Nasharuddin Thaha, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1997, h.
43.
pelanggaran atau perbuatan karena dorongan yang tiba-tiba, sifat dan tingkah laku yang umum dan setiap perbuatan karena tertekan atau situasi.”
c. Prinsip kasih sayang
Salah satu syarat hukuman yang bersifat paedagogies adalah hukuman yang dapat diberikan atas dasar cinta kasih, ini berarti anak dihukum bukan karena
benci atau karena pendidik ingin balas dendam dengan menyakiti anak didik. Tetapi pendidik ingin menghukum demi kebaikan anak, demi kepentingan dan
masa depan anak. Oleh karena itu setelah hukuman diberikan jangan sampai berakibat putusnya hubungan kasih sayang antara pendidik dan anak didik.
d. Prinsip keharusan atau keterpaksaan
Hukuman bukanlah satu-satuya alat dalam mendidik dan bukan pula pilihan pertama yang harus dijatuhkan kepada anak didik yang melakukan pelanggaran.
Hukuman ini dijatuhkan jika keadaan memaksa, karena alternatif lain sudah digunakan namun kurang efektif.
B. Kedisiplinan
1. Pengertian Kedisiplinan
Disiplin merupakan istilah yang sudah memasyarakat di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kita mengenal adanya disiplin kerja, disiplin lalu
lintas, disiplin belajar dan macam istilah disiplin yang lain. Masalah disiplin yang dibahas dalam penelitian ini hanya difokuskan mengenai disiplin belajar, disiplin
waktu dan disiplin bertingkah laku. Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada
keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan,
antara lain surat An Nisa ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya,
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. Q.S. An-nisa: 59
Sebagai kata benda disiplin biasanya dipahami sebagai prilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan. Kata disiplin menurut Thomas
Gordon berasal dari bahasa asing, yaitu: “Dicipline, yang artinya tertib atau ketertiban. Disiplin juga mempunyai dua arti yang berbeda, yang pertama seperti
yang telah disebutkan di atas yaitu disiplin yang bertujuan untuk mengawasi, sedangkan yang kedua disiplin yang berkaitan dengan tindakan memberi instruksi,
mengajar, dan mendidik”.
21
Menurut W.J.S. Poerwadarminta disiplin adalah: “Latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib dan
peraturan”.
22
Sedangkan menurut Amatembun disiplin adalah: “Suatu keadaan tertib dimana para pengikut itu tunduk dengan senang hati pada ajaran-ajaran
pemimpin atau suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang bergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan yang telah ada dengan rasa
senang hati”.
23
21
Thomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 5.
22
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985, h. 245.
23
Amatembun, Management Kelas, Bandung, IKIP, 1981, Cet ke-1. H. 8.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik disiplin yaitu: “Mengikuti atau belajar dibawah seorang pemimpin”.
24
Menurut purbawakaca: “Disiplin adalah proses pengamalan atau pengabdian kehendak-kehendak langsung, dorongan-dorongan keagamaan, keinginan
atau kepentingan kepada suatu cita-cita atau tujuan tertentu untuk mencapai efek yang lebih besar”.
25
Sedangkan menurut Soejardo, disiplin adalah: “Kemampuan untuk mengendalikan diri dalam bentuk tidak sesuai dan bertentangan dengan
sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung dan melindungi sesuatu yang telah ditetapkan”.
26
Dewa Ketut Sukardiv dalam bukunya Bimbingan dan Konseling mendefinisikan disiplin sebagai berikut:
“Disiplin memberikan dua arti yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang erat. Disiplin dibedakan
arti positif dan negatif, arti positif adalah, suatu rentetan aktivitas atau latihan yang berencana yang dianggap perlu atau penting mencapai suatu tujuan
tertentu. Arti negatif disiplin adalah hukuman terhadap prilaku yang dianggap tidak diinginkan karena telah melanggar peraturan atau tata tertib”.
Dalam random house dictionary-nya Dr. Thomas Gordon kata kerja to disciplin
mendisiplin didefinisikan sebagai “Menciptakan keadaan tertib dan patuh dengan pelatihan” dan “Pengawasan dan menghukum demi kebaikan”.
27
Pendapat para ahli diatas mengindikasikan bahwa kedisiplinan itu berupa peraturan atau tata tertib, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang harus
dipatuhi oleh semua orang yang berada dalam lingkup kedisiplinan, dan dalam hal ini pada hakekatnya semua orang adalah termasuk kedalam lingkup kedisiplinan,
baik dalam lingkungan keluarga, lngkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat, yang mana disiplin itu sendiri dilaksanakan agar tujuan yang
24
Oemar Hmalik, Mengajar, Azas, Metodik, Bandung, Pustaka Mardiana, 1981, Cet ke-2, h. 210.
25
Soegarda Purbawakaca, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1997, h. 81.
26
Soedijarto, Pendidikan Sebagai Sarana Reformasi Mental Dalam Upaya Pembangunan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka 1999, h. 51.
27
Thomas Gordon, Mengajar anak..., h. 119.
diinginkan tercapai. Dan agar kedisiplinan tersebut berjalan lancar maka dalam hal ini dibutuhkan hukuman dan ganjaran sebagai alat pendukung.
Kemudian yang terpenting dalam hal ini adalah seorang siswa perlu memiliki sikap disiplin dengan melakukan latihan yang memperkuat dirinya sendiri untuk
selalu terbiasa patuh dan mempertinggi daya kendali diri. Sikap disiplin yang timbul dari kesadarannya sendiri akan dapat lebih memacu dan tahan lama,
dibandingkan dengan sikap disiplin yang timbul karena adanya pengawasan dari orang lain. Seorang siswa yang bertindak disiplin karena ada pengawasan ia akan
bertindak semaunya dalam proses belajarnya apabila tidak ada pengawas. Karena itu perlu ditegakkan di sekolah berupa koreksi dan sanksi. Apabila melanggar
dapat dilakukan dua macam tindakan yaitu koreksi untuk memperbaiki kesalahan dan berupa sanksi. Keduanya harus dilaksanakan secara konsisten untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma dan kaidah yang telah disepakati bersama. Hal ini dilakukan mengingat orang cenderung
berperilaku sesuka hati. Begitu pula di lingkungan keluarga. Disiplin perlu diajarkan kepada anak sejak kecil oleh orang tuanya. Anak yang dididik disiplin,
perlu mendapatkan perlakuan yang sesuaisepatutnya bagi orang yang belajar. Apabila anak telah mengetahui kegunaan dari disiplin, maka siswa sebagai
manifestasi dari tindakan disiplin akan timbul dari kesadarannya sendiri, bukan merupakan suatu keterpaksaan atau paksaan dari orang lain. Sehingga siswa akan
berlaku tertib dan teratur dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dan akan menghasilkan suatu sistem aturan tata laku. Dimana siswa selalu terikat
kepada berbagai peraturan yang mengatur hubungan dengan lingkungan sekolahnya dan lingkungan keluarganya.
2. Tujuan Disiplin
Dalam hidup kita sebagai manusia harus menciptakan kedisiplinan agar hidup yang kita jalani ini serba teratur, dan agar tidak ada kekacauan, kesulitan dan
ketidak berhasilan. Adapun pendapat para ahli mengenai tujuan daripada disiplin ini antara lain adalah: Menurut Hasan Langgulung bahwa tujuan disiplin adalah:
“Menjadikan peserta didik dalam hidupnya mempunyai keteraturan sehingga
terarah berjalan menuju jalan yang dituju”.
28
Sedangkan Menurut Alex Sobur, tujuan berdisiplin adalah:
“Menjadikan peserta didik mempunyai pengendalian diri dengan mudah yaitu menghormati dan mematuhi peraturan-peraturan dan
mempunyai ketegasan terhadap hal-hal yang boleh dilakukan dan yang dilarang”.
29
Dari kedua pendapat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua ahli sepakat bahwasanya disiplin bertujuan untuk menjadikan peserta didik
mempunyai tingkah laku yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada demi kebaikan dirinya dan kebaikan bersama, dan dengan adanya disiplin tersebut akan
membentuk manusia yang lebih bertanggung jawab dan tepat waktu, sehinga kehidupan akan lebih teratur dan terarah.
3. Bentuk-bentuk Disiplin
Karena banyaknya bentuk-bentuk disiplin yang diterapkan, maka penulis hanya mambahas tiga bentuk disiplin saja, karena menurut penulis ketiga bentuk
disiplin ini mempunyai peranan yang sangat signifikan bagi peserta didik atau santri. Disiplin yang ada didalam diri tidaklah terbentuk dengan sendirinya, akan
tetapi melalui proses, yaitu dengan melakukan suatu kegiatan disiplin secara berulang-ulang sehingga yang melakukan menjadi terbiasa melakukannya
sehingga menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya menjadi suatu sifat atau kepribadian.
a. Disiplin Waktu
Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwasanya hal yang paling mendasar daripada bentuk kedisiplinan yang pertama adalah disiplin waktu, dan sebagai
contoh dari disiplin waktu ini dapat ditemukan pada kegiatan kita sehari-hari, seperti halnya shalat tepat pada waktunya, itu dapat membentuk kedisiplinan
anak. Dan untuk membiasakan hal itu harus dilatih sejak kecil. Kewajiban shalat yang harus dikerjakan lima kali dalam sehari itu harus dirasakan oleh seorang
anak sebagai suatu tanggung jawab yang harus dikerjakan, sehingga jika tidak dikerjakan maka akan menjadi suatu beban, karena didalam menerapkan disiplin
28
Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet ke-I, h. 400.
ada suatu alat yang digunakan agar berjalannya disiplin tersebut, dan alat tersebut adalah hukuman dan ganjaran. Sehingga bagi orang yang melanggar disiplin
tersebut akan diberikan sangsi, seperti hukuman. Dan pada akhirnya mau tidak mau orang yang menjalaninya akan berpikir banyak jika mau melanggar.
Dari kegiatan shalat yang pada awalnya dilakukan karena takut akan sangsi atau hukuman, tetapi karena sudah terbiasa pada akhirnya akan menjadi suatu
kebiasaan bahkan menjadi suatu kebutuhan, karena ia akan merasakan ada sesuatu yang hilang jika tidak dikerjakan.
b. Disiplin Belajar
Pada dasarnya belajar atau menuntut ilmu sangat penting bagi umat manusia umumnya dan juga menjadi wajib bagi umat Islam khususnya, meskipun kita
berada dalam keadaan perang. Ini berarti kedudukan ilmu sangat penting bagi manusia. Dan menuntut ilmu itu juga salah satu cara lain untuk berjihad selain
pergi ke medan perang. Agar dalam belajar atau menuntut ilmu berjalan dengan baik, teratur dan terarah, maka disiplin belajar dibutuhkan. Sehingga kita dapat
belajar semaksimal mungkin. Dengan disiplin belajar akan menimbulkan kesadaran diri untuk belajar tanpa didorong oleh other-imposed atau faktor dari
luar. Meskipun kita pada awalnya belajar bedasarkan dorongan dari luar, namun pada akhirnya keinginan belajar akan timbul dari dirinya sendiri. Karena jika ia
tidak melaksanakan disiplin belajar itu, ia akan merasa rugi karena kehilangan waktu yang ia buang. Sehingga dia dapat mengatakan bahwa waktu adalah
belajar. Menurut The Liang Gie, bahwa:
“Berdisiplin dalam belajar selain akan membuat seseorang memiliki kecakapan mengenai cara belajar yang baik, juga
merupakan proses ke arah pembentukan watak yang baik sehingga akan tercipta suatu pribad
i yang luhur”.
30
Jadi memang pada dasarnya disiplin belajar itu selain dapat membentuk etos belajar yang baik juga dapat membentuk kepribadian yang baik pula. Dan salah
satu lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin belajar secara intensif itu
30
The Liang Gie, Cara Belajar Yang Efisien, Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi, 1985, Cet ke-5, h. 59.
adalah pondok pesantren. Karena segala aktivitas disana selalu dimotori, dan jika ada yang melanggar disiplin akan diberikan sangsi. Selain disiplin waktu disiplin
belajar juga menjadi hal yang utama di sana. c.
Disiplin Bertingkah Laku Selain dua disiplin yang sudah dibahas di atas, sekarang disiplin bertingkah
laku yang akan penulis bahas. Yang dimaksud disiplin bertingkah laku disini adalah disiplin dalam bersikap, dalam perkataan maupun perbuatan yang
disesuaikan dengan ajaran agama Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bersabda:
سلا عبْا تْنك ام ْيح ها ق ا ئ
نسح ق خب انلا قلاخ اهحْم نسحلا ت رذ بأ ناربطلا ا ر
Artinya: “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana saja, iringilah kejahatan dengan
kebaikan, maka terhapuslah kejahatan itu dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang baik.” H. R. Thabrani dari Abi Zarr.
Maksud dari hadits tersebut adalah agar santri tidak salah memilih dalam bergaul, santri dengan yang lainnya, sehingga akan terjalin hubungan yang baik di
dalam maupun di luar lingkungan pondok pesantren. Dari uraian di atas, yaitu mengenai disiplin waktu, disiplin belajar, dan
disiplin bertingkah laku dapat dilakukan dengan baik dan secara kontinu, maka ketiga disiplin itu akan menjadi suatu bagian dari dirinya, sehingga jika ia
melanggar salah satu disiplin tersebut ia akan merasa rugi, karena ketiga disiplin tersebut telah menjadi suatu kebutuhan.
C. Karangka Konsep dan Definisi Operasional
Kerangka konsep dalam penelitian disamping berfungsi sebagai pedoman yang memperjelas jalan, arah dan tujuan penelitian juga akan membantu
pemilihan konsep-konsep yang diperlukan guna pembentukan hipotesis. Dalam penelitian ini, kerangka konsep akan menjadi landasan untuk menjelaskan
bagaimana efektifitas hukuman mempengaruhi disiplin belajar, disiplin waktu,
dan disiplin bertingkah laku santri di pondok pesantren Daar el-Qolam. Untuk itu akan dijelaskan bagaimana rasionalisasi kerangka konsep sebagai berikut:
Bahwasanya efektifitas
hukuman itu,
jika penggunaannya
dapat mendisiplinkan santri, yaitu bilamana hukuman tersebut mengandung nilai
paedagogis bukan bersifat agresi ataupun kekerasan. Jadi hukuman yang diinginkan bukan hanya sekedar membuat siswa jera saja,
tetapi membuat sadar siswa bahwa hukuman yang telah dijatuhkan itu adalah bukan karena rasa dendam guru, akan tetapi karena rasa sayang guru terhadap
siswa, karena tidak ingin anak muridnya melakukan kesalahan. Oleh karena itu hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik.
Meskipun hukuman di sini sebagai alternatif terakhir yang digunakan guru usstadz untuk membuat jera santri yang berbuat salah, namun hukuman ini besar
sekali pengaruhnya terhadap kedisiplinan santri. Sebab dengan hukuman ini santri akan merasakan penderitaan, dan jika ia mengulangi kesalahan yang sama, maka
ia akan merasakan penderitaan yang sama bahkan lebih menderita, karena jika kesalahan yang sama dilakukan secara berulang-ulang, maka hukuman yang
diberikan akan lebih berat dari kesalahan yang pertama. Namun hukuman yang diberikan tetap harus bersifat edukatif, sehingga kedisiplinan terhadap santripun
bertambah. Dengan demikian, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara efektifitas hukuman dengan kedisiplinan santri.
Masalah disiplin didalam sistem pendidikan bukanlah masalah yang berdiri sendiri, namun memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen lain, karena
pendidikan, pembelajaran, maupun pelatihan merupakan sebuah sistem. Oleh karena itu, kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sistem yang terdiri atas input, process, dan output. Komponen input terdiri atas kebijakan pondok pesantren, sumber daya organisasi meliputi SDM
Sumber Daya Manusia pondok pesantren, yaitu antara lain; Dewan GuruRi’ayah, Pengurus ISMI yang terkait, dan santri yang bersangkutan.
Komponen process terdiri atas pelaksanaan penegakan disiplin, monitoring dan evaluasi. Komponen output meliputi keefektifitasan hukuman dalam merubah
sikap santri dalam berdisiplin, yaitu meliputi: pemanfaatan waktu, disiplin belajar dan bertingkah laku dalam berinteraksi.
Kerangka konsep penelitian ini dapat diskemakan sebagai berikut:
Masukan input Proses process Luaran Output Kebijakan pelaksanaan
Pondok penegakan Pesantren disiplin di
Sumber Daya Pondok Pesantren Organisasi: Daar el-Qolam
SDM, yaitu antara lain;
Dewan perencanaan GuruRi’ayah,
Pengurus ISMI yang terkait, pengawasan dan
dan santri yang evaluasi bersangkutan.
Dampak Antara
Outcome
Meningkatnya kedisiplinan
santri di
Pondok Pesantren Daar
el-Qolam Dampak Jangka
Panjang Impact
Terbentuknya kepribadian yang
sempurna Insan Kamil yang bisa
me-manage hidupnya dengan
baik, baik dalam berinteraksi
dengan Tuhannya maupun dengan
sesama manusia.
Keterangan: - - - - - - = variable yang dikaji dalam penelitian
Untuk memperoleh pemahaman tentang konsep-konsep yang terdapat di dalam kerangka konsep di atas di bawah ini dijelaskan definisi operasionalnya.
Keefektifitasan hukuman dalam
merubah sikap santri
dalam berdisiplin:
1. Berdisiplin dalam
memanfaatkan waktu dengan
baik
2. Berdisiplin dalam belajar
3. Berdisiplin dalam
bertingkah laku dalam
berinteraksi.
1. Input
a. Kebijakan adalah ketetapan yang dibuat oleh pondok pesantren terkait dengan disiplin dan hukuman bagi yang melanggar disiplin.
Teknik Pengumpulan Data TPD : wawancara mendalam, telaah
dokumen Alat Pengumpulan Data APD
: pedoman
wawancara, dokumen bagian pengasuhan
b. SDM adalah dewan gururi’ayah, pengurus ISMI Ikatan Santri Madrasatul Mu’allimin al-Islamiyah yang terkait dan santri yang
bersangkutan. TPD
: wawancara mendalam, telaah dokumen APD
: pedoman wawancara, dokumen daftar pelanggaran santri bagian keamanan, ibadah dan bagian bahasa.
2. Process
a. Perencanaan adalah tahapan kegiatan yang dilakukan oleh pengurus ISMI yang terkait dalam merancang program kerja masing-masing
bagian. TPD
: wawancara mendalam, telaah dokumen APD
: pedoman wawancara, dokumen rancangan program kerja pengurus ISMI
b. Pengawasan dan evaluasi adalah proses pemantauan dan pengendalian yang dilakukan pada setiap proses pelaksanaan
penegakan disiplin dalam setiap aktifitas sehari-hari di pesantren. Dan di evaluasi berkala dalam tingkat yang berbeda, yaitu sebulan
sekali, dua bulan sekali, dst. TPD
: wawancara mendalam, telaah dokumen APD :
pedoman wawancara,
dokumen evaluasi
daftar pelanggaran santri
3. Output
a. Berdisiplin dalam memanfaatkan waktu dengan baik adalah sebuah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang santri.
TPD : wawancara mendalam
APD : pedoman wawancara b. Berdisiplin dalam belajar adalah sebuah kepribadian yang harus
dimiliki oleh seorang santri. TPD
: wawancara mendalam APD : pedoman wawancara
c. Berdisiplin dalam bertingkah laku dalam berinteraksi adalah sebuah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang santri.
TPD : wawancara mendalam
APD : pedoman wawancara
32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN