Sementara nelayan Desa Silo Baru pada umumnya menggunakan perlatan tangkap yang terbatas. Nelayan hanya menggunakan perahu dayung dan ada juga
yang menggunakan perahu yang menggunakan mesin yang sering disebut nelayan dengan motor tempel. Tetapi ada juga nelayan yang hanya kelaut dengan bekerja
dengan nelayan lain dengan upah bagi hasil. Hal ini dikarenakan terbatasnya permodalan yang dimiliki oleh nelayan untuk membuat perahu dan pengadaan
peralatan penagkapan ikan. Hasil penagkapan ikan dalam beberapa tahun terakhir sangat dirasakan oleh
masyarakat mulai nenurun. Hal ini selain disebabkan oleh semakin banyaknya perahu nelayan setempat dan juga disebabkan oleh beroperasinya nelayan-nelayan
dari luar desa Silo Baru, terutama dari Desa Bagan Baru, Silo Bento, Lubuk Palas dan Pematang Sei Baru dan masih banyak lagi dari desa lain yang mencari ikan di
perairan Desa Silo Baru. Menurut para nelayan menurunya hasil tangkapan mereka karena kurangnya
pengawasan dari pemerintah dalam peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap yang beroperasional di daerah tangkapan nelayan.
Aktivitas penangkapan secara ilegal seperti penggunaan jaring trawl, sudah lama terjadi di perairan Desa Silo Baru, masyarakat Desa Silo Baru hanya pasrah
dengan beroperasionalnya jarring trawl atau pukat harimau di perairan mereka. Menurut masyarakat beroperasinya pukat atau jarring trawl ini sudah terjadi sekitar
20 tahun yang lalu.
3.4.1. Keterbatasan Kemampuan Nelayan Lokal
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan nelayan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut di Desa Silo Baru juga masih terbatas. Rendahnya kemampuan
secara teknologi juga berupa skill dan kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya laut di wilayah tersebut menjadi penyebab rendahnya hasil tangkapan nelayan.
Sehingga masih banyak masyarakat mengandalkan pendapatan mereka sewaktu kelaut untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
3.4.2. Prasarana Perikanan
Prasarana perikanan di pusat-pusat pendaratan ikan juga belum memadai. Berdasarkan kondisi dilapangan sudah ada dibagun tempat tambatan perahu tetapi
sampai saat ini masih belum dipergunakan karena letaknya masih jauh dari pemukiman masyarakat dan pembangunanya masih belum siap. Hal ini membuat
nelayan enggan untuk melakukan tambatan perahu dan menaikan hasil laut mereka. Nelayan pada umumnya lebih senang menaikan hasil laut mereka kepada para toke-
toke yang memiliki tambatan di sekitar Sungai Silo. Karena menurut nelayan hal ini lebih mudah dalam berurusan.
Pembangunan saranaprasarana perikanan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Begitu juga dengan pembangunan tambat labuh kapal nelayan
di Desa Silo Baru Kecamatan Air Joman dengan dana sebesar Rp 229.900.000 yang
hingga kini tidak difungsikan oleh nelayan karena letaknya tidak strategis.
Sementara menurut masyarakat ada bantuaan pengadaan kapal penangkap ikan dan alat tangkap untuk Desa Silo Baru dari pemerintahan Kabupaten tetapi
sampai sekarang masyarakat tidak tahu kapan bantuan ini akan dikasi, hal ini sudah diketahui masyarakat sejak 3 tahun yang lalu. Sehingga sekarang ini masyarakat
Universitas Sumatera Utara
tidak pernah lagi merespon keberadaan bantuaan yang diberikan oleh pemerintah
tersebut.
3.4.3. Kapasitas Kelembagaan Kelompok Nelayan
Lembaga-lembaga kelompok nelayan penangkap seperti kelompok nelayan, himpunan kelompok usaha, koperasi dan sebagainya juga kurang berkembang.
Belum melembaganya tidak ada institusi lokal yang mengatur pemanfaatan sumberdaya laut terutama penangkapan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KEBIJAKAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PESISIR DAN LAUT DESA SILO BARU
4.1. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove 4.1.1. Pengelolaan Hutan Mangrove
Pengelolaan kawasan hutan mangrove di desa Silo Baru masih dirasakan kurang hal ini karena masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan
keberadaan hutan mangrove. Hal ini telah dibuktikan dengan terbentuknya kelompok-kelompok mangrove sesuai dengan keinginan dari masyarakat untuk
menjaga dan melestarikan kawasan jalur hijau green belt atau yang biasa kita sebut dengan hutan mangrove. Kegiatan utama yang dilakukan oleh kelompok ini antara
lain mengikuti rehabilitasi jalur hijau dengan menanam mangrove. Hutan mangrove banyak memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat khususnya anggota
kelompok mangrove, selain tugas mereka untuk menjaga kelestariannya, hasil dari hutan mangrove dapat diambil dan dijadikan peluang usaha untuk meningkatkan
pendapatan mereka. Hasil yang didapat di kawasan hutan mangrove adalah kepiting bakau, ikan, udang, rajungan, rebon, dan kerang.
Kelompok mangrove yang ada dalam perkembangannya harus didukung oleh beberapa pihak, diantaranya lembaga perguruan tinggi dan pemerintah daerah
setempat. sebagai institusi yang akan melakukan pendampingan dan pembinaan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia SDM, pembinaan kelompok, serta
mendampingi masyarakat untuk membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut.
Universitas Sumatera Utara