Penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang

Administrasi dan Formulir-Formulir Standar : 1. Nota Dinas Direktur Penyelidikan  perintah kepada satgas lidik yntuk melakukan penyelidikan 2. Formulir Rencana Penyelidikan 3. Formulir Surat Perintah Penyelidikan 4. Formulir Surat Permintaan Bantuan Tenaga 5. Formulir Permintaan dana Operasional Formulir Permintaan Peminjaman Peralatan Administrasi dan Formulir-Formulir Standar : 1. Formulir Surat Undangan untuk Permintaan Keterangan 2. Formulir BAPK 3. Formulir Peminjaman Dokumen 4. Formulir Penyimpanan Dokumen 5. Formulir Permintaan Intelejen 6. Formulir Permintaan Perekaman dan Penyadapan 7. Formulir Permintaan Data ke Unit lain Internal dan Eksternal 8. Formulir Surat Perintah Pencegahan Seseorang Berangkat ke luar negeri Administrasi dan Formulir-Formulir Standar: 1. Formulir LHP 2.Formulir Matriks Pembuktian 3. Formulir LKTPK 4.Formulir surat perintah penghentian penyelidikan 5.Formulir Hasil Penyelidikan kepada instansi berwenang lainnya.

4.1 Tabel Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK

B. Penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang

KPK Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tak Bersalah Presumption Of Innocent Terhadap masalah asas praduga tak bersalah presumption of innoccent yang dikaitkan dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dapat dilihat dari dua hal. Yang pertama, ketentuan dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK merupakan prudential and professional Universitas Sumatera Utara principle 124 bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu kasus korupsi oleh KPK membawa konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Prinsip ini menjadi momentum kehati-hatian bagi penyelidik sebelum menetapkan proses penyidikan suatu perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu KPK dituntut untuk bekerja semaksimal dan secermat mungkin professional, terutama yang berkaitan dengan masalah pembuktian. Yang kedua, sebagai konsekuensi logis system peradilan pidana di Indonesia yang didominansi oleh crime control model yang menggunakan asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya asas praduga tak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Sedangkan asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual . 125 Artinya, berdasarkan fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,penuntutan sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan. 126 Sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut secara ketat satu model tertentu. Kendatipun kecenderungannya pada crime control model, namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain. Sebagai contoh, 124 Risalah Pembahasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Op., cit. 125 Hebert L Packer, 1968, hlm.164. 126 Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, halaman 4 Universitas Sumatera Utara asas praduga tak bersalah tetap menjadi landasan legal normative bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka. Artinya si tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah. Namun, disisi lain, secara formal KUHAP menyatakan dalam Pasal 17 bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana. Hal ini berarti berdasarkan fakta yang ada, penyidik harus yakin bahwa terhadap orang yang sedang disidik, dia adalah pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Karenanya asas praduga tak bersalah lebih cenderung berada pada tindakan penyidikan dan penuntutan dengan menghormati hak-hak tersangkaterdakwa, sedangkan asas praduga tak bersalah berada pada proses persidangan yang berujung pada putusan hakim. Kiranya perlu lebih ditegaskan lagi bahwa prinsip praduga tidak bersalah hanya dapat dijumpai antara lain dalam butir 3c Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , dan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan tidak di dalam UUD. Oleh karena itu prinsip ini telah dipertentangkan dengan undang-undang dan tidak terhadap UUD. Dalam permohonan judicial review yang diajukan Mulyana, dikatakan oleh pihaknya bahwa dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan SP3, maka tidak ada lagi kesempatan untuk membela diri dari tuduhan dugaan tindak pidana korupsi yang ditujukan kepadanya, namun sesungguhnya tersangka atau terdakwa tentu saja masih memiliki kesempatan untuk Universitas Sumatera Utara membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dengan proses pembuktian di pengadilan, di mana pembuktian di pengadilan tindak pidana korupsi menganut beban pembuktian terbalik, sehingga tersangkaterdakwa yang harus membuktikan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat dibenarkan dan ia tidak bersalah. Mengenai pernyataan bahwa dengan adanya Pasal 40 membuat harkat dan martabat seorang tersangka tidak bisa dipulihkan kembali, tidak dapat dikatakan benar karena dengan adannya mekanisme pembuktian, harkat dan martabat seseorang dapat dipulihkan apabila menurut putusan pengadilan orang tersebut tidak bersalah. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

Dokumen yang terkait

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K

1 41 110

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.77/PID.B/2010/PN.Medan)

3 110 147

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan

9 105 110

Analisis Yuridis Straf Minimum Rules (Aturan Hukuman Minimal) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 56 84

Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

16 167 135

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

0 8 71

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42