Pengelolaan Budidaya Perikanan Tambak

Dampak dari kondisi kerusakan hutan mangrove bakau yang juga telah dirasakan masyarakat Desa Silo Baru yaitu adalah berupa intrusi air laut atau yang lebih dikenal dengan pasang bedanai yang terjadi hampir 2 kali di setiap bulan pada waktu air pasang besar atau pasang penuh. Dan hal ini menyebabkan hampir sebagiaan desa yang berdekatan dengan sungai akan mengalami banjir yang tingginya dari mata kaki hingga kelutut. Menurut penuturan masyarakat yang didapat dilapangan, pasang bedanai dulunya memang ada tetapi setelah dibangun jalan disepanjang pinggir sungai Silo pasang bedani hampir tidak ada, tetapi sekarang ini pasang bedani terjadi lagi dan hampir setiap bulan terjadinya pasang bedani.

3.2. Pengelolaan Budidaya Perikanan Tambak

Hal yang menjadi isu permasahan budidaya perikanan tambak di Desa Silo Baru adalah tingginya harga udang pada waktu yang lalu telah membuat masyarakat beramai-ramai membuka lahan untuk tambak. Padahal tambak yang dibuka ini di kawasan mangrove sehingga ekosistem mangrove menjadi rusak. Setelah masa jayanya udang berakhir akibat timbulnya berbagai penyakit yang mematikan dan sekarang harga semakin merosot sehingga petambak menjadi rugi. Akhirnya banyak tambak yang tidak lagi dimanfaatkan di sepanjang pesisir Desa Silo Baru. Universitas Sumatera Utara Pembukaan tambak juga tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan tingkat keberlanjutannya, sehingga menjadi tambak yang idle menganggur, padahal bekas tambak ini masih mungkin digunakan untuk jenis budidaya lain, seperti kerapu lumpur, bandeng, nila, rumput laut, dan lain-lain atau bahkan dilakukan rehabilitasi lingkungannya. Namun masyarakat belum meliriknya karena harga tidak sebanding harga udang pada waktu yang lalu, sehingga sumberdaya lahan yang ada tidak dapat termanfaatkan dengan optimal. Pengelolaan budidaya perikanan tambak di Desa Silo baru belumlah begitu berkembang. Luas areal tambak di kawasan Desa Silo Baru sekitar 40 ha yang sebagian besar merupakan tambak masyarakat yang diusahakan dengan cara tradisional sekitar 18 ha, sementara tambak yang dikelola oleh PT YUAR, WINDU, YUKI sekitar 22 ha. Tapi PT yang mengelola tambak sekarang ini tidak aktif lagi karena kurangnya pendapatan mereka. Luas masing-masing tambak masyarakat berkisar antara 1-2 hakeluarga. Umumnya masyarakat setempat membudidayakan udang dan ikan nila. Karena kurangnya pembinaan maka usaha budidaya masih bersifat tradisional, sehingga produksinya tidak begitu besar. Produksi tambak udang rata-rata 36 tontahun. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Silo Baru, tambak di Desa Silo Baru ini ada sebagiaan merupakan tambak percontohan dari pemerintah. Mereka pada umumnya mendapatkan dana bantuan dari pemerintah sekitar 20 juta setiap kelompok tambak percontohan. Tambak ini yang akan digunakan sebagai model pengembangan tambak ramah lingkungan, terletak pada areal yang berdekatan dengan milik masyarakat. Lahan yang digunakan merupakan tanah milik negara Universitas Sumatera Utara yang saat ini dikelola oleh masyarakat. Tambak yang digunakan sebagai percontohan tersebut sampai saat ini masih dalam tahap pengerjaan Dari hasil penelitiaan di lapangan juga diperoleh gambaran bahwa masyarakat Desa Silo Baru sebagian besar membudidayakan udang secara tradisional, sehingga hasil yang diperoleh tidak begitu baik. Dengan padat tebar sekitar 150.000 ekor per ha tambak, jika mendapatkan hasil panen sekitar 100 kg sudah dianggap cukup menguntungkan. Hasil panen ini sangat bervariasi, bahkan adakalanya mereka lebih sering mengalami kegagalan. Hal ini karena banyaknya penyakit yang menyerang udang yang mereka pelihara. Menurut bapat Toha sebagai pengusaha tambak mengatakan hasil tambak yang kami peroleh tidak begitu bagus karena banyak udang yang kami tebar mengalami sakit, kami tidak tahu bagai mana cara pengobatannya sementara penyuluhan dari pemerintah sekarang ini belumlah ada. Jadi kami hanya berusaha dengan semampu kami saja, terkadang kami biarkan begitu aja. Tingkat kematian udang pada tahap pemeliharaan umumnya tinggi. Adakalanya kegagalan panen disebabkan kualitas benur yang ditebar tidak bermutu, sehingga ukuran udang saat panen tidak sesuai permintaan pasar. Harga udang per kg saat ini berkisar antara Rp 40.000,- hingga Rp 50.000,- tergantung ukuran dan mutunya. Pada saat penelitiaan yang dilakukan bertepatan dengan musim kemarau, diketahui bahwa petambak masih enggan menanam udang karena air tambak yang digunakan sebagai media pemeliharaan masih didominasi air laut yang memiliki kadar garam tinggi. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk memelihara udang. Universitas Sumatera Utara Masyarakat lebih banyak memelihara kepiting sambil menunggu datangnya musim hujan. Berdasarkan informasi dari petambak, umumnya mereka menebar benur saat musim hujan karena kondisi air yang payau lebih cocok untuk pertumbuhan udang, sehingga hasil panennya juga akan lebih baik. Walaupun hasilnya tidak sebanding dengan udang, tetapi kepiting tetap memiliki pangsa pasar yang jelas. Selain udang, dari hasil penelitiaan di lapangan juga di temukan ada masyarakat yang mengembangkan budidaya kepiting bakau sistem kurungan karamba yang terbuat dari bambu. Pada saat peninjauan lapangan, usaha budidaya tersebut belum berjalan disebabkan ketiadaan modal untuk membeli bibit kepiting bakau Rp 12.000,-kg. Bibit kepiting dapat diperoleh dengan membeli dari penangkap kepiting yang banyak melakukan aktivitas penangkapan di sekitar areal mangrove. Pada saat penelitiaan banyak masyarakat yang tertarik untuk membudidayakan kepiting, bahkan di antaranya sudah memiliki kurungan untuk memelihara kepiting namun masih terkendala dalam pengadaan bibit kepiting. Mereka meminta agar pemerintah dapat membantu dalam hal pengadaan bibit kepiting tersebut. Menurut masyarakat mereka pada umumnya mengusahakan tambak dengan modal mereka sendiri. Sampai sekarang ini mereka belum pernah mendapat bantuan modal baik itu merupakan pinjaman uang maupun dalam bentuk bantuan peralata tambak, sehingga usaha pertambakan ini sampai sekarang belum mangalami kemajuaan yang pesat. Kondisi pertambakan di Desa Silo Baru ini dari tahun- ketahun hanya beginin saja. Universitas Sumatera Utara Kapasitas kelembagaan di tingkat nelayan petambak masih dirasakan kurang. Hal ini dirasakan sekali oleh petambak di Desa Silo Baru. Keterbatasan informasi dalam berusaha baik mengenai teknologi usaha yang tepat, teknis usaha yang baik serta kelayakan usaha tidak dimiliki oleh para petambak. Akibatnya banyak dari petambak yang meninggalkan lahan yang sudah dibuka begitu muncul permasalahan. Selain itu kekurangan tenaga penyuluh bidang perikanan juga dirasakan sebagai salah satu penyebab kurang berkembangnya tambak di Desa Silo Baru Universitas Sumatera Utara 3.3. Pengembangan Usaha 3.3.1. Pengolahan Terasi