Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK

MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN

PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

S K R I P S I

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Universitas Sumatera Utara

O l e h

MELISA IFITYANTI G

070200165

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK

MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN

PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abul Khair,S.H.,M.Hum. NIP.196107021989031001

Dosen Pembimbing I

Abul Khair,S.H.,M.Hum.

Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur , Hormat dan kemuliaan Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat dan Penyertaan-Nya yang mampukan Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul skripsi ini adalah ”Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik

Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, Penulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, petunjuk, perhatian dan dorongan kepada Penulis dalam penulisan skripsi ini.


(4)

6. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan, dan pengarahan kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Marlina , SH, M.Hum., sebagai Dosen Wali Penulis yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada Penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga telah membantu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Guru-guru Besar, seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda Sehati Ginting dan Ibunda Dra. Nurlina Barus, terimakasih buat doa, kasih sayang, perhatian dan nasehat serta dorongan baik material maupun moril yang tidak terhingga kepada Penulis.

10. Buat Keluarga : Tante Rehulina Stromberg & Keluarga di Stockholm, terimakasih buat doa, kasih sayang dan dukungan moril kepada Penulis dari awal hingga akhir selama penulisan skripsi ini.

11. Kepada Dewa Pranata Bangun, Penulis ucapkan terimakasih atas semangat dan dorongan yang selalu diberikan kepada Penulis disaat Penulis mengalami kejenuhan dalam mengerjakan skripsi ini.

12. Teman-Teman stambuk 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Juita Osti Bulan Tobing, Rialita Siregar, Novia Gracia Tobing, Nelam Napitupulu, Yulia Andriany, Erika Romauli Pardede, Muchsin Fahreza and the gank.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi setiap orang yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini, semoga skripsi ini memberikan pemahaman baru bagi kita dan menambah referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Akhir kata, Penulis ucapkan terimakasih. Tuhan Memberkati.

Medan, Desember 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ……… 1 B. PERUMUSAN MASALAH ... 11 C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………... 12 D. KEASLIAN PENELITIAN ………... 14 E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ………... 14

1. Pengertian Penyelidikan 2. Pengertian Penyidikan 3. Pengertian Penyidik

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

5. Pengertian Penghentian Penyidikan

6. Pengertian Surat Perintah Penghentian Penyidikan

(SP3)

7. Pengertian Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK)

8. Pengertian Extra Ordinary Crime

F. METODE PENELITIAN ……… 18 G. SISTEMATIKA PENULISAN ………... 20


(6)

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

... 23

B. Tindak Pidana Korupsi sebagai

Extraordinary

Crime... 24

C. Peraturan Perundang-Undangan tentang Korupsi yang

berlaku di Indonesia setelah Era Reformasi berdasarkan Undang-Undang No 30 Tahun 2002... 29 D. Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002

1. Sejarah singkat berdirinya KPK... 30 2. Tugas dan Wewenang KPK ... 33 3. Kewenangan KPK dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ... 38 E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara

Tindak Pidana Korupsi ... 42 F. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ... 56 G. Kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada perkara


(7)

BAB III LATAR BELAKANG PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Gambaran Umum Mengenai Permohonan Judicial

Review atas keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No 30

Tahun 2002 tentang KPK ... 73 B. Latar Belakang Penetapan Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK ... 79

BAB IV PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KPK

A. Akibat keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap Proses Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK. ... 83 B. Penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dikaitkan dengan Asas Praduga Taak Bersalah (Presumption of Innocence ) ... 87 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ……….. 91 B. SARAN ……….. 93


(8)

ABSTRAK

* Mahasiswa ** Dosen pembimbing I **Dosen pembimbing II

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Tetapi apabila berhenti ditengah jalan maka harus dikeluarkan SP3. Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.

Dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada penanganan tindak pidana korupsi perlu melihat kewenangan Penyidik, karena dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Penyidik KPK tidak berhak mengeluarkan SP3, kemudian melihat latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, serta penerapan Pasal 40 ini dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Metode penulisan dalam pembuatan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berasal dari sumber buku-buku kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini dan melakukan wawancara dengan penyidik KPK melalui email.

Dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan dapat bekerja secara profesional, efisien dan efektif. Setiap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di suatu negara tentunya diharapkan menjadi peraturan perundang-undangan yang berkualitas serta berguna bagi masyarakat. KPK sebagai lembaga yang diberikan amanat oleh undang-undang sebagai salah satu alat dalam upaya pemberantasan korupsi harus melaksanakan tugasnya secara transparan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menjadi pengawas segala tindakan yang dilakukan oleh KPK sehingga tercipta check and balance dalam proses penegakan hukum.


(9)

ABSTRAK

* Mahasiswa ** Dosen pembimbing I **Dosen pembimbing II

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Tetapi apabila berhenti ditengah jalan maka harus dikeluarkan SP3. Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.

Dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada penanganan tindak pidana korupsi perlu melihat kewenangan Penyidik, karena dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Penyidik KPK tidak berhak mengeluarkan SP3, kemudian melihat latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, serta penerapan Pasal 40 ini dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Metode penulisan dalam pembuatan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berasal dari sumber buku-buku kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini dan melakukan wawancara dengan penyidik KPK melalui email.

Dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan dapat bekerja secara profesional, efisien dan efektif. Setiap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di suatu negara tentunya diharapkan menjadi peraturan perundang-undangan yang berkualitas serta berguna bagi masyarakat. KPK sebagai lembaga yang diberikan amanat oleh undang-undang sebagai salah satu alat dalam upaya pemberantasan korupsi harus melaksanakan tugasnya secara transparan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menjadi pengawas segala tindakan yang dilakukan oleh KPK sehingga tercipta check and balance dalam proses penegakan hukum.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.1 Penyidikan merupakan suatu

tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang.2 Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai

penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi.3 Selain itu berdasarkan Undang-Undang No.

1

Indonesia (a) ,Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN. No.76 Tahun !981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 2.

2

Ibid., pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. pasal 10

3

Ibid., pasal 284 ayat (2) jo. Indonesia (b) , Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, LN. No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401, pasal 30


(11)

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.4

Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah sebagai berikut :

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.5

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “ mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang

ayat (1), huruf d. Dalam penjelasan UU. No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur dan menyempurnakan kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang No. 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4

Indonesia ( c ) , Undang-Undang Nomor 30 Tentang Komisi Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250 pasal 45. ( Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK)

5


(12)

dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.6 Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.7

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti ditengah jalan? Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP menyatakan:8

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut:

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan ( Edisi Kedua), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 101.

7

Ibid., hal 109.

8


(13)

1. Karena tidak terdapat cukup bukti;

2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Penyidikan dihentikan demi hukum.

Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat perintah Penghentian

Penyidikan (SP3).9 Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini

bukanlah pemberian SP3 terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang seringkali mengeluarkan SP3.10

Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak

9

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis dan Permasalahannya,(Bandung: P.T. Alumni, 2007), hal 54. (Selanjutnya Penulis akan menyebut Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan SP3).

10

Tindak pidana Korupsi digolongkan oleh para ahli hukum sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa dikarenakan bukan hanya menyebabkan kerugian pada keuangan Negara dan menyengsarakan rakyat banyak, namun juga merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional. Oleh karena itu tindak pidana korupsi membutuhkan penanganan yang luar biasa pula.


(14)

pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang mengehendaki agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak

harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.11 Dari ketiga alasan

penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan diatas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik tindak pidana korupsi.12 Hal ini Penulis amati dari berbagai contoh perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara

tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar.13 Berdasarkan data yang

dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini, tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama 5 (lima) tahun terakhir ( 1999-2005). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3.14

11

Emerson Yuntho, “ Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi ”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11608&cl=Kolom, diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB

12

Ibid.

13

Ibid. (Yang dimaksud penulis dengan perkara korupsi besar adalah perkara korupsi yang cukup besar menarik perhatian masyarakat, baik dari segi jumlah maupun tersangkanya antara lain Perkara Dugaan Korupsi Technical Assistance Contract (TAC), Dugaan Korupsi Dana BLBI, dan Dugaan Korupsi Jamsostek).

14


(15)

Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3. Pnyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.15

Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan

tindak lanjut penyidikan.16 Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian

tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana.

15

M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 102

16


(16)

Dari berbagai contoh kasus yang ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi dimana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.17

Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi, ” Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”18

Pernyataan dalam pasal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam pasal tersebut tentu saja dinilai mengebiri hak asasi tersangka yang juga merupakan

17

Emerson Yuntho, Op. cit.

18


(17)

warga negara, sebab tanpa adanya SP3 , maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan.19 Adanya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK ini juga berarti seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan. Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau benar seperti itu,maka maksud tersebut sungguh mulia sekali. Akan tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah mulianya, yaitu asas praduga tidak bersalah. Makna asas ini yang boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak adalah pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK yang penguasaan hukumnya sekuat majelis hakim. Dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Disamping itu, terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka mereka diadili dengan

19

Suripto. “Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review)”www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/risalah_sidang_Perkara%20012.%20PUU-IV.2006.pdf, diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.


(18)

undang yang sama, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Tetapi lembaga yang mengadilinya berbeda. Yang satu diadili oleh Peradilan Umum, sedangkan yang lain diadili oleh Pengadilan Tipikor. Tersangka yang diadili oleh Peradilan Umum dapat menikmati SP3, wujudnya adalah si tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang diadaili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan diberikan SP3, sekaipun dia belum terbukti bersalah. Apakah UUD 1945 membolehkan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara? Jawabannya terang benderang ’tidak boleh’. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Begitu juga dengan Pasal 28 I ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.20

Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari susut pandang latar belakang dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak penegakan hukum dinegara Indonesia dalam usaha pemberantasan korupsi. Undang-Undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan extra

ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara khusus pula untuk

20


(19)

mengananinya.21 Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki KPK yang berada diluar sistem hukum material dan formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, diantaranya mengajukan judicial review atau pengujian materil mengenai klausula apakah undang-undang tersebut bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin Syamsudin untuk perkara No. 016/PUU-IV/2006, serta Mulyana W. Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No.012 dan 019/PUU-IV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan kewenangan yang dimiliki KPK, seperti Pasal 40 dan Pasal 12 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu

21

Suara Pembaharuan, “Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime” http://www.prakarsa-rakyat.org./artikel/fokus/artikel.php?aid=29687, diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21: 20.31


(20)

untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi.22 Oleh karena itu, semuanya dikembalikan pada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis undang-undang korupsi dan KPK itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean

government dan tegaknya keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan

menyimpang.23 Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, Penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS JUDICIAL REVIEW PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

22

Hukum Online, “UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi” http://www.hukumonline.com/detail/asp?id=15267&cl=Berita, diakses pada Jumat,27 Agustus 2010, pukul 21:45:09 WIB.

23


(21)

1. Bagaimana kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi ?

2. Apakah latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun

2002 tentang KPK ?

3. Bagaimana penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan penyidik dalam mengeluarkan Surat

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang dalam penetapan

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

3. Untuk mengetahui penerapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.


(22)

C.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis dan secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah pengetahuan pembaca dalam bidang pengetahuan ilmu hukum pidana pada umumnya dan tentang kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 pada tindak pidana korupsi khususnya. Sehingga skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para para mahasiswa hukum maupun praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia.

2. Secara Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Penyidik dalam

kewenangannya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi dan dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap akibat dan

keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.


(23)

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penulusuran studi literature dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

Judul – judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi yaitu tentang “Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (Tinjauan Pasal 40 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Bila ternyata terdapat judul dan penambahan yang sama dengan skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan definisi dan diharapkan akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini. Beberapa pembatasan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai


(24)

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.24

2. Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.25

3. Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.26

Menurut penjelasan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi. Jadi dalam penelitian ini, penyidik adalah POLRI, Kejaksaan, dan KPK.

24

Indonesia, (a), Op. cit., pasal 1 angka 5

25

Ibid., pasal 1 angka 2

26


(25)

4. Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yang sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2-pasal 20 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.27

5. Penghentian Penyidikan

Meskipun KUHAP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan penghentian penyidikan, namun dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan merupkan tindakan penyidik menghentikan penyidikan dengan berdasar pada alasan-alasan sebagai berikut :28

1) Tidak terdapat cukup bukti

2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana

3) Penyidikan dihentikan demi hukum

6. Surat Perintah Penghentian Penyidikan ( SP3 )

Surat Perintah Penghentian penyidikan adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh Penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana.

7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

27

Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 79.

28


(26)

KPK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sehingga pembentukan komisi itu bertujaun meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.29

8. Extra Ordinary Crime

Istilah extra ordinary crime berarti kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang laur biasa pula. Istilah ini muncul untuk menggambarkan kejahatan terhadap hak asasi manusia, seperti genosida. Karena tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, kerugian keuangan negara, dan kualitas tindak pidananya, maka tindak pidana korupsi dapat diigolongkan sebagai extra ordinary

crime.30 Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi

secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu

29

Indonesia (c), Op. cit., pasal 3.

30

Abdul Rahman Saleh, www.arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Pinyuh&id=129619, diakses Sabtu, 28


(27)

digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.31

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan ( library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang yang terdapat dalam pearturan perundang-undangan, yurisprudensi

serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.32 Norma hukum yang

menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur mengenai proses pemeriksaan perkara pidana miulai dari penyelidikan hiingga dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain itu juga digunakan norma hukum lain yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi serta undang-undang dan peraturan lainyang mengatur mengenai masalah kewenangan penyidik dalam proses penghentian penyidikan.

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini berasal dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier.33 Bahan hukum primer adalah

bahan-bahan hukum yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer

31

Indonesia (d), Undang-Undang Tentang Perubahan Atasa Undang-Undang No. 31 athun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , UU No. 20 , LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, konsiderans (a).

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta. 1979), hal 18.

33


(28)

dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 serta kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum. Selain itu, untuk bahan hukum tertier digunakan ensiklopedia dan kamus hukum (black laws dictionary).

Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan bahan bagi penelitian ini adalah bersifat empiris yuridis. Oleh karena itu, dengan perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan penelitian ini.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data sekunder adaalh dengan wawancara narasumber, penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta media elektronik (internet).

Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang ada bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai proses penyidikan, penghentian penyidikan oleh penyidik, serta pemaparan yang jelas mengenai ketentuan yang mengatur bahwa KPK tidak


(29)

berwenang mengeluarkan SP3. Kemudian dianalisis untuk menemukan permasalahan hukumnya serta jawaban dari permasalahan tesebut.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab dengan beberapa sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2 : KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN

SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini akan diuraikan secara teoritis mengenai pengertian tindak pidana korupsi, peraturan perundang-undangan mengenai korupsi setelah era reformasi yang berlaku di Indonesia berdasarkan undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK, sejarah singkat, tugas dan kewenangan KPK, khususnya dalam proses penyidikan, proses pemeriksaan perkara dari mulai penyelidikan, penyidikan,alasan-alasan yang menjadi dasar penerbitan


(30)

SP3 tersebut, serta instansi yang berwenang dan tidak berwenang mengeluarkan SP3.

BAB 3 : LATAR BELAKANG TERHADAP PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai

Judicial Review terhadap Pasal 40 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang KPK serta analisis hukumnya dan latar belakang penetapan pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

BAB 4 : PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini membahas penerapannya dalam proses penyelidikan tindak pidana korupsi, serta kaitannya dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana di Indonesia.

BAB 5 : PENUTUP

Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para


(31)

pembacadalam memahami topik yang telah dibahas yaitu mengenai Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus

Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun


(32)

BAB II

KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kamus besar bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.34 Menurut Andi Hamzah arti kata harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.35 Kata korupai berasal dari bahasa Latin

Corruptio yang kemudian muncul dalam Bahasa Inggris dan Prancis Corruption,

serta dalam bahasa Belanda Korruptie.36

Sedangkan Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai berikut :

”Corruption is an act done with an intent to give advantages inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person contrary to duty and the rights of others.37

Transparency International menyatakan :

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1989)

35

Andi Hamzah (a), Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Cet 3, (Jakarta : Gramedia,1991), hal 9.

36

Andi Hamzah (b), Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP , (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985), hal 143.

37


(33)

”Corruption involves behavior on part of officials in the public sector wether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the missue of the public power entrusted them.”(korupsi mencakup perilaku dari

pejabat-pejabat di sektor publik, baik politikus ataupun pegawai negeri , dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka.)

Pengertian tindak pidana korupsi juga telah dirumuskan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Bab II ( Tindak Pidana Korupsi), salah satu yang Penulis kutip adalah pengertian korupsi pada Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini yang menyatakan :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

B. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extraordinary Crime

Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena

bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.38 Di Indonesia

tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang no. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai

Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan

38

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 1.


(34)

penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti

terorisme, genosida dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. 39

Dikatakan extraordinary atau luar biasa disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional dan akibat yang ditimbulkan tindak pidana korupsi tersebut selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.40

2. Tindak pidaan korupsi yang meluas dan sistematis juga

merupakan pelanggaran terhadap hak –hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.41

3. Karena korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya,

akibatnya tidak hanya dari kerugian rakyat banyak, melainkan merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional, akibat lebih luasnya adalah memperlemah karakter bangsa sehingga tidak bersikap disiplin, malas, tidak

39

www.majalahkonstan.com/index2.php?option=com_content, diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB.

40

Lihat bagian “menimbang” huruf a dan b, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

41

Lihat penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bagian I Umum, paragraf 2.


(35)

bertanggung-jawab, tidak jujur, tidak proaktif , tidak percaya diri, dan tidak memiliki semangat berjuang untuk mandiri, sebaliknya mudah menyerah serta mencari jalan pintas.42

4. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam

masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus yang terjadi, kerugia keuangan negara maupun kualitas tindak pidananya.43

5. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara,

hak sosial, ekonomi, pembangunan, akan tetapi merupakan salah satu bentuk penghancuran secara sistematis dan memporak-porandakan harkat dan martabata manusia dan lebih daripada itu akibat daripaad korupsi yang telah terstruktur dan mumbudaya maka tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan NKRI (ada perlakuan yang tidak adil dan tidak berprikemanusiaan, untuk itulah dibutuhkan penanganan yang luar biasa agar diperoleh hasil yang luar biasa.44

6. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik

yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis. Kerugian negara atas menjamunya praktek korupsi

42

A.M. Fatwa, http://www.mpr.go.id/pimpinan2/?p=18, diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB.

43

Abdul Rahman Saleh, www.arsip.pontianakpost.com/berita/default.asp?Berita=Pinyuh&id, diakses Kamis, 2 September

2010, pukul 20:19:08 WIB.

44

Cornelius Tangkere www.legalitas.org/?./problematika-dan-urgensi-pengadilan-tindak-pidana-korupsi, diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.


(36)

sudah tidak terhitung lagi. Tahun 1993, soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara lain tahun 1989-1993 sekitar 3% dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapaiu 45% namun saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastis.45

Penggolongan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime tidak begitu saja disetujui oleh semua pihak, salah satu pihak yang tidak menyetujui ialah Prof. Indriyanto Seno Adji. Menurut Beliau tindak pidana korupsi belum dapat digolongkan seagai tindak pidana extraordinary crime melainkan hanyalah sebagai extraordinary crime melainkan hanyalah Serious Crime.46 Karena yang disebut sebagai Extraordinary Crime sifatnya sistemik secara keseluruhan, merusak sistem ketatanegaraan dan sistem perpolitikan, akibatnya pun meluas, sementara yang terjadi di Indonesia korupsinya belum melumpuhkan sistem ketatanegaraan, artinya masih normal, pusat-pusat kekuasaan legislatif , eksekyif dan yudikatif tidak lumpuh.47 Dalam hal ini Penulis tidak sependapat dengan Prof. Indriyanto, menurut pendapat Penulis bahwa korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya

45

Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta, Juli 2001), hal 1.

46

Indriyanto Seno Haji http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15775&cl=Berita, diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB.

47


(37)

karena tindak pidana korupsi telah merampas hak sosial, politik dan kemanusiaan rakyat yang seharusnya memperoleh kesempatan untuk menikmati pelayanan-pelayanan publik seandainya bagian-bagian tersebut tidak irampas oleh para koruptor.

Masalah korupsi dapat dikatakan sebagai masalah utama di Indonesia, karena hampir tidak ada sektor di masyarakaat yang bebas dari korupsi. Korupsi tertanam secara mendalam dilapisan masyarakat dan berbagai institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, bahkan pengadilan. Khusus korupsi di pengadilan, mantan Ketua Muda Mahkamah agung (MA) Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa jumlah hakim korup di Indonesia mencapai sekitar 50%.48 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen anti korupsi, Indonesia masuk dalam jajaran salah satu negara terkorup di dunia.49 Tentunya masalah korupsi sudah ada sebelum rezim Soeharto berkuasa. kemudian mengalami peningkatan yang cukup tinggi di masa pemerintahan Beliau, Dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998. angka kelajuan korupsi sedikit menurun- walaupun ternyata belum menghasilkan penurunan yang cukup signifikan

Tingginya tingkat korupsi tersebut mendapat sorotan dari organisasi dan lembaga asing. Berdasarkan penelitian Transparency

International (TI) misalnya, selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000),

Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korupsi di

48

Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal 2.

49

Soren Davidsen, et, all, Menghentikan Korupsi di Indonesia 2004-2006, Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada tingkat Nasional, (Jakarta : USINDO, 2007), hal 13.


(38)

dunia. Dan berdasarkan penelitian Political and Economic Risk

Consultancy (PERC) tahun 1997- Indonesia menempati posisi negara

terkorup di Asia. Pada tahun 2001 peringkat Indonesia turun menjadi

negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam.50

C. Peraturan Perundang-undangan tentang Korupsi Setelah Era Reformasi

Di era reformasi, pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai upaya, diantaranya menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan bisa berlaku secara efektif undang-undang tersebut di antaranya:

Nomor Peraturan Perundang- undangan

Penjelasan

1 TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

2 Undang-Undang No. 28 Tahun

1999

Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

3 Undang-Undang No. 31 Tahun

1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4 Peraturan Pemerintah No. 65

Tahun 1999

Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara

5 Keputusan Presiden No. 127

Tahun 1999

Tentang Pembentukan Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan

Sekretaris Jenderal Komisi

50


(39)

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

6 Peraturan Pemerintah No. 19

Tahun 2000

Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7 Keputusan Presiden No. 44

Tahun 2000

Tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

8 Undang-Undang No. 20 Tahun

2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

9 Undang-Undang No. 30 Tahun

2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

Tabel 2.1 Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi

D. Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

1. Sejarah Singkat Berdirinya KPK

Sejak awal pemerintah orde baru, Presiden Soeharto sudah membentuk beberapa komisi anti korupsi dalam usaha pemberantasan korupsi, diantaranya pada tahun 1967 di bentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung dan pada tahun 1970, pemerintah juga pernah membentuk komisi empat di mana komisi ini bertugas untuk menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, dan


(40)

Penebangan Hutan.51 Pada masa pemerintahan Ahdurahman Wahid sebagai presiden juga pernah di bentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), di mana lembaga ini dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut sepertinya belum juga dapat memuaskan masyarakat dilihat dari kinerja dan hasil yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Sesuai pernyataan pada bagian sebelumnya, dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extraordinary crime sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extraordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan KPK dimaksudkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan pengadilan konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan yang menyebabkan maraknya praktek mafia peradilan dengan melibatkan aparat

51

Teten Masduki dan Danang Widyoko, “ Menunggu Gebrakan KPK” Jentera edisi 8 Tahun III ( Maret 2005 ), hal 42.


(41)

penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi.52

Menurut kesimpulan hasil survey yang diadakan oleh Transparency Internasional Indonesia (TIII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses peradilan justru berasal dari pihak pengadilan itu sendiri. Kondisi ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan sehingga lembaga peradilan dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara kekuasaan yudikatif dianggap belum dapat berperan maksimal sebagai wadah

integrasi dan penyeimbangkepentingan negara, hukum, maupun masyarakat.

Pembentukan KPK merupakan pelaksanaan dari Pasa 43 Undang- Undang No, 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , di mana dinyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak fidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, meskipun

terjadi keterlambatan waktu pemhentukannya.53 Selain itu dibentuknya KPK

juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi.

52

Mengadili eksistensi pengadilan tipikor” www.legalitas.org/?q=node/44, diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB

53

Undang- undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 43 ayat (1) menyatakan : ’’Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang –undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”


(42)

Jaksa dan kepolisian dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan berbagai perkara tindak pidana korupsi, demikian juga dengan lembaga-lembaga yang pernah dibentuk sebelumnya. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi rendah. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya anggapan bagaimana mungkin memberantas korupsi bila aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat korupsi pula (bagaimana

kita dapat membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang, kotor). Karena

itulah KPK, sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnva bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, memiliki kewenangan yang luar biasa, berdasarkan pada klasifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh KPK akan di bahas lebih lanjut pada bagian berikutnya dalam skripsi ini.

2. Tugas Dan Wewenang KPK

Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK


(43)

bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)54

Kedudukan KPK yang independen dalam hal ini merupakan jawaban dari persoalan penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, elit politik, elit ekonomi atau pengusaha- pengusaha besar. Kondisi ini menyebabkan kejaksaan atau kepolisian seringkali tidak dapat leluasa untuk menegakkan hukum karena terbentur dengan campur tangan (intervensi) pihak lain. Selain itu perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK akan diadili

oleh pengadilan khusus anti korupsi55, yang berbeda dengan pengadilan

konvensional. Perbedaan ini terlihat dari jumlah hakimnya, pengadilan korupsi dipimpin oleh lima (S) majelis hakim.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang

KPK, KPK mempunyai tugas melakukan:56

1. Kordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi

2. Supervisi terhadap, instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi 57

54

Indonesia (c) , Op. cit pasal 20 ayat (1)

55

Ibid pasal 53.

56


(44)

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi

5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan negara

Dalam melakukan tugas koordinasi KPK berwenang: 58

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi

Dalam melaksanakan tugas supervisinya, KPK berwewenang:59

1. Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi

yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

57

Mengenai kewenang penyidikan oleh KPK akan Penulis uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

58

Ibid., pasal 7.

59


(45)

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

2. Mengambil ahli penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak

pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau ke jaksaan

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenanguntuk:60

1.Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta

kekayaan

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi

3. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan

4.Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi.

Sedangkan melaksanakan tugas monitor KPK berwenang untuk :61

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengolahan administrasi di

semua lembaga negara dan pemerintah

2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk

melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengolahan administrasi tersebut berpotensi korup

60

Ibid, pasal 13.

61


(46)

3. Melaporkan kepada presiden RI, DPRdan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berlandaskan pada lima (5) asas sebagai berikut:62

1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadiian dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK.

2. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

3. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertangung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Asas kepentingan umum , yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif .

5. Asas proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK

62


(47)

3. Kewenangan KPK Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Kriteria tindak pidana korupsi di mana KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang:63

1. Melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang

lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (Satu

milyar rupiah)

Jika ternyata dalam perjalanan terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

KPK berwenang;64

1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar

negeri

63

Ibid, pasal 11

64


(48)

3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa

4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka terdakwa atau pihak lain yanjg terklait

5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi yang terkait

7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan ,transaksi

perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di periksa

8. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum

negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri

9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dari uraian kewenangan di atas, terlihat bahwa undang-undang, memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada penyidik


(49)

KPK jika dibandingkan dengan penyidik kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan besarnya tugas yang diemban oleh KPK seiring dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia, sementara institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai kurang ‘bergigi’ dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi.

Dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya , selain berdasarkan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK , KPK juga tidak lepas dari pengaturan sebagai mana diatur oleh undang-undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1 ) undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

yang menyatakan bahwa:65

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,

penyelidikan , dan penuntutan yang diatur dalam Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang- undang i ni .

Selain KUHAP dalam menjalankan fungsi dan kewenangan KPK juga mengacu pada pengaturan di dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan dalam Pasa1 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK:

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang

65


(50)

berlaku dan berdasarkan undang undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 hahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kecuali ditentukan tain dalam undang-undang i n i .

Dengan berlakunya beberapa undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum/ peraturan perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex generalis derogat lex specialis, di mana ketentuan hukum yang khusus akan mengenyampingkan hukum yang umum, jadi dalam melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain yang diatur oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang tentang KPK.

Salah satu perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah pengaturan dalam Pasal 40 undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan:

Komisi pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana kurupsi.66

Pengaturan dalam Pasal ini tentunya sangat kontroversial dan menimbulkan banyak pertayaan, pasalnya penyidik biasa, seperti kepolisian dan kejaksaan memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah

66


(51)

Penghentian penyidikan (SP3)67, lalu apa yang, melatarbelakangi pengaturan pasal ini dalam undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan bagaimana akibat keberlakuan pasal ini terhadap proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK ? Semua akan di bahas lebih lanjut pada bab 3 dan 4 skripsi ini.

E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 instansi penegak hukum di Indonesia, yaitu POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini diatur dengan jelas oleh KUHAP, Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Berlakunya ketiga undang-undang ini diharapkan tidak menimbulkan persaingan dalam makna negatif di antara tiga institusi tersebut, melainkan menjadi cambukan untuk turut serta dalam proses pemberantasan korupsi di negeri kita sehingga mereka dapat berjalan dengan sinergis. Dan apabila ada hal-hal atau yang bersinggungan, maka digunakanlah asas hukum lex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum. Dalam hal ini KUHAP merupakan undang-undang yang umum,

67

Dalam skripsi ini Penulis hanya akan membahas masalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bukan penuntutan.


(52)

sedangkan undang-undang khusus adalah undang- undang No. 30 Tahun 2002 dan undang-undang No. 16 tahun 2004.

Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi , unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum

sesuai fungsi wewenangnya.68 Setiap instansi aparat harus merupakan sub

sistem yang mendukung total system proses pengakuan hokum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat- alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre.69

Law enforcement centre adalah suatu lembaga yang menghimpun

alat-alat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini berlangsung proses pengakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaaan dan penjernihan fungsi dan

wewenang di antara sesama instansi penegak hukum.70 Pada masa sebelum

keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba melakukan pembidangan tugas antara instansi terkait, pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas,

68

Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana (s.n Bina Aksara : 1987 ), hal 5.

69

M. Yahya harahap Op. cit., hal 62.

70


(53)

wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.71 Sebelum kita sampai pada uraian mengenai SP3, terlebih dahulu dijelaskan mengenai proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana.

1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan

Penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari

penyidikan. KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah

Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tindaknya di lakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang.72

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupkan salah satu cara atau metode atau sub daripada

fungsi penyidikan yang, mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang

berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.73

Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindakan pengusutan"' sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari

71

Djoko Prakoso, Op. cit., hal 6.

72

Indonesia (a, Op. cit., pasal 1 angka 5.

73


(54)

penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai "penyaring", apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.74

Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan

penegakan hukum sehingga:75

1. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara

penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-masa lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa.

2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa

hati-hati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Meng hindari cara-cara penindakan yang men.jurus kepada mengutamakan pemerasan pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan Pasal 17 KUHAP (Perintah

74

Soesilo Yuwono Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, ( Bandung : Alumni, 1982), hal. 137.

75


(55)

penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup) semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melangar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia.

Mengigat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi), maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud. Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara lain:76

1. Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan pengalaman yang memadai, maka seyogyanya penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif.

2. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

76

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penentuan Dalam Proses Pidana (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal 56.


(56)

Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana, maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dilakukan penyidikan. Hal ini erat kaitannya dengan upaya penyidikan dalam mengumpulkan bahan-bahan berupa keterangan-keterangan maupun benda- benda yang diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu adalah mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang di curigai sebagai pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini meskipun masih termasuk tahap penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapat gambaran tentang: tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat- akibat yang di timbulkannya, siapa yang melakukannya dan benda-benda apa yang dapat di pergunakan sebagai barang bukti.

Adapun yang merupakan Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara umum di atur oleh KUHAP dalam pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk

melakukan penyelidikan.77 Selanjutnya dalam Pasal 4 KUHAP juga di

77


(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan”, 2001.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.

Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Alumni, 2006.

Davidsen, Soren. et al. Menghentikan Korupsi di Indonesia 2004-2006, Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada Tingkat Nasional. Jakarta : Usindo, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Gie, Kwik Kian. Pemberantasan Korupsi, Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Jakarta. 2001.

Hamzah, Andi. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan di bidang Penyidikan. Jakarta : Departemen Kehakiman Hak Asasi Manusia RI, 2001.

__________________. Asas-Asas Hukum Pidan. Jakarta : Rineka Cipta, 1994.

__________________. Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP. Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985.

__________________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2005.


(2)

__________________. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Acara Piadan Nasional dan Internasional. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2005.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua).Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Husein, Harun. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 1991.

Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2003.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : PT Alumni, 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta . 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Peranan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum. Jakarta. 1979.

_________________. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia; Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya. Bandung : PT Alumni, 2007.

Prakoso, Djoko. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 1987.

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta : Sinar Grafika, 2005.


(3)

Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.

___________________. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Tuanakotta, Theodorus M. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Salemba Empat, 2009.

Yuwono, Soesilo. Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHP. Bandung : Alumni, 1982.

Hiariej, Eddy O.S. Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah. 2002.

INTERNET

Yuntho, Emerson “ Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi ”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11608&cl=Kolom,

Diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB

Suripto. “Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang” (JudicialReview)

<http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/risalah_sidang_Per kara%20012.%20PUU-IV.2006.pdf>. Diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.

Suara Pembaruan, “Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime” <http://www.prakarsarakyat.org./artikel/fokus/artikel.php?aid=29687> . Diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21:20:31 WIB.

“UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi” http://www.hukumonline.com/detail/asp?id=15267&cl=Berita,


(4)

Saleh, Abdul Rahman. “Korupsi Tergolong Extraordinary”

<http://www.arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Pinyuh &id=129619, Diakses Sabtu, 28 Agustus 2010, pukul 20:19:08 WIB.

<http://www.majalahkonstan.com/index2.php?option=com_content,> Diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB.

Fatwa, A.M., “Korupsi Bukan Extraordinary Crime Menyesatkan.”

< http://www.mpr.go.id/pimpinan2/?p=18>. Diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB.

Tangkere, Cornelius “ Urgensi Pengadilan Tipikor”

http://www.legalitas.org/?./problematika-dan-urgensi-pengadilan-tindak-pidana-korupsi, diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.

Saleh, Abdul Rahman

http://www.arsip.pontianakpost.com/berita/default.asp?Berita=Pinyuh &id, Diakses Kamis, 2 September 2010, pukul 20:19:08 WIB.

Adji, Indriyanto Seno. “ Kalau Tidak Diminta, Saya Tidak Akan Mau Jadi Pengacara Puteh”.

<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15775&cl=Berita. Diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB.

Mengadili Eksistensi Pengadilan Tipikor”

http://www.legalitas.org/?q=node/44, diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB

http://www.legalitas.org/inclphp/buka.php?d+lain+1&f=statuta%20Roma.htm , diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.


(5)

http://ucupneptune.blogspot.com/2008/01/international-criminal-court-icc.html, Jumat, 17 september 2010, pukul 19:44:24 WIB.

Analisis Undang-undang No.30 tahun 2002 Tentang KPK

http://sahabatandalas.blogspot.com/2008/10/ini-merupakan-analisis-sederhana-yang.html

Diakses, 30 Septermber 2010, pukul 10:23:52 WIB

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD 1945

__________. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209

__________. Undang-Undang Kejaksaan RI. UU No. 16 Tahun 2004. LN. No. 67 Tahun 2005, TLN No. 4401.

__________. Undang-Undang Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. UU No. 15 Tahun 1961. LN No. 254 Tahun 1961.

__________. Undang –Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250.

___________. Undang-Undamg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.

____________. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU No, 26 Tahun 2000. LN No. 191 Tahun 2000, TLN No. 3911.


(6)

____________. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150.

3. JURNAL / MAKALAH

Loebby Loqman. “ Optimalisasi Undang-Undang Terhadap Pemberantasan Korupsi.” Jurnal Reformasi Ekonomi. Vol. 7 No. 1 Januari-Juni . (2006).

Masduki, Teten dan Danang Widyoko. “ Menunggu Gebrakan KPK”. Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8 Tahun III Maret (2005)


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K

1 41 110

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.77/PID.B/2010/PN.Medan)

3 110 147

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan

9 105 110

Analisis Yuridis Straf Minimum Rules (Aturan Hukuman Minimal) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 56 84

Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

16 167 135

Kajian Yuridis Ditolaknya Permohonan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (Studi Putusan Nomor 81/Puu-X/2012)

0 6 11

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

0 8 71

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42