Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Waria

(1)

IDEAL-TYPICAL CAREER PATH OF MALE FEMALING

PADA WARIA

SKRIPSI

Guna memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

NAOMI ELISABETH LUMBANTOBING

031301058

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan anugrahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skrpsi ini. Skripsi yang berjudul, “Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Waria”, merupakan tugas akhir untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan.

Proses pelaksanaan penelitian ini membantu penulis untuk belajar lebih dalam mengenai waria, khususnya fase-fase “menjadi waria” (ideal-typical career path of male femaling) pada waria. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan, serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A (K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Irmawati, Psikolog, selaku dosen pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan, dukungan dan semangat yang diberikan, selama penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Rika Eliana, M.Psi dan Ibu Arliza J. Lubis, yang telah bersedia menjadi penguji sekaligus pembimbing dalam menyempurnakan skripsi ini.


(3)

5. Ibu Dra. Sri Mulyani Nasution, selaku dosen penasehat akademik penulis, yang selalu sabar memberi dukungan dan arahan selama masa perkuliahan penulis berlangsung.

6. Kedua orang tua penulis, T. Lumbantobing dan T Siahaan, buat seluruh doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara, Daniel, Bertha, Christine dan Simon yang telah memberi dukungan dan doa yang tak berkesudahan dalam hidup penulis.

7. Kelima partisipan yaitu, Kak Wenny, Kak Ilo, Dara, Kak Deri dan Intan atas kesediannya menjadi partispan dalam skripsi ini.

8. Tari, Nda, Melda, Cory, Sondang, Titin, Nouva, Jay, Devi, Astri, Rospit, Reni, atas seluruh dukungan dan dorongan semangat. Kepada Kak Vey, Kak Devi, Kak Tika, Kak Ganda, atas seluruh bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman penulis dan pihak lain, yang mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Sebagai manusia yang masih dalam proses belajar, penulis menyadari kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, April 2008


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Perumusan Masalah ... 8

I.C. Tujuan Penelitian ... 9

I.D. Manfaat penelitian ... 9

I.E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Waria II.A.1. Pengertian Waria ... 11

II.A.2. Kriteria Diagnostik Waria ... 12

II.A.3. Etiologi Waria... 13

II.B. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling ... 16

BAB III METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 21

III.B. Metode Pengumpulan Data ... 22

III.B.1. Wawancara ... 23

III.B.2. Observasi ... 23

III.C. Alat Bantu Pengumpul Data ... 24

III.D. Subjek Penelitian ... 25

III.D.1. Kriteria Subjek Penelitian ... 25

III.D.2. Jumlah Subjek Penelitian ... 26


(5)

BAB IV ANALISIS DATA

IV.A. Analsis Data Subjek 1

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 1 ... 29 IV.A.2. Data Observasi Subjek 1 ... 31 IV.A.3. Data Wawancara Subjek 1 ... 34 IV.A.4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling

pada Subjek 1 ... 49 IV.B. Analsis Data Subjek 2

IV.B.1. Gambaran Umum Subjek 2 ... 55 IV.B.2. Data Observasi Subjek 2 ... 57 IV.B.3. Data Wawancara Subjek 2 ... 59 IV.B.4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling

pada Subjek 2 ... 74 IV.C. Analsis Data Subjek 3

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 3 ... 81 IV.A.2. Data Observasi Subjek 3 ... 83 IV.A.3. Data Wawancara Subjek 3 ... 85 IV.A.4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling

pada Subjek 3 ... 94 IV.D. Analsis Data Subjek 4

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 4 ... 100 IV.A.2. Data Observasi Subjek 4 ... 102 IV.A.3. Data Wawancara Subjek 4 ... 104 IV.A.4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling

pada Subjek 4 ... 117 IV.E. Analsis Data Subjek 5

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 5 ... 124 IV.A.2. Data Observasi Subjek 5 ... 126 IV.A.3. Data Wawancara Subjek 5 ... 128 IV.A.4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling


(6)

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

V.A. Kesimpulan ... 150

V.B. Diskusi ... 160

V.C. Saran ... 174


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Gambaran Umum Subjek 1 ... 29

Tabel 2. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Subjek 1 ... 53

Tabel 3. Gambaran Umum Subjek 2 ... 55

Tabel 4. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Subjek 2 ... 78

Tabel 5. Gambaran Umum Subjek 3 ... 81

Tabel 6. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Subjek 3 ... 98

Tabel 7. Gambaran Umum Subjek 4 ... 100

Tabel 8. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Subjek 4 ... 122

Tabel 9. Gambaran Umum Subjek 5 ... 124

Tabel 10. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling pada Subjek 5 ... 148

Tabel 11. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 157

Tabel 12. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian dengan Teori Utama dan Teori Pendukung ... 168


(8)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Dunia waria, wadam atau banci, merupakan bentuk kehidupan yang unik bagi banyak orang. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan, dan berpenampilan tidak ubahnya seperti kaum perempuan lainnya (Koeswinarno, 2004). Menurut data Direktorat Jenderal Administrasi dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri, jumlah waria di Indonesia tahun 2005 lalu, mencapai 400.000 jiwa. Jumlah ini masih berupa fenomena gunung es, karena masih banyak waria yang belum masuk dalam hitungan, dan disinyalir angka ini akan terus bertambah setiap tahunnya (Sujatmiko dalam Tempointeraktif, 2005).

Sebagai individu maupun mahluk sosial, waria berusaha untuk mendapat bagian dalam berbagai ruang sosial (Koeswinarno, 2004). Berbagai cara mereka lalui untuk mendapat pengakuan atas keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya penyelenggaraan kontes Miss Waria, baik di tingkat daerah maupun nasional dan munculnya berbagai figur waria ke permukaan, baik melalui keahlian dan kecerdasan mereka. Munculnya berbagai figur waria ke permukaan merupakan langkah awal usaha untuk diterima di masyarakat. Baik melalui keahlian, kecerdasan dan lain sebagainya. Sebut saja Merlyn Sopjan, seorang penulis buku ”Jangan Lihat Kelaminku”. Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini, pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota


(9)

Malang mewakili Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada tahun 2003. Waria cantik kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang ini pernah menyandang gelar Ratu Waria Indonesia 1995 (Suara Merdeka dalam STUDIA, 2006). Megie Megawatie, adalah waria yang berjuang keras agar kaumnya tidak terpinggirkan, yaitu melalui kontes waria. Selain itu, ada Shunniyah R.H, waria berkerudung, yang menulis buku”Jangan Lepas Jilbabku.” Dia adalah alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, jurusan sosial politik dengan predikat Cum Laude, yang menyelesaikan bangku kuliah dalam waktu hanya 3 tahun 40 hari (Muslichan, Wiramada, & Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”, 2006).

Namun, sampai saat ini, waria masih mendapat perlakuan yang negatif dari berbagai pihak. Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat memiliki pemahaman atau konsep yang salah mengenai kaum minoritas ini (Yash, 2003). Dalam masyarakat, sebagian besar waria dikenal keberadaannya karena mereka kerap beraksi menghentikan kendaraan yang melintas di sejumlah pinggir jalan Jakarta, seperti di kawasan Menteng Jakarta Pusat yang mereka sebut ”teli” atau ”taman lawang”, kawasan Jalan Brawijaya Jakarta Selatan, serta ”kawasan boker”, Jalan Raya Bogor. Mereka-mereka inilah sebagai penjaja kenikmatan untuk mengumpulkan rupiah (Muslichan, Wiramada, & Galih dalam Indosiar ”Hitam Putih”, 2006). Konstruksi sosial masyarakat selama ini terbiasa melihat kehidupan waria yang selalu identik dengan dunia pelacuran atau prostitusi. Pandangan ini secara tidak langsung akan melahirkan pengasingan sosial dan


(10)

penolakan terhadap keberadaan waria (Nadia, 2005). Begitu juga dari segi religi, secara umum agama-agama besar yang ada di Indonesia menolak keberadaan mereka (STUDIA, 2006).

Kemala Atmojo (1986 dalam Nadia, 2005) menjelaskan bahwa, waria adalah fenomena transseksualitas. Melalui pengamatan yang dilakukan, diasumsikan bahwa sebagian besar dari mereka merupakan transseksual. Istilah waria memang ditunjukkan untuk seorang transseksual (seseorang yang memiliki fisik yang berbeda dengan keadaan jiwanya). Ma’shum & Tyas (dalam Kompas, 2004) memberikan pengertian sederhana mengenai waria. Waria secara fisik ingin berpenampilan seperti wanita, dan secara psikologis dia mengidentifikasikan dirinya sebagai wanita, namun secara biologis adalah pria dengan organ reproduksi pria. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata waria menggantikan transseksual atau gender identity disorder, karena sebutan waria ini merupakan representasi bahasa Indonesia (waria/wanita-pria) dan lebih mudah dikenali dan dipahami oleh masyarakat secara umum.

Berdasarkan referensi klinis, terlihat bahwa laki-laki memiliki frekuensi enam kali lebih tinggi dari wanita menjadi transsexual (Zucker et al. dalam Davidson, Neale & Kring, 2004). Masih dalam buku yang sama, berdasarkan data American Psychiatric Association menyatakan prevalensi gangguan ini berbeda tajam, satu di antara 30.000 laki-laki, dan satu di antara 100.000-150.000 perempuan mengalami gangguan ini.

Pembentukan “waria” tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan proses yang cukup panjang. Munculnya fenomena kewariaan tidak lepas dari


(11)

kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan di dalam keluarga, yang kemudian mendapat penegasan pada masa remaja, yang menjadi penyumbang terciptanya waria. Tidak satu pun waria yang “menjadi waria” karena proses mendadak (Nadia, 2005). Hidup sebagai waria adalah hasil akhir dari akumulasi masalah-masalah yang dihadapi semasa proses “menjadi waria”, yang berlangsung dari masa anak-anak hingga ia mencapai dewasa (Koeswinarno, 2004).

Contohnya adalah bernama Shika (dalam Koeswinarno, 2004), seorang waria yang dibesarkan dalam keluarga Jawa yang sangat kental dan ketat. Menurut pengakuannya, sejak kecil penampilannya sudah berbeda dibandingkan dengan teman-teman laki-laki sebayanya. Shika masih ingat ketika ibunya hendak pergi ke pasar Beringharjo, ia justru memesan kepada ibunya perlengkapan permainan anak perempuan, bukan peralatan permainan anak laki-laki. Peristiwa-peristiwa demikian ini terjadi berulang kali dan di luar kesadaran orang tua terhadap perilaku anaknya. Tanda-tanda berbeda tersebut jarang disadari oleh orang tua mereka, sehingga ketika perilaku itu menjadi perilaku yang menetap pada masa menginjak remaja, baru orang tua menyadari ada yang berbeda dengan anaknya. Sopjan (2005) mengalami hal yang serupa, dalam bukunya yang berjudul “Jangan Lihat Kelaminku, Suara Hati Seorang Waria”, mantan ratu waria ini mengungkapkan, sejak kecil dia sudah merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Terlihat dari tokoh pahlawan yang disukainya yang berjenis kelamin wanita, kesukaannya memakai pakaian yang ketat. Tanda ‘berbeda’ itu baru


(12)

disadari ibunya saat dia berusia 18 tahun, surat cintanya pada “cowok”nya dibaca oleh kakak perempuannya.

“saat gue usia 18, ibu gue tahu bahwa gue lain. Gara-gara surat buat cowok gue yang gue simpan di lemari terbaca kakak perempuan gue. Gue inget banget, sepulang sekolah ibu gue masuk ke kamar gue dengan raut wajah yang gue gak bisa lukiskan”

Dalam proses menjadi waria, individu mengalami masa dimana individu melakukan cross dressing (menggunakan pakaian lawan jenisnya) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan secara rahasia, karena ada ketakutan akan terbongkarnya perilaku mereka, dan adanya pertimbangan akan konsekuensi yang diterimanya jika perilakunya terbongkar (Ekins, 1997). Kejadian ini dialami oleh seorang waria (Koeswinarno, 2004) yang tidak disebutkan namanya untuk alasan kerahasiaan.

“Ketika SMP, saya sering bercermin, memakai pakaian perempuan milik kakak saya dengan cara sembunyi-sembunyi di kamar. Sambil bergaya dan bicara sendirian, saya merasa ada hal yang tidak sama dengan fisik saya. Sering pula saya mencuri lipstik milik kakak perempuan saya atau ibu saya, sampai-sampai pernah suatu ketika ketahuan bapak. Habislah saya.

Saya dimarahi habis-habisan. Meskipun tidak sampai memukul, tetapi kemarahan ayah saya itu benar-benar menunjukkan ketidaksenangan kepada saya”

Seiring dengan adanya kesadaran bahwa waria memiliki orientasi seksualnya berbeda, yang mungkin diketahuinya dari ulasan atau artikel dari majalah atau telah bertemu dengan waria lainnya, terdapat keinginan dan usaha yang semakin kuat untuk melakukan cross-dressing (Walters & Ross, 1986). Selain memakai pakaian perempuan, mereka juga memakai kosmetik, dan juga aksesoris perempuan (Johnson & Gordon, 1980), menghilangkan bulu-bulu kaki,


(13)

dan bahkan merubah suaranya menyerupai warna suara perempuan (Koeswinarno, 2004). Tidak hanya mengubah penampilannya, waria juga berusaha mengubah fisik mereka dengan berbagai cara. Baik melalui operasi payudara, bibir (Nadia, 2005), dan melakukan usaha manipulasi hormon (DSM-IV-TR, 2004). Untuk mengukuhkan diri sebagai perempuan, beberapa waria melakukan tindakan medis yang ekstrim, yaitu operasi penggantian kelamin, seperti yang dilakukan oleh Dorce Gamalama, seorang entertainer terkenal di Indonesia. Dorce (dalam Gamalama & Gunawan, 2005) melakukan operasi penggantian kelamin di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya. Setelah itu, dia juga mengurus pengubahan jenis kelaminnya secara hukum di Pengadilan Negeri Surabaya, yang dikabulkan pada tahun 1986.

Peran keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan waria. Seorang waria yang dilahirkan dalam keluarga yang baik-baik, taat beragama, berpendidikan, ditambah dengan keberadaan orang tua yang pada akhirnya menerima keberadaan mereka secara otomatis akan mempunyai pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Karena, jika keluarga sudah menerima keberadaan mereka, maka dukungan, baik itu secara moril atau pun materiil akan mereka dapatkan. Kemungkinan untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan baik akan semakin tinggi pula. Di Indonesia secara umum, hadirnya seorang waria tidak pernah dikehendaki oleh keluarganya. Dalam banyak kasus, banyak waria yang akhirnya pergi meninggalkan rumah dan keluarganya, setelah keluarganya menyadari bahwa dia “berbeda” dengan


(14)

laki-laki pada umumnya. Tidak banyak waria yang diterima dengan baik oleh keluarganya (Nadia, 2005).

Selain keluarga, masyarakat juga berperan penting dalam proses “menjadi waria”. Yash (2003) mengemukakan, bahwa pandangan masyarakat memberi pengaruh besar pada proses pencapaian eksistensi seorang waria. Masyarakat Indonesia saat ini memiliki pemahaman yang salah terhadap waria dikarenakan minimnya sumber informasi yang layak mengenai waria. Koeswinarno (2004) menambahkan, tekanan-tekanan dari masyarakat muncul lebih kompleks dibandingkan tekanan yang ada dalam keluarga. Pandangan bahwa dunia waria identik dengan pelacuran, melahirkan rekasi negatif dari masyarakat pada waria. Waria kerap dikucilkan, dicemooh, diprotes, dan ditekan dengan aturan yang ketat oleh lingkungan.

Proses “menjadi waria” yang dikemukakan di atas, mempunyai konsep yang selaras dengan konsep male femaling yang dikemukakan oleh Ekins. Ekins (1997), mengartikan male femaling sebagai sebuah proses sosial yang terdiri dari sekumpulan fase, dimana individu yang secara genetik merupakan laki-laki, menjadi “perempuan” dengan berbagai cara, mengadopsi pikiran, perasaan, sikap, perilaku, perlengkapan dan atribut perempuan. Fase-fase tersebut terlihat jelas dalam ideal-typical career path of male femaling. Terdapat lima fase yaitu: beginning male femaling (fase terjadinya perilaku femaling awal), fantasying male femaling (fase dimana individu memiliki pikiran dan fantasi menjadi perempuan), doing male femaling (fase dimana terdapat perilaku dan keinginan femaling yang lebih serius dari sebelumnya), constituting male femaling (fase penetapan makna


(15)

akan diri sendiri), dan consolidating male femaling (fase kesadaran diri dan penetapan rencana ke depan mengenai hidup dan identitas diri).

Teori ideal-typical career path of male femaling didasarkan pada penelitian Ekins yang dilakukan selama hampir 17 tahun, terhadap ribuan waria di berbagai kota di Ingris. Menurut Ekins, fase-fase ini merupakan fase yang “ideal”, sehingga tidak semua waria menjalani setiap fase, dan setiap waria menjalani proses male femaling dengan cara berbeda-beda. Perlakuan yang diterima dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) pada setiap fase memberi pengaruh yang cukup besar pada proses male femaling. Di samping itu akses informasi dan teknologi juga mempengaruhi proses ini (dalam Ekins, 1997).

Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap waria menjalani male femaling dengan cara yang berbeda-beda. Proses tersebut dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga dan masyarakat) dan akses waria pada bidang informasi dan teknologi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana proses menjadi waria dengan menggunakan teori ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan oleh Ekins sebagai pedoman.

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “bagaimana ideal-typical career path of male femaling pada waria”.


(16)

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai fase-fase ideal-typical career path of male femaling pada waria, dengan melihat secara spesifik setiap fase yang dilalui oleh waria.

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai ideal-typical career path of male femaling pada waria.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai waria, terutama yang berkaitan dengan male femaling pada waria.

I.D.2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: sebagai bahan referensi atau acuan bagi kalangan yang tertarik dan terlibat dalam kehidupan waria.

I.E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:


(17)

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai pengertia waria, kriteria diagnostik waria, etiologi waria, dan teori ideal-typical career path of male femaling.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, subjek penelitian, serta prosedur analisis data.

BAB IV : Analisis Data

Bab ini menguraikan analisis data dari hasil dari data utama berupa data wawancara dan data tambahan berupa data observasi yang dilakukan terhadap subjek penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir dalam skripsi ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Waria

II.A.1. Pengertian Waria

Nadia (2005), mendefinisikan waria sebagai individu yang sejak lahir memiliki jenis kelamin laki-laki, akan tetapi dalam proses berikutnya menolak bahwa dirinya seorang laki-laki. Maka waria melakukan berbagai usaha untuk menjadi perempuan, baik dari sikap, perilaku dan penampilannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa kebanyakan waria berada pada posisi transseksual. Sejak lahir waria secara fisik berjenis kelamin laki-laki, akan tetapi dalam proses berikutnya ada keinginan untuk diterima sebagai jenis kelamin yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Koeswinarno (2004) yang menyatakan bahwa, dalam konteks psikologis waria termasuk transseksual, yakni individu yang secara fisik memiliki jenis kelamin yang jelas, namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis.

Dilihat dari arti transseksual sendiri, Yash (2003) mengartikan transseksual sebagai masalah indentitas jenis kelamin, kesadaran mental yang dimiliki individu tentang jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Dimana identitas jenis kelamin yang dimiliki seorang transseksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang ”dikenakan” kepadanya berdasarkan genital fisiknya. Pengertian yang lebih sederhana dikemukakan oleh Devault & Lyarber (2005), transseksual adalah individu yang identitas gender dan anatomi seksualnya tidak


(19)

cocok. Seorang transseksual merasa terjebak dalam tubuh dan anatomi seksual yang salah. Walters & Ross (1986) menyebutkan bahwa, transseksual berusaha untuk diterima menjadi anggota dari kelompok jenis kelamin yang berbeda.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa waria adalah individu yang merasa identitas jenis kelaminnya berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya secara fisik, dimana ia berusaha untuk diterima sebagai anggota jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin yang dimilikinya secara fisik.

II.A.2. Kriteria Diagnostik Waria

Seperti yang dijelaskan dalam pengertian waria di atas, disimpulkan bahwa waria berada pada posisi transseksual yang secara klinis sering dikaitkan dengan gender identity disorder (gangguan identitas gender). Dalam DSM IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 2000), kriteria diagnostik untuk gangguan identitas gender adalah:

Kriteria A : Identifikasi cross-gender yang kuat dan tetap (tidak termasuk di dalamnya keinginan untuk mendapatkan keuntungan sosial dengan menjadi anggota jenis kelamin yang berbeda).

Pada remaja dan orang dewasa, gangguan ini dimanifestasikan dengan simptom seperti: keinginan tetap untuk menjadi anggota jenis kelamin yang berbeda, sering mengaku sebagai anggota dari jenis kelamin yang berbeda, keinginan untuk hidup dan diperlakukan sebagai anggota dari jenis kelamin yang berbeda,


(20)

atau keyakinan bahwa dia mempunyai perasaan dan reaksi khas yang terdapat pada jenis kelamin yang berbeda.

Kriteria B : Secara menetap merasa tidak nyaman dengan ketidakcocokan jenis kelaminnya dengan peran jenis kelamin yang timbul.

Pada remaja dan orang dewasa, gangguan ini dimanifestasikan dengan simptom seperti mengubah karakteristik seksual primer dan sekundernya (dengan cara menambah hormon, operasi, dan prosedur lainnya) serta berkeyakinan bahwa dia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah.

Kriteria C : Gangguan ini tidak berhubungan dengan kondisi interseks yang fisikal

Kriteria D : Gangguan ini menyebabkan disstres klinis atau gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan area penting lainnya.

II.A.3. Etiologi Waria

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, waria adalah kaum transseksual, yakni individu yang merasa identitas jenis kelaminnya berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya secara fisik, dimana ia berusaha untuk diterima sebagai anggota jenis kelamin yang berbeda dari jenis kelamin yang dimilikinya secara fisik. Yash (2003) mengelompokkan teori-teori yang menjelaskan sebab-sebab transeksualisme ke dalam tiga kategori besar:


(21)

a. Teori Bawaan

1) Pengaruh Genetika

Walter & Ross (1986) menyatakan terdapat studi genetik pada transseksual yang didalamnya terdapat keabnormalan kromosom. Tapi belum terdapat penjelasan yang kuat mengenai penemuan ini. Nadia (2005) menyimpulkan bahwa jika seorang bayi biasanya lahir dengan kromosom yang seimbang yaitu XX dan XY. Maka pada waria, kromosom tersebut tidak seimbang (XXY). Hal ini menimbulkan lahirnya seorang laki-laki dengan ciri keperempuanan yang lebih melekat.

2) Hormonal

Gender confusion akan terjadi ketika otak memproduksi hormon secara abnormal. Identitas gender tidak hanya bergantung pada hormon yang tepat, tetapi juga bergantung pada level hormon yang tepat. Gender sebuah janin adalah sesuatu yang dapat diubah oleh apapun yang mengubah keseimbangan hormonal dalam suplai darah janin, dimana sebuah ketidakseimbangan kecil dapat menyebabkan kaburnya atau berpindahnya garis antar gender.

3) Kondisi otak

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zhou JN, Hofman MA, Gooren L.J, Swaab DF (1995, dalam Yash, 2003), ditemukan bahwa sebuah area otak yang dikenal dengan nama central region of the bed nucleus af the stria terminalis (BTSc) lebih besar terjadi


(22)

pada laki-laki daripada perempuan. BTSc dari enam transseksual laki-laki ke perempuan sama kecilnya dengan BTSc pda perempuan, sekitar separuh dari volume BTSc pada laki-laki lain. Jadi, otak transseksual tampaknya sesuai dengan pengakuan mereka bahwa mereka perempuan.

4) Jumlah Neuron

Dari penelitian yang dilakukan oleh FPM Krujver, J-N Zhou, CW Pool, MA Hofman, LJG Gooren dan Dick F Swaab (dalam Yash 2003), didapatkan hasil bahwa laki-laki memiliki hampir dua kali jumlah somatostatin neuron dibandingkan perempuan. Jumlah neuron di dalam BRSc transseksual laki-laki ke perempuan sama dengan jumlah neuron di dalam BTSc perempuan. Sebaliknya, jumlah neuron pada transseksual perempuan ke laki-laki berada pada rentang jumlah neuron pada laki-laki.

b. Teori Lingkungan

Berdasarkan teori assignment, keadaan seks/gender anak pada saat dibesarkan dan konsistensi yang mengikutinya adalah ”peramal” terbaik dari identitas gendernya di masa depan. Sadocks & Sadocks mengemukakan bahwa pembentukan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi temperamen anak dan kualitas dan sikap dari orang tua. Kualitas hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama adalah penentu identitas gender anak. Selama periode ini, ibu biasanya memfasilitasi kesadaran, kebanggaan dan identitas gender anak: Anak dinilai sebagai anak


(23)

perempuan atau anak laki-laki. Ibu yang mengalami masalah dengan kemarahan dapat menghasilkan masalah identitas gender anak. Anak yang ditolak atau diabaikan dapat menanamkan keyakinan bahwa mereka akan lebih dihargai jika mereka mengadaptasi identitas gender yang berbeda. c. Zat-Zat Kimia/Polutan

Penyebab kondisi transseksual adalah karena zat kimia seperti beberapa jenis obat yang diberikan pada perempuan hamil (yang paling dikenal adalah diethylstilboestrol) atau kontraseptif oral yang dikonsumsi setelah pembentukan, kadang menyebabkan kondisi transseksual karena mengganggu proses hormonal.

Terdapat juga bukti-bukti yang terus bertambah tentang sejumlah polutan yang memberikan efek yang sama. Khususnya substansi-substansi seperti polychlorobiphenyl dan dibenzodioxin.

II.B. Ideal-Typical Career Path of Male Femaling

Ekins (1997), mengartikan male femaling sebagai sebuah proses sosial yang terdiri dari sekumpulan fase, dimana individu yang secara genetik merupakan laki-laki, menjadi “perempuan” dengan berbagai cara, mengadopsi pikiran, perasaan, sikap, perilaku, perlengkapan dan atribut perempuan. Fase-fase ini merupakan fase “ideal”, sehingga tidak semua waria menjalani setiap fase, dan tidak semua waria memiliki fase male femaling yang sama. Terdapat lima fase ideal-typical career path of male femaling, yaitu:


(24)

1. Beginning Male Femaling

Menurut pandangan kotemporer barat, terlihat jelas bahwa ada dua pemisahan yang jelas mengenai gender. Apa yang disebut oleh ethnomethodologis natural attitude mengenai gender, adalah bahwa semua manusia termasuk salah satu di antara dua kategori sosial yang ditentukan permanen berdasarkan karakter biologis (naturally given). Selanjutnya, yang terakhir disebut dengan “sex” dan yang pertama disebut “gender” (Stoller, 1986). Kesesuaian antara sex dan gender sangat diharapkan. Beginning merujuk pada asal, sumber atau bagian pertama. Fase ini fokus pada perilaku femaling awal (initial femaling behaviors) yang merupakan perilaku awal individu yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial atas jenis kelaminnya. Kasus yang sering muncul adalah adanya cross-dressing (individu menggunakan pakaian lawan jenisnya, dalam penelitian ini laki-laki menggunakan baju perempuan), baik karena direncanakan, atau karena adanya kesempatan.

Pada fase awal ini, individu kemudian berkonfrontasi dengan berbagai masalah. Individu berkeinginan untuk terlihat sebagai perempuan, tetapi tidak berkeinginan untuk mengungkapkannya kepada orang lain. Kebanyakan individu merahasiakan kegiatan femaling dan perasaan mereka (private awareness context), baik dengan merencanakan tehnik dan strategi dalam mempertahankan private awareness contextnya. Terdapat banyak ketakutan akan peluang terbongkarnya perilaku mereka, dan adanya pertimbangan individu akan konsekuensi yang diterimanya


(25)

jika perilakunya terbongkar. Kejadian awal ini dapat terjadi di masa kanak-kanak, remaja atau masa dewasa.

2. Fantasying Male Femaling

Di tahap ini ditekankan mengenai pikiran dan fantasi. Fantasi tersebut bervariasi, mungkin mempunyai skenario tertentu, diadaptasi dari kejadian nyata, inovasi atau imajinasi. Fantasi seperti menjadi perempuan, berbelanja dengan ibu di toko mainan anak perempuan, terbangun di pagi hari sebagai perempuan, dan lain-lain.

Pada fase ini, individu tidak menekankan atau berkeinginan untuk tampil di publik sebagai perempuan atau mengungkapkannya kepada orang lain. Dalam kejadian lainnya, fantasy femaling berkaitan dengan penggunaan alat yang berasal dari dunia perempuan, seperti membaca novel romantis, dan membayangkan diri sebagai tokoh perempuan dalam novel tersebut. 3. Doing Male Femaling

Fakta bahwa male femaling masih dianggap sebagai penyimpangan, memberi banyak kemungkinan tidak berkembangnya individu dari fase beginning dan fantasying. Keinginan untuk menjadi perempuan diikuti dengan ketakutan bahwa dia akan dipermalukan, ditolak, dicemoohkan oleh orang-orang disekitarnya.

Fase doing male femaling terjadi setiap kali subjek mengadopsi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku perempuan. Ditandai dengan cross-dressing yang lebih serius dan tindakan untuk mencapai fantasi (yang ada pada fase fantasying femaling). Keinginan untuk menjadi perempuan diikuti dengan


(26)

ketakutan bahwa dia akan dipermalukan, ditolak dan dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada tahap ini, individu berusaha merahasiakannya dengan menyusun rencana atau strategi untuk cross-dressing secara aman (masked awareness context).

Dalam fase ini terdapat 4 tipe dari doing femaling, yaitu solitary doing, solo doing, dyadic doing, dan group doing. Solitary doing dan solo doing memiliki kecenderungan yang sangat kecil untuk mengungkapkan diri pada orang lain (disclose).

4. Constituting Male Femaling

Fase ini menandai periode dimana individu mulai menetapkan makna dari keberadaannya dengan cara yang serius dan kontinu. Seiring dengan meningkatnya pengalaman dan aktivitas femaling, banyak dari individu yang mencoba mencari penjelasan yang lebih serius akan diri mereka sendiri.

Terdapat beberapa kemungkinan, mencari petunjuk profesional berupa bantuan untuk sembuh atau perawatan. Walaupun jarang, ada beberapa individu yang kemudian membentuk definisi sendiri mengenai situasi yang dialaminya berdasarkan referensi media biasa, tanpa mencari rujukannya dalam literatur. Pada fase ini, individu melakukan tindakan ‘penamaan’ atas diri mereka.

Constituting femaling ini terjadi dalam berbagai cara dan kondisi, ada yang secara personal dan yang secara publik (umum), dengan konteks kesadaran yang bermacam-macam, dan dengan penggunaan literatur yang


(27)

berbeda-beda. Tahap constituting femaling ini dapat terjadi di sebuah komunitas tertentu, seperti komunitas waria.

5. Consolidating Male Femaling

Fase ini menandai tahap dimana terjadi pemahaman dan penetapan atas diri dan dunianya. Pada fase ini mereka meyadari diri mereka sepenuhnya dan mulai membuat rencana ke depan mengenai hidup mereka dan identitas mereka. Pada tahap ini individu mengidentifikasi dirinya sebagai waria dan melakukan berbagai cara untuk mengubah fisiknya. Individu mulai berani mengekspresikan dirinya sendiri, berani memakai pakaian perempuan, melakukan operasi atau penyuntikan hormon, dan lain-lain. Individu berkeinginan untuk terlihat dan berperilaku seperti perempuan yang ‘sebenarnya’.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Metode penelitian merupakan unsur terpenting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Poerwandari (2001) menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan konstektual bila diteliti dalam seting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (why dan how) dalam konteksnya.

Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah studi kasus. Poerwandari (2001), menyatakan studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok


(29)

dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai keterkaitan berbagai fakta dan dimensi dari suatu kasus utuh.

Konsep teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu konsep ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan Ekins (1997), yang merupakan sebuah proses sosial yang terdiri dari sekumpulan fase, dimana individu yang secara genetik merupakan laki-laki, menjadi “perempuan” dengan berbagai cara, mengadopsi pikiran, perasaan, sikap, perilaku, perlengkapan dan atribut perempuan. Dimulai dari fase beginning male femaling (fase terjadinya perilaku femaling awal) hingga fase consolidating male femaling (adanya identitas yang utuh). Peneliti ingin memperoleh data deskriptif serta pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai proses ideal-typical career path of male femaling pada waria untuk menjawab pertanyaan “how” atau bagaimana proses ini terjadi pada waria yang akan diteliti.

III.B. Metode Pengumpulan Data

Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2002) menyatakan, bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis. Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.


(30)

III.B.1. Wawancara

Rahayu & Ardani (2004) menyatakan, pengumpulan data kualitatif melalui wawancara bertujuan untuk memperoh informasi yang digunakan untuk mendapatkan pemahaman tentang suatu fenomena yang diteliti. Informasi tersebut bersifat mendalam dan individual. Hal ini sesuai dengan pernyataan Banister, dkk. (dalam Poerwandari, 2001) yang menyatakan bahwa, wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini sifatnya tidak terstruktur memberi kesempatan pada subjek untuk mengeluarkan buah pikiran, pandangan dan perasaannya dengan bebas (Nasution, 1996).

Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun fungsinya tidak seketat wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended questions (pertanyaan-pertanyaan terbuka), yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

III.B.2. Observasi

Minauli (2002) menyatakan, metode observasi dan wawancara memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dikarenakan perilaku nonverbal merupakan bagian


(31)

terpenting dalam metode wawancara. Mengobservasi aspek-aspek nonverbal selama melakukan wawancara akan sangat bermanfaat terutama pada saat menggali dan melihat sinkronisasi antara apa yang dikatakan sunjek (bahasa verbal) dengan apa yang secara tersirat sebenarnya ingin disampaikannya (bahasa nonverbal). Oleh karena itu, observasi menjadi metode pengumpulan data yang esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Patton dalam Poerwandari, 2001).

III.C Alat bantu Pengumpul Data

Alat bantu pengumpul data dalam penelitian ini digunakan pada saat melakukan wawancara dengan subjek penelitian yaitu menggunakan peralatan bantu sebagai berikut:

1. Alat perekam (voice recorder).

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana bila peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila masih ada hal yang belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara yang direkam juga merupakan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan subjek dalam wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.


(32)

2. Pedoman Umum Wawancara.

Pedaman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Hal ini dimaksudkan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Selain itu, pedoman wawancara berfungsi sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban sehingga memudahkan peneliti pada tahap analisis data (Poerwandari, 2001).

3. Lembar observasi dan Catatan subjek.

Lembar observasi dan catatan subjek digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi dan catatan subjek antar lain memuat tentang penampilan fisik subjek, setting wawancara, suasana lingkungan, sikap dan reaksi subjek, serta hal-hal yang menarik maupun mengganggu dalam pelaksanaan wawancara.

III.D. Subjek Penelitian

III.D.1. Kriteria Subjek Penelitian

Kriteria yang digunakan untuk memilih subjek penelitian adalah sebagai berikut:


(33)

Waria (transseksual male-to-female), yakni individu yang mengakui dan menyadari bahwa dirinya memiliki jenis kelamin laki-laki, tetapi secara psikis cenderung menampilkan dirinya sebagai seorang perempuan.

III.D.2. Jumlah Subjek Penelitian

Prosedur penentuan subjek dalam penelitian kualitatif menurut Sarankatos memiliki karakterisitik berikut ini yaitu: tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik subjek sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian. Yang kedua, tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks. Ketiga, subjek tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Miles & Huberman juga menyatakan bahwa, penelitian kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan pekerjaan detektif yang harus mendapatkan gambaran tentang fenomena yang dicarinya (dalam Poerwandari, 2001).

Jumlah subjek dalam penelitian ini direncanakan berjumlah tiga sampai lima orang. Hal ini mengacu pada alasan kesulitan untuk mendapatkan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk dijadikan subjek penelitian. Di samping itu terdapat juga pertimbangan kesanggupan peneliti dalam melakukan penelitian.


(34)

III.D.3. Prosedur Pengambilan Subjek Penelitian

Penelitian in menggunakan prosedur pengambilan subjek dengan tehnik sampling purposif, yaitu pengambilan sampel purposif yang terstratifikasi (stratified purposeful sampling). Penelitian kualitatif fokus pada kedalaman kasus dari beberapa subjek penelitian yang dipilih berdasarkan tujuan tertentu (purposefully) (dalam Patton,1990).

III.E. Prosedur Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data, koding, analisis dan terakhir adalah interpretasi (Poerwandari, 2001).

1. Organisasi Data

Data kualitatif sangat banyak dan beragam, sehingga perlu untuk diorganisasikan secara rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen & Finley (dalam Peorwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumetasikan analisis yang dilakukan serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang telah dibubuhi kode spesifik dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. 2. Koding dan Aanalisis

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah menambahkan kode-kode pada materi-materi yang diperoleh. Langkah awal koding dapat


(35)

dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sedimikian rupa, sehingga ada kolom yang lebih besar disebelah kanan transkrip tersebut. Kemudian memberi penomoran secara berurutan dan kontinu pada baris-baris ktranskrip tersebut. Selanjutnya peneliti memberikan nama untuk msaing-masing berkas dengan kode tertentu. 3. Interpretasi Data

Kuale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami dan secara lebih ekstensif sekaligus mendalam peneliti memiliki perspektif tersebut. Peneliti beranjak melalui apa yang secara langsung dikatakan oleh subjek, untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera ditampilkan dalam data mentah. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, dicapai melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas, serta melalui dimasukkannya data kedalam konteks konseptual yang jelas.


(36)

BAB IV ANALISA DATA

IV.A. Analisis Data Subjek 1

IV.A.1. Gambaran Umum Subjek 1

Tabel 1.

Gambaran Umum Subjek 1 Nama samaran Wenny Usia 58 tahun Agama Kristen

Suku Batak

Pendidikan terakhir Diploma (D3) Sekretaris Pekerjaan Wiraswasta (Salon) Status Belum menikah Alamat Medan

Deskripsi Data Subjek 1

Dilahirkan di Siantar, 58 tahun yang lalu, Subjek merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Dia merupakan anak laki-laki pertama di keluarganya, memiliki tiga orang saudara perempuan, dan seorang adik laki-laki. Subjek lahir dari keluarga bersuku Batak Toba, ayah dan ibunya sama-sama bersuku Batak Toba. Semasa SD, Subjek tinggal bersama keluarganya di Ambarita, kemudian memasuki SMP, mereka sekeluarga bermukim di Siantar.

Sejak masa prasekolah, Subjek sudah menyukai dunia anak perempuan, di antaranya lebih menyukai bermain dengan perempuan dan melakukan permainan yang biasa dilakukan oleh anak perempuan. Ketika masih duduk di bangku SD,


(37)

saat orang tuanya tidak di rumah, dia pernah mencoba pakaian ibunya, dan berjalan bak seorang peragawati.

Subjek tertarik pada laki-laki saat duduk di bangku SMP, tapi dia kemudian merasakan cinta yang sesungguhnya saat dia memasuki SMA. Saat SMA pula, dia mulai mengenal komunitas waria, dia sering keluar malam dan “nongkrong” dengan komunitasnya tersebut. Hal ini tidak diketahui oleh orang tuanya, berbagai alasan digunakan untuk bisa keluar malam dan tetap menyembunyikan kegiatannya dengan komunitasnya.

Subjek meneruskan pendidikannya ke jenjang D3 di Medan. Jauh dari pengawasan orang tua dan keluarga membuatnya lebih berani untuk berpenampilan layaknya seorang wanita. Walaupun demikian, dia mengaku sudah berusaha untuk mengubah perilakunya tersebut, seperti mencoba berpacaran dengan perempuan, dan berpenampilan dan berteman dengan laki-laki, tetapi hal tersebut tidak berhasil.

Setelah menamatkan pendidikan D3-nya, Subjek kemudian merantau ke luar Medan, seperti Jawa dan Banda Aceh. Beberapa pekerjaan dilakoninya, baik sebagai pegawai swasta, penyanyi, pemain sandiwara dan sebagai pegawai sebuah bank di Banda Aceh. Saat bekerja di bar sebagai pelayan dan penyanyi di Jakarta, dia berpakaian ala perempuan. Dia juga mengirimkan fotonya berpakaian perempuan pada keluarganya. Keluarganya yang sempat tidak mengetahui kabarnya selama hampir lima tahun, dan mengira bahwa dia sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan sesuai dengan pemberitaan sebuah media, merasa senang dapat berhubungan kembali dengan Subjek. Untuk memenuhi keinginan


(38)

keluarganya, Subjek pulang ke Medan, keluarganya menerima perubahan yang terjadi pada dirinya.

Sekarang Subjek aktif di kegiatan gereja dan lingkungannya. Dia tetap tampil dengan dandanan seorang perempuan, ini ditetapkannya setelah dia mempunyai penghasilan sendiri, didukung pengetahuan agama yang mendukungnya untuk menerima dirinya apa adanya dan tetap berbuat baik. Kedekatannya dengan keluarga tetap terjalin, saat ini dia tinggal dengan keluarga adiknya dan aktif mengikuti kegiatan ibadah dan arisan keluarga besar marganya.

Pekerjaan yang digelutinya sekarang, adalah di bidang kecantikan. Setelah menghabiskan lebih dari lima tahun belajar tata rias di beberapa salon, dia menjadi karyawan salon di beberapa salon. Setelah kenyang dengan pengalaman, tahun 1990, Subjek membuka salon pertamanya, tapi karena ketidakcocokan dengan sang pemilik rumah, dia kemudian pindah dan membuka usaha salon di daerah Menteng sekitar tahun 1992.

IV.A.2. Data Observasi Subjek I

Bulan Januari akhir 2007, peneliti berkenalan dengan Subjek di salonnya yang terletak di daerah Menteng. Saat mengemukakan maksud dan tujuan peneliti, dia bersedia membantu sebagai partisipan dalam penelitian peneliti, kemudian peneliti memberikan informasi mengenai hak-hak privasi dan penggunaan data wawancara yang nantinya didapat. Untuk mengakrabkan diri, peneliti sempat potong rambut di salon Subjek, sambil bercerita tentang berbagai hal, terutama mengenai dunia salon yang digelutinya.


(39)

Wawancara pertama, diadakan di salon Subjek pada hari Rabu, tanggal 11 Juli 2007, pukul 15.30-17.30 WIB. Pemilihan tempat merupakan kehendak Subjek sendiri karena dia menjalankan salonnya sendiri. Keadaannya memang tidak begitu nyaman untuk melakukan wawancara, karena salon Subjek berada di depan jalan raya yang ramai dilintasi oleh kendaraan dan pada saat itu listrik padam, sehingga ruangan panas dan suara genset di luar ruangan menambah suara bising. Saat itu, Subjek menggunakan daster berwarna krem, dan rambutnya dikucir ke belakang. Karena udara yang panas, sesekali Subjek mengipas-ngipas muka dan badannya dengan selembar koran, terkadang dia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi dan beberapa saat kemudian menurunkannya kembali. Sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan, peneliti berbasa-basi sejenak, dan setelah peneliti merasa Subjek sudah cukup nyaman dengan keberadaan peneliti, peneliti memulai wawancara. Subjek terlihat santai menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, dengan suara khas dan cepat yang terkadang membuat peneliti kewalahan mencerna perkataan Subjek. Saat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kejadian dimana Subjek mendapat reaksi negatif dari orang lain, suara Subjek berubah menjadi lebih keras dan tegas, kakinya yang semula disilangkan di atas kursi diturunkan, badannya mencondong ke depan. Saat wawancara, pelanggannya datang, wawancara kemudian ditunda dan dilanjutkan kembali setelah Subjek selesai melayani pelanggan tersebut.

Wawancara kedua, diadakan di tempat yang sama, yaitu di salon Subjek pada hari Senin, 30 Juli 2007, pukul 14.45-16.00 WIB, untuk melengkapi data wawancara yang ternyata belum lengkap. Peneliti bertemu Subjek di luar salonnya


(40)

saat dia sedang berbicara dengan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Dari seberang jalan, Subjek sudah mengenali peneliti dan melambaikan tangannya ke arah peneliti, kemudian setelah peneliti menyeberang, Subjek mengajak peneliti masuk. Penampilan Subjek terlihat simpel, dia mengenakan celana pendek warna krem dengan tank top berwarna senada. Tidak nampak polesan make-up di wajahnya, rambutnya yang pendek dikucir dan diikat ke belakang, tampilannya sederhana dan ramah. Sebelum wawancara dimulai, Subjek memakan sepotong kue yang dibawa oleh peneliti dan bercerita mengenai keponakannya yang juga sering membawa kue. Subjek sesekali menanyakan mengenai keluarga dan studi peneliti, kemudian peneliti menceritakan sekilas mengenai studi, keluarga dan rencana pulang kampung. Saat wawancara berlangsung, Subjek duduk di kursi di depan peneliti, kakinya disilangkan, tangan kanannya diletakkan di atas lututnya dan tangan kirinya memegang rambutnya, dan terkadang digunakan untuk memperbaiki rambutnya beberapa kali.

Wawancara yang merupakan ketigakalinya ini diadakan pada hari Kamis, tanggal 22 November 2007, mulai pukul 13.00-14.50 WIB. Seperti penampilan sebelumnya, Subjek menggunakan tank top dan celana pendek, tapi ada yang berbeda dengan rambutnya, terlihat lebih lurus, rapi dan di hi-lite (diwarnai), ternyata Subjek baru menjalani perawatan rambut smoothing. Salonnya terlihat ramai, ada empat orang anak perempuan yang menurut penuturan Subjek merupakan asistennya yang juga belajar di salonnya. Terdapat beberapa perubahan pada salonnya, yaitu penggantian keramik lantai, adanya papan pengumuman harga salon, dan adanya papan untuk penunjuk arah ke arah


(41)

salonnya. Dia menceritakan bahwa saat lebaran, dia mendapatkan penghasilan yang lumayan besar dan dengan uang tersebut dia dapat memperbaiki salonnya. Wajah Subjek terlihat lebih ceria dari sebelumnya, dan lebih sering tersenyum sambil menceritakan perkembangan salonnya. Saat wawancara, Subjek menyisipkan cerita keberhasilan usaha salonnya pada peneliti. Bahkan setelah wawancara usai, Subjek beberapa kali menceritakan cerita keberhasilan usaha salonnya sekarang. Selama menjawab pertanyaan, Subjek sering memperbaiki rambutnya yang ringan tertiup angin, kakinya disilangkan serta tangannya terkadang diayunkan saat menjawab beberapa pertanyaan. Setelah wawancara selesai, saat peneliti memandang ke sekeliling salon, ternyata foto Subjek saat menjadi Miss Waria Sumatera Utara telah dipajang, berderet dengan foto-foto lain saat Subjek menerima berbagai penghargaan dalam bidang kecantikan dan kejuaraan.

IV.A.3. Data Wawancara Subjek I a. Beginning Male Femaling

Sejak masa prasekolah, Subjek mengakui kalau dia sudah berperilaku seperti anak perempuan dan dia menyadarinya saat masih duduk di bangku SD, sekitar umur 12 tahun.

“Aku sejak dari ini mm.., dari SD, ..dari SD aku, sebelum sekolah pun saya da nampak kayak-kayak perempuan-perempuan gitu...kalo gak salah saya, umur 12 tahun saya da nampak gejala. Dari SD-SD la, mau masuk SMP gitu, uda kentara kali lah, uda nampak.”


(42)

Saat bermain, Subjek lebih memilih untuk bermain dengan anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki.

“Sama perempuan, tapi di sana misalkan kumpulan laki-laki sekalian bermain, saya gabung sama perempuan”.

(S1.W3/b.195-197/hal.7).

Menghabiskan waktu bermain dengan anak perempuan membuatnya akrab dengan permainan-permainan dan kegiatan-kegiatan anak perempuan pada umumnya. Subjek melakukan kegiatan seperti mencuci piring, menjahit, main boneka, menari, main pecal-pecalan dan kegiatan lain yang identik dengan kegiatan yang biasa dilakukan anak perempuan. Bahkan saat perayaan kemerdekaan, 17 Agustus, dia mengikuti kegiatan seperti menari dan pada saat karnaval, dia memakai baju perempuan.

“Dari sebelum SD, saya uda ada pekerjaan perempuan, kewanitaan-kewanitaan saya da ada. Cuci piring, ngapel, jahit-menjahit, main-mainan kelereng-kelereng, main anak-anakan, main boneka-boneka sudah, joget-joget, nari-nari. Kalo sudah 17 Agustusan itu, saya da sering nari-nari gitu. Kalo ada-ada karnaval gitu da suka dibuat pake baju perempuan kan... Anak-anakan, trus main pecel-pecelan gitu.”

(S1.W1/b.18-27, 85-86/hal.1, 2).

Sewaktu kelas enam SD, Subjek menyukai permainan lain, seperti jinjing bakul, dan pada saat tersebut dia mengidentifikasi dirinya sebagai seorang anak perempuan

“Oooo...iya pernahlah waktu kelas-kelas enam la itu saya rasa. Saya kan dulu apa, sering main kain-kain jingjing bakul kan, ya iya la, saya kan perempuan, pernah itu mau omongan gitu memang pernah.”

(S1.W2/b.280-285/hal.7).

Hal ini tidak luput dari perhatian saudara-saudaranya dan orang tuanya, mereka tidak melarang Subjek, tetapi hanya memperingatkan dia, bahwa sebagai


(43)

seorang anak laki-laki, dia tidak boleh berbuat demikian. Ibunya memaklumi hal tersebut dengan alasan bahwa pada saat itu Subjek masih anak-anak.

“Eee, dilarang, gak dilarang, dilarang sih enggak. Cuman ya dikasi ingat, dikasi ingat gitu aja. ‘Jangan gitu la’ katanya, ‘Kau kan laki-laki’, itu katanya. Tapi dibiarkan saja, datang mamak saya, ‘Uda la gak papa, gitu aja, namanya anak-anak’, itu katanya.”

(S1.W1/b.99-105/hal.3).

Begitu juga dengan ayah dan saudara perempuannya, mereka hanya menyatakan keheranan mereka atas kesukaan Subjek terhadap barang-barang yang disukai anak perempuan.

Ya dari kecil, mereka sudah tahu, tidak pala mau dilarang, tidak pala mau di apa gitu. Cuman ayah, kakak saya bilang, “Kau kok kayak perempuan, suka kali kau barang-barang ke gitu”, katanya, itu aja.

(S1.W3/b.156-160/hal.4).

Pada kesempatan lain, Subjek berani memakai pakaian-pakaian ibu dan saudara perempuannya secara sembunyi-sembunyi atau bersama teman-temannya perempuan. dia memakai kebaya, kain sarung, sanggul dan sepatu serta menyobanya di depan kaca.

“Iya..pake-pake kebaya, kain sarung, pake-pake sanggul gitu...Iya, nyoba di depan kaca...Baju kakak saya, baju mamak saya, tapi kalo sepatu kakak saya pernah, baju mamak saya sepatu kakak saya la. Jalan-jalan kek gini-gini di ruangan gitu...Ga ada orang yang lihat, apa la, kadang-kadang bermain sama-sama perempuan la.”

(S1.W2/b.325-326, 328, 334-337, 339-341/hal.7, 8).

Setelah mengerti perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Subjek menyadari bahwa dia merasa dirinya adalah seorang perempuan. Tingkah lakunya yang cenderung seperti perempuan semakin bertambah seiring pertambahan usianya, bahkan dia mulai tertarik terhadap laki-laki.

“Ya, saya uda tahulah tentang masalah-masalah perbedaan, laki-laki dengan perempuan. Trus hati sanubari saya itu merasa diri saya itu seorang, sama dengan seorang perempuan. Saya pun berteman sama


(44)

perempuan, trus itu di SD belum ada terasa, cuman tingkah laku da tingkah laku perempuan, ha.. di SMP, di SMP, udahlah, uda jadi, uda jadi tapi blum pas, blum pas, jadi di SMU, baru uda mulai. Kita uda mengenal cinta dan kasih sayang, itulah perhatian, rasa sama cowok gitu.”

(S1.W3/b.108-119/hal.3).

Keterarikan terhadap laki-laki tersebut dirasakannya sejak kelas tiga SMP hingga duduk di bangku SMA.

“Di SMP uda terasa la, uda pernah di..diapala, diajak-ajak bercinta gitu, tapi gak sampai kencan. Cuma ada sayang gitu, ada cinta la gitu, beda la beda. Dari SMP saya uda itu di kelas tiga. Uda mau masuk di SMU, tapi waktu di SMUnya ya uda, kita uda.”

(S1.W1/b.50-56/hal.2 ).

Ketertarikan tersebut berupa rasa sayang dan perhatian terhadap laki-laki, Subjek merasa sebagai seorang perempuan yang dicintai oleh laki-laki.

“Berbedalah. Berbeda, terasa sayang sama laki-laki itu, ada rasa perhatian, ada apa gitu”

(S1.W3/b122-124/hal.3).

“... diri ini merasakan perempuan, merasa dicintai, namun laki-laki, saya tidak tahu, tapi namun dia ada sayang gitu...”

(S1.W1/b.68-71/hal.2). b. Fantasying Male Femaling

Subjek pernah membayangkan dirinya seperti perempuan, hal ini biasanya terjadi ketika dia melihat perempuan yang cantik, dia akan bertanya pada dirinya sendiri apa bisa dia seperti perempuan tersebut

“.Ya...pernah...pernah, itu tentu ada, ada...ya perasaan kita itu kaya perasaan perempuan la. Kalo ada lihat ada perempuan cantik ya, ‘apa bisa saya kayak perempuan itu?’, begitu.”


(45)

Keinginannya untuk menjadi secantik perempuan yang dilihatnya, dia tuangkan dengan mengikuti sandiwara-sandiwara dan mengambil peran sebagai seorang perempuan.

“Ya kalo ada nengok perempuan yang cantik gitu kan? Maunya saya bisa secantik itu, kek menonton-nonton kita di TV, dengar-dengar sandiwara, ha, karena saya dulu pernah ikut-ikut sandiwara, ha, jadi saya itu selalu ikut-ikut jadi sebagai wanita la.”

(S1.W3/b.175-180/hal.4).

Selain itu, Subjek juga pernah mengikuti opera-opera, yang juga banyak diikuti oleh waria-waria. Dalam opera tersebut Subjek 1 mengambil peran sebagai perempuan.

“....apalagi pada opera itu pada umumnya orang waria-waria kebanyakan. Jadi peranan kalo agak tua jadi sebagai mamak, karena hari itu masuk umur-umur 20, aku sebagi anak gadis, sebagai gadis nakal, gitu-gitu la. Banyaklah peranan saya di situ.”

(S1.W2/b.369-375/hal.8).

c. Doing Male Femaling

Subjek mengenal waria sejak dari SD, saat SMP dia memiliki teman yang juga memiliki kecenderungan untuk menjadi perempuan.

“Saya dari SMP, dari SD pun saya uda ada kenal, uda ada teman, tapi saya gak mau pala terjun. Hanya sekedar gitu, ya karena masih sekolah, jadi karena masih sekolah gitu gak...Di SMP saya, saya uda ada teman-teman saya, dua di antara kami, dua tiga di lingkungan itu...”

(S1.W1/b.334-342/hal.8).

Memasuki SMA, bersama teman-teman sekelasnya, Subjek mulai sering keluar malam dan bergabung dengan komunitas waria.

“Sebelum SMA uda pernah-pernah juga. Sesudah SMA, waktu SMA ya sudah sering la keluar-keluar malam, uda gabung-gabung... Sama teman-teman. Ha...itu la teman-teman sekelas, marga Tarigan, marga Sinaga, marga Situmorang”


(46)

Bersama komunitas waria, Subjek diajak untuk berpenampilan seperti perempuan, pakaian yang dipakai biasanya adalah pakaian ibu, saudara perempuan, atau pakaian perempuan yang dibeli sendiri. Kemudian mereka pergi “mejeng” ke berbagai tempat hiburan, seperti restoran, kafe, bar, taman hiburan, kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

“...Uda SMA la, uda gabung dengan kawan. Kita uda mengenal dua tiga orang. Kadang-kadang kita malam-malam uda diajak kita dandan di tempat orang, ada spesial warung di situ. Kita uda membeli baju...ambil baju kakak kita ato mamak kita. Kita uda pakaian, nanti pagi uda ganti lagi seperti biasa, jangan sampai ketahuan sama keluarga begitu. Tapi namun kalau saya begitu dulu, cari uang tak pernah, blum pernah..tidak pernah. Cuma kalo kerja-kerja di diskotik ya..iya pernah...nyanyi-nyanyi di bar, di restoran pake baju perempuan. Dari jam sekian kita uda bangun, dandan, ntar kita uda pergi saja, kayak di taman Ria, kita ikut gabung kan dengan orang-orang, grup-grup, itu grup band.”

(S1.W1/b.219-237/hal.5-6)

“Iya ada...itu ada teman kita. Kita bergabung dengan kakak kelas kita, sama yang uda senior-senior kita, kita bergabung, mereka itu uda ada baju tersedia, sepatu tersedia. Tapi terkadang masalah selop takut gak pas, kita ambil selop mamak kita, ato kakak kita gitu, lalu kita jalan-jalan... Kalo masalah bedak-bedak, baju dari mereka. Jadi nanti ada warung di situ, nanti di situ la kita gabung, ada kafenya. Jadi nanti kan, kita satu persatu dipanggil nyanyi gitu, pake baju perempuan, joget-joget, melayang-melayang gitu. Apala...gitu...orang-orang dunia yang ada, supir-supir yang mabukla, namanya kafe, duduk di situ la dulu, mejeng di Siantar.”

(S1.W2/b.186-193, 195-204/hal.5)

Subjek pulang ke rumah sekitar pukul satu sampai dua pagi, melalui pintu belakang dan terkadang harus memanjat.

“Pergi gitu aja uda, cuman sampai pagi sih enggak, paling la kadang-kadang jam satu malam, jam dua malam ke rumah, masuk pintu belakang la gitu, ya kadang manjat la.”

(S1.W2/b.173-177/hal.4)

Kebiasaan Subjek keluar malam mendapat larangan dari keluarganya, tetapi larangan tersebut tidak membuatnya kapok untuk keluar malam.

“Ya didiamkan, mungkin nanti dilarang. Ya memang dilarang juga, jangan kek gitu, jangan kemana-mana gitu, tapi mereka itu tidak tahu


(47)

tahu saya begituan, cuman da tau gerak-gerik saya itu da tau saya keperempuanan.”

(S1.W2/b.165-169, 180-182/hal.4).

Setamat SMA, Subjek merantau ke Medan dan kuliah di sana. Setelah jauh dari orang tua, dia sering berpenampilan seperti perempuan, dan sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan dunia kecantikan bersama-sama temannya sesama waria.

“Di medan ini, saya kuliah di Darma Agung, di ASMI.” (S1.W2/b.631-632/hal.14)

“Tapi yang terjun kali, sesudah tamat SMAla, kita harus tamatkan dulu SMA kita ini baru sesudah tamat kita SMA, sesudah mahasiswa baru kita sering-sering pakai pakaian baju perempuan malam hari, kadang nonton gitu kan, main-main gitu... Uda tamat, uda mahasiswa saya kadang-kadang mau ada acara gitu di hotel Danau Toba, ada ini... dari salon, jadi kita dandan, pake baju perempuan bersama-sama teman.” (S1.W1/b.194-198, 334-349/hal.5, 8)

Selain memperkenalkannya ke dunia kecantikan atau salon, teman-temannya sesama waria juga mengajaknya mengikuti berbagai kegiatan seperti menari, menyanyi, dan mengikuti berbagai acara, seperti acara mode dan sandiwara.

“Dari teman la. Jadi kita terjun ke salon, lagi, kawan itu la yang mengajari kita terjun ke salon, gabung, trus nanti ada acara nonton sandiwara atau fashion show, kita uda ikut menari-menari, ia...nyanyi-nyanyi, joget-joget, ya itu la menjadi-jadi menjadi la. Ya kita tidak mau lagi biasa-biasa, bergabung dengan masyarakat biasa. Kita harus dipandang orang la...kita...kita kek ada kelebihan ada keanehan gitu la. (S1.W1/b.726-736/hal.16).

Saat berumur sekitar 22 tahun, Subjek mengirimkan fotonya yang sedang menggunakan baju perempuan kepada keluarganya.

“Ooo, keluarga itu tahu, waktu saya merantau dulu, saya kirim foto dengan pake baju perempuan, saya lagi nyanyi... Kira-kira itu uda 22 tahun...22 tahun”


(48)

Keluarganya tidak berkomentar banyak, tetapi Subjek menyadari bahwa keluarganya sedih.

“Tidak banyak komentar cuman ya sedih, ya sedih tapi tidak terkatakan apalagi mamak saya dulu..saya itu tamat SMA uda langsung merantau dulu,...gitu. Adek-adek saya pun ga marah.”

(S1.W1/b.248-253/hal.6).

Subjek tetap mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan oleh komunitas waria, seperti gebyar waria yang merupakan ajang berkumpul waria yang dilakukan setahun sekali, juga perlombaan-perlombaan seperti lomba fashion, olahraga, masak, dan lain-lain.

“..sering gabung setahun sekali, kita buat hari apa...apa namanya...reuni. ketemu wajah-wajah, dibuata lomba-lomba, masak, volli, basket, kek gitu kan. Lomba masak, basket, ini baru salon, baru sebulan itu nanti. Kek gitu, lomba basket, model, jahit, tapi apala...baru nanti acara puncaknya. Dibuatla malam gebyar...baru dibuatla....kita buat-buat model...la.... , gabung itu nanti untuk internasional dengan nasional..ha... yang dari bali, dari Yunani, Brunei, Hongkong, ada gitu kan...ha...Piliphina gabung la itu nanti, dibuatla model..ha...dibuat terima tamu, adala sponsor, adalah sponsornya....”

(S1.W1/b.745-761/hal.16-17).

Sekarang ini, Subjek tergabung dalam eskada grup dan perwakom, yaitu komunitas waria yang terdapat di Medan. Dia juga pernah menjadi ratu waria se Sumatera Utara.

”Macam apa...em...eskada grup...eskada grup...trus dibuat lagi ini...perwakom, perkumpulan waria kota medan dan sekitarnya, ada kita.. Saya ee..pernah ikut peserta...itu piagamanya... Itu piagamnya dan ada lagi saya, waktu foto, ada foto saya waktu saya apa, waktu saya masuk ratu. Saya pernah ratu Sumatera Utara.”

(S1.W1/763-767, 769-772/hal. 17).

d. Constituting Male Femaling


(49)

menyuruhnya berobat ke dukun, bergabung dengan laki-laki. Subjek menuruti beberapa saran tersebut, tetapi dia mengaku bahwa dia tidak bisa mengubah perilakunya yang seperti perempuan tersebut.

“Kalo orang lain ee...kenapa kamu? Bisa kok diobati, bisa kok diapai, bisa diapai, ada yang mau suruh dibawa ke dukun, ada yang suruh macam-macam, ada suruh kita bergabung sama laki-laki yang begitu...tapi kita ya....diri sendiri la...kita percaya diri sendiri aja, kita pun bukan suka begini, iya kan? Semua pun kadang-kadang kita coba dulu, waktu kita semasa dulu masih mahasiswa, ...apa..uda tau memang itu salah tapi tidak bisa memang, kita uda coba. Kita coba kok berpakaian jantan tapi tidak menerima, berontak, ha gitu.”

(S1.W1/b.394-407/hal.9).

Usaha-usaha yang dilakukannya beragam, mulai dari mencoba tampil lebih maskulin dengan memanjangkan kumis, menjalin hubungan dengan perempuan, bahkan mencoba tidur dengan teman perempuan. Tetapi hal-hal tersebut tidak berhasil, dia merasa seperti orang lain ketika melakukan berbagai usaha tersebut di atas.

“Saya panjangi kumis, kumis pun tak tumbuh, saya coba pacaran sama perempuan, perempuan pun tak mau, menolak hati pun, tidak menerima, menolak begitu lah. Tapi sekedar teman-teman dulu, sekedar cerita-cerita ya tidur sama perempuan kita juga sudah, teman-teman gitu uda anggap teman gitu, satu ranjang gitu, sudah. Tapi gak ada apa-apa. Kita kayak ga seperti diri kita sendiri... Uda berusaha ha...Tapi ya tidur sama pacar kita temani, kita sukai, ya ada la untuk rasa cemburu, rasa cinta, ada memang, ada, iya kan.”

(S1.W1/413-423, 425-428/hal.9, 10).

Subjek mengakui, bahwa dia sulit melepaskan dirinya dari dunia perempuan terutama tampil dengan tampilan perempuan. Apalagi sekarang dia bekerja di dunia kecantikan yang semakin memperberat dirinya untuk melepaskannya.

“...tapi udala memang uda takdir kok..jadi berat itu melepaskan, apalagi bagian-bagian itu...bagian berpakaian wanita, dandan, apalagi kita sekarang ini di salon, itu berat melepaskannya ha...memang bagi


(50)

Tuhan tidak ada yang mustahil...mungkin bisa tapi diri ini berapa juga....”

(S1.W1/b.290-298/hal.7).

Ketika adiknya menderita suatu penyakit yang sulit disembuhkan, Subjek kemudian mengurus keperluan adiknya. Setelah mencoba berbagai pengobatan, penyakit tersebut tidak kunjung sembuh, akhirnya dia membawa adiknya kehadapan pendeta, untuk diberkati. Penyakit tersebut akhirnya sembuh tanpa berobat, dan itulah awal mula Subjek kembali beribadah.

“Uda lama, uda hampir 10 tahun lebih, 15 tahun lebih. Sesudah waktu adik saya jatuh sakit, adik saya pernah begini, pernah mengalami gangguan jiwa, jadi saya bawa ke rumah sakit, saya bawa ke dukun, tiada sembuh. Baru saya bawa kehadapan, kehadapan pendeta, Tuhan, ha baru sembuh gitu tanpa berobat, baru ada kesembuhan. Jadi benar-benar saya pun trus berdoa sama Tuhan saya pasrahkan. Tuhan saya tahu kebenaranMu, hanya Kau yang tau sedalam-dalamnya, kami manusia biasa. Jadi manusia itu pun bagaimanala, karena manusia itu...kita dunia. Jadi dunia ini menjanjikan kehancuran. Jadi kalau Tuhan menjanjikan kemenangan, janji Tuhan benar. Cuma kita harus...bagi yang percaya, asalkan kita sabar.jadi janji dunia membawa kehancuran karena kita disuruh bergaya, jadi gaya itu juga bisa kita kurang-kurangi, bisa kita seadanya. Jadi makanya kita bilang ‘Tuhan apa seadanya diriku ini terimalah, apa, terimalah hati saya’”

(S1.W1/b.508-833/hal.11-12).

Kembali beribadah membuatnya menemukan penjelasan religi mengenai dirinya, setelah membaca dalam Alkitab dan berkonsultasi dengan pendeta, Subjek akhirnya menerima keberadaan dirinya.

“Itu saya selalu doakan, tapi sesudah saya baca di Alkitab, memang ada, Cuma dibuat bekerja baik jangan dibuat jahat. Perempuan juga ciptaan Tuhan, dia juga manusia. Ada kok itu juga saya baca, ada, dan saya uda pernah juga berdoa bersama pendeta juga ada. Pendeta juga memaklumi, memang ada tapi disuruh berbuat baik...iya.”

(S1.W1/b.472-480/hal.11).

Dari segi pekerjaan, setamat SMA, Subjek mencoba berbagai pekerjaan seperti pegawai di kantor, bahkan pernah menjadi guru. Tetapi karena perilaku


(51)

pekerjaan lain. Setelah itu, Subjek mencoba terjun ke dunia salon. Setelah menekuni dunia salon, dia merasa pas untuk berpenampilan sebagai perempuan.

“Ya dari apapun aku, macam mana la, dari ya...dari uda tamat SMA pun aku, sudah lah aku waria, aku pun dulu mau kerja-kerja di kantor, aku pernah jadi guru, tapi gak menerima, karena aku begini, nanti ga bagus pandangan orang, ga ini. Dulu merasa minder la. Sesudah di salon ini la kita baru merasa pas...Baru pas kali, sesudah di salon, baru kita terjun, baru kita berani memakai celak, rok...”

(S1.W2/b.645-652, 64-656/hal.14).

Untuk sekarang ini, Subjek mengidentifikasi dirinya sebagai seorang waria, yang menurutnya menggambarkan dirinya yang mempunyai sifat keperempuanan. Untuk itu dia senang dipanggil , kakak, mbak, ibu, atau panggilan lain yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang perempuan.

“Aku..aku senang aja dipanggil kakak. Jangan aku dipanggil bencong, kalau memanggil bencong itu terlalu kasar, itu tiada sopan santun pun, kalau waria itu memang uda kenal, uda kelas uda dikenal orang la, waria begitu...Uda tau orang, kalau waria itu berarti dia kebanyakan wanitala kan, tapi kalau kita...bencong...dipanggil bencong, kita marah, karena itu kotor. Kalau waria jarang. Jadi panggil aja mbak, ibu.”

(S1.W1/b.310-315, 317-321/hal.7)

e. Consolidating Male Femaling

Untuk tampil sebagai seorang perempuan, Subjek mengubah penampilannya, cara yang paling umum adalah dengan menggunakan pakaian perempuan dan berdandan. Pakaian yang dikenakan biasanya disesuaikan dengan tujuan acaranya, saat pergi ke gereja, Subjek 1 biasa menggunakan blazer, celana panjang, hak tinggi, dan berdandan. Untuk merias wajahnya, Subjek 1 menggunakan peralatan make-up seperti bedak, lipstik dan celak.

“Saya saja sampai saat ini ke gereja pakai blazer kok, pakai celana panjang, hak tinggi, pakai blazer ibu-ibu, rambut dandan, ya bagaimana seperti gaya ibu-ibu gitu la....pake bedak, sabun, lipstik, celak itu ada...”


(52)

(S1.W1/b.262-267,609-610/hal. 6, 13).

Ketika menghadiri acara-acara waria, seminar kecantikan, Subjek memakai pakaian yang lebih bervariasi dan sesuai dengan mode, seperti menggunakan, rok mini, “yukensi”, sarung tangan, ditambah dengan gaya rambut yang bervariasi seperti kipas dan sebagainya.

“Kalo hanya sekedar acara-acara kita, kita pakai yang lebih menor seksi, pake tali satu, pake rok mini, stoking, pake sarung tangan, menor la, rambut seperti kayak kipas gitu kita tarok, kalai untuk acara seperti kita sama kita, acara-acara misalnya revlon, mustika ratu misalnya ada seminar-seminar di hotel, kita pake rok mini, ya kita menor la, kita yang seksi la..ha...itu lain dengan ke gereja, lain ke pesta.”

(S1.W1/b.579-589/hal.13).

Jika tampil menggunakan kebaya atau pakaian tertentu, Subjek juga terkadang memakai tambahan untuk menambah volume tubuh.

“Tapi kalo untuk kebaya dan pakaian, kali tambahan itu ada, ada khusus dijual celana untuk menambah pantat itu ada.”

(S1.W1/b.615-618/hal. 13-14).

Selain itu, karena keterbatasan fisik, Subjek melakukan penyuntikan buah dada untuk mempertegas penampilannya sebagai seorang perempuan.

“...aku dulu suntik-suntik buah dada, trus kayak perempuan. Kayak kek gini la. Ha...ya begitu.”

(S1.W2/b.486-488/hal.11).

Melihat penampilannya tersebut, keluarga Subjek mengomentarinya dengan positif, dengan memuji penampilannya dan bahkan meminta dia untuk mengajari mereka bagaimana cara dandan.

“Mmmm...ya macam mana la, nolak sih ga nolak, yang mendukung juga...’Kok cantik kali gitu aja, kok cantik kali’, kalo dilihat saya..‘Oo kok cantik,’ gitu aja, ‘Kekmana? Kau buatkah aku kek gitu’, kakak saya


(53)

gitu, kayak abang-abang saya ‘Kok cantik kalo mau kemana gitu’, ada perlu gitu aja uda.”

(S1.W1/b.626-634/hal. 14)

Berbagai reaksi dihadapi Subjek dari keluarga dan masyarakat. Keluarganya menerima dia dengan tangan terbuka, dia merasa kalau keluarganya mengerti bahwa perilakunya adalah sesuatu yang batiniah.

“Ga pernah marah, ga pernah keluarga saya itu, ga pernah memarahi saya, tidak pernah membuat hati saya sakit. Keluarga saya sampai saat ini juga mereka itu tahu karena itu adalah batin.”

(S1.W1/b.179-183/hal.4).

Kedekatannya dengan keluarganya terlihat dari keikutsertaan Subjek dalam foto bersama anggota keluarganya

“Mmm semua saya dekat, lebih-lebih sama kakak-kakak saya, abang-abang saya yang satu darah sama saya..ha...kami sampai bikin foto keluarga pun. Kami anak mamak saya, bapak saya, kami berlima. Kami dekat.”

(S1.W1/b.637-642/hal.14).

Bentuk kedekatannya dengan keluarga besarnya juga terlihat dari keikutsertaan Subjek dalam acara ibadah keluarga besarnya. Dalam acara tertentu, dia diminta untuk memimpin doa atau mengucapkan sepatah dua kata.

“Dekat, semua dekat. Jadi saudara sepupuku ini pun gak ada yang melarang aku yang begini ini, malahan sayang. Semalam juga acara partangiangan juga aku yang disuruh pimpin doa...iya... Masih dekat kali. Ooo sayang pun, saya pun dibuat di acara-acara apa..bikin doa, ya dari keluarga kita itu dari marga Samosir... Partangiangan pernah di rumah ini, kadang-kadang kalo makan rame-rame juga, saya ucapan sepatah kata juga, kadang-kadang saya begitulah. Waktu orang ini malua, saya kasi nasehat.”

(S1.W2/b.25-30, 611-614, 616-620/hal.1,13, 14).

Reaksi negatif diterimanya dari masyarakat sekitar. Saat menyewa sebuah rumah, pemilik rumah mencari alasan supaya Subjek pindah dari rumah


(54)

sewaannya karena perilakunya yang keperempuanan. Dia akhirnya pindah dari rumah tersebut.

“Ada juga. Waktu semasa saya menyewa rumah, yang punya rumah itu kadang dia curiga siapa sebenarnya saya. Jadi saya katakan, ya saya bicarakan juga, malahan saya disuruh pindah, banyak alasan, ada alasan, dicari alasan lain, tapi saya juga pindah.”

(S1.W1/b.432-438/hal.10).

Dulu, dia menanggapi reaksi negatif dari masyarakat dengan melawannya, bahkan terkadang dia menggunakan kekerasan jika diejek oleh orang lain. Setelah rajin mengikuti kebaktian, Subjek tidak mau lagi melawan dan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang mengejeknya, dia hanya mendiamkannya saja

“Dicuekin aja. Jangan kita lawan, makanya apalagi sekarang ini saya uda ke gereja, uda ikut partangiangan, uda kek gini, apapun dibilang orang. Karena saya tidak mau lagi seperti orang dunia, biarlah saya itu terima saja apa adanya yang mereka bilang... Kalo dulu-dulu masih saya mau melawan, menampar pun aku mau. Kalo diejek, biar itu laki-laki, biar perempuan, sering diejek orang mau aku tampar. Sampai kek gini aku uda mau ke gereja saya ga mau lagi.”

(S1.W2/b.572-578, 580-585/hal.13).

Subjek juga mengakui bahwa tidak semua orang memperlakukannya demikian, kebanyakan masyarakat yang sudah mengerti dan memahami waria, menerimanya dengan baik

“Yang tidak itu, kita cuekkan aja, karena kita pun bukan minta makan sama dia, kadang diejek apapun, ga suka. Malahan ada yang bilang,”..e...ga takut kalian, itu kan laki-laki, itu kan gini-gini,” banyak itu kita dengar, sampai ke kuping pun. Cuma kita cuek aja, itu tidak penting, yang penting ya yang sama kita. Tapi ada yang baik, kadang-kadang dalam masyarakat itu kalau sudah mengerti tentang waria, apalagi teman-teman kita di salon, dia gak mau di salon kalau ga sama waria, banyak kek gitu.”


(55)

Subjek merasa bahwa momen ketika dia mengenal Tuhan, merupakan turning point baginya. Dia mengaku, sejak mengenal Tuhan, dia dapat menerima hidupnya apa adanya, dan segala kebutuhannya seperti rumah, pekerjaan terpenuhi.

“Kita terimala diriku apa adanya. ‘Tetapi gitu la Tuhan, saya tidak ada penyesalan, karena saya adalah ciptaanMu, kuasaMu semua tercurah dalam hidup saya. Tuhan apa seadanya kehidupan saya ini’...Paling utama begitu la, saya uda rasa kebaikan Tuhan, mujizat Tuham, segalanya uda saya terima dari Tuhan. Sejak aku mengenal Tuhan, saya baru punya, dapat rumah, iyala anak-anak saya bisa bekerja walaupun dengan biasa-biasa tapi halal itu kok.”

(S1.W1/b.487-492, 536-542/hal.11, 12).

“Sekarang saya ini menjalani hidup ini ya..kek mana la mau saya bilang ya. Ya begini la, uda la sampai di sini aja saya rasa Tuhan, ke tanganMu la saya. Jadi saya ini sekarang dek banyaklah berfokus pada Yang Maha Kuasa la.”

(S1.W2/b.452-457/hal.10).

Rencana Subjek ke depan, fokus pada pekerjaan dan keluarga, dia ingin memajukan usahanya.

“Ya untuk diri saya sendiri hanya, ya...apa adanya la, begini saja. Kalo namun untuk berlebih-lebihan tidak kok. Rencana ke depan pun cuma rencana untuk usaha, ya usaha ini aja la berkembang, bagus, apalagi kita ini yang gimana ya..kalo ada keluarga kita, saudara-saudara, keponakan-keponakan kita kalau pingin dia seperti ini, ya kita ajari, kita dukung. Gitu aja la ini usaha ini mau dikembangkan,... Untuk keluarga aja la, saya hidup mencari ini pun untuk hidupnya, sekalian saya beramal sama Tuhan, itu saja.

(S1.W1/b.648-658,665-668/hal. 14,15).

Mengenai hubungannya dengan pasangan, dia menyadari mengenai keadaannya. Menurut penuturannya, Subjek tidak mempunyai niat lagi untuk berumah tangga atau untuk mempunyai kekasih.

“Tapi ya untuk menjadi berumah-tangga itu, apa kek gitu ga la, ga ada niat, karena kita tau kok kita siapa sebenarnya...kalo namun untuk diri, untuk berlebih-lebihan supaya saya cantik, supaya saya kek gini,


(56)

kekmana supaya saya muda supaya itu ga, dapat cowok ga sama sekali, gak ada lagi, uda berlalu.”

(S1.W1/b.202-205, 659-663/hal.5, 14)

IV.A.4. Ideal-Typical Career Path Of Male Femaling Pada Subjek 1

Terdapat lima fase dalam ideal-typical career path of male femaling pada waria. Fase pertama adalah beginning male femaling. Pada fase ini, penekanannya adalah adanya perilaku femaling awal, yaitu perilaku awal individu yang tidak sesuai dengan tuntutan sosial atas jenis kelaminnya. Kasus yang sering muncul adalah adanya cross-dressing (individu menggunakan pakaian lawan jenisnya, dalam penelitian ini laki-laki menggunakan baju perempuan), baik karena direncanakan, atau karena adanya kesempatan (Ekins, 1997). Hal ini terlihat pada Subjek, dimana sejak kecil dia tertarik dengan dunia perempuan, dan lebih suka bermain dengan anak perempuan sebayanya daripada bermain dengan anak laki-laki. Dia juga menyukai berbagai permainan anak-anak perempuan seperti main boneka, anak-anak’an, masak-masak’an, main lompat tali dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, dia suka melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan anak perempuan seperti mencuci piring, mengepel, dan menjahit. Kegiatan ini pernah dilarang oleh orang tua dan saudara-saudaranya, tetapi karena Subjek masih kecil pada saat itu, ibunya membiarkannya dengan alasan bahwa dia masih anak-anak. Saat keluarganya tidak di rumah, beberapa kali dia memakai pakaian, sepatu dan sanggul ibu dan saudara perempuannya, setelah memakainya, dia suka bercermin di depan kaca dan berjalan kesana-kemari layaknya peragawati. Memasuki SMP, Subjek mulai merasakan ketertarikannya pada laki-laki di sekolahnya, ketertarikan pada laki-laki-laki-laki ini berlangsung hingga SMA.


(1)

V.C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan diskusi hasil penelitian ini, maka peneliti mengajukan beberapa saran.

1. Bagi waria

a. Untuk mendapat pemahaman yang lebih baik mengenai keadaan dirinya, waria disarankan untuk mencari informasi yang adekuat mengenai transseksual dari berbagai sumber, seperti dari segi agama, pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih baik, waria tidak bingung dengan identitas seksualnya dan dapat mempertimbangkan langkah terbaik untuk ke depannya.

b. Berbagi pengalaman dengan sesama yang memiliki kecenderungan yang sama sebagai media untuk saling berbagi informasi mengenai keadaannya masing-masing, yang diharapkan dapat membantu waria untuk lebih memahami kondisinya dan mempertimbangkan tindakan terbaik bagi dirinya.

c. Mengikuti komunitas waria berupa organisasi formal, sebagai tempat bersosialisasi dengan sesama waria. komunitas formal waria berfungsi sebagai media sosialisasi waria, dan sebagai tempat edukasi bagi waria dari berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, kesehatan, hukum dan agama. Diharapkan dengan mengikuti kegiatan positif yang diselenggarakan di komunitas formal waria, waria dapat memperbaiki penilaian masyarakat atas kaum waria.


(2)

2. Bagi orang tua

Disarankan agar orang tua tanggap dan jeli memperhatikan perkembangan anaknya sejak dari kecil. Karena orang tua terkadang tidak menyadari gejala awal transseksual pada anaknya. Ketika mengetahui bahwa anaknya adalah waria, orang tua disarankan untuk menambah pemahamannya mengenai kondisi anak. Yaitu dengan cara mencari informasi yang adekuat mengenai waria dari berbagai sumber, seperti dari segi agama, pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih baik, orang tua dan anak dapat mendiskusikan langkah terbaik atas kondisi anaknya.

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Mempelajari tehnik rapport yang baik, sehingga dapat menjalin hubungan baik dengan subjek penelitian, yang nantinya berpengaruh pada data penelitian yang didapatkan. Sesuai dengan pengalaman peneliti, bahwa rapport yang buruk dan wawancara yang tergesa-gesa menghasilkan data yang tidak lengkap. Rapport yang baik berpeluang tinggi menambah kedalaman data yang didapatkan.

b. Memperluas wawasan mengenai fenomena waria, baik dengan observasi prapenelitian, wawancara awal, dengan mencari informasi dari berbagai pihak yang terkait dengan dunia waria, juga dengan buku populer yang membahas segala sesuatu megenai waria. Dengan mengetahui informasi awal mengenai kehidupan waria, dan mempunyai pengalaman dengan kehidupan waria diharapkan dapat


(3)

membantu peneliti selanjutnya untuk membangun rapport dengan subjek penelitian, memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai fenomena kehidupan waria dan membantu peneliti selanjutnya dalam hal melaksanakan penelitian.

c. Memperluas pengetahuan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan waria, terutama mengenai fase-fase male femaling pada waria. Minimnya literatur yang membahas mengenai transseksual, terutama mengenai waria di Indonesia dapat menjadi penghalang peneliti untuk meneliti kehidupan waria dengan teori yang tepat. Untuk itu disarankan sebelum memulai penelitian, peneliti diharapkan mencari dan mempelajari literatur sebanyak-banyaknya mengenai waria baik dari luar negeri, dan dalam negeri, serta mencari referensi dari penelitian sebelumnya mengenai waria.

d. Sesuai dengan diskusi dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa teori ideal-typical career path of male femaling yang dikemukakan oleh Ekins, tidak mampu menjelaskan sebagian besar gejala dan perilaku yang berhubungan dengan proses individu “menjadi waria”. Sehingga, disarankan untuk peneliti selanjutnya mempergunakan teori yang lebih lengkap dan terbaru mengenai proses individu “menjadi waria” (dalam teori Ekins dikenal dengan konsep male femaling)

e. Mengambil subjek penelitian yang lebih bervariasi, yaitu dari segi ekonomi, pendidikan, usia, budaya, dan agama untuk mendapatkan hasil yang lebih beragam dan mendalam.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association.(2004). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, fourth edition Text Revision. Arlington: American Psychiatric Association.

Davidson, Neale & King.(2004). Abnormal Psychology, ninth edition. New York: John Wiley & Son, Inc.

Devault, Bryan & Lyarber, Barbara.(2005). Human Sexuality, Diversity in Contemporary America, fifth edition. New York: MC Graw Hill Company Inc.

Ekins, Richard.(1997). Male Femaling, A Grounded Theory Approach To Cross Dressing And Sex Changing. New York: Routhledge.

Gamalama, Dorce & Gunawan, FX Rudy.(2005). Aku Perempuan, jalan berliku seorang Dorce Gamalama. Jakarta: Penerbit Gagas Media.

Habiiballah, Shuniyya R.(2005). Jangan Lepas Jilbabku! Catatan harian seorang waria. Yogyakarta: Galang Press.

Hadi, Sutrisno.(2000). Metodologi Research 1-4. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Johnson, Gayle & Gordon, Chad.(1980). Readings in Human Sexuality, Contemporary Perspective. New York: Harper & Row Publisher.


(5)

Minauli, Irna.( Minauli, Irna.2002.Metode Observasi, suatu upaya untuk mempelajari perilaku manusia. Medan: USU Press.

Muslichan, Wiramada, & Galih.(2006). Secercah Harapan di Tengah Kelamnya DuniaWaria.[on-line]

http://www.indosiar.com/hitamputih/forum_komentar.htm?id=7.Tanggal akses: 20 Desember 2006

Nadia, Zunly.(2005). Waria, Laknat Atau Kodrat. Yogyakarta: Galang Press.

Patton, Michael.(1990). Qualitative Evalution and Research Methods, second edition. California: Sage Publications.

Poerwandari, S.(2001). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit Tarsito.

Rahayu, Lin Tri & Ardani, Tristiadi Ardi.(2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing.

Sopjan, Merlyn.(2005). Jangan Lihat Kelaminku, Suara Hati Seorang Waria. Yogyakarta: Galang Press.

Studia Publication.(2005). Mengapa Harus Jadi Waria?. [on-line] http://www.dudung.net/index.php?naon=depan&action=detail&id=762&c at=4. Tanggal akses: 20 Desember 2006

Sujatmiko.(2005). Mengapa Harus Jadi waria?.[on-line]. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/20/brk,20050820-65524,id.html.


(6)

Walters, William & Ross, Michael.(1986). Transsexualism and Sex Reassignment. Melbourne: Oxford University Press