Efektifitas hukuman terhadap kedisiplinan santri di Pondok Pesantren Daar El-Qolam

(1)

Oleh

AKHMAD JIHAD NIM: 106011000066

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: AKHMAD JIHAD

106011000066

Dosen Pembimbing

Yudhi Munadi, MA. NIP. 19701203 199803 1 003

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam sidang Ujian Munaqasah pada tanggal 2 Maret 2011 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 2 Maret 2011 Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Panitia Tanggal Tanda Tangan

Bahrissalim, M.Ag_________ ……… …...………

NIP. 1968030.199803.1.002 Sekretaris

Drs. Sapiudin Shidhiq, M.Ag ……… ………

NIP. 19670328.200003.1.001 Penguji I

Dra.Hj. Elo Albugis, M.Ag ……… ……….

NIP. 19560119.199403.2.001 Penguji II

Dra. Hj. Djunaidatul Munawarah, M.Ag ………. ………..

NIP. 19580918.198701.2.001

Mengetahui : Dekan,

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA NIP. 19571005.198703.1.003


(4)

Nama : Akhmad Jihad

Nim : 106011000066

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi : “Efektifitas Hukuman Terhadap Kedisiplinan Santri di Pondok Pesantren Daar el-Qolam”.

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Februari 2011


(5)

Alhamdulillâhi al-ladzî nawwaranâ bi al-’ilmi wa al-’aqli. Segenap puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri penulis, sehingga penelitian hasil dari sebuah usaha ilmiah yang sederhana ini guna menyelesaikan tugas akhir kesarjanaan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, setelah menjalani proses akademik yang cukup panjang. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa

”uncivilized” yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang zaman.

Penelitian yang berjudul EFEKTIFITAS HUKUMAN TERHADAP KEDISIPLINAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN DAAR EL-QOLAM ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karenanya hal ini merupakan kulminasi-formal akademik yang sudah barang tentu tetap disertai akuntabilitas akademik juga, penelitian ini sebenarnya juga merupakan sebuah karya ilmiah perdana penulis di bidang kependidikan, jadi sebenarnya tulisan ini bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik (scholar duty) saja tapi juga merupakan sebuah bentuk dari buah pikiran dan kerja keras penulis dalam menyusunnya.

Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan kurioritas (rasa ingin tahu) penulis dalam masalah pendidikan. Dan penulis sadar akan berbagai kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis


(6)

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah yang membantu penulis sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan, bukan hanya angan dan keinginan semata. Mereka adalah:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Bahrissalim, M. Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yudhi Munadi, MA., selaku dosen pembimbing yang telah dengan tekun dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan kritik konstruktif dalam proses penyusunan penelitian ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan

pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. K. H. Ahmad Syahiduddin dan Ustadzah Dra. Hj. Enah Huwaenah selaku pimpinan Pondok Pesantren Daar el-Qolam dan semua ustadz dan ustadzah yang telah mendidik dan memberikanku bekal ilmu dunia maupun akhirat ketika menjadi santri.

6. Ustadz Umar yang merupakan wali kelasku ketika kelas enam di Pondok Pesantren Daar el-Qolam dan banyak memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Teman seperjuanganku Novri Haryono yang sedang mengabdi di almamater tercinta Pondok Pesantren Daar el-Qolam yang telah banyak membantu ketika pengumpulan data untuk skripsi ini.

8. Santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Daar el-Qolam yang menjadi responden untuk penelitian ini. Hikmah Qolbi, Fitri al-Maghfirah, Caesar


(7)

akan selalu abadi dihati keluarga ini. Kenangan indah bersamamu akan terus menyemangati kami dalam mengarungi lautan kehidupan yang fana.

Do’a kami akan terus mengalir untuk ketenanganmu di alam sana.

10.Ibuku tercinta (Yusniati) yang senantiasa memeras keringat menitikkan air mata untuk keluarga, mendo'akan dan memberikan perhatian, motivasi serta kasih sayang yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.

11.Kakakku (Rezha Fahlevi) yang meneruskan perjuangan ayahanda, menjadi bapak bagi adik-adiknya yang selalu memberikan motivasi serta kritik yang konstruktif untukku.

12.Adik-adikku tersayang (Hikmah Qolbi, Risky) yang selalu ada dalam suka maupun duka dikeluarga, yang motivasiku untuk bisa hidup dalam kesederhanaan dan sayang kepada saudara.

13.Ivana Megawati yang selalu menemaniku dalam penyusunan skripsi ini dengan tawa dan air mata, yang menginspirasiku dengan cinta dan kasih sayang untuk semangat dalam berusaha. Banyak pengorbanan yang sudah kita lalui dalam suka maupun duka. Kamu adalah bukti dari idiom Arab yang berbunyi: ”Alhayâtu bighoiri habîbah kahayâti al-ghorîbah”. Kaulah hal terindah dalam hidup ini yang membuatku sadar akan adanya harapan dan masa depan. Mudah-mudahan Allah menyatukan kita dalam ikatan suci yang takkan putus sampai ajal tiba.

14.Abi Sudirman Ketua Yayasan Panti Asuhan Darussalam Annur yang telah membimbing dan mengajarkan aku akan sedekah yang edukatif dalam

memberikan perhatian mendalam kepada anak yatim dan dhu’afa dan telah menjadi bapak wawasan bagiku selama menjadi pengurus di sana, dan semua teman-teman pengurus di Yayasan Panti Asuhan Darussalam Annur, yaitu: Wahyu, Muhasan, Wawan, Tias, Wati. Dan adik-adikku di


(8)

masukan dan do’a seorang ulama, yang sangat membantu dalam kelancaran penulis dalam menyusun skripsi ini.

16.Teman-teman seperjuangan dalam perjalanan panjang yang melelahkan, di FITK Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) angkatan 2006 kelas C, dan teman-teman di BEM-J PAI angkatan 2008-2009 terima kasih atas bantuan dan kerja samanya yang tak akan dilupakan.

17.Teman-teman kuliah; Iqbal Razi, Arip Wicaksono, Ina, Ephee, Apit, Maria, Jimi, Agus, Ali, Encung, Juned, Dayat, Ikeng, Isma, Puji, Munzir, Mui, dan semua teman-teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

18.Teman-teman PPKT; Jojo, Mahmud, Ayu Arsyi, Ayudia, Ade, Ufi yang menemani saat praktek mengajar di SMA 87 dan semua siswa SMA 87 yang telah membantu meringankan beban ketika praktek mengajar.

19.Ustadz Sohib, teman-teman remaja masjid An-nur Poris Gaga Baru dan teman-teman CAME (Comunity Anak Majlis El-faurisy); Bari, Dian, Ina, Aris, Baynur, Dukut, Eman, Ratu, Jahro dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan masukan.

20.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini.


(9)

Tangerang, 16 Februari 2011 Penulis


(10)

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Hukuman ... 7

1. Pengertian Efektifitas dan Hukuman ... 7

2. Syarat-syarat Hukuman ... 12

3. Macam-macam Hukuman ... 17

4. Tujuan Hukuman ... 18

5. Prinsip-prinsip Hukuman ... 20

B. Kedisiplinan ... 21

1. Pengertian Kedisiplinan ... 21

2. Tujuan Disiplin ... 24

3. Bentuk-bentuk Disiplin ... 25

C. Kerangka Konsep dan Definisi Operasional ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Disain Penelitian ... 32

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33


(11)

D. Validitas Data ... 35

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 37

1. Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren Daar el-Qolam Gintung Jayanti Tangerang ... 37

2. Landasan Filosofis Pondok Pesantren Daar el-Qolam 40 3. Visi dan Misi Pondok Pesantren Daar el-Qolam ... 41

4. Panca Jiwa dan Motto Pondok ... 42

5. Fasilitas ... 44

6. Jenjang Pendidikan ... 46

7. Kurikulum ... 47

B. Penyajian Data ... 48

1. Proses Wawancara ... 48

2. Hasil Penelitian ... 49

1) Efektifitas Hukuman Terhadap Kedisiplinan Santri ... 49

a. Disiplin Waktu ... 49

b. Disiplin Belajar ... 55

c. Disiplin Bertingkah Laku ... 59

C. Interpretasi Hasil Penelitian Tentang Efektifitas Hukuman Terhadap Kedisiplinan Santri di Pondok Pesantren Daar el-Qolam ... 63

a. Efektifitas Disiplin Waktu ... 64

b. Efektifitas Disiplin Belajar ... 66


(12)

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 78 LAMPIRAN


(13)

Tabel 1: Kalender Penelitian ... 33 Tabel 2: Profil Informan ... 34 Tabel 3: Hasil Penelitian Tentang Efektifitas Hukuman Terhadap


(14)

1. Kisi-kisi Instrumen Pedoman Wawancara 2. Pedoman Wawancara

3. Hasil Wawancara

4. Daftar Rekapitulasi Pelanggaran Santri Tahun Ajaran 2010-2011 5. Surat Keterangan Penelitian

6. Lembar Pengajuan Proposal Judul Skripsi 7. Surat Bimbingan Skripsi

8. Surat Permohonan Izin Penelitian 9. Surat Permohonan Izin Observasi 10.Surat Permohonan Riset/Wawancara


(15)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pemberian hukuman

(punishment) menurut teori pendidikan; (2) disiplin di Pondok Pesantren Daar

el-Qolam; (3) efektifitas hukuman dalam mendisiplinkan peserta didik di Pondok Pesantren Daar el-Qolam.

Pembahasan skripsi ini berdasarkan penelitian lapangan (field research) yang bertujuan untuk mendapatkan data atau informasi, baik berupa hasil wawancara dan dokumen-dokumen pesantren yang berkaitan dengan variabel penelitian. Field Research dilakukan dengan cara terjun langsung kelapangan demi memperoleh data yang valid agar kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Dalam riset ini data yang diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen akan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Data yang terkumpul disusun dan kemudian baru dianalisis. Analisa ini berguna bagi penulis sebagai upaya penggalian lebih lanjut mengenai masalah efektifitas hukuman dalam mendisiplinkan santri. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang bersalah mempunyai syarat dan macamnya, karena hukuman yang baik itu bukanlah yang bersifat memojokkan tetapi menyadarkan dan mendidik. Jika terpaksa harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipuji, didorong keberaniannya untuk berbuat baik. Perbuatan demikian merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus. (2) Pondok Pesantren Daar el-Qolam merupakan salah satu pesantren modern di Indonesia yang mengintegrasikan antara pendidikan tradisional yaitu pelajaran

kitab kuning dan pendidikan modern yaitu yang mengacu kepada kurikulum

nasional dipadu dengan bilingual dalam penyampaiannya di kelas dan disiplin berbahasa Inggris dan Arab di luar kelas. Dalam penelitian ini dibahas beberapa disiplin yang diterapkan di pondok pesantren tersebut, yaitu antara lain: disiplin waktu, disiplin belajar, dan disiplin bertingkah laku. (3) hukuman merupakan konsekuensi yang akan didapatkan bagi pelanggar disiplin di Pondok Pesantren Daar el-Qolam setelah sebelumnya diberikan peringatan dan ancaman sebagai penunjang disiplin agar tetap berjalan dengan baik. Hukuman yang diberikan memang terbukti efektif dalam membuat santri berdisiplin, apabila pemberian hukuman tersebut mengacu kepada pedoman dalam memberikan hukuman dan kebijakan pondok pesantren. Tetapi kadang hukuman akan berdampak pada perasaan benci anak didik apabila menyakiti fisik dan tidak mengandung unsur edukatif.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedisiplinan selalu menjadi hal yang banyak dibicarakan oleh banyak orang, baik itu disiplin dalam keluarga, masyarakat maupun sekolah. Terutama sekali disiplin yang ada di dalam suatu sekolah, karena di sekolah jelas sekali ada peraturan yang dimuat untuk mendisiplinkan anak didik di sekolah itu. Hal ini tentu saja tidak lepas dari seorang anak didik dan pendidiknya, terutama para pendidik, sebab disiplin sangat mempengaruhi keberhasilan seorang guru dalam mendidik, dengan mendidik dapat menjadikan seorang anak lebih bertanggung jawab atas segala tindakannya yang menyimpang dan dapat membuat anak didik lebih menghargai waktu dengan baik, sehingga tujuan pendidik didalam membentuk pribadi baik pada anak dapat tercapai. Seperti telah dikatakan diatas, bahwasanya disiplin tidak hanya kita temukan di sekolah atau lembaga-lembaga lain yang memberlakukan disiplin saja, akan tetapi disiplin yang kita temukan untuk pertama kali adalah di rumah, dengan peranan utama orang tua dalam mendidik kedisiplinan, sebab disiplin akan menjadi tanggung jawab orang tua murid jika keberadaan anak murid di rumah, begitu juga sebaliknya, disiplin akan menjadi tanggung jawab pihak sekolah (guru) jika keberadaan murid di sekolah.

Menurut pendapat Thomas Gordon bahwa, “Disiplin (peraturan) ini dilakukan, karena semua orang tua dan guru mengakui akan pentingnya bahwa di


(17)

dalam tumbuh kembangnya anak membutuhkan batasan-batasan tertentu”.1 Batasan itulah nantinya yang akan membawa anak kepada kedisiplinan dalam sesuatu, dengan batasan itu seorang anak di didik untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh orang tua ataupun gurunya, ketika seorang anak sudah biasa meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh orang tua ataupun gurunya, maka ia akan dengan mudah tanpa paksaan lagi bisa menjalani peraturan ataupun disipilin dengan baik. Untuk itu semua yang paling penting adalah bagaimana batasan-batasan tersebut dibangun, dan yang menjadi pokok persoalannya adalah bagaimana cara menentukan alat yang digunakan untuk disiplin agar lebih efektif. Karena dalam permasalahan ini para orang tua dan guru biasanya merasa tidak tahu bagaimana mereka harus bertindak, harus bertindak lunak atau keras, menjadi orang yang memberlakukan disiplin dengan keras (otoritas) atau menjadi seorang yang permisif.

Keduanya mempunyai kelemahan masing-masing, lebih lanjut Thomas Gordon menjelaskan, “Bagi orang yang memberlakukan disiplin dengan ketat, mereka dapat dikatakan sebagai otoriter, sebab pengawasan terhadap disiplin dipegang sepenuhnya oleh orang tua dan guru atau pada orang yang lebih dewasa,

sedangkan yang bersikap permisif, ini lebih bersikap toleran”.2

Maksud dari sikap toleran ini adalah anak-anak diizinkan mengawasi dan mengatur, namun jumlah guru permisif seperti ini lebih sedikit dibandingkan sikap guru yang otoriter.

Selain dari itu itu ada juga yang menggunakan alternatif lain, yaitu dengan menggabungkan keduanya, menggunakan cara otoriter dan permisif. Dalam hal

ini seorang pendidik dituntut untuk bisa menjadi seorang yang “keras” pada saat tertentu, dan menjadi seorang yang “lembut” pada saat yang lain. Dengan kata

lain seorang pendidik harus bisa melihat kondisi dan situasi sebelum ia bertindak dalam mendisiplinkan anak didik, yaitu dengan cara memilih cara mana yang harus digunakan, kapan harus menjadi seseorang yang otoriter dan kapan harus menjadi seorang yang permisif. Jika seseorang pendidik yang menerapkan otoritas

1

Thomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri, di rumah dan di Sekolah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 10.

2


(18)

berdasarkan kekuasaan harus diingatkan secara khusus bahwa otoritas yang diterapkan haruslah berdasarkan rasa kasih sayang atau penuh kebajikan.

Pada dasarnya otoritas itu sangat dibutuhkan dalam memberlakukan disiplin, seperti pendapat Emile Durkheim, yang menyatakan bahwa: “Agar siswa mentaati kaidah peraturan, ia (siswa) harus merasakan adanya sesuatu yang berharga dan

patut dihormati yaitu otoritas moral di mana kaidah itu ditanamkan”.3

Kedisiplinan juga membutuhkan penopang agar bisa tetap survive, sesuatu yang bisa menjadikan kedisiplinan bisa dijalani dengan sebaik-baiknya oleh anak didik, yaitu yang disebut dengan alat kedisiplinan, salah satunya adalah hukuman, yaitu suatu alat yang menjadi alternatif terakhir setelah alat pendidikan lain tidak efektif digunakan. Secara umum hukuman ini ditujukan untuk memperbaiki tingkah laku yang buruk menjadi baik, setelah anak menyadari dan menyesali perbuatan salah yang telah dilakukannya. Thomas Gordon mengatakan: “Selain itu juga hukuman dapat mencegah timbulnya beberapa prilaku anak yang tidak

dapat diterima atau mengacaukan”.4

Hukuman selalu mengandung rasa tidak enak pada anak, oleh karena itu di dalam memberikan hukuman pendidik harus mempertimbangkan hukuman yang akan diberikan sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya. Dalam memberikan hukuman pendidik harus dengan sebaik mungkin menghindari hukuman fisik dan hukuman yang keras berdasarkan kekuasaan, sebab cara itu akan memupuk agresi dan kekerasan pula pada anak. Anak akan menjadi frustasi dan reaksinya akan menimbulkan agresi dan rasa dendam, dan hukuman yang seharusnya menjadi alat kedisiplinan agar anak lebih teratur dan terarah menjadi tidak efektif lagi, sebab hukuman fisik ini mengandung rasa dendam.

Jadi hukuman fisik ini pada dasarnya hanya mengajari anak untuk menggunakan kekerasan itu sendiri, karena mereka akan menganggap bahwa kekerasan itu diperbolehkan. Jadi hukuman fisik yang kita bicarakan tadi tidak pantas diterapkan di sekolah, karena lebih banyak bernilai negatif, sedangkan hukuman yang dapat bernilai positif adalah hukuman yang bermakna mendidik

3

Emile Durkheim, Pendidikan Moral, Suatu Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Penerbit: Erlangga, 1990), h. 144.

4


(19)

untuk mencapai kearah kedewasaan dan dapat dipertanggung-jawabkan, seperti

pendapat Langeveld berikut ini: “Supaya suatu hukuman dapat dipertanggung -jawabkan dan penderitaan yang ditimbulkan mempunyai nilai paedagogies, maka hukuman itu harus membantu anak menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri”.5 Melihat betapa pentingnya seorang pendidik dalam mengefektifkan hukuman terhadap kedisiplinan santri atau siswa, maka penulis tertarik meneliti masalah

tersebut dengan judul: “EFEKTIFITAS HUKUMAN TERHADAP

KEDISIPLINAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN DAAR EL-QOLAM”.

Judul tersebut penulis pilih atas dasar pertimbangan sebagai berikut:

1. Di setiap pondok pesantren memiliki disiplin pondok yang harus dilaksanakan oleh santri dan disiplin ini tidak akan berjalan tanpa adanya sanksi bagi santri yang melanggar, dengan demikian hukuman diberlakukan untuk meningkatkan kedisiplinan santri dalam melaksanakan peraturan pesantren.

2. Daar el-Qolam adalah pondok pesantren modern yang mempunyai sistem pengajaran yang menerapkan disiplin 24 jam, mulai dari santri bangun tidur sampai santri tidur kembali.

3. Penulis ingin mengetahui apakah hukuman yang diberlakukan di pondok pesantren tersebut efektif dalam mendisiplinkan santri.

4. Judul tersebut juga dipilih untuk memudahkan penelitian, karena penulis merupakan alumni dari pondok pesantren tersebut.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Pembatasan Masalah

i. Efektifitas hukuman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah efektifitas hukuman yang diberikan oleh sistem pengajaran pesantren yang dalam hal ini dilaksanakan oleh guru (ustadz) ataupun pengurus

(mudabbir) yang terkait kepada santri yang melanggar sebagai alat

pendidikan.

55

M. J. Langeveld, diterjemahkan oleh I. P. Simanjuntak, Beknopte Theoritische Paedagogiek, (Jakarta: Aksara baru, 1984), h. 156.


(20)

ii. Disiplin yang dimaksud di sini adalah disiplin santri dalam mematuhi peraturan dan tata tertib yang dibagi menjadi tiga, yaitu: Disiplin waktu, disiplin belajar, dan disiplin bertingkah laku.

b. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas maka penelitian ini dirumuskan dalam dua rumusan besar, yaitu rumusan masalah umum (Major Research Question), yaitu:

- “Hukuman apakah yang diberikan kepada santri yang melanggar peraturan di Pondok Pesantren Daar el-Qolam”. - “Apakah hukuman yang diberikan kepada santri yang

melanggar peraturan di Pondok Pesantren Daar el-Qolam efektif dalam mendisiplinkan santri”.

Dan rumusan masalah khusus (Minor Research Question), yaitu: - “Apakah hukuman yang diberikan kepada santri yang

melanggar peraturan di pondok pesantren Daar el-Qolam efektif dalam mendisiplinkan waktu santri”.

- “Apakah hukuman yang diberikan kepada santri yang melanggar peraturan di pondok pesantren Daar el-Qolam efektif dalam mendisiplinkan belajar santri”.

- “Apakah hukuman yang diberikan kepada santri yang melanggar peraturan di pondok pesantren Daar el-Qolam efektif dalam mendisiplinkan tingkah laku (akhlak) santri”.

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelaah keefektifan hukuman terhadap kedisiplinan santri di pondok pesantren Daar el-Qolam Gintung Jayanti Tangerang.

2. Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian yang menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan strata satu (S1) pada jurusan Pendidikan


(21)

Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini akan berguna untuk:

a. Pondok Pesantren Daar el-Qolam, dalam mengetahui efektifitas hukuman terhadap kedisiplinan santri.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi para pendidik dalam menerapkan kedisiplinan santri di pondok pesantren.


(22)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Hukuman

1. Pengertian Efektifitas dan Hukuman

Secara etimologi, efektifitas merupakan kata serapan berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective menjadi efektif, lalu berubah menjadi efektifitas. Sedangkan menurut terminologi efektifitas berarti: “Dapat membawa hasil”.1 Sedangkan dalam kamus Ensiklopedia Indonesia, Efektifitas secara terminologi

berarti, “menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan”.2

Jadi suatu usaha akan dapat dikatakan efektif kalau usahanya itu mencapai tujuannya.

Hukuman sebagai salah satu alat pendidikan mendapat perhatian besar dari para filosof dan ahli pendidik muslim seperti: Ibnu Sina, al-Ghozali, al-Abdari, Ibnu Khaldun, dan Muhammad Athiyyah al-Abrasyi. Mereka sepakat berpegang pada prinsip yang menyatakan:

اعلْا نم رْيخ اقولْا

“Menjaga (tindakan preventif) lebih baik ketimbang mengobati (tindakan

kuratif)”.3

Tindakan kuratif dikatakan metode yang buruk dibandingkan dengan tindakan preventif karena tindakan mencegah adalah lebih baik daripada

1

G. B Yuwono, Pedoman Umum Ejaan Indonesia, yang telah disempurnakan. (Surabaya: Indah, 1987), cet, ke-1, h. 39.

2

Hasan Shadili, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, t. th), h. 883. 3


(23)

mengobati, apabila seorang anak sudah mencoba sesuatu yang buruk dan sudah tercebur ke dalamnya maka akan lebih sulit lagi untuk mengajaknya untuk meninggalkan perbuatan buruk itu. Jadi hukuman yang berupa metode kuratif itu merupakan metode terburuk atau bisa dikatakan sebagai metode terakhir setelah metode lain tidak efektif digunakan.

Adapun diantara para ahli pendidikan yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian hukuman diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Menurut KH. R. Zainuddin Fananie.

“Pembalasan atas kerja yang tidak baik, yang merugikan bagi yang bersama, atau bagi dirinya anak didikan sendiri, supaya berhenti dan bertaubat dari kerjanya, dan menjadi cermin bagi lain-lainnya itulah yang disebut

hukuman”.4

b. Menurut Amier Daien Indrakusuma.

“Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa. Dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji dalam hatinya untuk tidak

mengulanginya”.5

Kata “nestapa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sedih

sekali atau susah hati, sedangkan “kenestapaan” berarti kesusahan hati atau

kesedihan.

c. Menurut M. Ngalim Purwanto.

“Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan

sengaja oleh seseorang (orang tua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi

pelanggaran, kejahatan, atau kelemahan”.6

d. Menurut Drs. Suwarno.

“Hukuman adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud

4

KH. R. Zainuddin Fananie, Pedoman pendidikan Modern, (Jakarta, Fananie Center, 2010), Cet. ke-1, h. 108.

5

Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), h. 150.

6

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), ed. Ke-2, Cet ke-8, h. 186.


(24)

agar penderitaannya itu betul-betul dirasakannya untuk menuju kearah

perbaikan”.

e. Menurut A. Mursal Hadi yang dikutip dari buku karangan Dr. Zaenuddin, dkk.

“Hukuman adalah suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani

sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran”.7

Dari semua pendapat yang telah dikemukakan diatas maka penulis dapat mengambil sebuah pemahaman bahwa hukuman adalah sesuatu yang diberikan kepada anak yang dapat membuatnya menderita dengan maksud agar penderitaannya itu dapat merubahnya ke arah yang lebih baik lagi.

Selain pendapat beberapa ahli pendidikan yang mengemukakan pengertian tentang hukuman secara umum, sedangkan dalam syariat Islam telah diterangkan oleh sebuah ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwa kita diperbolehkan memberikan hukuman kepada orang yang telah melakukan kesalahan, ayat tersebut berbunyi:

































{

ءاسنلا

:

}

7

Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet ke-1, h. 86.


(25)

Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta myaratereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi

lagi Maha besar”. (Q. S. An-Nisa’ 4: 34).8

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa„id bin Rabi„ yang telah menampar istrinya yaitu Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena telah melakukan nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang kepada Rasul s.a.w. dan mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa„id. Akan tetapi, Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an-Nisa„ ayat 34 ini. Rasulullah s.a.w. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki

Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.9

Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi, „Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya. Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:

8

Tim Depag, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1992), ed. Revisi, h. 123.

9


(26)







Artinya:

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu

tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu[946], dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu

pengetahuan.” (QS Thaha [20]:114).

Rasul pun diam. Setelah itu, turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga akhir ayat.10

Hukuman yang dilakukan oleh Sa’id bin Rabi’ kepada istrinya bukan semata -mata karena dia dendam kepada istrinya, melainkan karena ada sebab yang memaksa dia melakukan itu yaitu kesalahan (pembangkangan) yang dilakukan oleh istrinya. Dan ketika Rasulullah ingin memberikan qishash kepada Sa’id karena perlakuannya kepada istrinya tersebut turunlah surat An-nisa ayat 34 yang membolehkan pemberian hukuman kepada istri karena pembangkangannya.

Selain ayat tersebut terdapat sebuah hadits yang juga berkaitan dengan pembahasan hukuman, yaitu:

ربس نْب عْيبرلا نْب ْ علْا دْبع نْب مرح انربْخأ رْجح نْب ع انثدح

لاق دج ْنع ْيبأ ْنع تربس عْيبرلا نْب ك ملْا دْبع مع ْنع نهجْلا

:

لاق

ها لْوسر

.

م

:.

نْينس عْبس غ ب اذإ اّلا بّلا اْوم ع

,

ْوبرْضا

رْ ع غ ب اذإ اهْي ع

{

مرتلا ا ر

}

.

10

Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dâr Mansyûr fî at-Tafsîr


(27)

Artinya:

“Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Harmalah bin Abdul Aziz Ar Rabi’

bin Sabrah Al Juhani memberitahukan kepada kami dari pamannya yaitu Abdul Malik bin Ar Rabi bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah

SAW bersabda: “Ajarkanlah anak kecil melakukan shalat ketika berumur tujuh

tahun dan pukullah dia karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh

tahun”. (H. R. Tirmidzi).11

Dari kedua dalil naqli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman boleh dilakukan dan bahkan harus dilakukan kepada orang-orang yang telah melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran dan sebelumnya ia telah tahu bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan atau dilanggar. Hukuman ini bermaksud untuk memberi peringatan atau teguran.

2. Syarat-syarat hukuman

Dalam lingkungan sekolah selalu saja ada anak yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku di sekolah dan konsekuensi dari pelanggaran tersebut adalah hukuman. Hukuman diberlakukan jika alat pendidikan yang lain seperti peringatan atau teguran sudah tidak efektif lagi digunakan, maka hukuman sebagai alternatif terakhir yang dapat digunakan oleh pendidik. Hukuman ini mempunyai tujuan umum yaitu untuk memberikan kesadaran kepada pelanggar bahwa perbuatannya itu salah. Karena menurut Stern, kesadaran dapat terjadi karena adanya konflik.12

Dalam hal ini juga, seorang pemikir Islam yaitu Al-Ghozali, tidak sependapat kepada orang tua dan pendidik yang dengan cepat-cepat dan sekaligus memberi hukuman terhadap anak-anak yang berlaku salah dan melanggar peraturan. Hukuman adalah jalan yang paling akhir apabila teguran, peringatan dan nasihat-nasihat belum bisa mencegah anak melakukan pelanggaran.13

11

H. Moh. Zuhri, dkk. Terjemahan sunan At-Tirmidzi, (Semarang: CV. As Syifah, 1992), Cet ke-1, jilid 1, h. 504-505.

12

Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. Ke-1, h. 241. 13

Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet ke-1, h. 86.


(28)

Hendaknya para pendidik atau guru mempergunakan cara-cara yang dapat menjauhkan anak melakukan perbuatan tidak baik yang dilakukan dalam bentuk persuatif dan kekeluargaan. Bila guru ingin mencegah anak berbuat buruk lebih baik menggunakan cara-cara yang membiarkan mereka seolah-olah tidak diperhatikan (metode

ضْرْع

), bukan cara langsung menegurnya dengan keras atau kasar (metode

خْرْس

). Bahkan mereka diperlakukan dengan kasih sayang, karena dengan demikian, anak tidak akan selalu berperilaku buruk. Dalam sebuah Hadits disebutkan: “Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki. (HR. Ath-Thahawi).

Berkaitan dengan hal ini Al-Ghozali mengatakan: “Karena dengan menegur secara kasar/keras akan menyingkapkan rasa takut dan menimbulkan keberanian menyerang orang lain, dan mendorong timbulnya keinginan untuk melakukan pelanggaran, sedang cara yang mendorong ke arah pengertian (metode

ضْرْع

) atau cara persuatif, membuat anak cenderung ke arah mencintai kebaikan, dan berpikir kreatif dalam memahami suatu kejadian oleh karena itu dengan cara ini anak akan dapat mengambil faedah dari kegemaran berpikir kritis terhadap suatu makna dalam setiap kejadian bahkan senantiasa mereka mencintai ilmu beserta sebab-sebab timbulnya ilmu itu”.

Menurut Ibnu Sina: “Suatu kewajiban pertama ialah mendidik anak dengan sopan santun, membiasakannya dengan perbuatan yang terpuji sejak mulai

disapih, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya”.

Jika terpaksa harus mendidik dengan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara agar ia kembali kepada perbuatan baik, atau kadang-kadang dipuji, didorong keberaniannya untuk berbuat baik. Perbuatan demikian merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus.

Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak


(29)

merasa ringan, dan memandang hukuman itu sebagai suatu yang remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak.

Hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang bersalah mempunyai syarat dan macamnya, karena hukuman yang baik itu bukanlah yang bersifat memojokkan tetapi menyadarkan dan mendidik. Ada beberapa ahli yang mengemukakan syarat-syarat hukuman yang mendidik.

KH. R. Zainuddin Fananie dalam bukunya mengatakan bahwa syarat-syarat diberikannya hukuman adalah sebagai berikut:

1. Agar hukuman itu menimbulkan rasa dan pengakuan salah, dan ingin bertaubat. Anak yang dihukum dengan tidak mengetahui atau merasa kesalahannya, memandang hukuman yang diberikan kepadanya itu semata-mata hanya merupakan tindakan dari kebencian orang yang menghukumnya (pendidik) saja.

2. Hendaklah hukuman itu seimbang dengan kesalahan.

3. Hukuman itu harus membuat (anak yang bersalah) merasa sakit dan merasakan kepahitan.

4. Supaya hukuman tadi membawa penyesalan, perasaan pedih dalam hatinya. Maka dari itu hendaknya jangan ada yang merasa sayang dan kasihan ketika mendapat hukuman itu.

5. Supaya anak didik itu paham bahwa hukuman adalah hasil (resiko) atau buah dari tiap-tiap kesalahan yang lazim diberikan.

6. Keadilan.

Jangan sekali-kali hukuman itu diberikan melainkan kepada anak yang jelas melakukan kesalahan, dan perbuatan salah itu memang sengaja dilakukan.


(30)

7. Hukuman diberikan bervariatif berlainan menurut umur, karakter atau

tabi’at, sebagaimana juga hukuman diberikan bervariatif menurut

kesalahan yang dilakukannya.14

Selain dari itu ada juga ahli pendidikan yang berpendapat bahwa syarat-syarat pemberian hukuman harus berfifat mendidik, yaitu antara lain:

a. Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggung-jawabkan. Ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

b. Hukuman harus bersifat memperbaiki.

c. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan.

d. Jangan menghukum ketika sedang marah.

e. Hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan sebelumnya.

f. Bagi anak, hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sendiri sebagai kedukaan atau penderitaan yang sebenarnya.

g. Jangan melakukan hukuman badan/fisik.

h. Hukuman tidak boleh merusakkan hubungan baik antara pendidik dengan anak didik.

i. Sehubungan dengan butir hukuman di atas, maka perlu adanya kesanggupan memberi maaf oleh pendidik.15

Dari syarat-syarat di atas, jelaslah terlihat dan dapat dimaklumi bahwa di dalam memberikan hukuman harus bersifat mendidik dan harus disertai dengan pertimbangan apakah hukuman yang akan dijatuhkan itu sesuai dengan kesalahannya, sehingga dalam hal ini seorang pendidik tidak boleh berbuat seenaknya dalam menjatuhkan hukuman. Menurut Al-Gazhali, “Sebelum memberikan hukuman, pendidik harus menyelidiki latar belakang yang menyebabkan ia berbuat kesalahan serta mengenai umur yang membuat kesalahan tersebut harus dibedakan antara yang kecil dan yang besar dalam menjatuhkan

14

KH. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (Jakarta: Fananie Center, 2010), Cet. Ke-1, hal. 113.

15


(31)

hukuman dan memberi pendidikan”.16

Pendidik yang baik tidak boleh memberikan hukuman dengan perasaan dendam, karena alasan rasa dendam di dalam memberikan hukuman itu sangat tidak baik dampaknya, dan hukuman yang telah dijatuhkan harus dapat dipertanggung-jawabkan.

Pada dasarnya hukuman yang diinginkan disini adalah hukuman yang bersifat mendidik, jadi pendidik diharapkan jangan menjatuhkan hukuman yang dapat menyakiti badan/fisik, sebab itu akan mmeberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak, dan kemungkinan besar yang timbul bukannya rasa sesal si anak tetapi malah menimbulkan rasa kesal pada anak, dan mungkin bahkan anak akan merasa dendam terhadap guru yang menjatuhkan hukuman tersebut. Dan pada akhirnya itu akan membuat hubungan baik antara guru dengan murid menjadi renggang, dan jika hukuman yang dijatuhkan efektif, maksudnya dapat membuat anak menyesal maka sebaiknya pendidik jangan bersikap memojokkan atau mengungkit-ungkit kesalahannya dahulu, sebab itu akan membuat si ank menjadi rendah diri dan sulit untuk bergaul kembali. Jadi, yang terpenting hendaklah guru dapat bersikap lebih bijaksana dalam memberikan hukuman serta dapat memberi maaf kepada siswa yang telah menyesali kesalahannya untuk kemudian tidak berbuat kesalahan untuk yang kesekian kalinya.

Oleh karena itu setelah pendidik menjatuhkan hukuman baiknya pendidik perlu melihat reaksi atau tanggapan anak yang muncul. Untuk itu ada pendapat beberapa ahli yang mengemukakan teorti tentang reksi yang mungkin timbul.

Menurut pendapat Prof. Gunning, Khonstamm, dan Scheller, yaitu: “Hukuman itu tiada lain pengasahan kata hati atau mengbangkitkan kata hati”. Maksud dari hukuman membangkitkan kata hati disini adalah hukuman yang bernilai positif yaitu hukuman yang dapat membuat anak menyesal dan kemudian berusaha memperbaikinya, sedangkan hukuman yang bernilainegatif adalah hukuman yang dapat menimbulkan reaksi buruk yang tidak diinginkan seperti mendendam atau menentang, dikarenakan hukuman yang diberikan tidak seimbang dengan apa

16

M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-6, h. 155.


(32)

yang diperbuatnya dan ini menimbulkan reaksi negative dari anak. Menurut Agus Sujanto, bahwa: “Anak akan bersikap menentang, apabila tuntutan yang diterima

terlalu berat”.17

3. Macam-macam Hukuman

Ada yang berpendapat bahwa hukuman itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Hukuman preventif yaitu, hukuman yang dilakukan dengan maksud agar

tidak atau jangan terjadi pelanggaran, sehingga hal itu dilakukannya sebelum pelanggaran dilakukan.

2. Hukuman corektif yaitu, hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah dilakukannya. Jadi, hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran.

Selain macam-macam hukuman yang terdapat di atas ada pula beberapa ahli yang mengemukakan tentang macam-macam hukuman ini, antara lain adalah:

a. Hukuman Asosiatif

Umumnya orang yang mengasosiasikan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk menyingkirkan perasaan yang tidak enak (hukuman) itu, biasanya anak akan menjauhi perbuatan yang baik atau yang dilarang.

b. Hukuman Praktis

Hukuman ini diberikan kepada anak yang agak besar, yang telah mengerti bahwa itu adalah akibat yang logis dari perbuatannya yang tidak baik. Anak mengerti bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang dia perbuat.

c. Hukuman Normatif

Hukuman ini bermaksud untuk memperbaiki moral anak-anak, hukuman ini dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma-norma etika. Jadi hukuman normatif sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak, dengan hukuman ini pendidik berusaha mempengaruhi kata hati anak-anak,

17


(33)

menginsafkan anak itu terhadap perbuatannya yang salah dan memperkuat kemauan untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan.

Menurut pendapat Suwarno, hukuman dapat dibagi menjadi empat, yaitu: a. Hukuman yang bersifat menjerakan, dengan tujuan agar setelah anak

melakukan pelanggaran dan mendapat hukuman, kemudahan ia merasa jera dan akhirnya tidak mengulanginya lagi.

b. Bentuk tujuan menakut-nakuti. Teori ini bertujuan untuk menimbulkan rasa takut pada orang yang belum pernah melakukan pelanggaran, sifat hukuman ini semakin lama semakin berat.

c. Bentuk hukuman pembalasan, bertujuan untuk mengembalikan atau membalas dengan apa yang pernah dirusak anak.

d. Hukuman membetulkan, teori ini bertujuan untuk memperbaiki anak kepada hal-hal yang positif dan memperbaiki hubungan antara anak didik dengan pendidik.18

Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan oleh pendidik harus disesuaikan dengan kesalahan yang telah diperbuat. Jadi seorang pendidik harus hati-hati dan teliti dalam memberikan hukuman, agar tidak terjadi kesalah pahaman antar guru, anak didik serta orang tua yang anak didik tersebut. Hukuman akan menjadi efektif apabila seorang anak memandang hukuman yang telah diberikan itu sesuai dan logis untuknya. Apalagi jika ia menerima hukman tersebut karena ia memandang yang memberikan hukuman tersebut memang patut disegani, bukan karena rasa takut tetapi karena kewibawannya. Oleh karena itu wibawa sangat dibutuhkan sekali oleh seorang pendidik.

4. Tujuan Hukuman

Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang maksud atau tujuan dari pada hukuman, dan salah diantaranya yaitu Ngalim Purwanto yang menyatakan bahwa maksud atau tujuan orang dalam memberikan hukuman itu sangat berkaitan dengan pendapat orang-orang mengenai teori hukuman, seperti:

a. Teori Pembalasan

18


(34)

Menurut teori ini hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang, tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan sekolah.

b. Teori Perbaikan

Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan. Jadi maksud hukuman ini ialah untuk memperbaiki pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. Teori inilah yang bersifat paedagogies, karena bermaksud memperbaiki pelanggar baik lahiriyah maupun batiniyah.

c. Teori Perlindungan

Menurut teori ini hukuman diadakan untuk menlindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan.

d. Teori Ganti Rugi

Menurut teori ini hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman ini banyak dilakukan dalam masyarakat atau pemerintah. Dalam proses pendidikan, teori ini tidak cocok karena dengan menerima hukuman semacam ini anak jadi merasa tidak bersalah karena kesalahannya telah terbayar dengan hukuman.

e. Teori Menakut-nakuti

Menurut teori ini hukman diadakan untuk menimbulkan rasa takut kepada si pelanggar akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut untuk melakukan perbuatan tersebut dan mau meninggalkannya. Teori ini juga membutuhkan teori perbaikan, sebab dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan itu hanya karena rasa takut bukan karena kesadaran bahwa perbuatannya bahwa perbuatannya memang salah dan tidak baik, dalam hal ini anak tidak terketuk kata hatinya.19

Selain menurut Drs. Ngalim Purwanto di atas sedangkan pendapat Charles

Schaefer mengenai tujuan hukman tersebut bahwa: “Tujuan jangka pendek dari

hukuman itu adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang panjangnya ialah untuk mengajar dan mendorong

19


(35)

anak untuk menghentikan sendiri tingkah laku mereka yang salah, agar anak dapat mengarahkan dirinya sendiri. Anak-anak ingin dikoreksi, tetapi mereka menghendaki koreksi yang bersifat mengasuh dan mendorong mereka”.

Dari pendapat diatas, maka dapat dikemukakan, bahwa tujuan atau maksud dari hukuman adalah mencegah, mengoreksi, dan memberi kesadaran kepada anak agar anak memahami kesalahannya sekaligus memperbaikinya dan tidak lagi mengulanginya dikemudian hari serta agar membuat anak berpikir lebih dewasa lagi.

5. Prinsip-prinsip Hukuman a. Prinsip Psikologi (kejiwaan)

Pada dasarnya setiap anak memiliki banyak perbedaan baik dari segi fisik maupun psikis. Perbedaan inilah yang menjadi problem bagi guru didalam menentukan sikap maupun menjatuhkan hukuman kepada anak didiknya yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu seorang guru harus mengetahui dan

memahami benar, bagaimana tabi’at, kesenangan, pembawaan, ataupun akhlaknya. Untuk itu semua seorang guru dituntut mengenal muridnya dari dekat. Agar ia selalu mempertimbangkan langkahnya ketika ia menghadapi seorang murid yang bermasalah. Suatu hukuman mungkin akan cocok untuk seorang anak, tetapi belum tentu cocok juga bagi anak yang lainnya. Sebagaimana ungkapan

Al-Gozhali yang berbunyi: “Bila dokter mengobati seluruh pasiennya dengan satu macam obat saja, tentu banyak dari mereka yang akan mati”.20

Dari ungkapan di atas dapat dinyatakan bahwa seorang guru harus mempunyai berbagai macam metode dalam menghadapi anak muridnya.

b. Prinsip keadilan

Yang dimaksud prinsip keadilan disini adalah prinsip untuk menyesuaikan antara bentuk pelanggaran serta siapa yang melakukannya. Menurut Charles

Schaefer: “Untuk kepentingan keadilan tetaplah ingat untuk mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut: Pelanggaran yang pertama atau sudah beberapa kali,

20

Nasharuddin Thaha, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, (Jakarta: Mutiara, 1997), h. 43.


(36)

pelanggaran atau perbuatan karena dorongan yang tiba-tiba, sifat dan tingkah laku

yang umum dan setiap perbuatan karena tertekan atau situasi.”

c. Prinsip kasih sayang

Salah satu syarat hukuman yang bersifat paedagogies adalah hukuman yang dapat diberikan atas dasar cinta kasih, ini berarti anak dihukum bukan karena benci atau karena pendidik ingin balas dendam dengan menyakiti anak didik. Tetapi pendidik ingin menghukum demi kebaikan anak, demi kepentingan dan masa depan anak. Oleh karena itu setelah hukuman diberikan jangan sampai berakibat putusnya hubungan kasih sayang antara pendidik dan anak didik.

d. Prinsip keharusan atau keterpaksaan

Hukuman bukanlah satu-satuya alat dalam mendidik dan bukan pula pilihan pertama yang harus dijatuhkan kepada anak didik yang melakukan pelanggaran. Hukuman ini dijatuhkan jika keadaan memaksa, karena alternatif lain sudah digunakan namun kurang efektif.

B. Kedisiplinan

1. Pengertian Kedisiplinan

Disiplin merupakan istilah yang sudah memasyarakat di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kita mengenal adanya disiplin kerja, disiplin lalu lintas, disiplin belajar dan macam istilah disiplin yang lain. Masalah disiplin yang dibahas dalam penelitian ini hanya difokuskan mengenai disiplin belajar, disiplin waktu dan disiplin bertingkah laku. Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.

Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang

memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:


(37)





















Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian

itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-nisa: 59 )

Sebagai kata benda disiplin biasanya dipahami sebagai prilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan. Kata disiplin menurut Thomas

Gordon berasal dari bahasa asing, yaitu: “Dicipline, yang artinya tertib atau

ketertiban. Disiplin juga mempunyai dua arti yang berbeda, yang pertama seperti

yang telah disebutkan di atas yaitu disiplin yang bertujuan untuk mengawasi, sedangkan yang kedua disiplin yang berkaitan dengan tindakan memberi instruksi,

mengajar, dan mendidik”.21

 Menurut W.J.S. Poerwadarminta disiplin adalah: “Latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib dan

peraturan”.22

 Sedangkan menurut Amatembun disiplin adalah: “Suatu keadaan tertib dimana para pengikut itu tunduk dengan senang hati pada ajaran-ajaran pemimpin atau suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang bergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan yang telah ada dengan rasa

senang hati”.23

21

Thomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 5.

22

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 245.

23


(38)

 Sedangkan menurut Oemar Hamalik disiplin yaitu: “Mengikuti atau belajar

dibawah seorang pemimpin”.24

 Menurut purbawakaca: “Disiplin adalah proses pengamalan atau pengabdian kehendak-kehendak langsung, dorongan-dorongan keagamaan, keinginan atau kepentingan kepada suatu cita-cita atau tujuan tertentu untuk mencapai

efek yang lebih besar”.25

 Sedangkan menurut Soejardo, disiplin adalah: “Kemampuan untuk mengendalikan diri dalam bentuk tidak sesuai dan bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung dan

melindungi sesuatu yang telah ditetapkan”.26

 Dewa Ketut Sukardiv dalam bukunya Bimbingan dan Konseling mendefinisikan disiplin sebagai berikut: “Disiplin memberikan dua arti yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang erat. Disiplin dibedakan arti positif dan negatif, arti positif adalah, suatu rentetan aktivitas atau latihan yang berencana yang dianggap perlu atau penting mencapai suatu tujuan tertentu. Arti negatif disiplin adalah hukuman terhadap prilaku yang dianggap

tidak diinginkan karena telah melanggar peraturan atau tata tertib”.

Dalam random house dictionary-nya Dr. Thomas Gordon kata kerja to

disciplin (mendisiplin) didefinisikan sebagai “Menciptakan keadaan tertib dan

patuh dengan pelatihan” dan “Pengawasan dan menghukum demi kebaikan”.27

Pendapat para ahli diatas mengindikasikan bahwa kedisiplinan itu berupa peraturan atau tata tertib, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh semua orang yang berada dalam lingkup kedisiplinan, dan dalam hal ini pada hakekatnya semua orang adalah termasuk kedalam lingkup kedisiplinan, baik dalam lingkungan keluarga, lngkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat, yang mana disiplin itu sendiri dilaksanakan agar tujuan yang

24

Oemar Hmalik, Mengajar, Azas, Metodik, (Bandung, Pustaka Mardiana, 1981), Cet ke-2, h. 210.

25

Soegarda Purbawakaca, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), h. 81. 26

Soedijarto, Pendidikan Sebagai Sarana Reformasi Mental Dalam Upaya Pembangunan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka 1999), h. 51.

27


(39)

diinginkan tercapai. Dan agar kedisiplinan tersebut berjalan lancar maka dalam hal ini dibutuhkan hukuman dan ganjaran sebagai alat pendukung.

Kemudian yang terpenting dalam hal ini adalah seorang siswa perlu memiliki sikap disiplin dengan melakukan latihan yang memperkuat dirinya sendiri untuk selalu terbiasa patuh dan mempertinggi daya kendali diri. Sikap disiplin yang timbul dari kesadarannya sendiri akan dapat lebih memacu dan tahan lama, dibandingkan dengan sikap disiplin yang timbul karena adanya pengawasan dari orang lain. Seorang siswa yang bertindak disiplin karena ada pengawasan ia akan bertindak semaunya dalam proses belajarnya apabila tidak ada pengawas. Karena itu perlu ditegakkan di sekolah berupa koreksi dan sanksi. Apabila melanggar dapat dilakukan dua macam tindakan yaitu koreksi untuk memperbaiki kesalahan dan berupa sanksi. Keduanya harus dilaksanakan secara konsisten untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma dan kaidah yang telah disepakati bersama. Hal ini dilakukan mengingat orang cenderung berperilaku sesuka hati. Begitu pula di lingkungan keluarga. Disiplin perlu diajarkan kepada anak sejak kecil oleh orang tuanya. Anak yang dididik disiplin, perlu mendapatkan perlakuan yang sesuai/sepatutnya bagi orang yang belajar. Apabila anak telah mengetahui kegunaan dari disiplin, maka siswa sebagai manifestasi dari tindakan disiplin akan timbul dari kesadarannya sendiri, bukan merupakan suatu keterpaksaan atau paksaan dari orang lain. Sehingga siswa akan berlaku tertib dan teratur dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dan akan menghasilkan suatu sistem aturan tata laku. Dimana siswa selalu terikat kepada berbagai peraturan yang mengatur hubungan dengan lingkungan sekolahnya dan lingkungan keluarganya.

2. Tujuan Disiplin

Dalam hidup kita sebagai manusia harus menciptakan kedisiplinan agar hidup yang kita jalani ini serba teratur, dan agar tidak ada kekacauan, kesulitan dan ketidak berhasilan. Adapun pendapat para ahli mengenai tujuan daripada disiplin ini antara lain adalah: Menurut Hasan Langgulung bahwa tujuan disiplin adalah:


(40)

terarah berjalan menuju jalan yang dituju”.28

Sedangkan Menurut Alex Sobur, tujuan berdisiplin adalah: “Menjadikan peserta didik mempunyai pengendalian diri dengan mudah yaitu menghormati dan mematuhi peraturan-peraturan dan mempunyai ketegasan terhadap hal-hal yang boleh dilakukan dan yang

dilarang”.29

Dari kedua pendapat diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua ahli sepakat bahwasanya disiplin bertujuan untuk menjadikan peserta didik mempunyai tingkah laku yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada demi kebaikan dirinya dan kebaikan bersama, dan dengan adanya disiplin tersebut akan membentuk manusia yang lebih bertanggung jawab dan tepat waktu, sehinga kehidupan akan lebih teratur dan terarah.

3. Bentuk-bentuk Disiplin

Karena banyaknya bentuk-bentuk disiplin yang diterapkan, maka penulis hanya mambahas tiga bentuk disiplin saja, karena menurut penulis ketiga bentuk disiplin ini mempunyai peranan yang sangat signifikan bagi peserta didik atau santri. Disiplin yang ada didalam diri tidaklah terbentuk dengan sendirinya, akan tetapi melalui proses, yaitu dengan melakukan suatu kegiatan (disiplin) secara berulang-ulang sehingga yang melakukan menjadi terbiasa melakukannya sehingga menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya menjadi suatu sifat atau kepribadian.

a. Disiplin Waktu

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwasanya hal yang paling mendasar daripada bentuk kedisiplinan yang pertama adalah disiplin waktu, dan sebagai contoh dari disiplin waktu ini dapat ditemukan pada kegiatan kita sehari-hari, seperti halnya shalat tepat pada waktunya, itu dapat membentuk kedisiplinan anak. Dan untuk membiasakan hal itu harus dilatih sejak kecil. Kewajiban shalat yang harus dikerjakan lima kali dalam sehari itu harus dirasakan oleh seorang anak sebagai suatu tanggung jawab yang harus dikerjakan, sehingga jika tidak dikerjakan maka akan menjadi suatu beban, karena didalam menerapkan disiplin

28

Hasan Langgulung, Manusia dan pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Al Husna, 1989), Cet ke-I, h. 400.


(41)

ada suatu alat yang digunakan agar berjalannya disiplin tersebut, dan alat tersebut adalah hukuman dan ganjaran. Sehingga bagi orang yang melanggar disiplin tersebut akan diberikan sangsi, seperti hukuman. Dan pada akhirnya mau tidak mau orang yang menjalaninya akan berpikir banyak jika mau melanggar.

Dari kegiatan (shalat) yang pada awalnya dilakukan karena takut akan sangsi atau hukuman, tetapi karena sudah terbiasa pada akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan bahkan menjadi suatu kebutuhan, karena ia akan merasakan ada sesuatu yang hilang jika tidak dikerjakan.

b. Disiplin Belajar

Pada dasarnya belajar atau menuntut ilmu sangat penting bagi umat manusia umumnya dan juga menjadi wajib bagi umat Islam khususnya, meskipun kita berada dalam keadaan perang. Ini berarti kedudukan ilmu sangat penting bagi manusia. Dan menuntut ilmu itu juga salah satu cara lain untuk berjihad selain pergi ke medan perang. Agar dalam belajar atau menuntut ilmu berjalan dengan baik, teratur dan terarah, maka disiplin belajar dibutuhkan. Sehingga kita dapat belajar semaksimal mungkin. Dengan disiplin belajar akan menimbulkan kesadaran diri untuk belajar tanpa didorong oleh other-imposed atau faktor dari luar. Meskipun kita pada awalnya belajar bedasarkan dorongan dari luar, namun pada akhirnya keinginan belajar akan timbul dari dirinya sendiri. Karena jika ia tidak melaksanakan disiplin belajar itu, ia akan merasa rugi karena kehilangan waktu yang ia buang. Sehingga dia dapat mengatakan bahwa waktu adalah belajar.

Menurut The Liang Gie, bahwa: “Berdisiplin dalam belajar selain akan membuat seseorang memiliki kecakapan mengenai cara belajar yang baik, juga merupakan proses ke arah pembentukan watak yang baik sehingga akan tercipta suatu pribadi yang luhur”.30

Jadi memang pada dasarnya disiplin belajar itu selain dapat membentuk etos belajar yang baik juga dapat membentuk kepribadian yang baik pula. Dan salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin belajar secara intensif itu

30

The Liang Gie, Cara Belajar Yang Efisien, (Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi, 1985), Cet ke-5, h. 59.


(42)

adalah pondok pesantren. Karena segala aktivitas disana selalu dimotori, dan jika ada yang melanggar disiplin akan diberikan sangsi. Selain disiplin waktu disiplin belajar juga menjadi hal yang utama di sana.

c. Disiplin Bertingkah Laku

Selain dua disiplin yang sudah dibahas di atas, sekarang disiplin bertingkah laku yang akan penulis bahas. Yang dimaksud disiplin bertingkah laku disini adalah disiplin dalam bersikap, dalam perkataan maupun perbuatan yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bersabda:

سلا عبْا تْنك ام ْيح ها ق ا

ئ

نسح ق خب انلا قلاخ اهحْم نسحلا ت

(

رذ بأ ناربطلا ا ر

)

Artinya:

“Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana saja, iringilah kejahatan dengan

kebaikan, maka terhapuslah kejahatan itu dan pergaulilah manusia dengan budi

pekerti yang baik.” (H. R. Thabrani dari Abi Zarr).

Maksud dari hadits tersebut adalah agar santri tidak salah memilih dalam bergaul, santri dengan yang lainnya, sehingga akan terjalin hubungan yang baik di dalam maupun di luar lingkungan pondok pesantren.

Dari uraian di atas, yaitu mengenai disiplin waktu, disiplin belajar, dan disiplin bertingkah laku dapat dilakukan dengan baik dan secara kontinu, maka ketiga disiplin itu akan menjadi suatu bagian dari dirinya, sehingga jika ia melanggar salah satu disiplin tersebut ia akan merasa rugi, karena ketiga disiplin tersebut telah menjadi suatu kebutuhan.

C. Karangka Konsep dan Definisi Operasional

Kerangka konsep dalam penelitian disamping berfungsi sebagai pedoman yang memperjelas jalan, arah dan tujuan penelitian juga akan membantu pemilihan konsep-konsep yang diperlukan guna pembentukan hipotesis. Dalam penelitian ini, kerangka konsep akan menjadi landasan untuk menjelaskan bagaimana efektifitas hukuman mempengaruhi disiplin belajar, disiplin waktu,


(43)

dan disiplin bertingkah laku santri di pondok pesantren Daar el-Qolam. Untuk itu akan dijelaskan bagaimana rasionalisasi kerangka konsep sebagai berikut:

Bahwasanya efektifitas hukuman itu, jika penggunaannya dapat mendisiplinkan santri, yaitu bilamana hukuman tersebut mengandung nilai paedagogis bukan bersifat agresi ataupun kekerasan.

Jadi hukuman yang diinginkan bukan hanya sekedar membuat siswa jera saja, tetapi membuat sadar siswa bahwa hukuman yang telah dijatuhkan itu adalah bukan karena rasa dendam guru, akan tetapi karena rasa sayang guru terhadap siswa, karena tidak ingin anak muridnya melakukan kesalahan. Oleh karena itu hukuman yang diberikan harus bersifat mendidik.

Meskipun hukuman di sini sebagai alternatif terakhir yang digunakan guru (usstadz) untuk membuat jera santri yang berbuat salah, namun hukuman ini besar sekali pengaruhnya terhadap kedisiplinan santri. Sebab dengan hukuman ini santri akan merasakan penderitaan, dan jika ia mengulangi kesalahan yang sama, maka ia akan merasakan penderitaan yang sama bahkan lebih menderita, karena jika kesalahan yang sama dilakukan secara berulang-ulang, maka hukuman yang diberikan akan lebih berat dari kesalahan yang pertama. Namun hukuman yang diberikan tetap harus bersifat edukatif, sehingga kedisiplinan terhadap santripun bertambah. Dengan demikian, maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara efektifitas hukuman dengan kedisiplinan santri.

Masalah disiplin didalam sistem pendidikan bukanlah masalah yang berdiri sendiri, namun memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen lain, karena pendidikan, pembelajaran, maupun pelatihan merupakan sebuah sistem. Oleh karena itu, kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem yang terdiri atas input, process, dan output. Komponen input terdiri atas kebijakan pondok pesantren, sumber daya organisasi meliputi SDM (Sumber Daya Manusia) pondok pesantren, yaitu antara lain; Dewan

Guru/Ri’ayah, Pengurus ISMI yang terkait, dan santri yang bersangkutan. Komponen process terdiri atas pelaksanaan penegakan disiplin, monitoring dan evaluasi. Komponen output meliputi keefektifitasan hukuman dalam merubah


(44)

sikap santri dalam berdisiplin, yaitu meliputi: pemanfaatan waktu, disiplin belajar dan bertingkah laku dalam berinteraksi.

Kerangka konsep penelitian ini dapat diskemakan sebagai berikut:

Masukan (input) Proses (process) Luaran (Output)

 Kebijakan pelaksanaan Pondok penegakan Pesantren disiplin di

 Sumber Daya Pondok Pesantren Organisasi: Daar el-Qolam SDM, yaitu

antara lain;

Dewan perencanaan

Guru/Ri’ayah,

Pengurus ISMI

yang terkait, pengawasan dan dan santri yang evaluasi bersangkutan. Dampak Antara (Outcome) Meningkatnya kedisiplinan santri di Pondok Pesantren Daar el-Qolam

Dampak Jangka Panjang (Impact)

Terbentuknya kepribadian yang sempurna (Insan Kamil) yang bisa me-manage

hidupnya dengan baik, baik dalam berinteraksi dengan Tuhannya maupun dengan sesama manusia.

Keterangan:

- - - = variable yang dikaji dalam penelitian

Untuk memperoleh pemahaman tentang konsep-konsep yang terdapat di dalam kerangka konsep di atas di bawah ini dijelaskan definisi operasionalnya.

Keefektifitasan hukuman dalam merubah sikap santri dalam berdisiplin: 1. Berdisiplin dalam memanfaatkan waktu dengan baik 2. Berdisiplin dalam belajar 3. Berdisiplin dalam bertingkah laku dalam berinteraksi.


(1)

hukuman yang menyakiti fisik dan di luar dari kebijakan dalam memberikan hukuman. Adapun segelintir orang yang memberikan hukuman dengan kekerasan fisik atau hukuman yang non-prosuderal hanyalah oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak mengaplikasikan teori pendidikan dalam pemberian hukuman. Hukuman yang diberikan kepada pelanggar disiplin diharapkan agar santri merasa jera untuk tidak mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya.

3. Balasan dari ketaatan adalah hadiah dan pujian, begitupun sebaliknya yaitu konsekuensi dari pelanggaran adalah hukuman. Hukuman yang diberikan kepada pelanggar disiplin di Pondok Pesantren Daar el -Qolam terbukti efektif dalam mendisiplinkan santri agar tidak mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kalinya. Lebih lanjut lagi hukuman tersebut dirasakan pula efeknya pada santri yang akan melakukan pelanggaran agar mengurungkan niatnya untuk melakukan pelanggaran disiplin.

B.Saran

1. Untuk dewan guru yang termasuk ke dalam penggerak disiplin pusat dari semua bagian, agar meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang telah diberlakukan kepada santri untuk ditingkatkan kembali. Dengan cara menjaga kebijakan-kebijakan lama yang masih terbukti efektif dalam mendisiplinkan santri dan merumuskan kebijakan-kebijakan baru yang lebih efektif dalam mendisiplinkan santri Pondok Pesantren Daar el-Qolam.

2. Untuk santri yang merupakan pengurus bagian (mudabbir/mudabbirah) Pondok Pesantren Daar el-Qolam, agar selalu sabar dalam mengurusi dan menggerakkan disiplin santri yang masih menjadi anggota untuk tidak memberikan hukuman di luar dari kebijakan Pondok Pesantren, karena pemberian hukuman non-prosuderal yang mengarah kepada kekerasan


(2)

77

fisik akan menimbulkan perasaan benci dan keterpaksaan dalam menjalankan disiplin.

3. Untuk semua santri Pondok Pesantren Daar el-Qolam baik itu pengurus maupun anggota, agar senantiasa ikhlas dalam menjalankan disiplin yang diberlakukan di Pondok Pesantren, karena setiap disiplin yang diberlakukan oleh Pondok pasti ada manfaatnya untuk diri sendiri yang akan dirasakan nanti setelah menjadi alumni, yaitu akan bisa berdisiplin dalam kehidupan sehari-hari walaupun tidak ada yang mengawasi. Dan juga setiap santri agar memahami bahwa di setiap lembaga pendidikan pasti terdapat disiplin yang menjadi rambu-rambu dalam menciptakan suatu sistem pendidikan yang tertata rapi.

4. Penulis berharap, sekecil dan sesederhana apapun kajian ini dapat bermanfaat bagi para pemerhati dan praktisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam di negeri ini.


(3)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmadi, Abu, Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, Cet. Ke-1. Amatembun, Management Kelas, Bandung, IKIP, 1981, Cet ke-1.

Daien Indrakusuma, Amir, Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1973.

Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Suatu Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Penerbit: Erlangga, 1990.

Fananie, Zainuddin, Pedoman pendidikan Modern, Jakarta, Fananie Center, 2010, Cet. ke-1.

Gordon, Thomas, Mengajar Anak Berdisiplin Diri, di rumah dan di Sekolah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Hmalik, Oemar, Mengajar, Azas, Metodik, Bandung, Pustaka Mardiana, 1981, Cet ke-2.

Jalaluddin as-Suyuthi, Abdur Rahman ibn al-Kamal, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, juz III, Beirut: Darul Fikr.

Langeveld, M. J., diterjemahkan oleh I. P. Simanjuntak, Beknopte Theoritische Paedagogiek, Jakarta: Aksara baru, 1984.

Langgulung, Hasan, Manusia dan pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Al Husna, 1989, Cet ke-I.

M. Athiyah, Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, Cet. Ke-6.

Noer Aly, Hery, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999.

Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Purbawakaca, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1997. Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja

Rosda Karya, 1995, ed. Ke-2, Cet ke-8.

Rosyad, Soleh, Kiprah Kiyai Entrepreneur, Banten: LPPM La-Tansa Mashiro, 2005.


(4)

79

Shadili, Hasan, Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, t. Th. Soedijarto, Pendidikan Sebagai Sarana Reformasi Mental Dalam Upaya

Pembangunan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka 1999.

Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru, 1984.

Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta, Aksara Baru, 1982, Cet ke-1. Thaha, Nasharuddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, Jakarta:

Mutiara, 1997.

The Liang Gie, Cara Belajar Yang Efisien, Yogyakarta: Pusat Kemajuan Studi, 1985, Cet ke-5.

Tim Depag, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1992, ed. Revisi.

Yuwono, G. B, Pedoman Umum Ejaan Indonesia, yang telah disempurnakan. Surabaya: Indah, 1987, cet, ke-1.

Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet ke-1.

Zaenuddin et. All. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, Cet ke-1.

Zuhaili, Dr. Wahbah, Tafsir al-Munîr, juz V.

Zuhri, H. Moh., dkk. Terjemahan sunan At-Tirmidzi, Semarang: CV. As Syifah, 1992, Cet ke-1, jilid 1.


(5)









“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).

Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna.” (Q.S. Al-Najm/53: 39-41)







“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya

kamu berharap.” (Q.S. Alam Nasyrah/94: 7-8)

”Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah

meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya”. (Al-Hadits)

”Kemajuan yang kau dapatkan tidaklah terukur dengan keberhasilanmu

memperbaiki segala apa yang telah terjadi, melainkan bagaimana kau merengkuh


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah SWT, Tuhan sumber

segala ”muara” esensi.

Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran, Skripsi ini untuk:

Almarhum ayahanda tercinta, wahai ayah.. kenangan indah bersamamu membuatku semangat untuk

menghadapi kerasnya hidup, akan kuteruskan perjuanganmu menjadi bapak untuk adik-adikku.

Ibuku tercinta, yang banyak menitikkan air mata dan memeras keringat untuk keluarga, yang

selalu memberikan kasih sayang, semangat, pengertian dan do’a yang tak

terputus-putus untuk keberhasilanku.

Kakakku tersayang, yang selama ini menjadi bapak bagi adik-adiknya untuk meneruskan perjuangan

yang dititipkan ayah, dan selalu mengorbankan kepentingannya untuk keluarga, aku bangga punya kakak sepertimu.

Adik-adikku tersayang,

yang selalu mengalah dan “dikorbankan” untuk mendahulukan cita-cita ayah yang dititipkan kepadaku.

Ivana Megawati, yang selalu menemani dan membantu dalam penyusunan skripsi ini dengan tawa