Pengaruh orientasi religius terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar El-Qalam Gintung-Jayanti-Tengerang

(1)

GINTUNG- JAYANTI- TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

NADIAH

NIM: 106070002271

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2010 M


(2)

II

GINTUNG – JAYANTI - TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

NADIAH

NIM : 106070002271

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag Mulia Sari Dewi, M.Si NIP. 19680614 199704 1 001 NIP. 19780502 200801 2 026

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 13 Desember 2010

Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2001

Anggota :

Gazi Saloom, M.Si Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag

NIP. 197112142007011014 NIP. 196806141997041001

Mulia Sari Dewi, M.Si NIP. 19780502 200801 2 026


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nadiah

NIM : 106070002271

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Orientasi Religius Terhadap Kecerdasan Emosional Guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Gintung, Jayanti, Tangerang” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 1 Desember 2010 Yang menyatakan

Nadiah NIM : 106070002271


(5)

B) Desember 2010 C) Nadiah

D) Pengaruh Orientasi Religius Terhadap Kecerdasan Emosional Guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Gintung Jayanti Tangerang

E) 72 halaman + lampiran

F) Sekarang ini tugas guru menjadi semakin berat. Guru tidak hanya harus memiliki sejumlah kompetensi akademis seperti penguasaan materi pelajaran, kepiawaian dalam merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan berbagai metode mutakhir, serta terampil dalam menggunakan alat peraga dan media pembelajaran; melainkan juga ia harus memiliki kematangan dan ketegaran kepribadian. Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelligence). Salah satu hal yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional adalah orientasi religius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh orientasi religius terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam, Tangerang.

Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Orientasi religius adalah cara pandang individu terhadap agama yang diyakininya. Berdasarkan motivasinya orientasi religius dibagi menjadi dua, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli menyatakan bahwa orientasi religius intrinsik dapat mempengaruhi individu untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Sebaliknya orientasi religius ekstrinsik tidak memberikan pengaruh bagi individu untuk bisa meningkatkan kecerdasan emosional.

Populasi penelitian ini berjumlah 197 guru. Sampel penelitian ini berjumlah 84 guru yang terdiri dari 45 guru laki-laki dan 39 guru perempuan. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling dengan metode undian (fishbowl). Instrumen penelitian yang digunakan berupa skala yang terdiri dari skala orientasi religius intrinsik, skala orientasi religius ekstrinsik, dan skala kecerdasan emosional dengan model skala Likert. Nilai reliabilitas skala orientasi religius intrinsik dengan 13 item yang valid adalah sebesar 0,8685, nilai reliabilitas skala orientasi religius ekstrinsik


(6)

v ii

Pesantren Daar el-Qalam Tangerang dengan nilai p value 0.000 < 0.05, sedangkan orientasi religius ekstrinsik tidak berpengaruh terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang dengan nilai p value 0.163 > 0.05. Kontribusi yang diberikan oleh semua aspek orientasi religius terhadap kecerdasan emosional sebesar 0.311 atau 31,1%. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar mengkaji lebih dalam tentang aspek-aspek orientasi religius agar dapat membuat instrumen penelitian yang lebih valid dan reliabel.


(7)

diukur dari kekuatannya,

tetapi diukur dari bagaimana

dia berdiri tegap setiap kali

dia terjatuh

Aldrin Mar Layugue

Skripsi ini dipersembahkan untuk

Mama&baba, nenek, kakak, dan adikku.

Terima kasih untuk semua do’a, cinta, kasih

sayang, keceriaan dan kekompakannya


(8)

menggenggam setiap kejadian, penyempurna setiap kebahagiaan, tempat bersandar dan bersyukur atas seluruh nikmat tanpa batas. Shalawat dan salam senantiasa menyelimuti Rasulullah SAW tercinta beserta seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerjasama, do’a dan kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis agar dapat menuntut ilmu dengan baik.

2. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Dosen pembimbing I yang penuh kesabaran dan keikhlasan membimbing penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga atas segala arahan, masukan, kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Mulya Sari Dewi, M.Si, Dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, nasihat dan sarannya serta koreksi yang sangat detail dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Ibu Dra.Fadhilah Suralaga, M.Si, Dosen pembimbing akademik.

5. Bapak H. Soetomo, Kepala Bagian Pengajaran Pondok Pesantren Daar el-Qalam yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian, serta para ustadz dan ustadzah yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah bapak dan ibu berikan mendapat keberkahan dari Allah SWT.


(9)

ix

inspirasinya. Untuk tante dan om yang banyak membantu penulis dengan menyediakan fasilitas yang penulis butuhkan, terima kasih banyak ya.

8. My lovely sisters and brother (mba Rie, mba Ulfah dan ade Alwi), yang selalu memberikan suasana ceria dan bahagia meskipun kalian sering jail. Terima kasih buat dukungan, kebersamaan dan kekompakannya.

9. Keluarga besar “Pare Never Ending”, spesial buat Nana dan Fais yang selalu ada saat penulis butuhkan, yang selalu mensupport penulis dalam segala hal, dan selalu menjadi tempat curhat yang nyaman untuk penulis. Buat sobat Aliyah-ku Ayu dan Eeng yang selalu mendukung penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Sahabat-sahabat tersayang Isni, Malini, Retha, Shila, Mut, Mita, Ega, Nining, Adel, terima kasih atas persahabatan yang terjalin indah selama empat tahun. Suka duka perkuliahan kita lalui bersama. Kenangan bersama kalian tidak akan pernah penulis lupakan. Temen-temen KKL Kiki, Santi, Farha, dan Ami, thanks banget buat kenangan indah dan menyenangkan meskipun cuma dua bulan.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2006 , khususnya kelas C. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah dan pembelajarannya selama ini. Untuk Fahria, thanks banget dah support dan nemenin penulis waktu minta tanda tangan. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat dalam pengembangan dunia psikologi islam khususnya dan pengembangan ilmu psikologi pada umumnya.

Jakarta, Desember 2010


(10)

Lembar Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iv

Motto ... v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Lampiran ... xiv

BAB I: Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1Pembatasan Masalah ... 8

1.2.2Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : Kajian Pustaka 2.1 Kecerdasan Emosional ... 12

2.1.1 Pengertian Emosi dan Kecerdasan Emosional ... 12

2.1.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 14

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 18

2.2 Orientasi Religius ... 19

2.2.1 Pengertian Orientasi Religius ... 19

2.2.2 Ragam Orientasi Religius ... 20

2.2.3 Aspek-aspek Orientasi Religius ... 22

2.2.4 Hal-hal yang Terkait dengan Orientasi Religius ... 23


(11)

BAB III : Metode Penelitian

3.1 Pendekatan Penelitian ... 29

3.2 Definisi Variabel ... 29

3.2.1 Definisi Konseptual ... 30

3.2.2 Definisi Operasional ... 30

3.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Data ... 32

3.3.1 Populasi dan Sampel ... 32

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 32

3.4 Instrumen Pengumpulan Data ... 33

3.5 Uji Instrumen ... 37

3.5.1 Uji Validitas ... 38

3.5.2 Uji Reliabilitas ... 41

3.6 Prosedur Penelitian ... 42

3.7 Teknik Analisa Data ... 44

BAB IV : Analisa Hasil Penelitian 4.1 Gambaran Umum Responden ... 45

4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

4.1.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan. 46 4.2 Statistik Deskriptif ... 47

4.3 Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden ... 48

4.3.1 Kategorisasi Skor Orientasi Religius ... 48

4.3.3 Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosional ... 49

4.4 Hasil Uji Hipotesis ... 50

4.5 Analisis Tambahan ... 61


(12)

5.2 Diskusi ... 65

5.3 Saran ... 68

5.3.1 Saran Teoritis ... 68

5.3.2 Saran Praktis ... 69

Daftar Pustaka ... 70

Lampiran


(13)

Tabel 3.1 Penilaian skala likert ... 34

Tabel 3.2 Blue print try out skala orientasi religius intrinsik ... 35

Tabel 3.3 Blue print try out skala orientasi religius ekstrinsik ... 36

Tabel 3.4 Blue print try out skala kecerdasan emosional ... 37

Tabel 3.5 Hasil try out skala orientasi religius intrinsik ... 39

Tabel 3.6 Hasil try out skala orientasi religius ekstrinsik ... 40

Tabel 3.7 Hasil try out skala kecerdasan emosional ... 41

Tabel 4.1 Gambaran responden berdasarkan jenis kelamin ... 45

Tabel 4.2 Gambaran responden berdasarkan latar belakang pendidikan ... 46

Tabel 4.3 Statistik deskriptif variabel penelitian ... 47

Tabel 4.4 Persebaran skor orientasi religius intrinsik ... 48

Tabel 4.5 Persebaran skor kecerdasan emosional ... 50

Tabel 4.6 Model summary ... 51

Tabel 4.7 Anova ... 52

Tabel 4.8 Proporsi masing-masing aspek orientasi religius pada kecerdasan emosional ... 53

Tabel 4.9 Coefficients ... 56

Tabel 4.10 Model summary ... 62

Tabel 4.11 Anova ... 62

Tabel 4.12 Coefficients ... 63


(14)

xiv

LAMPIRAN A

1. Surat ijin penelitian 2. Skala penelitian try out

3. Hasil validitas skala kecerdasan emosional try out 4. Hasil validitas skala orientasi religius intrinsik try out 5. Hasil validitas skala orientasi religius ekstrinsik try out 6. Hasil reliabilitas skala kecerdasan emosional try out 7. Hasil reliabilitas skala orientasi religius intrinsik try out 8. Hasil reliabilitas skala orientasi religius ekstrinsik try out 9. Skala penelitian field test

LAMPIRAN B

1. Tabel hasil regresi aspek-aspek orientasi religius

LAMPIRAN C

1. Skor data mentah try out skala orientasi religius intrinsik 2. Skor data mentah try out skala orientasi religius ekstrinsik 3. Skor data mentah try out skala kecerdasan emosional 4. Skor data mentah field test skala orientasi religius intrinsik 5. Skor data mentah field test skala orientasi religius ekstrinsik 6. Skor data mentah field test skala kecerdasan emosional


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sudah difahami bahwa banyak faktor yang turut menentukan kualitas pendidikan, seperti mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, kurikulum, dan faktor-faktor instrumental serta eksternal lainnya. Tetapi mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan kualitas, relevansi, inovasi, dan efisiensi pendidikan maka salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan upaya tersebut adalah guru. Di sisi lain, profesi guru sepanjang waktu selalu saja mendapat sorotan tajam. Dewasa ini tidak sedikit gambaran atau wacana yang diangkat untuk menunjukkan citra guru dituding sedang menurun.

Pekerjaan guru yang mulia dan seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber ketegangan lantaran iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan jaminan hak-hak kesejahteraan guru. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang masih memandang bahwa guru adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang melampaui kemampuan guru agar anak mereka menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan.

Sekarang ini tugas guru menjadi semakin berat. Guru tidak hanya harus memiliki sejumlah kompetensi akademis seperti penguasaan materi pelajaran, kepiawaian dalam merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan


(16)

berbagai metode mutakhir, serta terampil dalam menggunakan alat peraga dan media pembelajaran; melainkan juga ia harus memiliki kematangan dan ketegaran kepribadian. Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini berkaitan antara lain dengan kemampuan seseorang (guru) dalam mengelola emosi terhadap diri dan orang lain, menghadapi kesulitan dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta kasih yang tulus, dan tanggung jawab (Edi Hendri Mulyana, 2008).

Perasaan dan emosi guru yang memiliki kepribadian yang baik maka akan tampak stabil, optimis, menyenangkan serta mengahargai orang-orang di sekitarnya. Jika guru tidak stabil emosinya maka ia akan mudah marah, mudah murung, tidak bersemangat dan bahkan menjadi tidak menyenangkan bagi anak didiknya.

Beberapa tahun terakhir citra guru dinilai merosot karena banyaknya praktek kekerasan dan beberapa perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan oleh guru. Seperti yang dilakukan seorang guru SDN Kampung Bulak 4 Pamulang, Tangerang Selatan yang tega mengusir siswanya karena siswa tersebut belum membeli LKS (detikNews.com, 17 Juli 2010). Praktek kekerasan yang dilakukan oleh guru terjadi di beberapa sekolah, salah satunya terjadi di SMAN 3 Subang, Jawa Barat. Seorang guru sejarah tega menampar siswanya karena ia merasa kesal siswanya tidak memperhatikan pelajaran yang sedang diberikan serta siswa tidak menjawab pertanyaan yang diberikan guru dengan serius. Guru tersebut mengaku khilaf karena kelelahan mengajar (Liputan6.com, 20 April


(17)

2010). Praktek kekerasan ini tidak hanya terjadi pada sekolah umum saja. Sekolah dengan latar belakang agama pun terdapat praktek kekerasan yang dilakukan oleh dua orang kepala sekolah, yaitu kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Tarbiyatul Adfal dan kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) An-Nur, Sumenep- Madura. Kedua kepala sekolah ini tega menghajar siswanya yang berusia 10 tahun hingga tidak sadarkan diri. Hal ini terjadi karena siswa tersebut diduga mencium pipi anak kepala sekolahnya (forumkami.com).

Berdasarkan beberapa kasus yang telah dipaparkan, dapat dilihat keadaan emosi guru yang kurang stabil dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik pada siswanya. Guru juga tidak lagi memiliki rasa belas kasih kepada siswa. Emosi yang stabil sangat dibutuhkan agar guru dan siswa sama-sama merasa nyaman dalam proses belajar mengajar.

Para psikolog sependapat bahwa kecerdasan intelektual hanya berperan 20% terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya ditentukan oleh emosi. Hal ini berarti kecerdasan intelektual bukan jaminan terhadap tercapainya perwujudan diri yang bermakna. Perwujudan diri banyak ditentukan oleh faktor non-intelektual terutama kecerdasan emosional (Emotional Quotient / EI). Keberhasilan hidup sangat ditentukan oleh keseimbangan emosi yang nantinya akan mempengaruhi cara individu berinteraksi terhadap dunia luar (Netty Hartati, 2006).

Kecerdasan emosional tidak muncul dari pemikiran intelek yang jernih, tetapi dari pekerjaan hati manusia. Kecerdasan emosional menuntut individu untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta


(18)

untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari (Cooper & Sawaf, 2001).

Harmoko dalam I.G.A.N. Swistinawati (2009) mengatakan bahwa kecerdasan emosional dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional menuntut penilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Salovey, ada lima aspek dalam kecerdasan emosional, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenal emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2009).

Banyak ahli menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat naluri untuk meyakini dan mengadakan penyembahan terhadap suatu kekuatan luar biasa di luar diri manusia. Sehingga realitas menunjukkan bahwa banyak aktivitas individu didasarkan pada agama yang diyakininya. William James berpendapat bahwa agama mempunyai peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama pada manusia paling tidak sama menariknya dengan dorongan-dorongan lainnya (Jalaluddin Rakhmat, 2003).

Menurut Allport, agama memainkan peran penting dalam membantu individu menjadi lebih matang. Ia percaya bahwa komitmen untuk keyakinan keagamaan dapat membantu individu mengatur dan memberi makna konstruktif untuk kehidupannya (Ryckman, 2008).


(19)

Salah satu aspek yang dikaji oleh psikologi agama sebagai hasil dari perkembangannya adalah orientasi religius. Allport adalah tokoh pertama yang mengenalkan orientasi religius melalui penelitian bersama rekannya, Ross. Hasil penelitiannya menimbulkan ketertarikan para ilmuwan lain umtuk mengedakan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana orientasi religius mempengaruhi perilaku individu.

Gordon W Allport dan Michael Ross merumuskan yang mereka istilahkan dengan Orientasi Beragama (Religious Orientation). Allport dan Ross merumuskan Orientasi Beragama sebagai "sistem cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya" (P Mohamad, 1996). Sistem cara pandang ini akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang diyakininya sebagai perintah agama. (http://qoffa.multiply.com/journal). Lebih lanjut Allport dan Ross membagi orientasi religius menjadi dua berdasarkan aspek yang memotivasinya, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik.

Individu yang berorientasi religius intrinsik menunjukkan motivasi utama dalam agama yang dianut oleh dirinya sendiri. Agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemandu. Cara beragama seperti ini, melekat ke dalam diri pemeluknya. Kebutuhan-kebutuhan lainnya sekuat apapun dianggap kurang berarti dan sedapat mungkin diintegrasikan dalam keselarasan dengan keyakinan dan ajaran-ajaran religius (Rahma Widyana, 1998).


(20)

Individu yang berorientasi religius intrinsik akan menekankan hidupnya pada kepentingan agama. Agama dijadikan motif utama yang mengatur seluruh hidupnya. Individu ini tidak tawar-menawar dengan Tuhan atau menggunakan Tuhan sebagai selimut keamanan. Individu dengan orientasi religius intrinsik sangat termotivasi untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Individu mengambil keyakinan agama secara serius dan keyakinan agama tersebut membantu mengintegrasikan kepribadian dan menghasilkan moral yang konsisten (Ventis dalam Ryckman, 2008).

Sedangkan menurut Allport dan Ross (dalam Ryckman, 2008), individu dengan orientasi religius ekstrinsik akan menggunakan agamanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Individu seperti ini cenderung menggunakan agama mereka terutama untuk melayani diri sendiri, motif tersembunyi seperti keamanan, kenyamanan, status, atau dukungan sosial. Misalnya, individu mengunjungi tempat ibadah hanya untuk menjalin hubungan kerja atau untuk meningkatkan status sosial di masyarakat.

Berdasarkan penelitian Allport mendefinisikan agama ekstrinsik sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan (something to use but not to live). Agama dijadikan sarana untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki status, berrahan melawan kenyataan atau memberi sanksi suatu cara hidup dengan aturan-aturan (Crapps, 1993).

Penelitian telah menunjukkan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik cenderung untuk menjadi individu yang lebih kompeten dan aman secara emosional, lebih fleksibel dalam merekasi masa-masa yang genting, dan lebih


(21)

cakap dalam mengatasi masa-masa gawat dari pada individu yang berorientasi religius ekstrinsik. Individu yang berorientasi religius intrinsik juga sedikit berprasangka, cemas, takut, dan obsesi pada kematiannya dari pada individu dengan orientasi religius ekstrinsik (Blaine & Crocker; Donahue; Hill & Pargament; Lesniak, Rudman, Rector, & Elkin; Maltby & Day; McFarland; Park, Cohen, & Murch; Ponton & Gorsuch; Ventis). Singkatnya, menurut Dezutter, Soenens & Hutsebaut (2006) individu dengan orientasi religius intrinsik lebih sehat secara psikologis dari pada individu dengan orientasi religius ekstrinsik (Ryckman, 2008).

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kecerdasan emosional yang dimilikinya secara sempurna. Hal ini dikarenakan individu dengan orientasi religius intrinsik memiliki kemampuan untuk mengenal serta mengelola emosi yang sedang terjadi (aman secara emosional), mampu memotivasi diri ketika mengalami masa-masa sulit, serta memiliki motivasi untuk membina hubungan dengan orang lain dan termotivasi untuk selalu menolong orang yang sedang kesulitan tanpa mengharapkan balasan.

Sedangkan individu dengan orientasi religius ekstrinsik kemungkinan kecil akan mampu meningkatkan kecerdasan emosional yang dimiliki dengan sempurna. Hal ini dikarenakan individu tersebut hanya mau membina hubungan dengan orang lain jika hubungan tersebut dapat memberikan keuntungan bagi


(22)

dirinya serta bisa menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan tertentu, seperti rasa aman, status sosial, dan hubungan kerja.

Berdasarkan fenomena serta beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan tentang orientasi religius yang berkaitan dengan emosi. Oleh karena itu peneliti layak untuk mengajukan penelitian ini dengan mengajukan judul “Pengaruh Orientasi Religius Terhadap Kecerdasan Emosional Guru”.

1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah

Suatu penulisan ilmiah sangat diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penulisan ini tidak menyimpang dari sasarannya.

1. Pembatasan Masalah

a. Orientasi Religius adalah cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya. Orientasi religius terdiri atas orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik.

b. Kecerdasan Emosi adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.


(23)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah ada pengaruh orientasi religius intrinsik terhadap kecerdasan emosinal guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang?

b. Apakah ada pengaruh orientasi religius ekstrinsik terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang?

c. Aspek-aspek orientasi religius manakah yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh orientasi religius terhadap kecerdasan emosional.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori psikologi, khususnya yang berhubungan dengan psikologi agama. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat

yaitu:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengembangkan kecerdasan emosional


(24)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur atau bacaan yang bisa membantu guru untuk menambah pengetahuan tentang orientasi religius dan kecerdasan emosional

c. Penelitian ini dapat dijadikan salah satu acuan untuk mengembangkan kecerdasan emosional guru dalam pendidikan melalui orientasi religius yang dimiliki guru

1.4Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai hubungan orientasi religius dengan kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistemetika penulisan

BAB 2 Kajian Pustaka, menguraikan sejumlah kkonsep yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang terdiri dari pengertian, aspek-aspek, dan hal-hal yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Selain itu juga dijelaskan konsep mengenai pengertian orientasi religius, ragam orientasi religius, aspek-aspek orientasi religius, dan hal-hal yang berkaitan dengan orientasi religius.

BAB 3 Metodologi Penelitian, bab ini berisi penguraian mengenai variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, desain


(25)

penelitian, instrumen penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB 4 Presentasi dan Analisa Data, menguraikan mengenai pengolahan semua data yang terkumpul dari penelitian ini. Data yang terkumpul meliputi gambaran umum subjek penelitian, hubungan orientasi religius dengan kecerdasan emosional guru dan analisis regresi tiap aspek orientasi religius dengan kecerdasan emosional guru.

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasan-keterbatasan penelitian. Bagian saran berisi saran-saran teoritis untuk keperluan penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil penelitian.


(26)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Kecerdasan Emosional

2.1.1 Pengertian Emosi dan Kecerdasan Emosional

Dalam makna paling harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Goleman (2009) menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Para peneliti terus berdebat tentang emosi mana yang benar-benar dapat dianggap sebagai emosi primer. Sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar. Calon-calon utama dan beberapa anggota golonggan tersebut adalah:

a. Amarah: beringas, mengamuk, marah besar, benci, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan yang paling hebat tindak kekerasan dan kebencian patologis

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan jika menjadi patologis – depresi berat

c. Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, dan jika menjadi patologi – fobia dan panik


(27)

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya – mania

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaik hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih

f. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana

g. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah

h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur (Goleman, 2009).

Istilah kecerdasan emosi diperkenalkan pertama kali oleh John Mayer dan Peter Salovey pada tahun 1990. Salovey dan Meyer (Shapiro, 1997) memberikan definisi tentang kecerdasan emosi sebagai himpunan bagian dari kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan dalam memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri dan orang lain dan kemudian menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Menurut Salovey dan Meyer kecerdasan emosional mengacu pada suatu kemampuan yang dipelajari untuk menerima, memahami, dan mengungkapkan perasaan secara akurat dan untuk mengendalikan emosi (Chapman, 2008).

Goleman (1999) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.


(28)

2.1.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Salovey (Goleman, 2009), ada lima aspek dalam kecerdasan emosional yaitu:

1. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri (mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi) merupakan dasar kecerdasan emosionalonal. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat individu ada dalam kekuasaan perasaan. Individu yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasannya adalah pilot yang handal bagi kehidupannya, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.

Menurut Netty Hartati (2006), kesadaran diri adalah kemampuan individu untuk menyadari emosi yang sedang dialaminya, dapat mengenal emosi itu, memahami kualitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung serta tahu penyebab terjadinya.

2. Mengelola emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Keterampilan mengelola emosi ini akan meninjau kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Individu yang buruk


(29)

kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

Menurut Ema Yudiani (2005), mengelola emosi yaitu menangani emosi agar berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu tujuan dan mampu menetralisir tekanan emosi. Kemampuan ini bisa mengendalikan kemarahan, ketergesa-gesaan, dan kemungkinan berpikir sebelum mengambil keputusan. 3. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang dikerjakan.

Netty Hartati (2006) mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kemampuan memotivasi diri adalah ia memiliki kepercayaan diri yang positif, optimis dalam menghadapi keadaan sulit, terampil dan fleksibel dalam menemukan alternatif pemecahan masalah.

Memotivasi diri menurut Myers (I.G.A.N. Swistinawati, 2009) adalah suatu kebutuhan atau keinginan yang dapat memberi kekuatan dan mengarahkan tingkah laku menjadi motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal berikut:


(30)

a. Optimisme

Optimisme merupakan sikap menahan seseorang untuk tidak terjerumus dalam keadaan adaptis, keputusasaan, dan depresi pada saat mengalami kekecewaan dan kesulitan dalam hidup. Optimis merupakan sikap yang cerdas secara emosional.

b. Harapan

Harapan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Harapan merupakan keyakinan adanya kemauan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Orang yang mempunyai harapan tidak akan menjadi cemas dan tidak akan bersikap pasrah, seseorang yang mempunyai harapan memiliki beban stress yang rendah.

c. Flow

Flow merupakan puncak pemanfaatan emosi demi mencapai sasaran yang ditetapkan. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga dan keselarasan dengan tugas yang dihadapi. Ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan yang spontan. 4. Mengenali emosi orang lain (Empati)

Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan keterampilan dasar “bergaul”. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan arena kehidupan. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan


(31)

apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Semakin individu terbuka kepada emosi diri sendiri, maka individu akan semakin terampil membaca perasaan.

Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal, diantaranya nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.

5. Membina hubungan dengan orang lain

Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi.

Menurut Eny Purwandari dan Purwati (2008), membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan individu untuk membentuk hubungan, membina kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi, dan membuat orang lain merasa nyaman, serta dapat jadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik akan tampak sabar dan dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan emosi orang yang sedang didengar keluhannya.

Menurut Hatch dan Gardner (Goleman, 2009), ada empat kemampuan terpisah yang diidentifikasi sebagai komponen-komponen kecerdasan antarpribadi, yaitu: pertama, mengorganisir kelompok yaitu memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan individu. Kedua, merundingkan pemecahan yaitu mencegah atau menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Ketiga, hubungan pribadi yaitu mengenali dan merespons dengan tepat


(32)

perasaan dan keprihatinan orang lain. Keempat, analisis sosial yaitu kemampuan mendeteksi dan mempunyai pemahaman tentang perasaan, motif, dan keprihatinan orang lain.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Gottman & Declaire (I.G.A.N. Swistinawati, 2009) dan Ventis dkk (Ryckman, 2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Antara lain, yaitu :

a. Keluarga

Goleman (2000) mengatakan kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Dalam wadah besar yang akrab ini, individu belajar bagaimana merasa tentang diri sendiri dan orang lain bereaksi terhadap perasaan diri, bagaimana memikirkan perasaan yang dimiliki dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi. Orang tua yang kecerdasan emosionalnya tinggi merupakan keuntungan besar bagi anak. Kecerdasan emosional orang tua yang tinggi membuatnya memilih tindakan dan pola asuh yang sesuai bagi anak untuk membantu meningkatkan kecerdasan emosional anak.

b. Pengalaman

Kecenderungan individu untuk bertindak biasanya diawali oleh pengalaman hidupnya. Cara mempelajari keterampilan emosional dapat diperoleh dari pengalaman dengan lingkungan sekitar, ketika individu melakukan kontak sosial dengan orang lain. Adanya hubungan dengan orang lain dapat


(33)

mempengaruhi perilaku individu seperti bagaimana menilai orang lain, bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu dapat menentukan sikap. c. Pendidikan Sekolah

Sekolah dapat menjadi salah satu lembaga yang dapat mengajarkan kecerdasan emosionalonal. Goleman (2000) menyebutkan bahwa sekolah dapat berperan besar dengan mencantumkan keterampilan emosional dalam kurikulumnya. Adanya rancangan yang lebih luas dengan mengembangkan kurikulum pelajaran keterampilan emosional ataupun mempersiapkan guru yang berkompeten untuk membantu mengajarkan keterampilan emosional.

d. Orientasi Religius

Penelitian yang dilakukan Ventis dan rekan-rekannya (Ryckman, 2008) menunjukkan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik cenderung menjadi individu yang lebih kompeten dan aman secara emosional, lebih fleksibel dalam mereaksi masa-masa genting, dan lebih cakap dalam mengatasi masa-masa gawat dari pada individu yang berorientasi religius ekstrinsik.

2.2 Orientasi Religius

2.2.1 Pengertian Orientasi Religius

Dalam kamus psikologi J.P. Chaplin (2006), religion (agama) adalah suatu sistem yang kompleks dari kepercayaan, keyakinan, sikap-sikap, dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau makhluk yang bersifat ketuhanan.


(34)

Orientasi religius didefinisikan sebagai cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya yang menentukan pola bentuk relasi individu dengan agamanya (Worthington dalam Priska dan Henny, 2004).

Menurut Allport dan Ross “Religious orientation has been defined as the extent to which a person lives out his or her religious belief”. Orientasi religius telah didefinisikan sebagai tingkat dimana individu hidup dengan keyakinan agamanya (McCormick, Hoekman & Smith, 2000).

Batson dan Ventis (Earnshaw,2000) juga mengemukakan bahwa orientasi religius adalah istilah yang digunakan oleh para psikolog untuk mengarahkan kepada bagaimana individu mempraktikkan atau hidup dengan keyakinan dan nilai-nilai agamanya (religious orientation is the term employed by psychologists to refer to the way in which a person practices or lives out his or her religious belief and values).

Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orientasi religius adalah cara pandang individu mengenai agamanya serta bagaimana individu tersebut menggunakan agama atau keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.2 Ragam Orientasi Religius

Allport dan Ross (Fuad Nashori, 1998) tipe orientasi religius dapat dibagi menjadi dua, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Mereka menggunakan pendekatan motivasional untuk menjelaskan tipologi ini.


(35)

a. Orientasi Religius Intrinsik

Menurut Crapss (1993) orientasi religius intrinsik adalah agama yang dihayati dan dipandang bernilai bagi dirinya sendiri, yang menuntut keterlibatan dan mengatasi kepentingan sendiri.

Bagi individu tersebut agama sudah menyatu dan tidak terpisahkan dengan kehidupan. Individu yang berorientasi religius intrinsik menerapkan atau menjalankan ajaran agama dalam kehidupannya secara konkrit. Allport menyatakan bahwa agama semacam ini adalah religi yang dewasa atau mengandung keinginan untuk suatu komitmen yang merupakan penggabungan yang ideal dari hidup individu. Bagi individu agama sudah menyatu dan tidak terpisahkan dengan kehidupan (Crapps dalam Priska N. & Henny E.W., 2004). Menurut Ventis (Ryckman, 2008) individu yang berorientasi religius intrinsik akan menganggap keyakinan agama sebagai tujuan itu sendiri. Keyakinan agama mereka membantu mengintegrasikan kepribadian mereka dan menghasilkan moralitas yang konsisten.

b. Orientasi Religius Ekstrinsik

Allport dan Ross (Fuad Nashori, 1998) menjelaskan bahwa individu yang menganut orientasi religius ekstrinsik akan memandang agama dalam rangka kegunaan untuk berbagai hal, antara lain untuk memperoleh rasa aman, penghiburan, pembenaran diri, memperbaiki status, dan bertahan melawan kenyataan atau member sanksi pada suatu cara hidup. Bagi mereka, keyakinan yang dipeluknya cenderung dianut atau dilambangkan secara selektif agar cocok dengan kebutuhan-kebutuhannya yang lebih primer. Individu dengan


(36)

orientasi ini cenderung memanfaatkan agamanya demi kepentingan-kepentingan sendiri. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa individu yang berorientasi religius ekstrinsik “memanfaatkan agamanya”.

Menurut Hardjana (Toifur, 2003), orientasi religius ekstrinsik adalah iman yang tidak menyatu dengan pribadi orang yang beragama. Baginya iman merupakan masalah luar yang tidak mempengaruhi cara berpikir, berkehendak, dan berperilaku. Orang yang berorientasi religius ekstrinsik bukan mengahayati tetapi menggunakan iman demi kepentingan pribadi. Agama dianut dengan pamrih karena kepentingan pribadi, ekonomi, sosial yang ada di luar kepentingan iman. Bagi individu semacam ini, menganut agama adalah cara untuk mendapatkan kehangatan, pertolongan dan perlindungan di tengah kehidupan yang tidak menentu.

2.2.3 Aspek-aspek Orientasi Religius

Menurut interpretasi Hunt dan King (Widyana, 1998) mengenai beberapa aspek yang berkaitan dengan masing-masing orientasi religius yang dikembangkan dari definisi Allport adalah sebagai berikut:

a. Personal vs Institusional

Personal yaitu meyakini secara personal nilai-nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan mengusahakan tingkat penghayatan yang lebih dalam, sedangkan institusional yaitu penghayatan agama yang bersifat institusional atau dalam konteks kelembagaan.


(37)

b. Unselfish vs Selfish

Unselfish maksudnya berusaha mentransendensikan kebutuhan-kebutuhan yang berpusat pada diri sendiri, sedangkan selfish adalah pemuasan diri sendiri, pemanfaatan protektif untuk kepentingan pribadi.

c. Relevansi terhadap seluruh kehidupan vs Disiintegrasi

Relevansi maksudnya memenuhi kehidupannya dengan motivasi dan makna religius, sedangkan disiintegrasi yaitu agama terpilah atau tidak terintegrasikan ke dalam keseluruhan pandangan hidupnya.

d. Kepenuhan penghayatan keyakinan yaitu beriman dengan sungguh dan menerima keyakinan agama secara total tanpa syarat vs Keyakinan dan ajaran agama yang dihayati secara dangkal

e. Pokok vs Instrumental

Keyakinan agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif yang utama dan sangat signifikan, sedangkan instrumental yaitu keyakinan agama sebagai sarana mencapai tujuan, memanfaatkan agama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang non-religius.

f. Assosiasional vs Komunal

Assosiasional yang dimaksud adalah keterlibatan religius demi pencarian religius yang lebih dalam, sedangkan komunal maksudnya afiliasi (pertalian atau hubungan) demi sosiabilitas dan status.

g. Keteraturan penjagaan perkembangan iman yaitu penjagaan perkembangan iman yang konsisten dan teratur vs Ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman atau penjagaan yang bersifat periferal.


(38)

2.2.4 Beberapa Hal yang Terkait dengan Orientasi Religius

Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan orientasi religius ada beberapa penelitian yang telah dilakukan, yaitu:

a. Fisik

Faktor fisik ini terdiri dari usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Strickland & Shaffer mengemukakan bahwa orang yang lebih tua cenderung memiliki orientasi religius internal lebih kuat dari pada orang yang lebih muda, dan orang yang pendidikan formalnya lebih tinggi biasanya memiliki orientasi religius yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang pendidikannya lebih rendah (McCormick, Hoekman & Smith, 2000).

b. Kesehatan mental dan psikis

Batson & Ventis menjelaskan bahwa orientasi religius berhubungan secara positif dengan kesehatan mental yang baik dan kebebasan dari perasaan bersalah atau khawatir (Earnshaw, 2005).

Penelitian Beit-Hallahmi & Argyle (1997) menyatakan bahwa individu yang sering datang ke gereja jarang meninggal cepat karena gagal jantung atau penyakit serius lainnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Genia & Shaw (1991) menyatakan bahwa orientasi religius intrinsik juga terprediksi untuk rendahnya tingkat depresi. Dalam dua penelitian lebih lanjut oleh McFarland & Warren (1992) ditemukan bahwa orientasi religius intrinsik berhubungan negatif dengan depresi, sedangkan orientasi religius ekstrinsik berhubungan negatif dengan depresi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa orientasi religius


(39)

berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Earnshaw, 2005).

c. Perilaku sosial

Orientasi religius juga dapat meramalkan perilaku sosial. Berbagai perilaku yang telah diuji dalam penelitian utama termasuk prasangka yang dilakukan oleh Beit-Hallahmi & Argyle (1997), hasilnya adalah individu dengan orientasi religius intrinsik umumnya tidak memiliki prasangka (prejudice) sebesar individu dengan orientasi religius ekstrinsik (Earnshaw, 2005).

2.3 Kerangka Berpikir

Kecerdasan emosional memerlukan pengembangan yang sebaik-baiknya melalui pola bimbingan holistik, berpusat pada kehidupan keluarga yang berdasarkan nilai-nilai religi dan bernuansa pendidikan dalam suasana harmoni budaya bangsa (Netty Hartati, 2006).

Menurut Darajat (2003) agama mempunyai peran penting dalam pengendalian moral individu. Kualitas pemahaman keagamaan individu akan menentukan semua perilaku yang dilakukannya. Semakin baik pemahaman nilai-nilai agama individu semakin baik yang ditampilkan, tetapi sebaliknya pemahaman nilai-nilai agama yang kurang baik akan membawa individu pada sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma masyarakat.

Pemahaman serta cara pandang individu terhadap agamanya akan memberikan pengaruh penting dalam kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosialnya. Pemahaman dan cara pandang yang baik terhadap


(40)

agamanya akan membawa individu hidup dalam kedamaian, penuh kasih sayang, dan tanpa kekerasan. Individu akan mampu mengendalikan emosi terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Individu juga akan mampu mengenal dan memahami perasaan orang lain serta mampu membina hubungan baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Individu dengan orientasi religius intrinsik akan menekankan hidupnya pada kepentingan agama. Agama dijadikan motivasi utama untuk mengatur seluruh hidupnya. Segala kebutuhan hidupnya sebisa mungkin selalu selaras dengan ajaran agamanya. Ketaatan beragama semacam ini adalah motif utama dalam kehidupan sehingga dianggap menunjang kesehatan mental dan kedamaian masyarakat. Dengan cara itu individu mampu menciptakan keyakinan yang penuh kasih sayang serta hubungan baik dengan sesama.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ventis dkk (dalam Ryckman, 2008), menunjukkkan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik cenderung menjadi individu yang aman secara emosional, lebih fleksibel dalam menghadapi masa-masa genting serta mampu menghadapinya. Individu ini juga akan termotivasi untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Dari California Psychological Inventory (Bergin dalam Rahma Widyana, 1998), menemukan bahwa bahwa orientasi religius intrinsik berhubungan secara positif dengan beberapa aspek kepribadian seperti kematangan sosial, bertanggung jawab, memiliki perasaan senang, dan efisiensi intelektual.

Orientasi religius intrinsik dapat memberikan pengaruh bagi individu dalam meningkatkan kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi yang sedang


(41)

dirasakannya dengan baik. Mampu melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Individu ini juga memiliki kemampuan untuk membina hubungan baik dengan orang lain melalui kebiasaannya untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan orientasi religius intrinsik akan mampu meningkatkan kecerdasan emosional yang ada pada dirinya secara sempurna karena individu ini memiliki kemampuan-kemampuan yang merupakan aspek dari kecerdasan emosional.

Menurut Allport, individu dengan orientasi religius ekstrinsik akan cenderung menggunakan agama terutama untuk kepentingan diri sendiri, motif tersembunyi seperti rasa aman, kesenangan, status, atau dukungan sosial. Ventis dkk (Ryckman, 2008), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa individu dengan orientasi religius ekstrinsik akan berbanding terbalik dengan individu yang berorientasi religius intrinsik. Kemudian Bergin (dalam Rahma Widyana,1998) mengemukakan bahwa orientasi religius ektrinsik berkorelasi negatif dengan kemampuan sosial, sikap tenang dan spontan, bertanggung jawab, toleransi, perasaan senang, keberhasilan menyesuaikan diri, keberhasilan untuk mandiri, efisiensi intelektual dan kualitas yang mendasari munculnya status diri.

Individu dengan orientasi religius ekstrinsik tidak akan termotivasi untuk memperhatikan keadaan orang lain karena mereka hanya ingin memenuhi kepentingan pribadinya. Mereka tidak memiliki kemampuan sosial yang baik. Individu ini hanya mau membina hubungan dengan orang-orang yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya dalam mewujudkan keinginan pribadinya. Artinya individu dengan orientasi religius ekstrinsik tidak akan memiliki rasa


(42)

empati dan perilaku sosial yang baik. Mereka akan mudah merasa cemas, takut, mudah murung, dan sulit menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya sehingga mereka akan kesulitan untuk meningkatkan kecerdasan emosional.

Dengan demikian, diduga bahwa individu yang cenderung berorientasi religius intrinsik akan mampu meningkatkan kecerdasan emosionalnya. Sedangkan individu yang cenderung berorientasi religius ekstrinsik tidak akan mampu meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

2.4 Hipotesis

Ha1: Ada pengaruh positif yang signifikan orientasi religius terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang

Ha2 : Ada pengaruh positif yang signifikan orientasi religius intrinsik terhadap kecerdasan emosional guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam Tangerang Ha3 : Ada pengaruh negatif yang signifikan orientasi religius ekstrinsik terhadap


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk menguji hipotesis yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, pada bab ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian tentang hubungan antara orientasi religius dengan kecerdasan emosional pada guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam, Gintung, Jayanti, Tangerang. Bab tiga ini terdiri dari jenis dan metode penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, uji instrument, prosedur penelitian, dan teknik analisa data.

3.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang datanya berbentuk angka-angka dan dianalisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2008). Pendekatan ini dipilih karena peneliti mengolah data dalam bentuk angka-angka ke dalam analisis statistik.

3.2. Definisi Variabel

Menurut Kerlinger (Sugiyono, 2008) variabel adalah konstruk atau sifat yang dipelajari. Variabel terbagi menjadi dua macam, yaitu variabel bebas (Independent Variable) dan variabel terikat (Dependent Variable). Dalam


(44)

penelitian ini yang merupakan variabel bebas adalah Orientasi Religius, sedangkan variabel terikatnya adalah Kecerdasan emosional.

3.2.1. Definisi konseptual

Menurut Sevilla dkk (1993), variabel adalah suatu karakteristik yang mempunyai dua atau lebih nilai atau sifat yang satu sama lain terpisah. Adapun definisi konseptual dari variabel-variabel penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kecerdasan emosional dikemukakan oleh Goleman (1997), yaitu suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

2. Orientasi religius dikemukana oleh Allport dan Ross yang dikutip oleh McCormick, Hoekman & Smith (2000), yaitu tingkat dimana seseorang hidup dengan keyakinan agamanya.

3.2.2. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dari variabel-variabel penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kecerdasan emosional yang dimaksud adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya yang diukur melalui skala


(45)

Kecerdasan Emosional dengan indikator: kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial yang tercermin dari skor yang diperoleh melalui alat ukur kecerdasan emosinal guru Daar el-Qalam.

2. Orientasi religius yang dimaksud adalah bagaimana individu hidup dengan agama atau keyakinan yang diyakininya. Terdapat dua kategori orientasi religius yang ada pada penelitian ini, yaitu orientasi religius intrinsik yang diukur melalui skala Orientasi Religius Intrinsik dengan indikator pada aspek-aspek orientasi religius intrinsik, yaitu penghayatan agama secara personal, agama berpusat pada diri sendiri, ajaran agama digunakan dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan keyakinan secara total, agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif yang utama, pencarian religius yang lebih dalam, keteraturan penjagaan perkembangan iman. Lalu orientasi religius ekstrinsik yang diukur melalui skala Orientasi Religius Ekstrinsik dengan indikator pada aspek-aspek orientasi religius ekstrinsik, yaitu penghayatan agama dalam konteks kelembagaan, agama sebagai pemuasan diri atau kepentingan pribadi, ajaran agama tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan agama yang dangkal, agama sebagai sarana memenuhi kebutuhan yang non-religius, agama digunakan sebagai cara untuk membentuk hubungan kerja atau sosial, penghayatan agama yang besifat periferal. Semuanya tercermin dari skor yang diperoleh melalui alat ukur orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik guru Daar el-Qalam.


(46)

3.3. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Data 3.3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Menurut Gay (Sevilla, et al., 1993) populasi adalah kelompok yang dijadikan sasaran generalisasi oleh peneliti. Menurut Sugiyono (2008) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Pondok Pesantren Daar el- Qalam, Tangerang yang berjumlah 197 guru.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi yang dijadikan subjek penelitian (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang akan diambil adalah 84 guru.

3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Random Sampling. Teknik random sampling mempunyai beberapa cara dalam pengambilan sampel. Dalam penelitian ini cara yang digunakan adalah simple random sampling. Menurut Weirsma (Sevilla, 1993) pengambilan sampel secara acak adalah suatu metode pemilihan ukuran sampel dari suatu populasi di mana setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama dan semua kemungkinan penggabungannya yang diseleksi sebagai sampel mempunyai peluang yang sama.


(47)

Syarat pengambilan sampel secara acak meliputi tahap-tahap sebagai berikut: pertama, menetapkan populasi; kedua, daftar semua anggota populasi; ketiga, memilih sampel melalui prosedur yang sesuai di mana setiap anggota mempunyai peluang yang sama sebagai sampel penelitian (Sevilla,1993).

Ada dua prinsip dasar dalam pengambilan sampel secara acak, yaitu (1) Equi-probability – ini berarti bahwa setiap anggota populasi yang termasuk dalam sampel mempunyai peluang yang sama. (2) Independence – hal ini berkenaan dengan kenyataan bahwa bila satu anggota yang diseleksi (dipilih) sebagai sampel tidak mempengaruhi peluang anggota lain (Sevilla,1993).

Dalam memilih sampel penelitian prosedur yang akan digunakan adalah pengambilan sampel melalui undian. Fox (Sevilla, 1993) menyebutnya sebagai teknik fishbowl.

3.4. Instrumen Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi yang relevan adalah dengan menggunakan skala. Karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu: stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkapkan indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. Indikator perilaku itu diterjemahkan dalam bentuk item-item, maka skala psikologi selalu berisi banyak item dan respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh (Saifuddin Azwar, 2008).


(48)

Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa skala yang terdiri dari skala Orientasi Religius dan skala Kecerdasan emosional. Kedua skala ini disusun berdasarkan indikator-indikator variabel yang merupakan ciri-ciri perilaku yang hendak diteliti. Kedua skala ini berisi pernyataan-pernyataan yang harus dipilih dengan pilihan yang sesuai dengan individu tersebut. Bentuk skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert. Pada skala ini akan ditampilkan pernyataan yang bersifat mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable) dengan empat alternatif pilihan jawaban. Empat alternatif pilihan jawaban dilakukan untuk menghindari posisi tengah yang menyebabkan subyek cenderung untuk menempati dirinya pada posisi tersebut. Adapun penilaian pada keempat alternatif jawaban tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Tabel Penilaian Skala Likert

Alternatif Favorable Unfavorable

Sangat Sesuai (SS) 4 1

Sesuai (S) 3 2

Tidak Sesuai (TS) 2 3

Sangat tidak Sesuai (STS) 1 4

a. Skala Orientasi Religius

Skala ini disusun berdasarkan dimensi orientasi religius yang dikemukakan oleh Allport. Penyusunan skala bermula dari adaptasi penelitian yang dilakukan oleh Allport & Ross tentang Orientasi Religius untuk kemudian disesuaikan


(49)

dengan kondisi sampel yang dijadikan penelitian. Skala orientasi religius pada penelitian ini dibuat menjadi dua, yaitu skala orientasi religius intrinsik dan skala orientasi religius ekstrinsik.

Indikator yang digunakan pada skala orientasi religius intrinsik ini yaitu penghayatan agama secara personal, agama berpusat pada diri sendiri, ajaran agama digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pemenuhan penghayatan keyakinan, agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif utama, pencarian religius yang lebih dalam, dan keteraturan penjagaan perkembangan iman.

Dalam skala ini terdapat 21 item yang hanya terdiri dari item favorable. Distribusi penyebaran item pada skala orientasi religius intrinsik ini dapat dilihat melalui tabel 3.2 sebagai berikut:

Tabel 3.2

Blue Print Skala Try Out Orientasi Religius Intrinsik

No. Indikator Item Jumlah

1. Penghayatan agama secara personal 1,8,15 3 2. Agama berpusat pada diri sendiri 2,9,16 3 3. Ajaran agama digunakan dalam kehidupan

sehari-hari

3,10,17 3

4. Penghayatan keyakinan secara total 4,11,18 3 5. Agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif

yang utama

5,12,19 3

6. Pencarian religius yang lebih dalam 6,13,20 3 7. Keteraturan penjagaan perkembangan iman 7,14,21 3


(50)

Adapun indikator yang digunakan dalam skala orientasi religius ekstrinsik ini merupakan aspek orientasi religius ekstrinsik, yaitu penghayatan agama dalam konteks kelembagaan, agama sebagai pemuasan diri sendiri, ajaran agama tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan agama yang dangkal, agama sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang non-religius, agama sebagai sarana untuk membentuk hubungan kerja atau sosial, ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman.

Dalam skala ini terdapat 21 item yang hanya terdiri dari item favorable. Distribusi penyebaran item pada skala orientasi religius ekstrinsik ini dapat dilihat melalui tabel 3.3 sebagai berikut:

Tabel 3.3

Blue Print Skala Try Out Orientasi Religius Ekstrinsik

No Indikator Item Jumlah

1. Penghayatan agama dalam konteks kelembagaan 1,8,15 3 2. Agama sebagai pemuasan diri sendiri 2,9,16 3 3. Ajaran agama tidak digunakan dalam kehidupan

sehari-hari 3,10,17 3

4. Keyakinan agama yang dangkal 4,11,18 3 5. Agama sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan

yang non-religius 5,12,19 3

6. Agama sebagai sarana untuk membentuk

hubungan kerja atau sosial 6,13,20 3

7. Ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman 7,14,21 3

Jumlah 21


(51)

Skala kecerdasan emosional dibuat berdasarkan dimensi kecerdasan emosional Daniel Goleman sebagai indikator. Adapun indikator kecerdasan emosional yang diungkapkan oleh Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2009) yaitu, mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

Dalam skala ini terdapat 38 item yang terdiri dari 20 item favorable dan 18 item unfavorable. Distribusi penyebaran item pada skala kecerdasan emosional ini dapat dilihat melalui tabel 3.4 sebagai berikut:

Tabel 3.4

Blue Print Skala Try Out Kecerdasan emosional

Item No. Indikator

Favorabel Unfavorabel Jumlah

1. Mengenal emosi diri 1,4,15,27 18,30 6

2. Mengelola emosi diri 7,13,20,31 8,16,24,36 8 3. Memotivasi diri sendiri 3,17,23,32 2,14,22,33 8

4. Empati 5,11,29 6,21,26 6

5. Membina hubungan dengan

orang lain 9,19,25,35,37 10,12,28,34,38 10

Jumlah 20 18 38

3.5. Uji Instrumen

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan uji instrumen dengan 80 item dari 3 skala, yaitu skala orientasi religius intrinsik sebanyak 21 item, skala orientasi religius ekstrinsik sebanyak 21 item dan skala kecerdasan emosional sebanyak 38 item. Uji instrument diberikan kepada 30 guru Pondok Pesantren


(52)

Daar el-Qalam, Tangerang pada tanggal 7 Oktober 2010. Uji instrumen ini dilakukan dengan maksud:

a. mengetahui validitas instrumen di mana skor tiap item dikorelasikan dengan skor total.

b. mengetahui tingkat reliabilitas instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat reliabilitas skala tersebut.

3.5.1. Uji Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah. Sehingga valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Saifuddin Azwar, 2007).

Pengujian validitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment dalam Pearson dengan bantuan komputer melalui program SPSS (Statistical Package For Social Science) versi 11.5 for Windows. Sedangkan validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk.


(53)

Dari tabel hasil try out skala orientasi religius intrinsik dapat dilihat bahwa ada 13 item yang valid, yang terbagi dalam item penghayatan agama secara personal, agama berpusat pada diri sendiri, ajaran agama digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pemenuhan penghayatan keyakinan, agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif utama, pencarian religius yang lebih dalam, dan keteraturan penjagaan perkembangan iman.

Table 3.5

Hasil Try Out Skala Orientasi Religius Intrinsik

No. Indikator Item Jumlah

1. Penghayatan agama secara personal 8, 1 2. Agama berpusat pada diri sendiri 2,9 2 3. Ajaran agama digunakan dalam kehidupan

sehari-hari

10,17 2

4. Penghayatan keyakinan secara total 11 1 5. Agama sebagai tujuan akhir, nilai dan motif

yang utama

19 1

6. Pencarian religius yang lebih dalam 6,13,20 3 7. Keteraturan penjagaan perkembangan iman 7,14,21 3

Jumlah 13

3.5.1.2 Validitas Orientasi Religius Ekstrinsik

Dari tabel hasil try out skala orientasi religius ekstrinsik dapat dilihat bahwa ada 14 item yang valid, yang terbagi dalam item penghayatan agama dalam konteks kelembagaan, agama sebagai pemuasan diri sendiri, ajaran agama tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan agama yang dangkal, agama sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang non-religius, agama sebagai


(54)

sarana untuk membentuk hubungan kerja atau sosial, ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman.

Tabel 3.6

Hasil Try Out Skala Orientasi Religius Ekstrinsik

No Indikator Item Jumlah

1. Penghayatan agama dalam konteks kelembagaan 1,8,15 3 2. Agama sebagai pemuasan diri sendiri 9,16 2 3. Ajaran agama tidak digunakan dalam kehidupan

sehari-hari 3 1

4. Keyakinan agama yang dangkal 4,11 2

5. Agama sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan

yang non-religius 5,12 2

6. Agama sebagai sarana untuk membentuk hubungan

kerja atau sosial 6,13,20 3

7. Ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman 7 1

Jumlah 14

3.5.1.3 Validitas Kecerdasan Emosional

Dari tabel hasil try out skala kecerdasan emosional dapat dilihat bahwa ada 13 item yang valid, yang terbagi dalam item mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.


(55)

Table 3.7

Hasil Try Out Skala Kecerdasan Emosi

Item No. Indikator

Favorabel Unfavorabel

Jumlah

1. Mengenal emosi diri --- 30 1

2. Mengelola emosi diri 7 --- 1

3. Memotivasi diri sendiri 3,17 14,22 4

4. Empati 29 21 2

5. Membina hubungan dengan

orang lain 19,35,37 28,34 5

Jumlah 7 6 13

3.5.2. Uji Reliabilitas

Realibilitas diterjemahkan dari kata reliability. Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, jika aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Saifuddin Azwar, 1996).

Uji reliabilitas dilakukan pada 30 guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam, Tangerang pada tanggal 7 Oktober 2010. Uji reliabilitas ketiga skala ini menggunakan uji Statistic Alpha Cronbach dengan menggunakan SPSS versi 11.5. Suatu konstruk atau variabel dikatakan memiliki reliabilitas yang baik bila memiliki koefisien reliabilitas diatas 0,6 dan mendekati angka 1. Hasil uji reliabilitas skala orientasi religius intrinsik, skala orientasi religius ekstrinsik dan kecerdasan emosional adalah sebagai berikut:


(56)

1. Nilai reliabilitas skala orientasi religius intrinsik dengan 13 item yang valid adalah sebesar 0,8685. Jadi, skala orientasi religius intrinsik dapat dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian

2. Nilai reliabilitas skala orientasi religius ekstrinsik dengan 14 item yang valid adalah sebesar 0,8233. Jadi, skala orientasi religius ekstrinsik dapat dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian

3. Nilai reliabilitas skala kecerdasan emosional dengan 13 item yang valid adalah sebesar 0,7777. Jadi, skala kecerdasan emosional dapat dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian

3.6. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan umum, yakni sebagai berikut:

1. Persiapan penelitian

ƒ Dimulai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah.

ƒ Menentukan variabel-variabel yang akan diteliti.

ƒ Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang tepat mengenai variabel penelitian.

ƒ Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang digunakan dalam penelitian, yaitu skala orientasi religius intrinsik, skala orientasi religius ekstrinsik, dan skala kecerdasan emosional yang dirancang berupa skala Likert.


(57)

2. Pengujian alat ukur

Peneliti melakukan uji coba alat ukur pada ketiga skala, yaitu orientasi religius intrinsik, orientasi religius ekstrinsik, dan kecerdasan emosional pada guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam, Tangerang tanggal 7 Oktober 2010

Tahap pengambilan data, yaitu:

ƒ Menentukan jumlah sampel penelitian.

ƒ Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta kesediaan responden untuk mengisi skala penelitian.

ƒ Memberikan alat ukur yang telah disiapkan kepada 30 responden .

Setelah uji coba dilakukan, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas skala dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor tiap item dengan skor total, dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson dan perhitungannya menggunakan program SPSS versi 11.5. maka diperoleh reliabilitas dari skala orientasi religius intrinsik sebesar 0,8685, skala orientasi religius ekstrinsik sebesar 0,8233 dan skala kecerdasan emosional sebesar 0,7777. Ketika alat ukur ini dapat disimpulkan memiliki reliabilitas yang baik karena suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai alpha Cronbach > 0,60.

3. Tahap Field Study

Penelitian sesungguhnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2010. Peneliti menyebarkan skala orientasi religius intrinsik yang terdiri dari 13 item, skala orientasi religius 14 item, dan skala kecerdasan emosional 13 item kepada 84 guru Pondok Pesantren Daar el-Qalam.


(58)

4. Pengolahan Data

ƒ Melakukan skoring terhadap hasil skala yang telah diisi oleh responden.

ƒ Menghitung dan membuat tabulasi data yang diperoleh , kemudian membuat tabel data.

ƒ Melakukan analisa data dengan menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis penelitian.

ƒ Membuat kesimpulan dan laporan akhir penelitian.

3.7 Teknik Analisa Data

Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara orientasi religius dengan kecerdasan emosional adalah dengan menggunakan analisis regresi. Analisis regresi adalah suatu analisa yang mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Jika pengukuran pengaruh ini melibatkan dua atau lebih variabel bebas dan satu variabel terikat maka teknik analisis yang digunakan ialah regresi berganda. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan hasil analisis regresi berganda, peneliti menggunakan software SPSS versi 11.5


(59)

BAB IV ANALISIS DATA

Bab berikut ini akan membahas mengenai presentasi dan analisis data meliputi gambaran umum responden, analisis deskriptif, kategorisasi, dan hasil uji hipotesis.

4.1 Gambaran Umum Responden

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Daar el-Qalam Jayanti, Gintung, Tangerang. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 84 orang guru Daar el-Qalam.

4.1.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel di bawah ini menggambarkan jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin.

Table 4.1

Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase

Laki-laki 45 54%

Perempuan 39 46%


(60)

Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa responden laki-laki jumlahnya lebih banyak daripada perempuan yaitu 45 orang atau 54% sedangkan responden perempuan berjumlah 39 orang atau 46%.

4.1.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Table di bawah ini menggambarkan jumlah dan presentase responden berdasarkan latar belakang pendidikan

Table 4.2

Gambaran Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan Frekuensi Presentase

SMA 36 43%

D3 1 1%

S1 46 55%

S2 1 1%

Total 84 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 36 orang dengan persentase sebesar 43% subjek berlatar belakang pendidikan SMA. Sebanyak 1 orang atau 1% berpendidikan D3. Sebanyak 46 orang dengan persentase 55% berpendidikan S1. Sebanyak 1 orang dengan persentase 1% berpendidikan S2.


(61)

4.2 Statistik Deskriptif

Selanjutnya akan dijelaskan statististik deskriptif dari variabel dalam penelitian ini yang berisi nilai mean, standar deviasi (SD), nilai maksimal dan minimal dari masing-masing variabel. Nilai tersebut disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Variabel Penelitian

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

OR Intrinsik 84 27.00 46.00 38.5119 3.84487

OR Ekstrinsik 84 23.00 45.00 34.1786 4.83751

Kecerdasan emosional 84 31.00 44.00 37.0476 3.04941

Valid N (listwise) 84

Berdasarkan tabel 4.3, dapat diketahui jumlah subjek penelitian sebanyak 84 orang dengan skor orientasi religius intrinsik terendah adalah 27, sedangkan skor orientasi religius intrinsik tertinggi adalah 46 dengan skor rata-rata 38,51. Sedangkan skor orientasi religius ekstrinsik terendah adalah 23 dan skor orientasi religius ekstrinsik tertinggi adalah 45 dengan skor rata-rata 34,18. Pada skala kecerdasan emosional skor terendah adalah 31 dan skor tertinggi adalah 44 dengan skor rata-rata 37,05.


(62)

4.3 Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden 4.3.1 Kategorisasi Skor Orientasi Religius

Terdapat dua kategori orientasi religius yang menjadi acuan untuk mengelompokkan responden dalam penelitian ini, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik. Untuk menyatakan responden berada dalam satu kategori orientasi religius, terlebih dahulu dicari skor rata-rata responden pada setiap kategorisasi orientasi religius. Selanjutnya untuk menggolongkan responden ke dalam dua kategori intrinsik dan ekstrinsik, dilakukan perhitungan nilai z (z score) pada masing-masing kategori.

Pertama dilakukan pengelompokkan skor item-item yang masuk kategori intrinsik dan ekstrinsik. Skor mentah masing-masing kategori ini kemudian dikonversikan atau diubah menjadi skor z atau nilai z, dengan formula berikut:

Xintrinsik - Mintrinsik Xekstrinsik - Mekstrinsik Zintrinsik = dan Zekstrinsik =

Sintrinsik Sekstrinsik

Keterangan :

Z = skor Z masing-masing kategori M = skor rerata masing-masing kategori

S = nilai standar deviasi masing-masing kategori


(63)

Tabel 4.4

Hasil perhitungan frekuensi orientasi religius

Kategori Orientasi Religius Frekuensi Persen

Orientasi Religius Intrinsik 40 48 % Orientasi Religius Ekstrinsik 44 52%

Total 84 100 %

Berdasarkan gambaran tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki orientasi religius ekstrinsik dengan presentase sebesar 52% (44 orang). Kemudian 40 orang responden memiliki orientasi religius intrinsik dengan presentase sebesar 48%.

4.3.2 Kategorisasi Skor Kecerdasan emosional

Skala kecerdasan emosionalonal terdiri dari 13 item dengan empat pilihan jawaban yang diberi skor 1 sampai dengan 4. Dengan demikian, skor yang mungkin diperoleh tiap subjek berkisar 13 sampai 52. Untuk mengetahui skor kecerdasan emosional yang diperoleh responden tersebut tinggi atau rendah, maka disajikan norma skor skala kecerdasan emosional setelah diketahui nilai mean dan SD yang disajikan pada tabel 4.3.

Peneliti membagi klasifikasi skor kecerdasan emosional menjadi tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari tabel 4.3, diketahui bahwa mean skor kecerdasan emosional adalah sebesar 34,18 dengan standar deviasi sebesar


(1)

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

VAR00001 106,1333 42,6023 -,1890 ,6826

VAR00002 106,2000 42,1655 -,0976 ,6877

VAR00003 105,9000 39,4034 ,3552 ,6563

VAR00004 106,1000 40,9897 ,0622 ,6731

VAR00005 106,2333 41,2885 ,0472 ,6727

VAR00006 106,6333 41,6885 -,0322 ,6789

VAR00007 106,2000 38,5793 ,3683 ,6524

VAR00008 107,2333 42,8057 -,1564 ,7002

VAR00009 106,2667 39,5816 ,2341 ,6619

VAR00010 105,8333 40,5575 ,1521 ,6674

VAR00011 106,2333 40,8057 ,1028 ,6703

VAR00012 106,6667 40,0230 ,1323 ,6698

VAR00013 106,4000 40,1103 ,1324 ,6695

VAR00014 106,3000 37,4586 ,3847 ,6477

VAR00015 106,3000 42,7000 -,1665 ,6877

VAR00016 106,4667 39,7747 ,2032 ,6640

VAR00017 106,3667 37,8954 ,4496 ,6461

VAR00018 106,0667 39,8575 ,1827 ,6655

VAR00019 106,1000 38,7138 ,4434 ,6505

VAR00020 106,6333 39,6885 ,2167 ,6631

VAR00021 106,1333 39,8437 ,2354 ,6623

VAR00022 106,6333 38,9299 ,4170 ,6523

VAR00023 105,9333 39,8575 ,2409 ,6620

VAR00024 106,8000 40,3034 ,1587 ,6670

VAR00025 106,3667 40,3782 ,1469 ,6678

VAR00026 106,8667 43,0161 -,1869 ,6944

VAR00027 106,4667 40,0506 ,1677 ,6665

VAR00028 105,9667 37,8264 ,5734 ,6420

VAR00029 106,0667 39,7195 ,2646 ,6606

VAR00030 106,9000 37,4724 ,4357 ,6448

VAR00031 106,2667 38,8920 ,2637 ,6590

VAR00032 106,1667 39,5230 ,2602 ,6603

VAR00033 106,4667 40,2575 ,1065 ,6719

VAR00034 106,6000 38,4552 ,3143 ,6548

VAR00035 106,0333 38,5851 ,4907 ,6486

VAR00036 107,5000 41,8448 -,0548 ,6807

VAR00037 106,1667 36,2126 ,5232 ,6346

VAR00038 106,0333 40,3782 ,1883 ,6654 _

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Reliability Coefficients


(2)

(3)

ORIENTASI RELIGIUS INTRINSIK

** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ** _

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 3,0667 ,6915 30,0 2. VAR00002 3,1667 ,4611 30,0 3. VAR00003 3,0667 ,6915 30,0 4. VAR00004 3,2000 ,6103 30,0 5. VAR00005 3,5333 ,5074 30,0 6. VAR00006 3,3000 ,5960 30,0 7. VAR00007 3,1000 ,7120 30,0 8. VAR00008 2,8667 ,7303 30,0 9. VAR00009 3,1667 ,7466 30,0 10. VAR00010 2,6333 ,5561 30,0 11. VAR00011 3,2000 ,6103 30,0 12. VAR00012 3,3333 ,7581 30,0 13. VAR00013 3,0000 ,5872 30,0 14. VAR00014 3,5333 ,5074 30,0 15. VAR00015 2,5667 ,6789 30,0 16. VAR00016 2,8667 ,6288 30,0 17. VAR00017 2,6667 ,7112 30,0 18. VAR00018 3,2333 ,5683 30,0 19. VAR00019 3,5333 ,5074 30,0 20. VAR00020 3,1333 ,6288 30,0 21. VAR00021 2,8333 ,6989 30,0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 65,0000 33,0345 5,7476 21 _


(4)

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

VAR00001 61,9333 33,4437 -,1109 ,8021

VAR00002 61,8333 31,0402 ,3467 ,7737

VAR00003 61,9333 30,6161 ,2535 ,7790

VAR00004 61,8000 30,9931 ,2456 ,7787

VAR00005 61,4667 32,0506 ,1264 ,7840

VAR00006 61,7000 28,7000 ,6232 ,7562

VAR00007 61,9000 27,6793 ,6472 ,7511

VAR00008 62,1333 27,7747 ,6140 ,7531

VAR00009 61,8333 27,5230 ,6324 ,7513

VAR00010 62,3667 30,1023 ,4299 ,7684

VAR00011 61,8000 29,6138 ,4589 ,7660

VAR00012 61,6667 35,8851 -,3771 ,8220

VAR00013 62,0000 28,2759 ,7068 ,7514

VAR00014 61,4667 30,6023 ,3874 ,7713

VAR00015 62,4333 32,9437 -,0475 ,7978

VAR00016 62,1333 31,2920 ,1915 ,7821

VAR00017 62,3333 27,4023 ,6885 ,7480

VAR00018 61,7667 31,1506 ,2461 ,7785

VAR00019 61,4667 30,5333 ,4001 ,7707

VAR00020 61,8667 30,1195 ,3650 ,7716

VAR00021 62,1667 28,3506 ,5637 ,7575

Reliability Coefficients


(5)

ORIENTASI RELIGIUS EKSTRINSIK

** Method 1 (space saver) will be used for this analysis ** _

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A) Mean Std Dev Cases 1. VAR00001 2,9000 ,6074 30,0 2. VAR00002 2,2667 ,6915 30,0 3. VAR00003 2,9000 ,4807 30,0 4. VAR00004 1,5000 ,5085 30,0 5. VAR00005 2,7333 ,7849 30,0 6. VAR00006 2,8333 ,7466 30,0 7. VAR00007 2,5333 ,8193 30,0 8. VAR00008 2,2333 ,8172 30,0 9. VAR00009 2,1000 ,7120 30,0 10. VAR00010 2,9000 ,6074 30,0 11. VAR00011 2,1667 ,7915 30,0 12. VAR00012 2,4333 ,6789 30,0 13. VAR00013 2,3333 ,8841 30,0 14. VAR00014 2,7333 ,7397 30,0 15. VAR00015 2,5000 ,8200 30,0 16. VAR00016 2,5000 ,6823 30,0 17. VAR00017 2,7667 ,5683 30,0 18. VAR00018 1,5333 ,5713 30,0 19. VAR00019 3,2000 ,6644 30,0 20. VAR00020 2,3000 ,5350 30,0 21. VAR00021 1,5333 ,6288 30,0 N of Statistics for Mean Variance Std Dev Variables SCALE 50,9000 36,3690 6,0307 21 _


(6)

R E L I A B I L I T Y A N A L Y S I S - S C A L E (A L P H A)

Item-total Statistics

Scale Scale Corrected

Mean Variance Item- Alpha if Item if Item Total if Item Deleted Deleted Correlation Deleted

VAR00001 48,0000 33,7931 ,3125 ,7510

VAR00002 48,6333 33,5506 ,2921 ,7523

VAR00003 48,0000 35,1724 ,1694 ,7587

VAR00004 49,4000 33,4897 ,4452 ,7448

VAR00005 48,1667 30,9023 ,5558 ,7312

VAR00006 48,0667 32,4782 ,3917 ,7449

VAR00007 48,3667 32,0333 ,3951 ,7444

VAR00008 48,6667 32,8506 ,3043 ,7519

VAR00009 48,8000 30,9931 ,6142 ,7285

VAR00010 48,0000 38,3448 -,3117 ,7868

VAR00011 48,7333 30,4092 ,6110 ,7264

VAR00012 48,4667 32,5333 ,4357 ,7423

VAR00013 48,5667 30,6678 ,5024 ,7344

VAR00014 48,1667 35,1782 ,0734 ,7682

VAR00015 48,4000 29,1448 ,7400 ,7139

VAR00016 48,4000 32,9379 ,3787 ,7463

VAR00017 48,1333 37,0161 -,1403 ,7760

VAR00018 49,3667 35,2747 ,1131 ,7624

VAR00019 47,7000 34,7690 ,1479 ,7617

VAR00020 48,6000 33,7655 ,3727 ,7482

VAR00021 49,3667 35,7575 ,0287 ,7684

Reliability Coefficients