Identifikasi Penyakit Padi Menggunakan Deskriptor Fraktal dan Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Berdasarkan Citra Rumpun
IDENTIFIKASI PENYAKIT PADI MENGGUNAKAN DESKRIPTOR
FRAKTAL DAN PENGUKURAN KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR
DAUN BAKTERI BERDASARKAN CITRA RUMPUN
AUZI ASFARIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Penyakit Padi
Menggunakan Deskriptor Fraktal dan Pengukuran Penyakit hawar Daun Bakteri
Berdasarkan Citra Rumpun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Auzi Asfarian
NIM G651114081
RINGKASAN
AUZI ASFARIAN. Identifikasi Penyakit Padi Menggunakan Deskriptor Fraktal
dan Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Berdasarkan Citra
Rumpun. Dibimbing oleh YENI HERDIYENI dan AUNU RAUF.
Penelitian ini mengajukan pendekatan baru dalam proses indentifikasi
penyakit padi dan pengukuran keparahannya. Identifikasi penyakit dilakukan
dengan menggunakan fitur deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier dan
probabilistic neural network, sedangkan proses pengukuran keparahan penyakit
dilakukan dengan indeks kehijauan-kecerahan untuk memisahkan rumpun padi
dengan tanah serta komponen A pada ruang warna CIELab untuk memisahkan
tanaman yang terinfeksi dengan tanaman yang sehat. Pada penelitian ini,
identifikasi penyakit padi dilakukan terhadap empat penyakit padi yang umum
terdapat di Indonesia: blas (Pyricularia grisea), bercak cokelat
(Helminthosporium oryzae), hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris pv.
oryzae), dan tungro. Keempat penyakit ini memperlihatkan gejala pada
permukaan daun. Pengukuran keparahan penyakit dilakukan pada rumpun padi
yang terkena penyakit hawar daun bakteri.
Akuisisi data telah dilakukan di daerah penghasil padi di Karawang, Subang,
dan Indramayu pada bulan Juli 2013. Akan tetapi, pada saat pengambilan,
kemunculan penyakit tungro dan blas tidak terlalu banyak sehingga data yang
diperoleh masih kurang. Oleh karena itu, dilakukan pengambilan data kembali
pada bulan Agustus 2013 di daerah Pasir Muncang, Bogor dan pada Januari 2014
di daerah Situgede, Bogor, untuk melengkapi data citra tanaman yang terinfeksi
penyakit hawar daun bakteri.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa deskriptor fraktal dapat digunakan
untuk mengidentifikasi keempat penyakit dengan akurasi sebesar 81.25%.
Penyakit bercak cokelat dan hawar daun bakteri memiliki akurasi yang rendah.
Hal ini diakibatkan oleh adanya bercak cokelat yang sangat rapat serta terjadinya
infeksi ganda oleh kedua penyakit. Penelitian selanjutnya disarankan
menggunakan lebih dari satu penciri untuk meningkatkan kemampuan algoritme
dalam memisahkan dua penyakit yang mirip.
Pada pengukuran keparahan penyakit, terdapat beberapa kesalahan
segmentasi yang diakibatkan oleh pantulan cahaya matahari dari permukaan tanah
yang basah, kondisi pencahayaan yang ekstrim, serta variasi warna bulir padi.
Akurasi pengukuran tingkat keparahan yang diperoleh pada percobaan ini yaitu
sebesar 70.83%. Untuk meningkatkan akurasi ke depannya, penelitian selanjutnya
disarankan untuk menggunakan peneduh pada saat pengambilan citra sehingga
cahaya pada citra menjadi merata. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat
fokus pada dampak dan tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil
identifikasi penyakit dan keparahan penyakit yang telah diperolah, misalnya
informasi pengelolaan penyakit serta prediksi dampak kehilangan hasil yang
terjadi.
Kata kunci: penyakit padi, keparahan, computer vision, fraktal, indeks vegetatif
SUMMARY
AUZI ASFARIAN. Identification of Rice Diseases using Fractal Descriptor and
Assessment of Disease Severity of Bacterial Leaf Blight Based on Hill Images.
Supervised by YENI HERDIYENI and AUNU RAUF.
This research proposed a new approach in identification of rice diseases and
assessment of disease severity. Identification of diseases was done using fractal
descriptors based on Fourier spectrum and probabilistic neural network. Disease
severity was assessed based on greenness-lightness index to separate plant and
soil. The plants were then separated into healthy plants and infected plants using
A component of CIE Lab colorspace. In this study, we identified four rice
diseases commonly found in Indonesia: leaf blast (Pyricularia grisea), brown spot
(Helminthosporium oryzae), bacterial leaf blight (Xanthomonas campestris pv.
oryzae), and tungro. The four diseases show symptoms on leaf surfaces.
Assessment of diseases severity was made for bacterial leaf blight.
Data acquisition was carried out in rice-producing areas in Karawang,
Subang, and Indramayu in July 2013. However, at the time of retrieval, tungro and
blast disease was scarce so that the obtained data is still lacking. Therefore, data
acquisition was also done in August 2013 in Pasir Muncang, Bogor and in January
2014 in Situgede, Bogor.
Our study showed that the fractal descriptors was able to identify the four
diseases with 81.25% accuracy. The accuracy of brown spot and bacterial leaf
blight were low due to high density of brown spots and double infection by both
diseases in some of leaf images. We recommend that future studies use more than
one identifier to improve the algorithm's ability to separate the two diseases are
similar.
For the disease severity assessment, there were some errors in
segmentations caused by light reflection from wet soil, extreme lighting, and
colour variations of rice grains. The level of accuracy of severity assessment was
70.83%. To improve the accuracy, in future research we recommend the usage of
canopy when taking images so the lighting condition become even. In addition,
future research may also focus on impacts and actions that can be performed
based on the results of the identification of the disease and the severity of the
disease has been obtained, such as information management and prediction of the
impact of disease yield loss occurs.
Keywords: rice diseases, severity, computer vision, fractal, vegetation index
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI PENYAKIT PADI MENGGUNAKAN DESKRIPTOR
FRAKTAL DAN PENGUKURAN KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR
DAUN BAKTERI BERDASARKAN CITRA RUMPUN
AUZI ASFARIAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Agus Buono, MSi MKom
Judul Tesis : Identifikasi Penyakit Padi Menggunakan Deskriptor Fraktal dan
Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Berdasarkan
Citra Rumpun
Nama
: Auzi Asfarian
NIM
: G651114081
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Yeni Herdiyeni, SSi, MKomp
Ketua
Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis berjudul Identifikasi Penyakit Padi
Menggunakan Deskriptor Fraktal dan Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar
Daun Bakteri Menggunakan Citra Rumpun berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom serta
Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc yang telah memberi saran dan masukan selaku Komisi
Pembimbing. Terima kasih pula kepada Bapak Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin,
MSi, Bapak Wawan, Irfan Abdussalam, serta Kholis yang telah membantu proses
pengambilan data lapangan di Subang, Karawang, Indramayu, dan Bogor. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Ilmu Komputer yang
telah membiayai kuliah penulis di dua semester pertama dan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penulis melalui program
Beasiswa Unggulan serta Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Auzi Asfarian
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit pada Pertanaman Padi
Pengukuran Keparahan Serangan Penyakit
Computer Vision untuk Identifikasi Penyakit dan Pengukuran Keparahan
Penyakit
Dimensi Fraktal
Deskriptor Fraktal Berdasarkan Spektrum Fourier untuk Analisis Tekstur
Probabilistic Neural Network
Pemisahan Area Daun Tanaman dengan Tanah
Segmentasi Bercak Penyakit
Confusion Matrix
K-Fold Cross Validation
3
3
4
5
7
8
8
10
11
12
13
3 METODE PENELITIAN
Akuisisi Data
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
13
13
13
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Akuisisi Data
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
17
17
18
20
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
6 UCAPAN TERIMA KASIH
26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Luas serangan penyakit utama padi di Indonesia (DJTP 2012)
Contoh confusion matrix yang menampilkan akurasi proses
klasifikasi yang melibatkan 30 data dari tiga kelas (A, B, dan C)
Jadwal realisasi pengambilan data di lapangan
Confusion matrix untuk klasifikasi jenis penyakit tanaman padi
Aturan klasifikasi tingkat keparahan
Confusion matrix empat kelas keparahan
Confusion matrix tiga kelas keparahan
3
12
17
19
21
21
25
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Citra daun yang terkena serangan keempat jenis penyakit padi yang
diidentifikasi.
Proses perhitungan keparahan penyakit berdasarkan luasan daerah
yang terkena penyakit (Sumber gambar: James (1971) dan IRRI
(2002)).
Alur kerja dari computer vision.
Contoh dua buah objek berbeda yang memiliki nilai dimensi fraktal
yang sama.
Ilustrasi nilai dimensi fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Ilustrasi nilai deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Struktur PNN
Ilustrasi proses segmentasi tanaman dengan menggunakan algoritme
Kirk et al. (2009). Gambar kiri atas merupakan citra daun. Gambar
kanan atas merupakan histogram dari indeks d pada citra. Gambar
bawah adalah hasil segmentasi terhadap citra. Bagian bewarna hitam
adalah daun.
Contoh proses segmentasi titik penyakit blas. Gambar (a) merupakan
citra penyakit yang akan dideteksi, (b) adalah titik penyakit yang
disegmentasi, dan (c) adalah hasil overlay antara citra (a) dan (b).
Alur kerja penelitian
Proses pemotongan gambar (crop) secara manual sehingga citra yang
digunakan hanya terdiri atas satu pusat rumpun
Histogram nilai indeks d untuk sampel citra rumpun
Proses pemisahan tanah dan daun menggunakan indeks kehijauankecerahan (greenness-lightness index)
Contoh citra penyakit yang diambil di lapangan
Contoh citra rumpun yang diambil di lapangan
Contoh citra potongan daun terinfeksi pada setiap kelas penyakit
Contoh citra bercak cokelat yang salah diklasifikasi sebagai hawar
daun bakteri
Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai
bercak cokelat
Nilai rata-rata deskriptor fraktal untuk setiap kelas penyakit.
Box plot dari empat kelas keparahan
3
4
5
7
8
8
10
11
12
14
14
15
16
17
18
18
19
19
19
20
21
22
23
24
25
26
Ilustrasi kesalahan segmentasi akibat pantulan cahaya matahari pada
permukaan tanah yang basah. Bagian yang diberi lingkaran merah
adalah pantulan (a). Walaupun memiliki nilai kehijauan yang rendah
(b), bagian ini memiliki nilai kecerahan yang tinggi (c) sehingga
memiliki nilai d (d) yang mirip dengan bagian daun. Pada tahap
pemisahan bagian daun terinfeksi dan sehat (e), bagian ini dideteksi
sebagai bagian daun terinfeksi.
Kesalahan segmentasi akibat kondisi pencahayaan yang ekstrim
Kesalahan segmentasi akibat variasi warna pada bulir
Histogram nilai indeks kehijauan-kecerahan d dari bagian tanaman
terinfeksi dan bagian bulir padi yang berada pada rentang yang sama
Histogram nilai indeks A dari bagian tanaman terinfeksi dan bagian
bulir padi
Box plot dari tiga kelas keparahan
21
22
22
23
24
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Citra penyakit bercak cokelat
Citra penyakit hawar daun bakteri
Citra penyakit leaf blast
Citra penyakit tungro
30
31
32
33
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tanaman masih menjadi hambatan dalam peningkatan produkai
padi. Pada tahun 2011, pertanaman padi yang terkena tiga penyakit utama di
Indonesia mencapai 80,096 hektar (DJTP 2012). Untuk mengurangi serangan
tersebut, pengelolaan penyakit harus dilakukan. Pengelolaan penyakit bergantung
pada jenis dan tingkat keparahan dari penyakit yang dialami oleh tanaman.
Informasi tingkat keparahan penyakit juga memiliki manfaat lain bagi peneliti,
seperti untuk melihat perkembangan penyakit, memperkirakan dampak ekonomi,
serta mengukur resistensi varietas terhadap penyakit (James 1971).
Jumlah tenaga pengamat hama dan penyakit di Indonesia masih kurang dari
jumlah ideal. Jumlah tenaga bantu Pengendali Organisme Pengganggu
Tumbuhan-Pengamat Hama dan Penyakit (POPT-PHP) ialah 3,183 orang untuk
6,543 kecamatan di Indonesia, masih jauh dari jumlah ideal sebanyak 1 orang
pengawas untuk 1 kecamatan (DJTP 2010). Pengukuran tingkat keparahan
berdasarkan Standar Evaluation System (IRRI 2002) pun memerlukan waktu dan
ketelitian yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode yang
dapat mengukur tingkat keparahan dengan cepat dan akurat.
Identifikasi penyakit dan pengukuran keparahan dapat dilakukan dengan
melakukan pengamatan visual. Oleh karena itu, computer vision (CV)dapat
digunakan untuk mendapatkan kedua informasi tersebut berdasarkan perubahan
fisik tanaman yang sakit (Camargo dan Smith 2009, Qin dan Zhang 2005).
Metode ini cepat dan tidak memerlukan biaya yang tinggi (Vibhute dan Bodhe
2012), penggunaannya mudah, konsisten, objektif, dan tidak merusak tanaman
(Brosnan dan Sun 2004). Sistem yang dihasilkan dapat dipasang pada telepon
genggam yang dapat dibawa oleh petugas di lapangan untuk mengukur tingkat
keparahan penyakit.
Sebelumnya, teknik CV telah digunakan untuk mendeteksi jenis penyakit
tanaman padi. Anthonys dan Wickramarachchi (2009) menggunakan fitur tekstur,
warna, dan bentuk untuk mengidentifikasi penyakit blas, hawar pelepah, dan
bercak cokelat, tiga penyakit padi utama di Sri Langka, dengan akurasi sebesar
70%. Kurniawati et al. (2009) menggunakan fitur warna seperti warna untuk
mengenali penyakit blas , bercak cokelat, dan bercak cokelat sempit dengan
akurasi 87.5%. Kholis et al. (2013) menggunakan fuzzy entropy dan probabilistic
neural network untuk mengidentifikasi empat penyakit padi yang umum di
Indonesia, yaitu bercak cokelat, blas , hawar daun bakteri, dan tungro. Akurasi
rata-rata yang diperoleh ialah 91.46%, dengan akurasi terendah sebesar 76.00%
untuk penyakit tungro. Walaupun akurasi pada penelitian Kholis et al. (2013)
cukup tinggi, jumlah dan kualitas citra yang digunakan masih perlu ditingkatkan.
Dari penelitian-penelitian tersebut, tesktur adalah salah satu penciri yang
baik untuk mengidentifikasi bercak penyakit (Camargo dan Smith 2009). Salah
satu metode untuk menganalisis tekstur ialah deskriptor fraktal yang dilakukan
oleh Florindo dan Bruno (2011; 2012) yang lebih cepat dan akurat dibanding
metode estimasi fraktal lainnya saat dicobakan ke berbagai set data. Fraktal juga
telah teruji dalam memodelkan bentuk-bentuk yang ada di alam (Mandelbrot
2
1968; Pentland 1984). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan deskriptor
fraktal sebagai fitur tekstur dari bercak penyakit untuk mengidentifikasi penyakit.
Keparahan penyakit (disease severity) didefinisikan sebagai luasan dari unit
sampel tanaman (contoh: daun, buah, dan batang) yang menunjukkan gejala
penyakit yang biasanya dinyatakan dalam persen atau proporsi (Bock et al.
2010).Cara yang umum digunakan untuk mengukur keparahan penyakit ialah
dengan menghitung rasio daun yang terinfeksi penyakit. Beberapa penelitian telah
menggunakan pemrosesan citra untuk menentukan tingkat keparahan penyakit
pada tanaman, misalnya pada singkong (Powbunthorn et al. 2012), tebu (Patil dan
Bodhe 2011), dan daun delima (Sannaki et al. 2011).
Akan tetapi, belum ada penelitian yang membahas pengukuran keparahan
penyakit pada tanaman padi. Selain itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan
pada umumnya hanya menggunakan citra dari satu daun utuh yang diberi latar
belakang polos. Hal ini sulit dilakukan pada tanaman padi karena daunnya yang
cukup banyak dan berdekatan. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengusulkan
teknik pengukuran keparahan penyakit pada tanaman padi dengan menggunakan
citra rumpun padi yang diambil langsung di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengembangkan teknik computer vision untuk
mengidentifikasi penyakit padi dan mengukur keparahannya.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ialah menyedikan teknologi yang memberi
kemudahan bagi penelitian dan petugas POPT dalam mengidentifikasi penyakit
dan mengukur keparahanya di areal pertanaman padi sehingga tindakan
pengelolan penyakit dapat diambil dengan cepat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan batasan berikut:
Penelitian ini mengenali empat penyakit yang umum terjadi di Indonesia, yaitu
blas (Pyricularia grisea), bercak coklat (Helminthosporium oryzae), hawar
daun bakteri (Xanthomonas campestris pv. oryzae), dan tungro.
Identifikasi penyakit dilakukan menggunakan potongan citra daun yang
terinfeksi.
Pengukuran keparahan penyakit dilakukan menggunakan citra rumpun yang
terinfeksi penyakit hawar daun bakteri.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit pada Pertanaman Padi
Beberapa penyakit pada pertanaman padi masuk dalam daftar organisme
pengganggu tanaman (OPT) utama yang diawasi oleh Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Tabel
1memperlihatkan data luas serangan dari tiga penyakit yang termasuk dalam enam
OPT utama pada pertanaman padi.Tiga penyakit yang berada pada tabel tersebut,
bersama dengan penyakit bercak coklat, digunakan pada penelitian ini. Selain
alasan tersebut, keempat penyakit tersebut (Gambar 1) dipilih karena tingkat
keparahan penyakitnya ditentukan berdasarkan luasan daun yang terkena penyakit
(IRRI 2002).
Blas (Pyricularia grisae)
Blas disebabkan oleh jamur patogen Pyricularia grisae. Daun tanaman padi
yang terkena blas memiliki bercak coklat kehitaman yang berbentuk belah
ketupat, dengan pusat bercak bewarna putih. Kemampuan patogen membentuk
strain dengan cepat menyebabkan pengendalian penyakit ini sangat sulit (Syam et
al. 2011).
Bercak Coklat (Helminthosporium oryzae)
Bercak coklat disebabkan oleh jamur Helminthosporium oryzae. Penyakit
ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman padi muda serta menurunkan
kualitas gabah. Daun tanaman padi yang terkena penyakit ini memiliki bercak
bewarna coklat, berbentuk oval sampai bulat, berukuran sebesar biji wijen (Syam
Gambar 1 Citra daun yang terkena serangan keempat jenis penyakit padi yang
diidentifikasi.
Tabel 1 Luas serangan penyakit utama padi di Indonesia (DJTP 2012)
No
1
2
3
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Tungro
Leaf Blast
Hawar Daun Bakteri
Luas Serangan (ha)
4,994
31,383
43,719
4
et al. 2011).
Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas campestris pv. oryzae)
Hawar daun bakteri, atau bakteri hawar daun, tersebar luas dan menurunkan
hasil sampai 36%. Hawar daun bakteri menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek
dan hawar. Daun-daun bewarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam
keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu, dan mati. Sementara itu, hawar
merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah
mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala diawali dengan
timbulnya bercak abu-abu (kekuningan) pada tepi daun. Dalam perkembangannya,
gejala akan meluas, membentuk hawar, dan akhirnya daun mengering (Syam et al.
2011).
Tungro
Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang sangat
merusak dan tersebar luas. Bergantung pada fase tanaman terinfeksi, tungro dapat
menyebabkan kehilangan hasil 5-70%. Makin awal tanaman terinfeksi tungro,
makin besar kehilangan hasil yang ditimbulkan. Gejala serangan tungro yang
menonjol adalah perubahan warna daun dan tanaman tumbuh kerdil. Warna daun
tanaman sakit bervariasi dari sedikit menguning sampai jingga. Tingkat
kekerdilan tanaman juga bervariasi dari sedikit kerdil sampai sangat kerdil. Gejala
khas ini ditentukan oleh tingkat ketahanan varietas, kondisi lingkungan, dan fase
tumbuh saat tanaman terinfeksi (Syam et al. 2011).
Pengukuran Keparahan Serangan Penyakit
Keparahan penyakit (disease severity) didefinisikan sebagai luasan dari unit
sampel tanaman (contoh: daun, buah, dan batang) yang menunjukkan gejala
penyakit yang biasanya dinyatakan dalam persen atau proporsi (Bock et al. 2010).
Tingkat keparahan penyakit harus diperhatikan dalam serangan penyakit.
Keparahan penyakit dapat digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data
Gambar 2 Proses perhitungan keparahan penyakit berdasarkan luasan daerah
yang terkena penyakit (Sumber gambar: James (1971) dan IRRI
(2002)).
5
kemunculan dan perkembangan penyakit, mengukur dan membandingkan tingkat
kepentingan penyakit, memperoleh hubungan antara keparahan penyakit dan
kehilangan hasil, memperkirakan dampak ekonomi yang muncul dari penyakit,
mengukur efektivitas fungsida dan pestisida, serta mengukur resistensi varietas
(James 1971).
Pengukuran keparahan dilakukan dengan menggunakan Standard
Evaluation System for Rice (SES) yang dikeluarkan oleh IRRI (2002). Setiap
penyakit memiliki skala pengukuran keparahan yang berbeda dengan cara yang
berbeda pula, misalnya berdasarkan lokasi infeksi, bentuk bercak, serta luas
daerah yang terinfeksi. Untuk memperoleh nilai keparahan yang akurat, luasan
daerah yang terinfeksi pada sebuah rumpun harus dihitung dengan detail. Hal ini
cukup memakan waktu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode yang dapat
mengukur nilai keparahan penyakit dengan cepat.
Keparahan dapat dinyatakan dalam berbagai skala, misalnya nominal (parah,
sedang, ringan, sehat) dan ordinal (0-9). Gambar 2 memperlihatkan ilustrasi
penentuan skala nominal pada daun yang terkena serangan penyakit. Pada contoh
tersebut, daun yang berada pada bagian paling kiri mendapatkan skala infeksi
sebesar 1 karena luas daun yang terkena penyakit kurang dari 1%.
Computer Vision untuk Identifikasi Penyakit dan Pengukuran Keparahan
Penyakit
Computer vision (CV) adalah teknologi pengolahan citra atau video untuk
membangun deskripsi yang bermakna dari objek yang ada pada citra tersebut
(Ballard and Brown 1982). Dengan CV, komputer dapat memahami apa yang ia
lihat, mirip ketika manusia memaknai suatu keadaan, dan mengambil keputusan
berdasarkan pemahaman yang diperoleh. Shapiro dan Stockman (2001)
mendefinisikan CV sebagai bidang ilmu yang bertujuan membuat komputer dapat
mengambil kesimpulan yang berguna mengenai objek fisik nyata atau adegan
berdasarkan citra masukan. CV melibatkan teknik pengolahan citra dan
pengenalan pola untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk memahami
suatu objek pada citra. Alur dari kombinasi kedua hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3. Ada banyak informasi yang dapat diperoleh, misalnya urutan alur
video, intensitas cahaya, perspektif, warna, tekstur, dan bentuk dari objek.
Kombinasi teknik CV dengan kecerdasan buatan akan menghasilkan sistem cerdas
yang dapat diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan.
Karena didasarkan pada pengamatan visual, beberapa penelitian yang
Gambar 3 Alur kerja dari computer vision.
6
menerapkan teknik CV untuk identifikasi penyakit dan pengukuran keparahan
penyakit pada tanaman telah dilakukan. Anthonys dan Wickramarachchi (2009)
menggunakan fitur tekstur, warna, dan bentuk untukmengidentifikasi penyakit
blas, hawar pelepah, dan bercak cokelat, tiga penyakit padi yang umum terjadi di
Sri Langka, dengan akurasi sebesar 70%. Kurniawati et al. (2009) menggunakan
fitur warna seperti warna tepi bercak dan warna bercak untuk mengenali penyakit
blas , bercak cokelat, dan bercak cokelat sempit dengan akurasi mencapai 87.5%.
Kholis et al. (2013) menggunakan fuzzy entropy dan PNN untuk mengenali empat
penyakit padi utama di Indonesia, yaitu bercak cokelat, hawar daun bakteri, leaf
blast, dan tungro dengan akurasi sebesar 91.46%. Akan tetapi,penelitian tersebut
baru menggunakan basis data citra yang ukurannya relatif kecil.
Selain identifikasi penyakit tanaman, beberapa penelitian juga telah
menggunakan teknik CV untuk mengukur keparahan penyakit, contohnya pada
singkong (Powbunthorn et al. 2012), tebu (Patil dan Bodhe 2011), dan delima
(Sannaki et al. 2011). Akan tetapi, citra yang digunakan pada ketiga penelitian ini
diambil dengan menggunakan latar belakang polos dan hanya menggunakan
sebuah daun. Hal ini tidak memungkinkan untuk dilakukan pada tanaman padi
karena ukuran daunnya yang panjang dan sangat banyak. Selain itu, pencabutan
daun untuk mendapatkan foto daun yang utuh bersifat destruktif dan merusak
tanaman padi serta dikhawatirkan dapat lebih jauh mengurangi produktivitas padi.
Alternatifnya ialah dengan menggunakan citra rumpun padi.
Pengukuran keparahan berdasarkan citra rumpun melibatkan dua proses
segmentasi, yaitu segmentasi segmentasi tanaman dan latar belakang serta
segmentasi bagian tanaman yang sakit dan tanaman yang sehat. Untuk tanaman
pertanian, latar belakang tanaman yang umum ialah tanah. Tanaman dan tanah
dapat dipisahkan dengan menggunakan indeks seperti yang dilakukan oleh Meyer
dan Neto (2008), Kirk et al. (2009), Burgos-Artizzu et al. (2010), dan Guijarro et
al. (2011).
Sebagian besar indeks bekerja dengan menggunakan asumsi tanaman akan
berwarna hijau, sedangkan tanah akan bewarna merah. Akan tetapi, bagian
rumpun padi yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri tidak bewarna hijau,
melainkan bewarna cokelat yang lebih dekat dengan warna merah. Indeks yang
dapat mengantisipasi ini, serta yang digunakan dalam penelitian ini, ialah indeks
kehijauan-kecerahan yang dikembangkan oleh Kirk et al. (2009). Indeks ini,
selain memperhatikan nilai kehijauan tanaman, juga memperhatikan tingkat
kecerahan tanaman yang lebih tinggi dibanding tanah. Hal ini membuat bagian
tanaman yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri dapat terpisahkan dengan
tanah.
Setelah tanaman tersegmentasi, pemisahan antara tanaman sehat dan
terinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan algoritme
yang
diimplementasikan pada level daun, seperti pada penelitian Powbunthorn et al.
(2012), Patil dan Bodhe (2011), dan Sannaki et al. (2011). Pada penelitian ini,
algoritme yang digunakan untuk memisahkan tanaman yang sehat dan tanaman
terinfeksi ialah algoritme Chaudhary et al. (2012), yang memisahkan kedua objek
berdasarkan nilai komponen A pada ruang warna CIELab. Hal ini menjadi
mungkin karena komponen A menggambarkan warna citra dari hijau ke merah.
Karena tanaman yang sehat bewarna hijau dan tanaman terinfeksi bewarna merah,
komponen A dapat digunakan untuk memisahkan keduanya dengan mudah.
7
Dimensi Fraktal
Mandelbrot (1968) menyatakan bahwa banyak objek di alam memiliki sifat
seperti fraktal, yaitu self similarity dan kompleksitas yang tinggi. Nilai
kompleksitas tersebut, yang biasa dinyatakan dengan dimensi fraktal, dapat
diambil dari setiap objek yang ada di alam dan menjadi nilai yang
mendeskripsikan suatu objek alami (Pentland 1984). Bruno et al. (2008)
memberikan ilustrasi berikut mengenai dimensi fraktal: “…titik memiliki dimensi
nol, garis lurus memiliki dimensi satu, bidang memiliki dimensi 2, dan bangun
ruang memiliki dimensi tiga. Pada geometri fraktal, objek memiliki dimensi di
antara dimensi-dimensi tadi.”
Menurut Pentland (1984), dimensi fraktal tidak dipengaruhi oleh distorsi
akibat proyeksi dan dapat menyediakan informasi mengenai anisotropy dan
memperkirakan gradien dari tekstur permukaan objek. Terdapat beberapa metode
untuk mengestimasi nilai dimensi fraktal, seperti Bouligand-Minkowski,
brownian motion, box-counting, multifractal spectrum, lacunarity measure,
regularization dimension, dan variation dimension.
Dimensi fraktal telah digunakan untuk mencirikan daun berdasarkan
kompleksitas dan bentuknya (Borkowski 1999) dan identifikasi jenis kanker paruparu (Uppaluri et al. 1999; Floyd et al. 1996). Akan tetapi, dimensi fraktal hanya
terdiri atas satu buah nilai sehingga dimensi fraktal menjadi kurang handal untuk
mencirikan suatu objek. Sebagai contoh, Gambar 4 menunjukkan dua buah objek
yang bentuknya berbeda namun memiliki dimensi fraktal yang persis sama.
Gambar 4 Contoh dua buah objek berbeda yang memiliki nilai dimensi fraktal
yang sama.
Untuk mengatasi hal tersebut, dimensi fraktal kemudian diperluas menjadi
deskriptor fraktal yang memuat sekumpulan nilai yang diambil dari proses
penghitungan dimensi fraktal untuk menjadi penciri sebuah citra. Bruno et al.
(2008) menyatakan bahwa deskriptor fraktal dapat digunakan untuk mencirikan
karakteristik citra yang utama, seperti tekstur, kontur, dan bentuk. Deskriptor
fraktal dilakukan dengan menghitung nilai dimensi fraktal dalam berbagai skala
pengamatan yang berbeda.
8
Deskriptor Fraktal Berdasarkan Spektrum Fourier untuk Analisis Tekstur
Florindo dan Bruno (2012) mengajukan sebuah metode untuk
mengaplikasikan deskriptor fraktal pada analisis tekstur. Nilai dimensi fraktal
pada metode ini diperoleh dengan mentransformasikan citra menggunakan
transformasi Fourier. Kemudian, power spectrum dari nilai magnitude
dibangkitkan dalam bentuk bilog. Ilustrasi proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Nilai dimensi fraktal diperoleh dari kemiringan power spectrum tersebut.
Gambar 5 Ilustrasi nilai dimensi fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Deskriptor fraktal diperoleh dengan melakukan operasi multiskala pada
power spectrum yang dihasilkan. Operasi multiskala yang digunakan ialah jenis
scale-space (Witkin 1984) yang dilakukan dengan cara mengonvolusikan power
spectrum dengan jendela Gaussian dengan N lebar jendela yang berbeda. Proses
ini menghasilkan N spektrum baru. Nilai dimensi fraktal dari setiap N spektrum
tersebut kemudian dihitung dan dikumpulkan menjadi nilai deskriptor fraktal yang
digunakan untuk mencirikan citra masukan. Ilustrasi proses ini disajikan pada
Gambar 6. Penggunaan operasi multiskala memungkinkan deskripsi kompleksitas
pola yang lebih kaya dibandingkan dengan menggunakan nilai dimensi fraktal
(Florindo dan Bruno 2012).
Gambar 6 Ilustrasi nilai deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Probabilistic Neural Network
Probabilistic neural network (PNN) merupakan sebuah classifier
nonparametrik yang didasarkan pada jendela Parzen. Kepekatan peluang
masuknya sebuah data ke dalam setiap kategori dihitung dan data tersebut
9
diklasifikasikan ke dalam kelas dengan nilai posterior tertinggi (Duda et al. 2000).
Algoritme pelatihan dan kelasifikasi dengan menggunakan PNN dapat dilihat
pada Algoritme 1 dan Algoritme 2.
PNN menghilangkan kekurangan classifier seperti propagasi balik yang
membutuhkan pengaturan parameter untuk memperbaiki performa secara bertahap
(Specht 1990). Beberapa kelebihan PNN ialah batas kelas yang dapat dibuat
kompleks tergantung pada nilai parameter pemulus, batas kelas yang dapat
mendekati nilai Bayes yang optimal, tidak sensitif terhadap outlier, serta sampel
yang sparse cukup untuk mendapatkan performa yang baik. PNN bekerja lebih
cepat daripada jaringan saraf tiruan propagasi balik, bahkan hingga 200,000 kali
lebih cepat (Specht 1990) karena proses pelatihan hanya terdiri atas 1 ulangan.
Salah satu penelitian yang menggunakan PNN untuk mengklasifikasikan penyakit
ialah Wang et al. (2012) yang mencapai akurasi sebesar 95%.
1
2
3
4
5
6
7
Algoritme 1: Pelatihan PNN (Duda et al. 2000)
begin initialize j = 0, n = #patterns
do j j + 1
)1/2
normalize: xjk xjk / (∑
train: wjk xjk
if x ∈ wi then aic 1
until j = n
End
1
2
3
4
5
6
7
Algoritme 2: Klasifikasi PNN (Duda et al. 2000)
begin initialize k = 0, x = test pattern
do k k + 1
zk
if akc = 1 then gc gc + exp[(zk – 1)/ σ2]
until k = n
return class arg max gi(x)
End
PNN memiliki struktur yang terdiri atas empat lapisan. Keempat lapisan
tersebut ialah lapisan masukan (input layer), lapisan pola (pattern layer), lapisan
penjumlahan (summation layer), dan lapisan luaran (output layer). Salah satu
contoh struktur PNN dapat dilihat pada Gambar 7 (Wu et al. 2007).
Lapisan masukan merupakan nilai yang kelasnya akan diprediksi. Pada
lapisan pola, nilai dot product antara masukan dan bobot xit, (Zi = x.xit,) dilakukan
dan hasilnya dibagi dengan besarnya bias. Nilai ini kemudian dimasukkan dalam
fungsi radial basis radbas(n) = exp(-n). Proses ini dapat dituliskan sebagai berikut,
dengan xit adalah vektor kelas latih ke-i dengan orde t:
æ
f ( x ) = exp çç è
(x -
xit )
2s
T
(x 2
xit ) ö
÷
÷
ø
Pada lapisan penjumlahan, setiap pola di setiap kelas dijumlahkan untuk
menghasilkan fungsi kepekatan populasi (population density function) untuk kelas
tersebut. Persamaan yang digunakan pada lapisan ini adalah sebagai berikut,
10
Gambar 7 Struktur PNN
dengan xAi merupakan vektor latih kelas A ke-i, k adalah dimensi vektor, dan σ
adalah parameter pemulus.
t
æ
p ( x) =
å exp çç k
k i=1
è
( 2p ) 2 s t
1
(x -
x Ai )
2s
T
(x 2
x Ai ) ö
÷
÷
ø
Nilai σ adalah parameter pemulus yang menentukan besarnya interpolasi
antara data yang ada. Semakin besar nilai σ, semakin tinggi derajat interpolasi
yang terjadi. Parameter ini adalah satu-satunya parameter yang harus diatur pada
PNN. Akan tetapi, Specht (1990) memperlihatkan bahwa perbedaan nilai σ yang
dipilih tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap akurasi yang dihasilkan.
Terakhir, pada lapisan keluaran, masukan x akan diklasifikasikan ke dalam
kelas Y jika nilai py(x) lebih besar dibanding kelas lainnya.
Pemisahan Area Daun Tanaman dengan Tanah
Dalam pengolahan citra yang berhubungan dengan pertanian, pemisahan
komponen-komponen seperti tanah dan tanaman menjadi hal yang penting untuk
dilakukan. Beberapa cara untuk memisahkan tanaman dengan tanah telah
dilakukan, misalnya dengan menggunakan indeks spektrum tampak seperti excess
green (ExG; Ribeiro et al. 2005), excess red (ExR; Meyer et al. 1998), colour
index of vegetation extraction (CIVE; Kataoka et al. 2003), ExG – ExR (ExGR;
Neto 1994), dan indeks vegetaitf (VEG; Hague et al. 2006). Berbeda dengan
indeks-indeks tersebut yang hanya mempertimbangkan rasio warna, Kirk et al.
11
Gambar 8 Ilustrasi proses segmentasi tanaman dengan menggunakan
algoritme Kirk et al. (2009). Gambar kiri atas merupakan citra
daun. Gambar kanan atas merupakan histogram dari indeks d pada
citra. Gambar bawah adalah hasil segmentasi terhadap citra. Bagian
bewarna hitam adalah daun.
(2009) mengombinasikan rasio warna hijau-merah (g) dan kecerahan warna piksel
(L) untuk menghasilkan sebuah metode yang dapat memisahkan tanaman dari
tanah dalam kondisi terik yang sering ditemukan di pertanaman padi.
Nilai rasio hijau-merah (g) dikonversi dalam skala log dengan menggunakan
formula g = log (G/R + 1) dengan nilai G adalah nilai hijau piksel dan R adalah
nilai merah piksel. Nilai kecerahan warna piksel (L) dihitung dengan
menggunakan formula L = log (G + 1) – log ̅ , dengan ̅ merupakan rata-rata
nilai intensitas warna hijau pada gambar. Kedua nilai tersebut kemudian
digabungkan dengan melakukan proyeksi menggunakan formula d = cos (α)g +
sin(α)L. Nilai sudut rotasi α lebih besar daripada 0. Nilai α yang dicari adalah nilai
α yang mampu memberikan pemisahan terbaik pada dataset yang digunakan.
Setelah itu, pemisahan antara tanaman dengan tanah dilakukan dengan mengg
unakan threshold Otsu pada indeks d yang telah dihitung sebelumnya. Proses ini
digambarkan pada Gambar 8. Dapat dilihat bahwa bagian bayangan yang ada
pada foto daun dan bagian daun yang bewarna terang akibat pantulan cahaya
matahari tersegmentasi sebagai daun.
Segmentasi Bercak Penyakit
Salah satu teknik segmentasi bercak penyakit dikembangkan oleh
Chaudhary et al. (2012). Pertama, ruang warna citra daun diubah dari RGB ke
CIELab. Kemudian proses pemulusan citra dengan menggunakan filter median
dilakukan. Setelah itu, dilakukan threshold Otsu pada komponen A citra tersebut.
Gambar 9 memperlihatkan proses segmentasi titik penyakit pada daun tanaman
padi yang terkena penyakit blas.
12
Gambar 9 Contoh proses segmentasi titik penyakit blas. Gambar (a)
merupakan citra penyakit yang akan dideteksi, (b) adalah titik
penyakit yang disegmentasi, dan (c) adalah hasil overlay antara
citra (a) dan (b).
Confusion Matrix
Confusion matrix digunakan untuk memperlihatkan persebaran galat pada
seluruh seluruh kelas yang digunakan pada sebuah proses klasifikasi (Kuncheva
2004). Contoh confusion matrix dapat dilihat pada Tabel 2. Akurasi proses
klasifikasi dapat diestimasi dengan menghitung jumlah data yang terklasifikasi
dengan benar dibagi dengan jumlah data seluruhnya. Confusion matrix dapat
memperlihatkan informasi lainnya seperti kelas yang sering salah diklasifikasi.
Pada Tabel 2, terlihat bahwa banyak data kelas A yang salah diklasifikasi dengan
kelas C dan sebaliknya.
Tabel 2 Contoh confusion matrix yang menampilkan akurasi
proses klasifikasi yang melibatkan 30 data dari tiga
kelas (A, B, dan C)
Kelas Aktual
A
B
C
A
Kelas Prediksi
B
4
0
0
10
6
0
C
6
0
4
13
K-Fold Cross Validation
K-fold cross validation (rotation estimation) membagi dataset D ke dalam K
bagian dengan ukuran yang sama. Metode yang diuji dijalankan sebanyak K kali,
masing-masing dengan menggunakan salah satu bagian sebagian data uji dan
bagian sisanya sebagai data latih (Kohavi 1995).
3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali oleh tahap akuisisi citra yang hasilnya digunakan
dalam dua kegiatan, yaitu identifikasi penyakit padi dan pengukuran keparahan
penyakit. Langkah-langkah dari kedua kegiatan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 8.
Akuisisi Data
Penelitian ini membutuhkan dua jenis citra, yaitu citra daun yang
menunjukkan bercak penyakit serta citra rumpun padi yang terinfeksi penyakit
hawar daun bakteri. Pengambilan data primer dilakukan. Citra diambil di
persawahan padi yang ada di Karawang, Subang, dan Indramayu dengan jadwal
seperti pada bulan Juli 2013. Kamera yang digunakan ialah Nikon Coolplus
AW100, Canon EOS 60D, Nikon D70, and Canon EOS 600D dengan
menggunakan kondisi pencahayaan natural. Apabila penyakit target tidak
ditemukan di lapangan, pengambilan data di lokasi lain akan dilakukan. Data yang
diambil difokuskan pada tanaman padi yang berada pada fase pengisian.
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Praproses Citra
Pada tahap ini, citra daun yang terkena penyakit dipotong secara manual.
Apabila citra kurang kontras, operasi histogram equalization dilakukan. Terakhir,
citra dikonversi dalam format hue-saturation-value (HSV).
Ekstraksi Fitur Deskriptor Fraktal
Deskriptor fraktal dari spektrum Fourier citra (Florindo dan Bruno 2012).
Lebar jendela (N) Gaussian yang digunakan pada penelitian ini ialah dari 1 sampai
128.
Klasifikasi dengan PNN
Deskriptor fraktal kemudian digunakan sebagai penciri pada proses
klasifikasi penyakit dengan menggunakan PNN (Duda et al. 2000). Data latih dan
data uji dibagi secara acak dengan menggunakan 5-fold cross validation. Hasil
proses pengujian kemudian disajikan dalam bentuk confusion matrix untuk
analisis selanjutnya.
14
Gambar 10 Alur kerja penelitian
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
Praproses Citra
Citra yang digunakan pada percobaan ini adalah citra rumpun padi yang
diambil dari atas. Karena padi biasanya ditanam dengan jarak tanam 20-30 cm,
sebagian besar gambar yang diambil mengandung lebih dari satu rumpun padi.
Daun dari rumpun tersebut saling tumpang tindih sehingga citra yang murni
terdiri atas daun dari satu rumpun saja sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, pada
penelitian ini, citra dipotong sehingga citra hanya memuat tepat satu pusat rumpun
secara penuh (Gambar 11).
Gambar 11 Proses pemotongan gambar (crop) secara manual sehingga citra yang
digunakan hanya terdiri atas satu pusat rumpun
Pemisahan Tanah dan Daun
Tanah yang tidak dilibatkan dari proses pengukuran keparahan penyakit
harus dipisahkan dari bagian daun pada citra rumpun. Penelitian ini menggunakan
indeks kehijauan-kecerahan (d) (Kirk et al. 2009) yang memperhatikan kecerahan
15
tanaman sehingga tanaman yang tidak murni bewarna hijau tetap terdeteksi
sebagai tanaman. Hal ini berbeda dengan indeks lain seperti ExG, ExR, dan ExGR
yang hanya mampu memisahkan tanaman bewarna hijau. Nilai indeks d antara
tanah dan tanaman memiliki perbedaan yang cukup jelas dapat dipisahkan dengan
mudah (Gambar 12).
Gambar 12 Histogram nilai indeks d untuk sampel citra rumpun
Indeks d diperoleh dengan menggabungkan nilai kehijauan dan kecerahan
pada setiap piksel citra. Nilai kehijauan (g) diperoleh dengan menggunakan
formula:
g = log (G/R + 1)
Bagian tanaman memiliki nilai kehijauan yang tinggi karena memiliki warna hijau
(G) yang lebih besar dibanding warna merah (R). Sebaliknya, tanah memiliki nilai
kehijauan yang rendah karena nilai R tanah lebih besar. Akan tetapi, bagian
tanaman yang sakit dan bulir padi yang cenderung bewarna cokelat belum dapat
dipisahkan. Kedua bagian tadi dapat diambil dengan menggunakan komponen
kedua, yaitu kecerahan (L):
L = log (G + 1) – log ̅ , ̅ : nilai rata-rata warna hijau pada citra
Tanaman yang berada lebih dekat dengan cahaya matahari memiliki nilai L
yang lebih tinggi, sedangkan tanah yang berada lebih jauh dari cahaya matahari
memiliki nilai L yang lebih rendah. Nilai indeks akhir diperoleh dengan
menggabungkan kedua nilai tersebut dengan formula:
d = cos (α)g + sin(α)L
Nilai α yang dipilih adalah nilai yang dapat memisahkan tanah dengan baik.
Pada penelitian ini, nilai α diset sebesar 60 derajat sehingga bobot untuk
komponen kecerahan lebih besar dibanding bobot komponen kehijauan. Hal ini
dikarenakan bagian yang terinfeksi lebih mudah dikenali berdasarkan komponen
kecerahan dibanding kehijauan. Setelah itu, dilakukan proses thresholding dengan
menggunakan algoritme Otsu (1975). Ilustrasi proses pemisahan tanah dan
tanaman dapat dilihat pada Gambar 13.
16
Gambar 13 Proses pemisahan tanah dan daun menggunakan indeks kehijauankecerahan (greenness-lightness index)
Pemisahan Bagian Daun Terinfeksi dan Sehat
Bagian daun terinfeksi dan sehat dipisahkan dengan algoritme Chaudhary et
al. (2012). Ruang warna citra diubah dari RGB ke CIELab, kemudian proses
pemulusan citra dengan menggunakan filter median dilakukan. Setelah itu,
dilakukan threshold Otsu pada komponen A citra tersebut, yang memuat
informasi warna citra dari hijau ke merah. Tanaman yang sehat tampak lebih hijau,
sedangkan tanaman yang sakit tampak lebih merah, membuat keduanya mudah
dipisahkan dengan menggunakan komponen warna ini. Menurut Chaudhary et al.
(2012), teknik ini tidak terpengaruh oleh jenis tanaman, jenis bercak tanaman, dan
kamera yang digunakan.
Penghitungan Rasio Daun Terinfeksi
Setelah bagian rumpun dan daun yang sakit diperoleh, proporsi (I) luas daun
terinfeksi terhadap luas area seluruh tanaman dapat dihitung dengan menggunakan
formula berikut:
=
P
P + PS
I = Rasio daun terinfeksi pada citra rumpun
PI = Banyaknya bagian daun yang terinfeksi pada citra rumpun (dalam piksel)
PS = Banyaknya bagian daun yang sehat pada citra rumpun (dalam piksel)
Pengembangan Model Pengukuran Serangan
Berdasarkan rasio daun terinfeksi, citra rumpun diklasifikasikan dalam
empat kategori serangan, yaitu sehat, ringan, sedang, dan berat. Klasifikasi
dilakukan oleh Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dari Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasil klasifikasi dan rasio
daun terinfeksi yang dihitung oleh sistem akan digunakan untuk membuat selang
yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan serangan penyakit berdasarkan
rasio daun terinfeksi.
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Akuisisi Data
Akuisisi data telah dilakukan di tiga daerah penghasil padi di Karawang,
Subang, dan Indramayu pada bulan Juli 2013. Akan tetapi, pada saat pengambilan,
kemunculan penyakit tungro dan blas tidak terlalu banyak sehingga data yang
diperoleh masih kurang. Oleh karena itu, dilakukan pengambilan data kembali
pada bulan Agustus 2013 di daerah Pasir Muncang, Bogor. Pengambilan data
terakhir dilakukan pada Januari 2014 di daerah Situgede, Bogor, untuk
melengkapi data citra tanaman yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri.
Lokasi pengambilan data dan jadwal lengkap pengambilan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jadwal realisasi pengambilan data di lapangan
Lokasi
Desa Suka Makmur, Karawang
Kecamatan Binong, Subang
Kecamatan Patrol, Indramayu
Pasir Muncang, Bogor
Desa Situgede, Bogor
Waktu Pengambilan Data
20 Juli 2013
20 Juli 2013
21 Juli 2013
25 Agustus 2013
2 Januari 2014
Pengambilan data yang dilakukan menghasilkan sebanyak 100 citra bercek
ceokelat, 200 citra hawar daun bakteri, 200 citra tungro, 250 citra blas, dan 500
citra kerusakan rumpun. Jenis citra pertama yang berupa citra daun yang terkena
penyakit (Gambar 14) digunakan pada proses identifikasi penyakit, sedangkan
jenis citra kedua yang berupa citra rumpun yang terinfeksi penyakit hawar daun
bakteri (Gambar 15) digunakan pada proses pengukuran keparahan penyakit.
Gambar 14 Contoh citra penyakit yang diambil di lapangan
18
Gambar 15 Contoh citra rumpun yang diambil di lapangan
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Penyakit yang menyerang di data primer kemudian diidentifikasi oleh Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSc dari Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor. Setelah diidentifikasi, sebanyak 100 potongan citra daun untuk
setiap kelas penyakit diambil untuk dijadikan sebagai dataset percobaan.
Pemotongan dilakukan secara manual. Karena tidak seragamnya kondisi cahaya
pada pengambilan gambar, proses ekualisasi histogram adaptif (Pizer et al. 1990)
dilakukan pada setiap citra. Setelah seluruh citra siap, proses ekstraksi fitur dan
klasifikasi dapat dilakukan. Daftar seluruh citra yang digunakan dapat dilihat pada
Lampiran 1 – Lampiran 4.
Bercak Cokelat
Hawar Daun
Bakteri
Blas
Tungro
Gambar 16 Contoh citra potongan daun terinfeksi pada setiap kelas penyakit
Klasifikasi jenis penyakit tanaman padi dengan citra daun yang terinfeksi
telah dilakukan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Akurasi total yang
diperoleh ialah sebesar 81.25%. Akurasi untuk tungro sebesar 95.00%, kemudian
leaf blast 86.00%, hawar daun bakteri sebesar 78.00%, dan bercak cokelat sebesar
66.00%.
Akurasi bercak cokelat dan hawar daun bakteri yang masih di bawah
80.00% disebabkan oleh banyaknya sampel citra yang memiliki penampakan
mirip. Beberapa sampel citra daun terinfeksi bercak cokelat dapat dilihat pada
Gambar 17. Menurut pakar, penampakan bercak cokelat seperti ini dapat terjadi
karena ada satu atau lebih bercak yang posisinya berdekatan. Kemungkinan
19
lainnya ialah serangan penyakit yang sudah cukup parah sehingga menyebabkan
bagian daun menjadi mengering dan berwarna cokelat muda.
Kelas
Aktual
Tabel 4 Confusion matrix untuk klasifikasi jenis penyakit tanaman padi
Bercak Cokelat
Hawar Daun Bakteri
Blas
Tungro
Bercak
Cokelat
66
17
4
2
Kelas Prediksi
Hawar Daun
Blas
Bakteri
27
6
78
5
6
86
0
3
Tungro
1
0
4
95
Gambar 17 Contoh citra bercak cokelat yang salah diklasifikasi sebagai hawar
daun bakteri
Pada beberapa sampel citra daun yang terkena penyakit hawar daun bakteri,
terdapat bintik-bintik cokelat kecil yang mirip seperti bercak cokelat (Gambar 18
Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai bercak cokelat).
Menurut pakar, hal ini dimungkinkan oleh adanya infeksi ganda pada rumpun,
dalam hal ini, tanaman terkena bercak cokelat dan hawar daun bakteri. Kedua hal
tersebut menyebabkan nilai deskriptor fraktal dari kedua kelas tersebut mirip,
sepertinya yang ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 18 Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai
bercak cokelat
Gambar 19 Nilai rata-rata deskriptor fraktal untuk setiap kelas penyakit.
20
Akurasi akhir yang diperoleh lebih rendah dibanding penelitian Kholis et al.
(2013) yang menggunakan citra satu bercak penyakit dari keempat penyakit utama
di Indonesia dan berhasil memperoleh akurasi masing-masing 91.46%. Pada
kedua penelitian tersebut, kelas bercak cokelat dan hawar daun bakteri
memperoleh akurasi di atas 92.00%, lebih tinggi dibanding hasil penelitian ini.
Hal ini dimungkinkan karena penelitian ini memperbesar area sampel pada
permukaan daun sehingga variasi yang diperoleh lebih banyak, misalnya dengan
adanya daerah kering yang timbul akibat adanya dua atau lebih bercak cokelat
yang berdekatan dan adanya infeksi ganda. Untuk mengatasi kendala ini, fitur lain
seperti bentuk, posisi, dan ukuran bercak yang mencirikan penyakit (Syam et al.
2011; IRRI 2012) dapat digunakan pada penelitian selanjutnya.
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
Sebanyak 72 citra rumpun padi yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri
digunakan dalam percobaan ini. Dari 72 citra yang digunakan, pakar mengukur
bahwa sebanyak 15 citra masuk dalam kategori sehat. Selanjutnya, 21 citra
terkena serangan ringan, 21 citra terkena
FRAKTAL DAN PENGUKURAN KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR
DAUN BAKTERI BERDASARKAN CITRA RUMPUN
AUZI ASFARIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Penyakit Padi
Menggunakan Deskriptor Fraktal dan Pengukuran Penyakit hawar Daun Bakteri
Berdasarkan Citra Rumpun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Auzi Asfarian
NIM G651114081
RINGKASAN
AUZI ASFARIAN. Identifikasi Penyakit Padi Menggunakan Deskriptor Fraktal
dan Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Berdasarkan Citra
Rumpun. Dibimbing oleh YENI HERDIYENI dan AUNU RAUF.
Penelitian ini mengajukan pendekatan baru dalam proses indentifikasi
penyakit padi dan pengukuran keparahannya. Identifikasi penyakit dilakukan
dengan menggunakan fitur deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier dan
probabilistic neural network, sedangkan proses pengukuran keparahan penyakit
dilakukan dengan indeks kehijauan-kecerahan untuk memisahkan rumpun padi
dengan tanah serta komponen A pada ruang warna CIELab untuk memisahkan
tanaman yang terinfeksi dengan tanaman yang sehat. Pada penelitian ini,
identifikasi penyakit padi dilakukan terhadap empat penyakit padi yang umum
terdapat di Indonesia: blas (Pyricularia grisea), bercak cokelat
(Helminthosporium oryzae), hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris pv.
oryzae), dan tungro. Keempat penyakit ini memperlihatkan gejala pada
permukaan daun. Pengukuran keparahan penyakit dilakukan pada rumpun padi
yang terkena penyakit hawar daun bakteri.
Akuisisi data telah dilakukan di daerah penghasil padi di Karawang, Subang,
dan Indramayu pada bulan Juli 2013. Akan tetapi, pada saat pengambilan,
kemunculan penyakit tungro dan blas tidak terlalu banyak sehingga data yang
diperoleh masih kurang. Oleh karena itu, dilakukan pengambilan data kembali
pada bulan Agustus 2013 di daerah Pasir Muncang, Bogor dan pada Januari 2014
di daerah Situgede, Bogor, untuk melengkapi data citra tanaman yang terinfeksi
penyakit hawar daun bakteri.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa deskriptor fraktal dapat digunakan
untuk mengidentifikasi keempat penyakit dengan akurasi sebesar 81.25%.
Penyakit bercak cokelat dan hawar daun bakteri memiliki akurasi yang rendah.
Hal ini diakibatkan oleh adanya bercak cokelat yang sangat rapat serta terjadinya
infeksi ganda oleh kedua penyakit. Penelitian selanjutnya disarankan
menggunakan lebih dari satu penciri untuk meningkatkan kemampuan algoritme
dalam memisahkan dua penyakit yang mirip.
Pada pengukuran keparahan penyakit, terdapat beberapa kesalahan
segmentasi yang diakibatkan oleh pantulan cahaya matahari dari permukaan tanah
yang basah, kondisi pencahayaan yang ekstrim, serta variasi warna bulir padi.
Akurasi pengukuran tingkat keparahan yang diperoleh pada percobaan ini yaitu
sebesar 70.83%. Untuk meningkatkan akurasi ke depannya, penelitian selanjutnya
disarankan untuk menggunakan peneduh pada saat pengambilan citra sehingga
cahaya pada citra menjadi merata. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat
fokus pada dampak dan tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil
identifikasi penyakit dan keparahan penyakit yang telah diperolah, misalnya
informasi pengelolaan penyakit serta prediksi dampak kehilangan hasil yang
terjadi.
Kata kunci: penyakit padi, keparahan, computer vision, fraktal, indeks vegetatif
SUMMARY
AUZI ASFARIAN. Identification of Rice Diseases using Fractal Descriptor and
Assessment of Disease Severity of Bacterial Leaf Blight Based on Hill Images.
Supervised by YENI HERDIYENI and AUNU RAUF.
This research proposed a new approach in identification of rice diseases and
assessment of disease severity. Identification of diseases was done using fractal
descriptors based on Fourier spectrum and probabilistic neural network. Disease
severity was assessed based on greenness-lightness index to separate plant and
soil. The plants were then separated into healthy plants and infected plants using
A component of CIE Lab colorspace. In this study, we identified four rice
diseases commonly found in Indonesia: leaf blast (Pyricularia grisea), brown spot
(Helminthosporium oryzae), bacterial leaf blight (Xanthomonas campestris pv.
oryzae), and tungro. The four diseases show symptoms on leaf surfaces.
Assessment of diseases severity was made for bacterial leaf blight.
Data acquisition was carried out in rice-producing areas in Karawang,
Subang, and Indramayu in July 2013. However, at the time of retrieval, tungro and
blast disease was scarce so that the obtained data is still lacking. Therefore, data
acquisition was also done in August 2013 in Pasir Muncang, Bogor and in January
2014 in Situgede, Bogor.
Our study showed that the fractal descriptors was able to identify the four
diseases with 81.25% accuracy. The accuracy of brown spot and bacterial leaf
blight were low due to high density of brown spots and double infection by both
diseases in some of leaf images. We recommend that future studies use more than
one identifier to improve the algorithm's ability to separate the two diseases are
similar.
For the disease severity assessment, there were some errors in
segmentations caused by light reflection from wet soil, extreme lighting, and
colour variations of rice grains. The level of accuracy of severity assessment was
70.83%. To improve the accuracy, in future research we recommend the usage of
canopy when taking images so the lighting condition become even. In addition,
future research may also focus on impacts and actions that can be performed
based on the results of the identification of the disease and the severity of the
disease has been obtained, such as information management and prediction of the
impact of disease yield loss occurs.
Keywords: rice diseases, severity, computer vision, fractal, vegetation index
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI PENYAKIT PADI MENGGUNAKAN DESKRIPTOR
FRAKTAL DAN PENGUKURAN KEPARAHAN PENYAKIT HAWAR
DAUN BAKTERI BERDASARKAN CITRA RUMPUN
AUZI ASFARIAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Agus Buono, MSi MKom
Judul Tesis : Identifikasi Penyakit Padi Menggunakan Deskriptor Fraktal dan
Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar Daun Bakteri Berdasarkan
Citra Rumpun
Nama
: Auzi Asfarian
NIM
: G651114081
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Yeni Herdiyeni, SSi, MKomp
Ketua
Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
DrEng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis berjudul Identifikasi Penyakit Padi
Menggunakan Deskriptor Fraktal dan Pengukuran Keparahan Penyakit Hawar
Daun Bakteri Menggunakan Citra Rumpun berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom serta
Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc yang telah memberi saran dan masukan selaku Komisi
Pembimbing. Terima kasih pula kepada Bapak Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin,
MSi, Bapak Wawan, Irfan Abdussalam, serta Kholis yang telah membantu proses
pengambilan data lapangan di Subang, Karawang, Indramayu, dan Bogor. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Ilmu Komputer yang
telah membiayai kuliah penulis di dua semester pertama dan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penulis melalui program
Beasiswa Unggulan serta Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Auzi Asfarian
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
2
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit pada Pertanaman Padi
Pengukuran Keparahan Serangan Penyakit
Computer Vision untuk Identifikasi Penyakit dan Pengukuran Keparahan
Penyakit
Dimensi Fraktal
Deskriptor Fraktal Berdasarkan Spektrum Fourier untuk Analisis Tekstur
Probabilistic Neural Network
Pemisahan Area Daun Tanaman dengan Tanah
Segmentasi Bercak Penyakit
Confusion Matrix
K-Fold Cross Validation
3
3
4
5
7
8
8
10
11
12
13
3 METODE PENELITIAN
Akuisisi Data
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
13
13
13
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Akuisisi Data
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
17
17
18
20
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
25
25
25
6 UCAPAN TERIMA KASIH
26
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Luas serangan penyakit utama padi di Indonesia (DJTP 2012)
Contoh confusion matrix yang menampilkan akurasi proses
klasifikasi yang melibatkan 30 data dari tiga kelas (A, B, dan C)
Jadwal realisasi pengambilan data di lapangan
Confusion matrix untuk klasifikasi jenis penyakit tanaman padi
Aturan klasifikasi tingkat keparahan
Confusion matrix empat kelas keparahan
Confusion matrix tiga kelas keparahan
3
12
17
19
21
21
25
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Citra daun yang terkena serangan keempat jenis penyakit padi yang
diidentifikasi.
Proses perhitungan keparahan penyakit berdasarkan luasan daerah
yang terkena penyakit (Sumber gambar: James (1971) dan IRRI
(2002)).
Alur kerja dari computer vision.
Contoh dua buah objek berbeda yang memiliki nilai dimensi fraktal
yang sama.
Ilustrasi nilai dimensi fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Ilustrasi nilai deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Struktur PNN
Ilustrasi proses segmentasi tanaman dengan menggunakan algoritme
Kirk et al. (2009). Gambar kiri atas merupakan citra daun. Gambar
kanan atas merupakan histogram dari indeks d pada citra. Gambar
bawah adalah hasil segmentasi terhadap citra. Bagian bewarna hitam
adalah daun.
Contoh proses segmentasi titik penyakit blas. Gambar (a) merupakan
citra penyakit yang akan dideteksi, (b) adalah titik penyakit yang
disegmentasi, dan (c) adalah hasil overlay antara citra (a) dan (b).
Alur kerja penelitian
Proses pemotongan gambar (crop) secara manual sehingga citra yang
digunakan hanya terdiri atas satu pusat rumpun
Histogram nilai indeks d untuk sampel citra rumpun
Proses pemisahan tanah dan daun menggunakan indeks kehijauankecerahan (greenness-lightness index)
Contoh citra penyakit yang diambil di lapangan
Contoh citra rumpun yang diambil di lapangan
Contoh citra potongan daun terinfeksi pada setiap kelas penyakit
Contoh citra bercak cokelat yang salah diklasifikasi sebagai hawar
daun bakteri
Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai
bercak cokelat
Nilai rata-rata deskriptor fraktal untuk setiap kelas penyakit.
Box plot dari empat kelas keparahan
3
4
5
7
8
8
10
11
12
14
14
15
16
17
18
18
19
19
19
20
21
22
23
24
25
26
Ilustrasi kesalahan segmentasi akibat pantulan cahaya matahari pada
permukaan tanah yang basah. Bagian yang diberi lingkaran merah
adalah pantulan (a). Walaupun memiliki nilai kehijauan yang rendah
(b), bagian ini memiliki nilai kecerahan yang tinggi (c) sehingga
memiliki nilai d (d) yang mirip dengan bagian daun. Pada tahap
pemisahan bagian daun terinfeksi dan sehat (e), bagian ini dideteksi
sebagai bagian daun terinfeksi.
Kesalahan segmentasi akibat kondisi pencahayaan yang ekstrim
Kesalahan segmentasi akibat variasi warna pada bulir
Histogram nilai indeks kehijauan-kecerahan d dari bagian tanaman
terinfeksi dan bagian bulir padi yang berada pada rentang yang sama
Histogram nilai indeks A dari bagian tanaman terinfeksi dan bagian
bulir padi
Box plot dari tiga kelas keparahan
21
22
22
23
24
24
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Citra penyakit bercak cokelat
Citra penyakit hawar daun bakteri
Citra penyakit leaf blast
Citra penyakit tungro
30
31
32
33
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tanaman masih menjadi hambatan dalam peningkatan produkai
padi. Pada tahun 2011, pertanaman padi yang terkena tiga penyakit utama di
Indonesia mencapai 80,096 hektar (DJTP 2012). Untuk mengurangi serangan
tersebut, pengelolaan penyakit harus dilakukan. Pengelolaan penyakit bergantung
pada jenis dan tingkat keparahan dari penyakit yang dialami oleh tanaman.
Informasi tingkat keparahan penyakit juga memiliki manfaat lain bagi peneliti,
seperti untuk melihat perkembangan penyakit, memperkirakan dampak ekonomi,
serta mengukur resistensi varietas terhadap penyakit (James 1971).
Jumlah tenaga pengamat hama dan penyakit di Indonesia masih kurang dari
jumlah ideal. Jumlah tenaga bantu Pengendali Organisme Pengganggu
Tumbuhan-Pengamat Hama dan Penyakit (POPT-PHP) ialah 3,183 orang untuk
6,543 kecamatan di Indonesia, masih jauh dari jumlah ideal sebanyak 1 orang
pengawas untuk 1 kecamatan (DJTP 2010). Pengukuran tingkat keparahan
berdasarkan Standar Evaluation System (IRRI 2002) pun memerlukan waktu dan
ketelitian yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode yang
dapat mengukur tingkat keparahan dengan cepat dan akurat.
Identifikasi penyakit dan pengukuran keparahan dapat dilakukan dengan
melakukan pengamatan visual. Oleh karena itu, computer vision (CV)dapat
digunakan untuk mendapatkan kedua informasi tersebut berdasarkan perubahan
fisik tanaman yang sakit (Camargo dan Smith 2009, Qin dan Zhang 2005).
Metode ini cepat dan tidak memerlukan biaya yang tinggi (Vibhute dan Bodhe
2012), penggunaannya mudah, konsisten, objektif, dan tidak merusak tanaman
(Brosnan dan Sun 2004). Sistem yang dihasilkan dapat dipasang pada telepon
genggam yang dapat dibawa oleh petugas di lapangan untuk mengukur tingkat
keparahan penyakit.
Sebelumnya, teknik CV telah digunakan untuk mendeteksi jenis penyakit
tanaman padi. Anthonys dan Wickramarachchi (2009) menggunakan fitur tekstur,
warna, dan bentuk untuk mengidentifikasi penyakit blas, hawar pelepah, dan
bercak cokelat, tiga penyakit padi utama di Sri Langka, dengan akurasi sebesar
70%. Kurniawati et al. (2009) menggunakan fitur warna seperti warna untuk
mengenali penyakit blas , bercak cokelat, dan bercak cokelat sempit dengan
akurasi 87.5%. Kholis et al. (2013) menggunakan fuzzy entropy dan probabilistic
neural network untuk mengidentifikasi empat penyakit padi yang umum di
Indonesia, yaitu bercak cokelat, blas , hawar daun bakteri, dan tungro. Akurasi
rata-rata yang diperoleh ialah 91.46%, dengan akurasi terendah sebesar 76.00%
untuk penyakit tungro. Walaupun akurasi pada penelitian Kholis et al. (2013)
cukup tinggi, jumlah dan kualitas citra yang digunakan masih perlu ditingkatkan.
Dari penelitian-penelitian tersebut, tesktur adalah salah satu penciri yang
baik untuk mengidentifikasi bercak penyakit (Camargo dan Smith 2009). Salah
satu metode untuk menganalisis tekstur ialah deskriptor fraktal yang dilakukan
oleh Florindo dan Bruno (2011; 2012) yang lebih cepat dan akurat dibanding
metode estimasi fraktal lainnya saat dicobakan ke berbagai set data. Fraktal juga
telah teruji dalam memodelkan bentuk-bentuk yang ada di alam (Mandelbrot
2
1968; Pentland 1984). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan deskriptor
fraktal sebagai fitur tekstur dari bercak penyakit untuk mengidentifikasi penyakit.
Keparahan penyakit (disease severity) didefinisikan sebagai luasan dari unit
sampel tanaman (contoh: daun, buah, dan batang) yang menunjukkan gejala
penyakit yang biasanya dinyatakan dalam persen atau proporsi (Bock et al.
2010).Cara yang umum digunakan untuk mengukur keparahan penyakit ialah
dengan menghitung rasio daun yang terinfeksi penyakit. Beberapa penelitian telah
menggunakan pemrosesan citra untuk menentukan tingkat keparahan penyakit
pada tanaman, misalnya pada singkong (Powbunthorn et al. 2012), tebu (Patil dan
Bodhe 2011), dan daun delima (Sannaki et al. 2011).
Akan tetapi, belum ada penelitian yang membahas pengukuran keparahan
penyakit pada tanaman padi. Selain itu, penelitian-penelitian yang telah dilakukan
pada umumnya hanya menggunakan citra dari satu daun utuh yang diberi latar
belakang polos. Hal ini sulit dilakukan pada tanaman padi karena daunnya yang
cukup banyak dan berdekatan. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengusulkan
teknik pengukuran keparahan penyakit pada tanaman padi dengan menggunakan
citra rumpun padi yang diambil langsung di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengembangkan teknik computer vision untuk
mengidentifikasi penyakit padi dan mengukur keparahannya.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ialah menyedikan teknologi yang memberi
kemudahan bagi penelitian dan petugas POPT dalam mengidentifikasi penyakit
dan mengukur keparahanya di areal pertanaman padi sehingga tindakan
pengelolan penyakit dapat diambil dengan cepat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan batasan berikut:
Penelitian ini mengenali empat penyakit yang umum terjadi di Indonesia, yaitu
blas (Pyricularia grisea), bercak coklat (Helminthosporium oryzae), hawar
daun bakteri (Xanthomonas campestris pv. oryzae), dan tungro.
Identifikasi penyakit dilakukan menggunakan potongan citra daun yang
terinfeksi.
Pengukuran keparahan penyakit dilakukan menggunakan citra rumpun yang
terinfeksi penyakit hawar daun bakteri.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit pada Pertanaman Padi
Beberapa penyakit pada pertanaman padi masuk dalam daftar organisme
pengganggu tanaman (OPT) utama yang diawasi oleh Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Tabel
1memperlihatkan data luas serangan dari tiga penyakit yang termasuk dalam enam
OPT utama pada pertanaman padi.Tiga penyakit yang berada pada tabel tersebut,
bersama dengan penyakit bercak coklat, digunakan pada penelitian ini. Selain
alasan tersebut, keempat penyakit tersebut (Gambar 1) dipilih karena tingkat
keparahan penyakitnya ditentukan berdasarkan luasan daun yang terkena penyakit
(IRRI 2002).
Blas (Pyricularia grisae)
Blas disebabkan oleh jamur patogen Pyricularia grisae. Daun tanaman padi
yang terkena blas memiliki bercak coklat kehitaman yang berbentuk belah
ketupat, dengan pusat bercak bewarna putih. Kemampuan patogen membentuk
strain dengan cepat menyebabkan pengendalian penyakit ini sangat sulit (Syam et
al. 2011).
Bercak Coklat (Helminthosporium oryzae)
Bercak coklat disebabkan oleh jamur Helminthosporium oryzae. Penyakit
ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman padi muda serta menurunkan
kualitas gabah. Daun tanaman padi yang terkena penyakit ini memiliki bercak
bewarna coklat, berbentuk oval sampai bulat, berukuran sebesar biji wijen (Syam
Gambar 1 Citra daun yang terkena serangan keempat jenis penyakit padi yang
diidentifikasi.
Tabel 1 Luas serangan penyakit utama padi di Indonesia (DJTP 2012)
No
1
2
3
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Tungro
Leaf Blast
Hawar Daun Bakteri
Luas Serangan (ha)
4,994
31,383
43,719
4
et al. 2011).
Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas campestris pv. oryzae)
Hawar daun bakteri, atau bakteri hawar daun, tersebar luas dan menurunkan
hasil sampai 36%. Hawar daun bakteri menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek
dan hawar. Daun-daun bewarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam
keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu, dan mati. Sementara itu, hawar
merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah
mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan. Gejala diawali dengan
timbulnya bercak abu-abu (kekuningan) pada tepi daun. Dalam perkembangannya,
gejala akan meluas, membentuk hawar, dan akhirnya daun mengering (Syam et al.
2011).
Tungro
Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada padi yang sangat
merusak dan tersebar luas. Bergantung pada fase tanaman terinfeksi, tungro dapat
menyebabkan kehilangan hasil 5-70%. Makin awal tanaman terinfeksi tungro,
makin besar kehilangan hasil yang ditimbulkan. Gejala serangan tungro yang
menonjol adalah perubahan warna daun dan tanaman tumbuh kerdil. Warna daun
tanaman sakit bervariasi dari sedikit menguning sampai jingga. Tingkat
kekerdilan tanaman juga bervariasi dari sedikit kerdil sampai sangat kerdil. Gejala
khas ini ditentukan oleh tingkat ketahanan varietas, kondisi lingkungan, dan fase
tumbuh saat tanaman terinfeksi (Syam et al. 2011).
Pengukuran Keparahan Serangan Penyakit
Keparahan penyakit (disease severity) didefinisikan sebagai luasan dari unit
sampel tanaman (contoh: daun, buah, dan batang) yang menunjukkan gejala
penyakit yang biasanya dinyatakan dalam persen atau proporsi (Bock et al. 2010).
Tingkat keparahan penyakit harus diperhatikan dalam serangan penyakit.
Keparahan penyakit dapat digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data
Gambar 2 Proses perhitungan keparahan penyakit berdasarkan luasan daerah
yang terkena penyakit (Sumber gambar: James (1971) dan IRRI
(2002)).
5
kemunculan dan perkembangan penyakit, mengukur dan membandingkan tingkat
kepentingan penyakit, memperoleh hubungan antara keparahan penyakit dan
kehilangan hasil, memperkirakan dampak ekonomi yang muncul dari penyakit,
mengukur efektivitas fungsida dan pestisida, serta mengukur resistensi varietas
(James 1971).
Pengukuran keparahan dilakukan dengan menggunakan Standard
Evaluation System for Rice (SES) yang dikeluarkan oleh IRRI (2002). Setiap
penyakit memiliki skala pengukuran keparahan yang berbeda dengan cara yang
berbeda pula, misalnya berdasarkan lokasi infeksi, bentuk bercak, serta luas
daerah yang terinfeksi. Untuk memperoleh nilai keparahan yang akurat, luasan
daerah yang terinfeksi pada sebuah rumpun harus dihitung dengan detail. Hal ini
cukup memakan waktu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode yang dapat
mengukur nilai keparahan penyakit dengan cepat.
Keparahan dapat dinyatakan dalam berbagai skala, misalnya nominal (parah,
sedang, ringan, sehat) dan ordinal (0-9). Gambar 2 memperlihatkan ilustrasi
penentuan skala nominal pada daun yang terkena serangan penyakit. Pada contoh
tersebut, daun yang berada pada bagian paling kiri mendapatkan skala infeksi
sebesar 1 karena luas daun yang terkena penyakit kurang dari 1%.
Computer Vision untuk Identifikasi Penyakit dan Pengukuran Keparahan
Penyakit
Computer vision (CV) adalah teknologi pengolahan citra atau video untuk
membangun deskripsi yang bermakna dari objek yang ada pada citra tersebut
(Ballard and Brown 1982). Dengan CV, komputer dapat memahami apa yang ia
lihat, mirip ketika manusia memaknai suatu keadaan, dan mengambil keputusan
berdasarkan pemahaman yang diperoleh. Shapiro dan Stockman (2001)
mendefinisikan CV sebagai bidang ilmu yang bertujuan membuat komputer dapat
mengambil kesimpulan yang berguna mengenai objek fisik nyata atau adegan
berdasarkan citra masukan. CV melibatkan teknik pengolahan citra dan
pengenalan pola untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk memahami
suatu objek pada citra. Alur dari kombinasi kedua hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3. Ada banyak informasi yang dapat diperoleh, misalnya urutan alur
video, intensitas cahaya, perspektif, warna, tekstur, dan bentuk dari objek.
Kombinasi teknik CV dengan kecerdasan buatan akan menghasilkan sistem cerdas
yang dapat diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan.
Karena didasarkan pada pengamatan visual, beberapa penelitian yang
Gambar 3 Alur kerja dari computer vision.
6
menerapkan teknik CV untuk identifikasi penyakit dan pengukuran keparahan
penyakit pada tanaman telah dilakukan. Anthonys dan Wickramarachchi (2009)
menggunakan fitur tekstur, warna, dan bentuk untukmengidentifikasi penyakit
blas, hawar pelepah, dan bercak cokelat, tiga penyakit padi yang umum terjadi di
Sri Langka, dengan akurasi sebesar 70%. Kurniawati et al. (2009) menggunakan
fitur warna seperti warna tepi bercak dan warna bercak untuk mengenali penyakit
blas , bercak cokelat, dan bercak cokelat sempit dengan akurasi mencapai 87.5%.
Kholis et al. (2013) menggunakan fuzzy entropy dan PNN untuk mengenali empat
penyakit padi utama di Indonesia, yaitu bercak cokelat, hawar daun bakteri, leaf
blast, dan tungro dengan akurasi sebesar 91.46%. Akan tetapi,penelitian tersebut
baru menggunakan basis data citra yang ukurannya relatif kecil.
Selain identifikasi penyakit tanaman, beberapa penelitian juga telah
menggunakan teknik CV untuk mengukur keparahan penyakit, contohnya pada
singkong (Powbunthorn et al. 2012), tebu (Patil dan Bodhe 2011), dan delima
(Sannaki et al. 2011). Akan tetapi, citra yang digunakan pada ketiga penelitian ini
diambil dengan menggunakan latar belakang polos dan hanya menggunakan
sebuah daun. Hal ini tidak memungkinkan untuk dilakukan pada tanaman padi
karena ukuran daunnya yang panjang dan sangat banyak. Selain itu, pencabutan
daun untuk mendapatkan foto daun yang utuh bersifat destruktif dan merusak
tanaman padi serta dikhawatirkan dapat lebih jauh mengurangi produktivitas padi.
Alternatifnya ialah dengan menggunakan citra rumpun padi.
Pengukuran keparahan berdasarkan citra rumpun melibatkan dua proses
segmentasi, yaitu segmentasi segmentasi tanaman dan latar belakang serta
segmentasi bagian tanaman yang sakit dan tanaman yang sehat. Untuk tanaman
pertanian, latar belakang tanaman yang umum ialah tanah. Tanaman dan tanah
dapat dipisahkan dengan menggunakan indeks seperti yang dilakukan oleh Meyer
dan Neto (2008), Kirk et al. (2009), Burgos-Artizzu et al. (2010), dan Guijarro et
al. (2011).
Sebagian besar indeks bekerja dengan menggunakan asumsi tanaman akan
berwarna hijau, sedangkan tanah akan bewarna merah. Akan tetapi, bagian
rumpun padi yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri tidak bewarna hijau,
melainkan bewarna cokelat yang lebih dekat dengan warna merah. Indeks yang
dapat mengantisipasi ini, serta yang digunakan dalam penelitian ini, ialah indeks
kehijauan-kecerahan yang dikembangkan oleh Kirk et al. (2009). Indeks ini,
selain memperhatikan nilai kehijauan tanaman, juga memperhatikan tingkat
kecerahan tanaman yang lebih tinggi dibanding tanah. Hal ini membuat bagian
tanaman yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri dapat terpisahkan dengan
tanah.
Setelah tanaman tersegmentasi, pemisahan antara tanaman sehat dan
terinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan algoritme
yang
diimplementasikan pada level daun, seperti pada penelitian Powbunthorn et al.
(2012), Patil dan Bodhe (2011), dan Sannaki et al. (2011). Pada penelitian ini,
algoritme yang digunakan untuk memisahkan tanaman yang sehat dan tanaman
terinfeksi ialah algoritme Chaudhary et al. (2012), yang memisahkan kedua objek
berdasarkan nilai komponen A pada ruang warna CIELab. Hal ini menjadi
mungkin karena komponen A menggambarkan warna citra dari hijau ke merah.
Karena tanaman yang sehat bewarna hijau dan tanaman terinfeksi bewarna merah,
komponen A dapat digunakan untuk memisahkan keduanya dengan mudah.
7
Dimensi Fraktal
Mandelbrot (1968) menyatakan bahwa banyak objek di alam memiliki sifat
seperti fraktal, yaitu self similarity dan kompleksitas yang tinggi. Nilai
kompleksitas tersebut, yang biasa dinyatakan dengan dimensi fraktal, dapat
diambil dari setiap objek yang ada di alam dan menjadi nilai yang
mendeskripsikan suatu objek alami (Pentland 1984). Bruno et al. (2008)
memberikan ilustrasi berikut mengenai dimensi fraktal: “…titik memiliki dimensi
nol, garis lurus memiliki dimensi satu, bidang memiliki dimensi 2, dan bangun
ruang memiliki dimensi tiga. Pada geometri fraktal, objek memiliki dimensi di
antara dimensi-dimensi tadi.”
Menurut Pentland (1984), dimensi fraktal tidak dipengaruhi oleh distorsi
akibat proyeksi dan dapat menyediakan informasi mengenai anisotropy dan
memperkirakan gradien dari tekstur permukaan objek. Terdapat beberapa metode
untuk mengestimasi nilai dimensi fraktal, seperti Bouligand-Minkowski,
brownian motion, box-counting, multifractal spectrum, lacunarity measure,
regularization dimension, dan variation dimension.
Dimensi fraktal telah digunakan untuk mencirikan daun berdasarkan
kompleksitas dan bentuknya (Borkowski 1999) dan identifikasi jenis kanker paruparu (Uppaluri et al. 1999; Floyd et al. 1996). Akan tetapi, dimensi fraktal hanya
terdiri atas satu buah nilai sehingga dimensi fraktal menjadi kurang handal untuk
mencirikan suatu objek. Sebagai contoh, Gambar 4 menunjukkan dua buah objek
yang bentuknya berbeda namun memiliki dimensi fraktal yang persis sama.
Gambar 4 Contoh dua buah objek berbeda yang memiliki nilai dimensi fraktal
yang sama.
Untuk mengatasi hal tersebut, dimensi fraktal kemudian diperluas menjadi
deskriptor fraktal yang memuat sekumpulan nilai yang diambil dari proses
penghitungan dimensi fraktal untuk menjadi penciri sebuah citra. Bruno et al.
(2008) menyatakan bahwa deskriptor fraktal dapat digunakan untuk mencirikan
karakteristik citra yang utama, seperti tekstur, kontur, dan bentuk. Deskriptor
fraktal dilakukan dengan menghitung nilai dimensi fraktal dalam berbagai skala
pengamatan yang berbeda.
8
Deskriptor Fraktal Berdasarkan Spektrum Fourier untuk Analisis Tekstur
Florindo dan Bruno (2012) mengajukan sebuah metode untuk
mengaplikasikan deskriptor fraktal pada analisis tekstur. Nilai dimensi fraktal
pada metode ini diperoleh dengan mentransformasikan citra menggunakan
transformasi Fourier. Kemudian, power spectrum dari nilai magnitude
dibangkitkan dalam bentuk bilog. Ilustrasi proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Nilai dimensi fraktal diperoleh dari kemiringan power spectrum tersebut.
Gambar 5 Ilustrasi nilai dimensi fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Deskriptor fraktal diperoleh dengan melakukan operasi multiskala pada
power spectrum yang dihasilkan. Operasi multiskala yang digunakan ialah jenis
scale-space (Witkin 1984) yang dilakukan dengan cara mengonvolusikan power
spectrum dengan jendela Gaussian dengan N lebar jendela yang berbeda. Proses
ini menghasilkan N spektrum baru. Nilai dimensi fraktal dari setiap N spektrum
tersebut kemudian dihitung dan dikumpulkan menjadi nilai deskriptor fraktal yang
digunakan untuk mencirikan citra masukan. Ilustrasi proses ini disajikan pada
Gambar 6. Penggunaan operasi multiskala memungkinkan deskripsi kompleksitas
pola yang lebih kaya dibandingkan dengan menggunakan nilai dimensi fraktal
(Florindo dan Bruno 2012).
Gambar 6 Ilustrasi nilai deskriptor fraktal berdasarkan spektrum Fourier.
Probabilistic Neural Network
Probabilistic neural network (PNN) merupakan sebuah classifier
nonparametrik yang didasarkan pada jendela Parzen. Kepekatan peluang
masuknya sebuah data ke dalam setiap kategori dihitung dan data tersebut
9
diklasifikasikan ke dalam kelas dengan nilai posterior tertinggi (Duda et al. 2000).
Algoritme pelatihan dan kelasifikasi dengan menggunakan PNN dapat dilihat
pada Algoritme 1 dan Algoritme 2.
PNN menghilangkan kekurangan classifier seperti propagasi balik yang
membutuhkan pengaturan parameter untuk memperbaiki performa secara bertahap
(Specht 1990). Beberapa kelebihan PNN ialah batas kelas yang dapat dibuat
kompleks tergantung pada nilai parameter pemulus, batas kelas yang dapat
mendekati nilai Bayes yang optimal, tidak sensitif terhadap outlier, serta sampel
yang sparse cukup untuk mendapatkan performa yang baik. PNN bekerja lebih
cepat daripada jaringan saraf tiruan propagasi balik, bahkan hingga 200,000 kali
lebih cepat (Specht 1990) karena proses pelatihan hanya terdiri atas 1 ulangan.
Salah satu penelitian yang menggunakan PNN untuk mengklasifikasikan penyakit
ialah Wang et al. (2012) yang mencapai akurasi sebesar 95%.
1
2
3
4
5
6
7
Algoritme 1: Pelatihan PNN (Duda et al. 2000)
begin initialize j = 0, n = #patterns
do j j + 1
)1/2
normalize: xjk xjk / (∑
train: wjk xjk
if x ∈ wi then aic 1
until j = n
End
1
2
3
4
5
6
7
Algoritme 2: Klasifikasi PNN (Duda et al. 2000)
begin initialize k = 0, x = test pattern
do k k + 1
zk
if akc = 1 then gc gc + exp[(zk – 1)/ σ2]
until k = n
return class arg max gi(x)
End
PNN memiliki struktur yang terdiri atas empat lapisan. Keempat lapisan
tersebut ialah lapisan masukan (input layer), lapisan pola (pattern layer), lapisan
penjumlahan (summation layer), dan lapisan luaran (output layer). Salah satu
contoh struktur PNN dapat dilihat pada Gambar 7 (Wu et al. 2007).
Lapisan masukan merupakan nilai yang kelasnya akan diprediksi. Pada
lapisan pola, nilai dot product antara masukan dan bobot xit, (Zi = x.xit,) dilakukan
dan hasilnya dibagi dengan besarnya bias. Nilai ini kemudian dimasukkan dalam
fungsi radial basis radbas(n) = exp(-n). Proses ini dapat dituliskan sebagai berikut,
dengan xit adalah vektor kelas latih ke-i dengan orde t:
æ
f ( x ) = exp çç è
(x -
xit )
2s
T
(x 2
xit ) ö
÷
÷
ø
Pada lapisan penjumlahan, setiap pola di setiap kelas dijumlahkan untuk
menghasilkan fungsi kepekatan populasi (population density function) untuk kelas
tersebut. Persamaan yang digunakan pada lapisan ini adalah sebagai berikut,
10
Gambar 7 Struktur PNN
dengan xAi merupakan vektor latih kelas A ke-i, k adalah dimensi vektor, dan σ
adalah parameter pemulus.
t
æ
p ( x) =
å exp çç k
k i=1
è
( 2p ) 2 s t
1
(x -
x Ai )
2s
T
(x 2
x Ai ) ö
÷
÷
ø
Nilai σ adalah parameter pemulus yang menentukan besarnya interpolasi
antara data yang ada. Semakin besar nilai σ, semakin tinggi derajat interpolasi
yang terjadi. Parameter ini adalah satu-satunya parameter yang harus diatur pada
PNN. Akan tetapi, Specht (1990) memperlihatkan bahwa perbedaan nilai σ yang
dipilih tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap akurasi yang dihasilkan.
Terakhir, pada lapisan keluaran, masukan x akan diklasifikasikan ke dalam
kelas Y jika nilai py(x) lebih besar dibanding kelas lainnya.
Pemisahan Area Daun Tanaman dengan Tanah
Dalam pengolahan citra yang berhubungan dengan pertanian, pemisahan
komponen-komponen seperti tanah dan tanaman menjadi hal yang penting untuk
dilakukan. Beberapa cara untuk memisahkan tanaman dengan tanah telah
dilakukan, misalnya dengan menggunakan indeks spektrum tampak seperti excess
green (ExG; Ribeiro et al. 2005), excess red (ExR; Meyer et al. 1998), colour
index of vegetation extraction (CIVE; Kataoka et al. 2003), ExG – ExR (ExGR;
Neto 1994), dan indeks vegetaitf (VEG; Hague et al. 2006). Berbeda dengan
indeks-indeks tersebut yang hanya mempertimbangkan rasio warna, Kirk et al.
11
Gambar 8 Ilustrasi proses segmentasi tanaman dengan menggunakan
algoritme Kirk et al. (2009). Gambar kiri atas merupakan citra
daun. Gambar kanan atas merupakan histogram dari indeks d pada
citra. Gambar bawah adalah hasil segmentasi terhadap citra. Bagian
bewarna hitam adalah daun.
(2009) mengombinasikan rasio warna hijau-merah (g) dan kecerahan warna piksel
(L) untuk menghasilkan sebuah metode yang dapat memisahkan tanaman dari
tanah dalam kondisi terik yang sering ditemukan di pertanaman padi.
Nilai rasio hijau-merah (g) dikonversi dalam skala log dengan menggunakan
formula g = log (G/R + 1) dengan nilai G adalah nilai hijau piksel dan R adalah
nilai merah piksel. Nilai kecerahan warna piksel (L) dihitung dengan
menggunakan formula L = log (G + 1) – log ̅ , dengan ̅ merupakan rata-rata
nilai intensitas warna hijau pada gambar. Kedua nilai tersebut kemudian
digabungkan dengan melakukan proyeksi menggunakan formula d = cos (α)g +
sin(α)L. Nilai sudut rotasi α lebih besar daripada 0. Nilai α yang dicari adalah nilai
α yang mampu memberikan pemisahan terbaik pada dataset yang digunakan.
Setelah itu, pemisahan antara tanaman dengan tanah dilakukan dengan mengg
unakan threshold Otsu pada indeks d yang telah dihitung sebelumnya. Proses ini
digambarkan pada Gambar 8. Dapat dilihat bahwa bagian bayangan yang ada
pada foto daun dan bagian daun yang bewarna terang akibat pantulan cahaya
matahari tersegmentasi sebagai daun.
Segmentasi Bercak Penyakit
Salah satu teknik segmentasi bercak penyakit dikembangkan oleh
Chaudhary et al. (2012). Pertama, ruang warna citra daun diubah dari RGB ke
CIELab. Kemudian proses pemulusan citra dengan menggunakan filter median
dilakukan. Setelah itu, dilakukan threshold Otsu pada komponen A citra tersebut.
Gambar 9 memperlihatkan proses segmentasi titik penyakit pada daun tanaman
padi yang terkena penyakit blas.
12
Gambar 9 Contoh proses segmentasi titik penyakit blas. Gambar (a)
merupakan citra penyakit yang akan dideteksi, (b) adalah titik
penyakit yang disegmentasi, dan (c) adalah hasil overlay antara
citra (a) dan (b).
Confusion Matrix
Confusion matrix digunakan untuk memperlihatkan persebaran galat pada
seluruh seluruh kelas yang digunakan pada sebuah proses klasifikasi (Kuncheva
2004). Contoh confusion matrix dapat dilihat pada Tabel 2. Akurasi proses
klasifikasi dapat diestimasi dengan menghitung jumlah data yang terklasifikasi
dengan benar dibagi dengan jumlah data seluruhnya. Confusion matrix dapat
memperlihatkan informasi lainnya seperti kelas yang sering salah diklasifikasi.
Pada Tabel 2, terlihat bahwa banyak data kelas A yang salah diklasifikasi dengan
kelas C dan sebaliknya.
Tabel 2 Contoh confusion matrix yang menampilkan akurasi
proses klasifikasi yang melibatkan 30 data dari tiga
kelas (A, B, dan C)
Kelas Aktual
A
B
C
A
Kelas Prediksi
B
4
0
0
10
6
0
C
6
0
4
13
K-Fold Cross Validation
K-fold cross validation (rotation estimation) membagi dataset D ke dalam K
bagian dengan ukuran yang sama. Metode yang diuji dijalankan sebanyak K kali,
masing-masing dengan menggunakan salah satu bagian sebagian data uji dan
bagian sisanya sebagai data latih (Kohavi 1995).
3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali oleh tahap akuisisi citra yang hasilnya digunakan
dalam dua kegiatan, yaitu identifikasi penyakit padi dan pengukuran keparahan
penyakit. Langkah-langkah dari kedua kegiatan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 8.
Akuisisi Data
Penelitian ini membutuhkan dua jenis citra, yaitu citra daun yang
menunjukkan bercak penyakit serta citra rumpun padi yang terinfeksi penyakit
hawar daun bakteri. Pengambilan data primer dilakukan. Citra diambil di
persawahan padi yang ada di Karawang, Subang, dan Indramayu dengan jadwal
seperti pada bulan Juli 2013. Kamera yang digunakan ialah Nikon Coolplus
AW100, Canon EOS 60D, Nikon D70, and Canon EOS 600D dengan
menggunakan kondisi pencahayaan natural. Apabila penyakit target tidak
ditemukan di lapangan, pengambilan data di lokasi lain akan dilakukan. Data yang
diambil difokuskan pada tanaman padi yang berada pada fase pengisian.
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Praproses Citra
Pada tahap ini, citra daun yang terkena penyakit dipotong secara manual.
Apabila citra kurang kontras, operasi histogram equalization dilakukan. Terakhir,
citra dikonversi dalam format hue-saturation-value (HSV).
Ekstraksi Fitur Deskriptor Fraktal
Deskriptor fraktal dari spektrum Fourier citra (Florindo dan Bruno 2012).
Lebar jendela (N) Gaussian yang digunakan pada penelitian ini ialah dari 1 sampai
128.
Klasifikasi dengan PNN
Deskriptor fraktal kemudian digunakan sebagai penciri pada proses
klasifikasi penyakit dengan menggunakan PNN (Duda et al. 2000). Data latih dan
data uji dibagi secara acak dengan menggunakan 5-fold cross validation. Hasil
proses pengujian kemudian disajikan dalam bentuk confusion matrix untuk
analisis selanjutnya.
14
Gambar 10 Alur kerja penelitian
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
Praproses Citra
Citra yang digunakan pada percobaan ini adalah citra rumpun padi yang
diambil dari atas. Karena padi biasanya ditanam dengan jarak tanam 20-30 cm,
sebagian besar gambar yang diambil mengandung lebih dari satu rumpun padi.
Daun dari rumpun tersebut saling tumpang tindih sehingga citra yang murni
terdiri atas daun dari satu rumpun saja sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu, pada
penelitian ini, citra dipotong sehingga citra hanya memuat tepat satu pusat rumpun
secara penuh (Gambar 11).
Gambar 11 Proses pemotongan gambar (crop) secara manual sehingga citra yang
digunakan hanya terdiri atas satu pusat rumpun
Pemisahan Tanah dan Daun
Tanah yang tidak dilibatkan dari proses pengukuran keparahan penyakit
harus dipisahkan dari bagian daun pada citra rumpun. Penelitian ini menggunakan
indeks kehijauan-kecerahan (d) (Kirk et al. 2009) yang memperhatikan kecerahan
15
tanaman sehingga tanaman yang tidak murni bewarna hijau tetap terdeteksi
sebagai tanaman. Hal ini berbeda dengan indeks lain seperti ExG, ExR, dan ExGR
yang hanya mampu memisahkan tanaman bewarna hijau. Nilai indeks d antara
tanah dan tanaman memiliki perbedaan yang cukup jelas dapat dipisahkan dengan
mudah (Gambar 12).
Gambar 12 Histogram nilai indeks d untuk sampel citra rumpun
Indeks d diperoleh dengan menggabungkan nilai kehijauan dan kecerahan
pada setiap piksel citra. Nilai kehijauan (g) diperoleh dengan menggunakan
formula:
g = log (G/R + 1)
Bagian tanaman memiliki nilai kehijauan yang tinggi karena memiliki warna hijau
(G) yang lebih besar dibanding warna merah (R). Sebaliknya, tanah memiliki nilai
kehijauan yang rendah karena nilai R tanah lebih besar. Akan tetapi, bagian
tanaman yang sakit dan bulir padi yang cenderung bewarna cokelat belum dapat
dipisahkan. Kedua bagian tadi dapat diambil dengan menggunakan komponen
kedua, yaitu kecerahan (L):
L = log (G + 1) – log ̅ , ̅ : nilai rata-rata warna hijau pada citra
Tanaman yang berada lebih dekat dengan cahaya matahari memiliki nilai L
yang lebih tinggi, sedangkan tanah yang berada lebih jauh dari cahaya matahari
memiliki nilai L yang lebih rendah. Nilai indeks akhir diperoleh dengan
menggabungkan kedua nilai tersebut dengan formula:
d = cos (α)g + sin(α)L
Nilai α yang dipilih adalah nilai yang dapat memisahkan tanah dengan baik.
Pada penelitian ini, nilai α diset sebesar 60 derajat sehingga bobot untuk
komponen kecerahan lebih besar dibanding bobot komponen kehijauan. Hal ini
dikarenakan bagian yang terinfeksi lebih mudah dikenali berdasarkan komponen
kecerahan dibanding kehijauan. Setelah itu, dilakukan proses thresholding dengan
menggunakan algoritme Otsu (1975). Ilustrasi proses pemisahan tanah dan
tanaman dapat dilihat pada Gambar 13.
16
Gambar 13 Proses pemisahan tanah dan daun menggunakan indeks kehijauankecerahan (greenness-lightness index)
Pemisahan Bagian Daun Terinfeksi dan Sehat
Bagian daun terinfeksi dan sehat dipisahkan dengan algoritme Chaudhary et
al. (2012). Ruang warna citra diubah dari RGB ke CIELab, kemudian proses
pemulusan citra dengan menggunakan filter median dilakukan. Setelah itu,
dilakukan threshold Otsu pada komponen A citra tersebut, yang memuat
informasi warna citra dari hijau ke merah. Tanaman yang sehat tampak lebih hijau,
sedangkan tanaman yang sakit tampak lebih merah, membuat keduanya mudah
dipisahkan dengan menggunakan komponen warna ini. Menurut Chaudhary et al.
(2012), teknik ini tidak terpengaruh oleh jenis tanaman, jenis bercak tanaman, dan
kamera yang digunakan.
Penghitungan Rasio Daun Terinfeksi
Setelah bagian rumpun dan daun yang sakit diperoleh, proporsi (I) luas daun
terinfeksi terhadap luas area seluruh tanaman dapat dihitung dengan menggunakan
formula berikut:
=
P
P + PS
I = Rasio daun terinfeksi pada citra rumpun
PI = Banyaknya bagian daun yang terinfeksi pada citra rumpun (dalam piksel)
PS = Banyaknya bagian daun yang sehat pada citra rumpun (dalam piksel)
Pengembangan Model Pengukuran Serangan
Berdasarkan rasio daun terinfeksi, citra rumpun diklasifikasikan dalam
empat kategori serangan, yaitu sehat, ringan, sedang, dan berat. Klasifikasi
dilakukan oleh Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dari Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasil klasifikasi dan rasio
daun terinfeksi yang dihitung oleh sistem akan digunakan untuk membuat selang
yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan serangan penyakit berdasarkan
rasio daun terinfeksi.
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Akuisisi Data
Akuisisi data telah dilakukan di tiga daerah penghasil padi di Karawang,
Subang, dan Indramayu pada bulan Juli 2013. Akan tetapi, pada saat pengambilan,
kemunculan penyakit tungro dan blas tidak terlalu banyak sehingga data yang
diperoleh masih kurang. Oleh karena itu, dilakukan pengambilan data kembali
pada bulan Agustus 2013 di daerah Pasir Muncang, Bogor. Pengambilan data
terakhir dilakukan pada Januari 2014 di daerah Situgede, Bogor, untuk
melengkapi data citra tanaman yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri.
Lokasi pengambilan data dan jadwal lengkap pengambilan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jadwal realisasi pengambilan data di lapangan
Lokasi
Desa Suka Makmur, Karawang
Kecamatan Binong, Subang
Kecamatan Patrol, Indramayu
Pasir Muncang, Bogor
Desa Situgede, Bogor
Waktu Pengambilan Data
20 Juli 2013
20 Juli 2013
21 Juli 2013
25 Agustus 2013
2 Januari 2014
Pengambilan data yang dilakukan menghasilkan sebanyak 100 citra bercek
ceokelat, 200 citra hawar daun bakteri, 200 citra tungro, 250 citra blas, dan 500
citra kerusakan rumpun. Jenis citra pertama yang berupa citra daun yang terkena
penyakit (Gambar 14) digunakan pada proses identifikasi penyakit, sedangkan
jenis citra kedua yang berupa citra rumpun yang terinfeksi penyakit hawar daun
bakteri (Gambar 15) digunakan pada proses pengukuran keparahan penyakit.
Gambar 14 Contoh citra penyakit yang diambil di lapangan
18
Gambar 15 Contoh citra rumpun yang diambil di lapangan
Klasifikasi Jenis Penyakit Tanaman Padi
Penyakit yang menyerang di data primer kemudian diidentifikasi oleh Dr Ir
Kikin Hamzah Mutaqin, MSc dari Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor. Setelah diidentifikasi, sebanyak 100 potongan citra daun untuk
setiap kelas penyakit diambil untuk dijadikan sebagai dataset percobaan.
Pemotongan dilakukan secara manual. Karena tidak seragamnya kondisi cahaya
pada pengambilan gambar, proses ekualisasi histogram adaptif (Pizer et al. 1990)
dilakukan pada setiap citra. Setelah seluruh citra siap, proses ekstraksi fitur dan
klasifikasi dapat dilakukan. Daftar seluruh citra yang digunakan dapat dilihat pada
Lampiran 1 – Lampiran 4.
Bercak Cokelat
Hawar Daun
Bakteri
Blas
Tungro
Gambar 16 Contoh citra potongan daun terinfeksi pada setiap kelas penyakit
Klasifikasi jenis penyakit tanaman padi dengan citra daun yang terinfeksi
telah dilakukan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Akurasi total yang
diperoleh ialah sebesar 81.25%. Akurasi untuk tungro sebesar 95.00%, kemudian
leaf blast 86.00%, hawar daun bakteri sebesar 78.00%, dan bercak cokelat sebesar
66.00%.
Akurasi bercak cokelat dan hawar daun bakteri yang masih di bawah
80.00% disebabkan oleh banyaknya sampel citra yang memiliki penampakan
mirip. Beberapa sampel citra daun terinfeksi bercak cokelat dapat dilihat pada
Gambar 17. Menurut pakar, penampakan bercak cokelat seperti ini dapat terjadi
karena ada satu atau lebih bercak yang posisinya berdekatan. Kemungkinan
19
lainnya ialah serangan penyakit yang sudah cukup parah sehingga menyebabkan
bagian daun menjadi mengering dan berwarna cokelat muda.
Kelas
Aktual
Tabel 4 Confusion matrix untuk klasifikasi jenis penyakit tanaman padi
Bercak Cokelat
Hawar Daun Bakteri
Blas
Tungro
Bercak
Cokelat
66
17
4
2
Kelas Prediksi
Hawar Daun
Blas
Bakteri
27
6
78
5
6
86
0
3
Tungro
1
0
4
95
Gambar 17 Contoh citra bercak cokelat yang salah diklasifikasi sebagai hawar
daun bakteri
Pada beberapa sampel citra daun yang terkena penyakit hawar daun bakteri,
terdapat bintik-bintik cokelat kecil yang mirip seperti bercak cokelat (Gambar 18
Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai bercak cokelat).
Menurut pakar, hal ini dimungkinkan oleh adanya infeksi ganda pada rumpun,
dalam hal ini, tanaman terkena bercak cokelat dan hawar daun bakteri. Kedua hal
tersebut menyebabkan nilai deskriptor fraktal dari kedua kelas tersebut mirip,
sepertinya yang ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 18 Contoh citra hawar daun bakteri yang salah diklasifikasi sebagai
bercak cokelat
Gambar 19 Nilai rata-rata deskriptor fraktal untuk setiap kelas penyakit.
20
Akurasi akhir yang diperoleh lebih rendah dibanding penelitian Kholis et al.
(2013) yang menggunakan citra satu bercak penyakit dari keempat penyakit utama
di Indonesia dan berhasil memperoleh akurasi masing-masing 91.46%. Pada
kedua penelitian tersebut, kelas bercak cokelat dan hawar daun bakteri
memperoleh akurasi di atas 92.00%, lebih tinggi dibanding hasil penelitian ini.
Hal ini dimungkinkan karena penelitian ini memperbesar area sampel pada
permukaan daun sehingga variasi yang diperoleh lebih banyak, misalnya dengan
adanya daerah kering yang timbul akibat adanya dua atau lebih bercak cokelat
yang berdekatan dan adanya infeksi ganda. Untuk mengatasi kendala ini, fitur lain
seperti bentuk, posisi, dan ukuran bercak yang mencirikan penyakit (Syam et al.
2011; IRRI 2012) dapat digunakan pada penelitian selanjutnya.
Pengukuran Tingkat Keparahan Penyakit Tanaman Padi
Sebanyak 72 citra rumpun padi yang terinfeksi penyakit hawar daun bakteri
digunakan dalam percobaan ini. Dari 72 citra yang digunakan, pakar mengukur
bahwa sebanyak 15 citra masuk dalam kategori sehat. Selanjutnya, 21 citra
terkena serangan ringan, 21 citra terkena