Muhammad kukuh adiguna

(1)

i

POTRET MEGAMIND DALAM

BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD

(Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind)

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat

Magister

Program Pendidikan Magister Ilmu Komunikasi

Bidang Kajian Utama Manajemen Komunikasi

Oleh:

Muhammad Kukuh Adiguna

S231108016

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

commit to user


(2)

ii commit to user


(3)

iii commit to user


(4)

iv PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis yang berjudul: POTRET MEGAMIND DALAM BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD (Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind) ini adalah karya penelitian saya sendiridan bebas plagiat , serta tidak terdapat karya ilrniah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk rnernperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagaim acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan (Permendiknas No 17, tahun 2010)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 24 September 2014


(5)

v HALAMAN MOTTO

Keikhlasan adalah bukti kesabaran yg sejati. Ketika apa yang

kamu inginkan belum tercapai, Tuhan sedang

memberitahumu untuk berusaha lebih lagi!

Kesuksesan bukanlah segalanya, kegagalan hanya proses

semata, berbuat yang terbaik adalah yang terutama


(6)

vi KATA PENGANTAR

Segala karya manusia berada di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa dan hanya oleh berkah dan anugerah-Nya pula segala proses penciptaan karya tulis ini dapat berlangsung. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas terlaksananya sebuah tanggung jawab akademik sebagai prasyarat dalam menunaikan pendidikan program pasaca sarjana (S2) dalam lingkup Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Seiring dengan langkah dan waktu serta tahapan yang telah ditempuh di bawah bimbingan Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D dan Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D, akhirnya karya ini telah sampai pada proses pelaporan akhir. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing atas pendampingan dan tuntunan yang telah diberikan. Selain itu masih banyak pihak lain yang sudah terlibat dalam membantu proses penyusunan karya ini, maka penulis mengucapkan terimakasih pula kepada ;

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun tesis ini.

2. Ketua Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan izin serta persetujuan hingga penelitian ini bisa diuji.

3. Seluruh Dosen dan Staf Bagian Pengajaran Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu ketika saya menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret. commit to user


(7)

vii 4. Kedua orangtua saya dan seluruh keluarga besar lainnya yang telah berjasa dalam memberikan dukungan moril dan doa sehingga memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh mahasiswa Pasaca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2011 atas pertemanannya selama ini, serta saran-saran akademik yang sangat membantu dalam proses penelitian ini.

6. Serta semua sahabat, teman dan keluarga yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih telah berkontribusi dalam mendukung dan membantu ketika membuat tesis ini.

Karya ini masih jauh dari tahap sempurna, penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam hal penulisan maupun penyajiannya. Semoga karya yang sederhana ini mampu menjadi setitik sinar yang berguna bagi penelitian-penelitian atau kajian semiotika di masa mendatang.

Solo, 24 September 2014

Penulis

Muhammad Kukuh Adiguna


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...i

HALAMAN PENGESAHAN……….…..ii

HALAMAN PERNYATAAN ...iii

HALAMAN MOTTO ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

ABSTRAK ...x

ABSTRACT ...xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ...10

1.3. Tujuan Penelitian ………...11

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa………..….…..13

2.2 Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film……….……...15 2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero………...…18

2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas………..………22

2.3.2. Representasi Perilaku Seorang Hero………..……27


(9)

ix

2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero...34

2.4. Penelitian Terdahulu……….………...41

2.5. Kerangka Pemikiran……….….……...…42

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian……….….………..44

3.2. Pengumpulan Data……….…….……….48

3.3. Analisis Data……….….………..49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Obyek Penelitian 4.1.1. Sinopsis Film……….…..…...53

4.1.2. Data Film Megamind……….….……57

4.1.3. Tokoh-Tokoh Dalam Film Megamind……….…….…….60

4.1.4. Profil Produsen Film………..……....62

4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Representasi Megamind Berdasarkan Maskulinitas…….…....67

a. Nilai Maskulinitas Megamind……….………...67

b. Heroisme Pria Dalam Bias Gender……….……...79

c. Analisis Mitos……….………..87

4.2.2. Representasi Megamind Berdasarkan Perilaku Individual…...95

a. Perilaku Positif Megamind……….……...95

b. Perilaku Negatif Megamind……….………...102

c. Proses Pembentukan Perilaku Megamind……….…...114

d. Analisis Mitos………...….127


(10)

x

4.2.3. Representasi Megamind Berdasarkan Latar Belakang Sosial....140

a. Prasangka Sosial Terhadap Megamind………….…...………....141

b. Gaya Hidup Megamind………...153

c. Analisis Mitos……….………164

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...178

5.2. Implikasi………...183

5.3 Saran ...184

DAFTAR PUSTAKA ...186 LAMPIRAN


(11)

xi ABSTRAK

ABSTRAK Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Potret Megamind Dalam Bingkai Heroisme Film Hollywood (Analisis Semiologi Representasi Hero

Dalam Film Megamind). TESIS. Pembimbing I : Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Pembimbing II : Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Pada dasarnya film laga merupakan film yang berorientasi mengenai seorang tokoh utama (hero) ketika menghadapi kejahatan, oleh karenanya film bergenre ini banyak memuat pesan tentang heroisme. Namun sebenarnya industri film Hollywood telah merekontruksi gagasan mengenai heroisme sehingga muncul berbagai streotipe mengenai seorang hero. Sedangkan dalam film Megamind seorang hero direpresentasikan oleh pembuat film secara unik sehingga berbeda dengan para hero pada umumnya. Oleh karena itu untuk mendeskripsikan keunikan pesan yang dibuat dalam film Megamind, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa representasi seorang hero didalam film ini.

Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiologi model Roland Barthes. Semiologi Model Roland Barthes bekerja dengan menggunakan dua tahap signikasi, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Data dalam film ini diperoleh secara langsung dengan mengamati film Megamind serta mencari refrensi dari berbagai tulisan artikel, buku, internet dan lainnya.Sedangkan hasil data penelitian ini diperoleh berdasarkan pemilihan scene pada film yang berkaitan dengan nilai-nilai heroisme. Adapun nilai heroisme dalam film ini dikaji dengan merujuk pada unsur-unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang yang direpresentasikan oleh seorang hero.

Temuan penelitian yang diperoleh dari scene yang ada di dalam film Megamind menunjukkan beberapa konsep yang digunakan oleh pembuat film untuk merepesentasikan Megamind sebagai seorang hero. Konsep-konsep yang digunakan oleh pembuat film memperlihatkan bagaimana kompleksitas Megamind sebagai seorang hero jika dilihat berdasarkan unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang sosial. Meskipun tokoh utama dalam film ini direpresentasikan secara kompleks dan berbeda, akan tetapi ia masih memiliki sedikit persamaan dengan hero pada umumnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika karakter hero dalam film ini direpresentasikan secara berbeda namun masih mempertahankan beberapa esensi heroisme versi Hollywood.

Kata Kunci: Heroisme, Latar Belakang Sosial, Maskulinitas, Perilaku, Representasi


(12)

xii ABSTRACT

Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Images Megamind in Hollywood Movie Frames (Analysis Semiology of Hero Representation In Megamind Movie). THESIS. Academic Advisor I: Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Academic Advisor II: Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Magisterial Program Study of Communication, Post-Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.

Basically the action movie is a film that is oriented about a main character (hero) when dealing with crime, so that genre contains many messages about heroism. But actually the Hollywood industry has reconstructed the idea of heroism that emerged various streotype about a hero. While a hero in the Megamind movie represented by filmmaker so uniquely different from the hero in general. Therefore, to describe the uniqueness of the message that is made in the Megamind movie, this research is intended to to analyze the representation of a hero in this movie.

This study includes a qualitative descriptive study analysis approach models semiology of Roland Barthes. Roland Barthes semiology model works by using two stages of significance, namely the meaning of denotation and connotations. Data in this movis is obtained directly by observing the Megamind movie and seek references from various writing articles, books, internet and others. While the results of this research data obtained by the selection of scenes in the movie are related to the values of heroism. The value of heroism in this movie studied with reference to the elements of masculinity, behavioral, and background represented by a hero.

Research results obtained from the scene in the movie Megamind demonstrate some of the concepts used by filmmakers to represent Megamind as a hero. The concepts used by the filmmakers show how the complexity of Megamind as a hero when viewed by the elements of masculinity, behavioral, and social background. Although the main character in this film represented a complex and different, but it still has little in common with the hero in general. Therefore it can be concluded if the hero character in the film is represented differently but still retain some essence of heroism Hollywood version.

Key words: Heroism, Social Background, Masculinity, Behavior, Representation


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film merupakan salah satu jenis media massa yang bersifat kompleks karena terdiri dari beberapa unsur, misalnya seni dan teknologi. Karena terdiri dari unsur seni maka membuat sebuah film bukanlah perkara yang mudah, dibutuhkan kreatifitas dari pembuatnya. Tetapi perlu diingat bahwa dalam memproduksi film tidak hanya sekedar kreatifitas saja yang dibutuhkan, masih diperlukan lagi faktor modal sebagai penentunya.

Dengan kebutuhan akan tenaga kerja kreatif dan modal besar muncullah Hollywood sebagai dominator dalam industi film. Hollywood sebenarnya adalah sebuah distrik di Amerika yang memiliki sejarah panjang dalam perfilman negeri Paman Sam, oleh karenanya tempat ini dijadikan simbol industri film Amerika. Satu hal yang pasti mengenai Hollywood adalah sepak terjangnya yang tidak perlu diragukan lagi dalam dunia perfilman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat di seluruh penjuru dunia yang menantikan film produksi Hollywood.

Fenomena kesuksesan Hollywood dapat dilihat dari sudut pandang Adi

(2008:XV) yang menuturkan bahwa, “para pembuat film di Hollywood

mengetahui apa yang ingin dilihat oleh penonton dalam karyanya itu, dengan tetap menjaga sisi artistik dan kualitas penggarapan. Hal ini mungkin dapat menjawab pertanyaan tentang mengapa film-film Amerika begitu disukai oleh penonton


(14)

2 Dominasi film Hollywood jelas terasa di Indonesia, hal ini telihat melalui kebiasaan masyarakat yang lebih memilih film Hollywood daripada film dari negeri sendiri. Berdasarkan survei oleh Direktorat Perfilman dan BPS, pada tahun 2011 menunjukkan jumlah penonton film di Indonesia lebih banyak menonton film impor (80,22%) dibandingkan film lokal (19,78%).

Film impor yang paling digemari berasal dari Amerika/Eropa (69,03 %), China/Hong Kong (6,72%), India (2,43%), dan lainnya (2,04%). Sejalan dengan hal itu, film yang paling banyak diputar di bioskop tanah air adalah film impor (71%) dengan rincian, film Amerika/Eropa 56,20%, China/Hong Kong 4,23 %, India 0,48%, dan lainnya 0,10%. Sedangkan film Indonesia mendapatkan jumlah pemutaran sebanyak 28,99% dari seluruh bioskop di Indonesia.

Menonton film Hollywood memang bukan suatu kesalahan, namun perlu diperhatikan bahwa film sejatinya adalah sebuah media massa yang memiliki efek-efek tertentu bagi penonton. Berdasarkan Nurudin (2010:228), efek media massa bisa berwujud tiga hal: efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan perasaan), dan behavioral (perubahan perilaku). Efek yang terjadi bagi tiap individu memang berbeda-beda, akan tetapi efek kognitif seringkali terjadi bagi individu yang menonton film.

Pada dasarnya, perubahan efek kognitif terjadi melalui sebuah proses transfer pemikiran dari pembuat film terhadap penonton. Untuk menunjang proses tersebut, seorang sutradara menggunakan pesan-pesan verbal maupun non-verbal melalui tanda/simbol yang dituangkan dalam sebuah film. Hal ini sesuai dengan commit to user


(15)

3 yang dikemukan oleh Van Zoest yang dikutip oleh Sobur (2001:128)bahwa “film dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.”

Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk teks (text). Istilah teks sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan, sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa yang melahirkan makna-makna. Makna inilah yang kemudian disebut representasi (Burton dalam Junaedi, 2007:64). Oleh sebab itu ketika membicarakan tanda/simbol maka kita tidak bisa mengesampingkan representasi, karena representasi merupakan bagian yang melekat dari simbol-simbol dalam suatu film. Dalam prakteknya, sineas-sineas Hollywood telah terbukti mampu memaksimalkan fungsi sebuah simbol dalam menyampaikan gagasannya, misalnya mengenai figur seorang hero. Saat ini sosok hero yang direpesentasikan Hollywood berada dalam posisi yang kuat dibenak penonton. Maka sebab itu tidak mengherankan jika film-film Hollywood sangat mempengaruhi pengetahuan para penonton di berbagai penjuru dunia mengenai figur seorang hero.

Dalam kamus Webster’s New World, hero didefiniskan sebagai: (1) seseorang yang dikagumi karena kualitas atau pencapaiannya dan dianggap sebagai model; (2) orang yang dikagumi karena keberaniannya, kebaikannya, atau kekuatannya, khususnya dalam perang; (3) figur sentral dalam suatu peristiwa atau periode penting, dihormati karena kualitas yang luar biasa. Tiga hal tersebut dapat menjadi kriteria untuk seorang commit to user hero. Tetapi demi kepentingan-kepentingan


(16)

4 tertentu Hollywood menambah kriteria-kriteria lain berdasarkan versi mereka untuk merepesentasikan hero. Secara spesifik Hollywood menggambarkan kriteria seorang hero melalui ciri-ciri tertentu misalnya warna kulit.

Berdasarakan Jiyantoro (2010: 130), film-film produksi Hollywood lebih sering menampilkan sosok hero adalah berkulit putih Amerika sedangkan penjahat berkulit hitam, Asia, Arab, dan Latin. Jadi film Hollywood mempunyai kekuatan untuk membentuk realitas bahwa hero adalah orang kulit putih dan penjahat adalah kulit hitam, Asia, Arab dan Latin, sehingga ras kulit putih memiliki superioritas dalam melawan penjahat.

Disamping warna kulit, Hollywood juga membentuk citra seorang hero

lewat aspek maskulinitas. Sosok hero seringkali ditampilkan berupa laki-laki muda, tampan, dan bertubuh atletis. Tubuh atletis seorang hero digambarkan seperti tinggi, berotot, dan memiliki perut sixpack. Hal ini didukung pernyataan Adi (2008:104), bahwa simbol hero dalam film-film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot, karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah.

Wibowo (2004:171) menggambarkan bahwa akar ”keperkasaan” laki-laki dapat dipulangkan dengan menengok tradisi Yunani kuno yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya kapitalistik barat modern. Unsur maskulinas dalam budaya Yunani ini, dikembangkan melalui perwujudan dewa dan tokoh mitos mereka yang tampan, commit to user


(17)

5

gagah, “berotot kawat dan bertulang besi”. Sebuah perwujudan yang kemudian

diterjemahkan oleh budaya Romawi melalui kegagahan kaisar Romawi yang memunculkan heroisme. Tak heran jika kemudian semangat heroisme ini juga dimunculkan dalam budaya kapitalistik modern, termasuk film.

Pada era 1980-an, Hollywood semakin memperkuat mitos tokoh hero

berotot yang ditandai dengan kehadiran Arnold Schwarzenegger, Sylvester Stalone, dan Jean Claude Van Damme. Kala itu, ketiganya tampil dominan dalam film box office Hollywood, dimana dalam setiap filmnya menampilkan bentuk tubuh bagian atas yang berotot dan berminyak. Sebagai pelengkap identitas maskulin, adegan-adegan dalam film dipenuhi aksi menantang maut, perkelahian, dan tembak menembak yang tiada henti dari awal hingga akhir film.

Contoh menarik adalah ketika Sylvester Stalone membintangi film Rambo yang menceritakan seorang tentara Amerika yang sedang berperang. Berbeda dengan tentara dalam dunia nyata yang mengenakan seragam, Rambo hanya memakai kaos tipis sehingga tubuh berotot Stalone terlihat dengan jelas. Tidak sebatas itu saja Rambo juga digambarkan sebagai sosok pemberani yang memiliki kemampuan bertarung yang handal seperti berkelahi dan menembak, kombinasi ini membuat Rambo sangat percaya diri ketika menghadapi marabahaya dan mampu mengalahkan puluhan bahkan ratusan musuhnya.

Kasus Rambo hanyalah satu diantara banyak kasus lainnya yang mempertegas bagaimana Hollywood membentuk citra maskulinitas hero pada periode 1980-an. Pada periode 1990-an sosok-sosok commit to user hero yang baru mulai


(18)

6 bermunculan, akibatnya di penghujung tahun 1990-an nama-nama seperti Arnold, Sylvester Stalone, dan Van Damme mulai tergusur, begitu pula nasib hero yang berotot mulai tergantikan dengan sosok hero yang baru.

Meskipun sosok Arnold dan Stalone mulai ditinggalkan, akan tetapi tahun 2000-an menjadi awal baru bagi kehadiran sosok hero berotot lainnya. Para sineas Hollywood kembali memutar otaknya agar sosok maskulin bisa kembali menjadi primadona, sebagai jawabannya mereka kemudian mengadaptasi sosok-sosok

hero dari dunia komik Amerika (Disney Studio, Marvel Comics, dan DC Comic) kedalam film-filmnya.

Jika melihat kebelakang, Hollywood sudah sering mengangkat cerita komik menjadi sebuah film, bahkan beberapa film terbilang sukses. Namun di periode 1990-an banyak film yang diadopsi dari cerita komik berakhir gagal seperti Spawn (1997) dan Batman and Robin (1997). Oleh karenanya di periode 2000-an Hollywood menggunakan berbagai cara agar strategi barunya sukses. Alhasil beberapa langkah diambil, misalnya penggunaan teknologi yang mukhtahir seperti CGI (Computer Integrated Imagery) dan penggarapan cerita yang lebih baik, hasilnya muncullah film X-Men di tahun 2000.

Film X-Men tidak saja mengusung cerita dan teknologi baru, tetapi juga menandai babak baru bagi mitos hero maskulin. Dalam film X-Men digambarkan bahwa tokoh utama, Wolverine (Hugh Jackman) adalah hero berkekuatan super yang pemberani dan memiliki tubuh besar berotot. Dengan menampilkan karakter berkekuatan super unik dan aksi yang mendebarkan, X-Men kemudian menjadi commit to user


(19)

7 film yang menuai pujian dan mampu menarik banyak penonton. Keberhasilan X-Men menunjukkan bahwa sekali lagi Hollywood berhasil membawa kemegahan maskulinitas seorang hero setelah era Stalone dan Arnold.

Pasca X-Men, Hollywood kembali menghadirkan sosok hero berkekuatan super lewat film Spiderman (2002). Film ini mengisahkan seorang pemuda bernama Peter Parker (Tobby Marguire) yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan super. Dengan kekuatannya itu tubuh Peter menjadi lebih berotot dan kuat, ia pun menjelma menjadi sosok yang pemberani dalam menghadapi siapa saja penjahat yang menghadangnya.

Film Spiderman menjadi puncak ksesuksesan tokoh-tokoh hero yang diangkat dari cerita komik, hal ini lantas mendorong studio film Hollywood untuk terus memproduksi cerita-cerita komik ke layar lebar. Selanjutnya semakin banyak tokoh komik yang menghiasi bioskop sebut saja Batman, Superman, Thor, Captain America, Fantastic Four, Iron Man, dan lain-lain. Setiap tokoh hero

memiliki ceritanya masing-masing, misalnya tentang mahkluk luar angkasa seperti Thor dan Super-Man, atau super hero yang lahir dari percobaan ilimiah seperti Captain America. Kekuatan dan keahlian yang dimiliki masing-masing

hero juga semakin beragam, inilah yang menjadi kunci kesuksesan Hollywood agar mampu menarik lebih banyak penonton.

Meskipun memiliki inti cerita yang berbeda-beda namun terdapat satu esensi yang sama dalam film-film seperti Spiderman dan X-Men, yaitu seorang


(20)

8 tersebut mengindikasikan bahwa sosok hero dari dunia komik tidak hanya berhasil membuat orang berbondong-bondong menonton bioskop, namun juga sukses membawa kembali hero maskulin berototnya menghiasai layar lebar.

Ditengah kesuksesan sosok-sosok hero berotot, Hollywood mulai berinovasi dengan menampilkan seorang hero dengan nuansa yang berbeda lewat film Megamind. Megamind adalah film animasi 3 dimensi bergenre comedy-action yang distutradarai oleh Tom McGrath. Film ini diproduksi DreamWorks Animation dan didistribusikan oleh Paramount Pictures. Pendapatan kotor film Megamind mencapai $ 321 juta dari jumlah anggaran $ 130 juta dan berhasil menduduki peringkat puncak box office selama dua minggu (5-18 November 2010) sejak pemutaran perdananya.

Terlepas dari keberhasilan finansialnya, film Megamind memiliki banyak sisi unik untuk dianalisa. Jika selama ini hero digambarkan sebagai laki-laki kuat dan berfisik menawan maka sosok Megamind sangat kontras. Megamind merupakan laki-laki lemah dengan tubuh sangat kurus, kulitnya biru pucat, dan memiliki ukuran kepala yang terlalu besar untuk tubuhnya. Selain bentuk fisiknya yang “tidak ideal”, kepribadian (personality) yang dimilikinya juga tidak mencerminkan seorang hero. Jika seorang hero ditampilkan sebagai orang bermental baja, pemberani, dan gemar menolong, maka Megamind justru sebaliknya, ia bersifat pengecut dan gemar berbuat onar.

Tidak sebatas bentuk fisik dan kepribadiannya saja yang digambarkan tidak ideal, kehidupan sosial Megamind juga jauh dari gambaran seorang commit to user hero.


(21)

9 Megamind adalah seorang anak yang dibesarkan dari penjara oleh para narapidana. Tumbuh bersama narapidana yang identik sebagai „sampah masyarakat‟ membuat Megamind dikucilkan oleh orang-orang disekitarnya. Bahkan ketika bersekolah Megamind harus mengenakan baju narapidana lengkap dengan borgol yang mengikat kaki dan tangannya.

Megamind sebenarnya sudah berusaha agar bisa diakui dan menarik perhatian orang disekitarnya dengan berbagai alat ciptaannya, namun malang baginya setiap alat buatannya justru berujung kekacauan. Kekacauan yang ditimbulkan Megamind sering membuat orang disekitarnya jengkel, akhirnya Megamind semakin dijauhi oleh teman dan gurunya ketika ia masih kecil. Hal yang dialami Megamind tentu jauh dari hingar bingar sosok hero seperti Spiderman dan Superman yang dipuja-puji oleh orang disekelilingnya.

Nasib Megamind yang dibesarkan dalam penjara tentu berbeda dengan kebanyakan hero yang diceritakan sebagai masyarakat golongan atas, ambil contoh Batman (Bruce Wayne) dan Iron Man (Tony Stark) yang merupakan milyuner kaya raya. Kehidupan sosial Megamind tentu berlawanan dari kebanyakan hero seperti yang dikatakan Devereux (2003: 124) bahwa, pahlawan-pahlawan dari Barat, biasanya berkulit putih dan berasal dari kelas menengah, selalu dikenal dalam peran seperti aktris, politisi atau bintang pop.

Gambaran mengenai Megamind yang berbeda jika dibandingkan dengan

hero pada umumnya sudah pasti menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sedangkan dibidang ilmu komunikasi, keunikan Megamind tersebut dapat diamati commit to user


(22)

10 berdasarkan isi pesan dalam film itu. Isi pesan dalam film Megamind dapat ditinjau dari simbol-simbol yang digunakan oleh pembuat film, alasan mengapa simbol-simbol tersebut dipilih, serta makna-makna yang tersirat dari simbol tersebut berdasarkan latar belakang sosial-budaya masyarakat dimana film Megamind dibuat.

1.2. Rumusan Masalah

Sejauh ini kita melihat seorang hero sebagai figur yang berperilaku lurus dan maskulin karena memiliki tubuh yang gagah, kuat dan berjiwa pemberani. Selain itu pada umumnya hero berasal dari kelas sosial yang bagus dan golongan kulit putih. Namun Megamind justru menampilkan sosok hero yang berbeda dari stereotipe hero yang terlihat selama ini. Megamind digambarkan memiliki banyak kekurangan, mulai dari perilakunya yang nakal, fisik tidak menawan dan lemah, hingga latar belakang sosial yang buruk dan bukan orang kulit putih.

Sosok Megamind yang berbeda dari gambaran hero selama ini kemudian akan memunculkan tanda tanya. Pertanyaan itu terletak pada simbol-simbol apa yang digunakan oleh pembuat film supaya sosok Megamind yang berbeda tersebut dapat diterima sebagai hero. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh sutradara (pembuat film) untuk memberikan pembenaran agar Megamind dapat diterima sebagai representasi seorang hero.


(23)

11 1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan masalah pada penelitian ini. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan simbol-simbol yang menjadi sumber pembenaran Megamind sebagai representasi seorang hero. Sedangkan secara lebih khusus tujuan penelitian meliputi beberapa hal sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh sutradara untuk merepresentasikan maskulinitas Megamind sebagai seorang hero.

b. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh sutradara untuk merepresentasikan perilaku Megamind sebagai seorang hero.

c. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh sutradara untuk merepresentasikan latar belakang Megamind sebagai seorang hero.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini akan memperkaya kajian teori-teori komunikasi, khususnya di bidang media massa seperti film. Sebagai tambahan, penelitian ini bisa menjadi referensi untuk penelitian lain yang serupa. Penelitian ini juga diharapkan mampu membantu bagi akademisi di bidang komunikasi untuk menganalisa pendekatan-pendekatan yang


(24)

12 dilakukan oleh industri Hollywood ketika membentuk suatu mitos kedalam film.

1.4.2. Manfaat Praktis

Ditengah kesuksesan film-film Hollywod di Indonesia, maka penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada insan perfilman di Indonesia mengenai cara kerja film Hollywood dalam membentuk citra seorang hero.

Secara tidak langsung, dengan mengamati film-film Hollywood dapat membantu para pelaku industri film Indonesia untuk memahami bagaimana realitas sosial masyarakat di Amerika Serikat dapat disukai oleh penonton di Indonesia. Selanjutnya diharapkan film-film Indonesia mampu mengadopsi berbagai gagasan-gagasan unik mengenai heroisme dalam film Hollywood.


(25)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner dalam Ardianto & Kumala (2004:3), yakni pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang. Sedangkan, Joseph Devito, mengemukakan definisi komunikasi massa ke dalam dua item. Pertama adalah komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual (Ardianto & Kumala, 2004:6).

Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan komunikasi melalu media massa perlu mengetahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu dalam komunikasi massa. Berdasarkan Ardianto & Kumala (2004:7-12) komunikasi massa diantaranya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Komunikator terlambangkan; (b) Pesan bersifat umum; (c) Komunikannya anonim dan heterogen; (d) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan; (e) Komunikasi mengutamakan isi ketimbang himbauan; (f) Komunikasi massa bersifat satu arah; (g) Stimulasi alat indra terbatas; dan (h) Umpan balik tertunda (delayed).

Adapun beberapa media komunikasi yang termasuk dalam media massa misalnya radio dan televisi (media elektronik), surat kabar dan majalah (media cetak), serta film. Sedangkan film yang termasuk kategori media komunikasi commit to user


(26)

14 massa adalah film bioskop. Film sendiri pada dasarnya merupakan salah satu media yang menggabungkan antara aspek audio dan visual, meskipun pada awal sejarahnya film tidak mengandung unsur audio (film bisu).

Karena terdiri dari aspek audio visual, film sekilas terlihat sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaannya adalah televisi cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Sedangkan film lebih memfokuskan pesannya pada satu inti atau tema cerita yang mencerminkan realita sosial di sekitar tempat film itu diciptakan.

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Namun menurut Turner, dalam perkembangan teori film mulai ada upaya dari beberapa teoritisi untuk mencapai perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni (film as arts), tetapi lebih dimaknai sebagai praktik sosial (Irawanto, 1999:11).

Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksebisi. Bahkan lebih luas lagi perspektif ini mengansumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. Perspektif praktik sosial commit to user


(27)

15 melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi di dalam masyarakat (Irawantoro, 1999:11).

Sementara menurut McQuail (1987:13), dalam lingkup komunikasi film berperan sebagai sebuah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan, serta menyajikan berita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya yang mengandung informasi kepada mayarakat umum. Dengan perannya dalam menyebarkan informasi maka film bisa menjadi agen sosialisasi mengenai penggambaran budaya dalam masyarakat.

Terkadang peran film sebagai agen sosialisasi mampu mendahului agen-agen sosialisasi tradisional seperti keluarga, sekolah, atau kelompok-kelompok agama, hal ini dikarena film mampu membangun hubungan secara personal dengan individu. Karena bersifat personal, tiap individu akan menanggapi pesan film melalui rangkaian proses psikologi serta pengaruh pengalaman sosial dan budaya yang dimilikinya masing-masing. Selain itu tingkat kecerdasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu ikut berperan, sehingga tanggapan ataupun dampak yang dialami oleh masing-masing individu tidak harus sama persis terhadap sebuah film yang sama.

2.2. Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film

Menurut Hall (1997:28), representasi yaitu tindakan menghadirkan sesuatu baik orang, peristiwa, maupun objek lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi belum tentu bersifat nyata tetapi bisa juga menunjukan dunia khayalan, fantasi, dan ide abstrak. commit to user


(28)

16 Sebaliknya menurut Burton (2012), kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi dibaliknya. Melalui media massa, terutama film, kita diberikan representasi tentang dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia tersebut. Namun perlu diingat bahwa representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu oleh pembuatnya, sehingga tanpa disadari bentuk-bentuk representasi tersebut menjelma sebagai

suatu „pembenaran‟.

Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (film) dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Berdasarkan maknanya, representasi (to represent) bisa didefinisikan sebagai to stand for. Hal tersebut bisa menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda tidak sama dengan realitas yang direpresentasikannya tapi dihubungkan dengan mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya (Noviani, 2002:61).

Turner mengatakan bahwa makna film sebagai representasi dari realitas, berbeda dengan film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi perang. Sedangkan sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya (Turner dalam Sobur, 2003:127-128). Jadi film sebagai repesentasi realitas masyarakat berarti film adalah perwujudan, kebutuhan, keinginan, dan pemikiran masyarakat dimana film itu dieksekusi.


(29)

17 Film merangkum aspek-aspek realitas sosial. Tetapi ia tidak merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin yang mendistorsi bentuk-bentuk obyek yang direfleksikannnya tetapi juga menampilkan citra-citra dalam visinya. Film tidak berbohong tetapi juga tidak menyatakan yang sebenarnya (Ratna Noviani, 2002).

Menurut Burton dalam Junaedi (2007:65), ada beberapa unsur dalam representasi yang lahir dari teks media massa yang meliputi:

a. Stereotipe, adalah pelabelan terhadap sesuatu yang sering digambarkan secara negatif.

b. Identitas, meliputi pemahaman kita terhadap kelompok yang direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dari sudut pandang positif maupun negatif.

c. Pembedaan (difference), yaitu mengenai pembedaan antar kelompok sosial, dimana satu kelompok diposisikan dengan kelompok yang lain. d. Naturalisa si (naturalization), adalah strategi representasi yang

dirancang untuk mendesain dan menetapkan difference, serta untuk menjaganya agar kelihatan alami selamanya.

e. Ideologi, representasi merupakan relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial.

Selanjutnya dalam proses representasi seorang pembuat film telah menyeleksi pesan-pesan yang ingin disampaikannya kepada penonton. Alhasil

menurut Burton (2012), “pembuat film telah mengkonstruksi berbagai

representasi terhadap kelompok-kelompok sosial dengan membentuk berbagai tipe orang tertentu. Representasi-representasi terhadap orang-orang ini mengungkapkan banyak hal dengan budaya kita dan kepercayaan kita. Representasi-representasi ini dapat merepresentasikan nilai-nilai dan dapat memperkukuh nilai-nilai tersebut”.


(30)

18 2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero

Setiap generasi dalam masyarakat pasti memiliki figur seorang hero

(pahlawan) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut. Masyarakat Yunani Kuno mengenal sosok hero legendaris seperti Herkules dan Alexander Agung. Sedangkan masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal sosok

hero dalam diri Arjuna dan Gatot Kaca.

Cerita mengenai para hero sudah sejak lama diceritakan secara tradisional, baik berupa mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut hingga melalui catatan sejarah. Namun seiring majunya peradaban manusia, cara maupun media untuk menceritakan seorang hero semakin berkembang. Di era modern para hero hadir melalui berbagai produk budaya populer dalam bentuk cerita komik, sinetron, film, hingga video game.

Walaupun sepak terjang hero muncul melalui berbagai media, namun faktanya menunjukkan bahwa cerita hero dalam film ternyata mampu menjangkau lebih banyak konsumen. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika tokoh hero

menjadi lebih populer melalui film dibandingkan bentuk aslinya dalam komik maupun novel. Jadi diantara berbagai produk budaya populer, film, terutama film Hollywood menjadi yang paling berpengaruh dalam merepesentasikan hero.

Melalui tangan sineas Hollywood, sosok hero hadir melalui berbagai macam genre film. Salah satu genre yang sangat identik dengan kata hero adalah film laga (action). Suatu film digolongkan sebagai film laga apabila mayoritas adegan yang ditampilkan adalah pertarungan atau perkelahian antara tokoh commit to user


(31)

19 protagonis yang mewakili kebenaran dengan antagonis yang mewakili kejahatan. Karena protagonis seringkali melakukan tindakan-tindakan heroik dalam membela kebenaran membuat mereka dianggap sebagai simbol pahlawan. Formula inilah yang kemudian membentuk paham heroisme, dan paham tersebut yang berpengaruh besar ketika merepesentasikan seorang hero dalam film Hollywood.

Pada periode 1980 hingga 1990-an industri Hollywood sangat gencar dalam memproduksi film laga. Alhasil beberapa pemeran film laga menjadi ikon seorang hero, sebut saja beberapa nama seperti Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Bruce Willis, dan Jean-Claude Van Damme. Namun diakhir periode 1990-an, nama-nama tersebut sedikit demi sedikit mulai tenggelam karena film-film yang mereka perankan dianggap monoton dan membuat penonton bosan. Hal ini kemudian mendorong produsen film Hollywood mengambil langkah-langkah lain, salah satunya adalah mengangkat cerita hero berkekuatan super yang diadaptasi dari komik ataupun novel. Film-film laga seperti ini biasa disebut sebagai American Superhero Film.

Hollywood melalui American Superhero Film sukses memanfaatkan momentum di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an dengan meluncurkan film The Matrix (1999) dan X-Men (2000). Selanjutnya, Hollywod berhasil mengemas genre ini menjadi yang paling digemari penonton hingga sekarang, hal itu bisa dilihat dari popularitas dan pendapatan tinggi yang diraihnya dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2012, Hollywood memproduksi film The Avangers yang berhasil menduduki peringkat ketiga film dengan pendapatan tertinggi sepanjang


(32)

20 waktu, dibawah film Avatar dan Titanic. Sedangkan berikut ini adalah daftar pendapatan tertinggi American Superhero Films yang diproduksi Hollywood:

Tabel 2.1 Highest-Grossing American Superhero Film

No Film Penghasilan Tahun

1 The Avangers $1,511,757,910 2012

2 Iron Man 3 $1,179,951,000 2013

3 Transformers: Dark of the Moon $1,123,746,996 2011

4 The Dark Knight Rises $1,084,439,099 2012

5 The Dark Knight $1,004,558,444 2008

6 Spider-Man 3 $890,871,626 2007

7 Transformers: Revenge of the Fallen $836,303,693 2009

8 Spider-Man $821,708,551 2002

9 Spider-Man 2 $783,766,341 2008

10 The Amazing Spider-Man $752,216,557 2012

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest-grossing_films Pada perkembangan saat ini, Hollywood melebarkan genre film laga hingga menyentuh ranah film animasi. Jika awalnya kebanyakan film animasi hanya mengangkat tema seperti; komedi, fantasi, dan petualangan, namun kini mulai bermunculan film-film animasi dengan format laga-komedi. Makin beragamnya tema yang diangkat dalam film animasi menunjukkan upaya Hollywood untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Jika dahulu film animasi difokuskan untuk kalangan anak-anak, tetapi saat ini film animasi mampu menjangkau kelompok-kelompok usia remaja hingga dewasa. Hal ini nampaknya telah berhasil bagi Hollywood yang mampu meraih keuntungan yang sangat besar dari film animasi. Berikut ini adalah tabel film animasi berpendapatan tertinggi:


(33)

21 Tabel 2.2 Sepuluh Film Animasi Hollywood Berpendapatan Terbesar

Rank Film Studio Penghasilan Tahun

1 Sherk 2 DreamWorks $919,838,758 2004

2 Ice Age: Dawn of the Dinosaurs BlueSky $878,701,244 2003

3 Finding Nemo Disney/Pixar $864,625,978 2003

4 Shrek The Third DreamWorks $798,958,162 2007

5 The Lion King Buena Vista/Walt Disney $783,841,776 1994

6 Up Disney/Pixar $683,807,981 2009

7 Ice Age: The Meltdown 20th Century Fox $655,388,158 2006

8 Ratatouille Disney/Pixar $643,707,397 2007

9 Kung Fu Panda DreamWorks SKG $631,736,484 2008

10 The Incredibles Disney/Pixar $631,442,092 2004

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Animasi

Dari tabel diatas terlihat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa film animasi mampu meraih pendapatan kotor hingga diatas $500.000.000. Keuntungan besar dari film animasi tentunya turut berkontribusi besar dalam mempertebal kocek para pelaku bisnis Hollywood. Selain itu, tabel diatas juga menunjukkan bahwa film animasi dengan genre laga-komedi mulai disukai oleh penonton, hal ini terlihat melalui film Kung Fu Panda dan The Incredibles yang menempati urutan sembilan dan sepuluh dalam tabel. Kedua film ini kemudian diikuti jejaknya oleh film Megamind yang diproduksi Dream Works tahun 2010. Film animasi bergenre laga-komedi memang belum menjadi yang paling digemari oleh penonton, namun sama halnya dengan film laga umumnya, film ini juga menjadi media dalam merepesentasikan figur seorang hero. Oleh karenanya seorang pembuat film akan menggunakan cara-cara tertentu untuk


(34)

22 merepesentasikan gagasannya mengenai sosok seorang hero seperti dalam film

Kung Fu Panda, The Incredibles, ataupun Megamind.

Cara-cara pembuat film dalam merepesentasikan gagasannya bisa ditinjau dari pernyataan Eriyanto yang menyebutkan bahwa ada dua hal terkait dengan representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, eksentuasi dan bantuan gambar macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2006:113).

Berdasarkan pernyataan Eriyanto diatas, maka bisa diasumsikan bahwa masalah yang timbul ketika Hollywood merepresentasikan seorang hero

mencakup dua hal. Pertama, adalah bagaimana mekanisme simbol/tanda yang digunakan oleh produsen film Hollywood dalam membentuk figur seorang hero. Sedangkan yang kedua yaitu apakah sosok hero yang ditampilkan oleh film-film Hollywood bersifat apa adanya sesuai dengan realita yang sesungguhnya, ataukah dikontruksikan menjadi lebih buruk atau lebih baik dari realita sebenarnya.

Cara-cara para pembuat film dalam merepesentasikan figur seorang hero

di dalam film laga dapat ditinjau dari tiga aspek, meliputi:

2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas

Meskipun Hollywood membagi film laga menjadi berbagai genre, namun mayoritas film tersebut umumnya memiliki persamaan, yaitu inti ceritanya berpusat pada aksi-aksi heroik dengan tujuan membela kebenaran. Namun dibalik commit to user


(35)

23 aksi-aksi heroik tersebut, para pembuat film sebenarnya menyelipkan gagasan maskulinitas melalui visualisasi tubuh yang gagah berotot. Jika dulu hero berotot sangat identik dengan Arnold dan Stalone, maka kini gambaran tersebut tampil melalui superhero yang mengenakan kostum ketat. Selanjutnya, produsen film Hollywood juga berusaha meningkatkan kesan maskulin melalui adegan-adegan perkelahian ataupun konfrontasi yang hanya mempertotonkan aspek kekuatan dan keberanian. Dampaknya citra hero dalam film Hollywood lebih ditekankan pada ukuran fisik, kekuatan, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

Berbicara mengenai representasi maskulin, kita bisa menyimak pernyataan Adi (2008:104) yang menyebutkan bahwa simbol hero dalam film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah. Pernyataan ini seakan-akan menegaskan bahwa kekuatan dan bentuk tubuh ideal merupakan persyaratan yang harus ditampilkan oleh setiap hero.

Sedangkan kekuatan yang dimiliki seorang hero seringkali digunakan

untuk melindungi yang lemah. Dalam konteks ini „orang-orang yang lemah‟ di dalam film cenderung mengarah pada golongan tertentu, salah satunya adalah kaum perempuan. Dalam film-film laga Hollywood, kebanyakan kaum perempuan diposisikan sebagai golongan yang lemah dan harus diselamatkan oleh pasangan prianya.


(36)

24 Peran pria sebagai pahlawan dan perempuan sebagai korban adalah salah satu contoh stereotipe dalam citra laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminis). Secara tegas stereotype ini membentuk perbandingan yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut dapat ditelusuri dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Perbedaan Stereotipe Laki-Laki dan Perempuan

No Men are (should be) Women are (should be)

1 Masculine Feminine

2 Dominant Submissive

3 Strong Weak

4 Aggressive Passive

5 Intelligent Intuitive

6 Rational Emotional

7 Active (do things) Communicative (talk about things)

No Men like: Women Like:

1 Cars/technology Shopping/make up

2 Casual sex with many partners Committed relationship

Sumber: Helen MacDonald dikutip oleh Novi Kurnia (2004:19)

Dari tabel diatas dapat dipahami bahwa stereotype menjadi sumber

pembenaran bahwa pria memang „diharuskan‟ menjadi pahlawan, karena ia

dipandang lebih kuat, agresif, dan aktif. Sebaliknya perempuan ditempatkan dalam karakter yang lemah dan pasif sehingga wajib bagi para pria untuk menolongnya. Sebagai tambahan Priyo Soemandoyo (1999) menyebutkan bahwa pria digambarkan memiliki fisik besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan dimitoskan sebagai pelindung. commit to user


(37)

25 Pada perkembangan saat ini sudut pandang mengenai maskulinitas semakin berkembang. Menurut Barker (2007:1), secara umum maskulinitas tradisional menilai tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja. Sedangkan yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak. Namun saat ini nilai-nilai yang dijunjung oleh laki-laki semakin berkembang sehingga tidak harus sama dengan nilai-nilai dalam maskulinitas tradisional.

Salah satu sudut pandang maskulinitas modern adalah gagasan yang disampaikan oleh Media Azaareness NetWork. Dikutip oleh Novi Kurnia (2004:27-28), Media Azaareness NetWork membagi lima karakteristik maskulinitas modern sebagai berikut:

a. Pertama, sikap yang berperilaku baik atau sportif. Elemen ini dimasukkan dalam pesan media yang berkaitan dengan sikap laki-Iaki yang menggunakan wewenang dalam melakukan dominasi yang ia punya. Kalaupun muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi yang digunakan laki-laki untuk mengatasi masalah.

b. Kedua, mentalitas ca ve man. Hal ini terlihat dari penggunaan ikon

hero dari sejarah populer yang mendemonstrasikan maskulinitas, seperti: pejuang, bajak laut, bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami laki-laki. Ilustrasi yang sempurna didapatkan pada karakter jantan dan mandiri serta aktivitas yang menantang bahaya. Figur laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero, dimana ia dibayangkan menyelesaikan semua permasalahan sendirian dan selalu menjadi pemain tunggal.

c. Ketiga, pejuang baru. Dilambangkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi petualangan dan kekuatan laki-laki.

d. Keempat, otot dan 'laki-laki ideal'. Tubuh berotot mencitrakan tubuh ideal laki-laki, hal ini merupakan imbas dari budaya modern dimana mesin telah menggantikan kekuatan dan peran tradisional pria sebagai commit to user


(38)

26 pencari nafkah dan pelindung. Oleh karenanya mengejar pembentukan otot menjadi salah satu cara untuk menunjukkan sisi maskulin pria. e. Kelima, maskulinitas pahlawan dan teknologi. Maskulinitas laki-laki

dikaitkan dengan kekuatan teknologi sebagai alat bantu laki-laki perkasa dalam membela diri.

Salah satu hal yang menarik dari kelima poin diatas yaitu anggapan bahwa maskulinitas dapat dilihat dari aspek teknologi. Masuknya teknologi sebagai kriteria maskulin tidak lepas dari peradaban manusia yang semakin berkembang, sehingga teknologi menjelma sebagai simbol gaya hidup yang maju. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa lelaki akan semakin maju dan maskulin jika mampu menggunakan teknologi.

Untuk menjelaskan fenomena diatas, Judi Wajcman (2001:161-162) menyebutkan bahwa bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat

kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan „kekuatan‟ akan

penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal

mengkompensasikan kurangnya kekuatan „fisik‟ mereka. Contoh kasus disini

adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara

teknik mereka adalah potret „perkasa‟ dalam hubungannya dengan kelaki-lakian. Pada film Hollywood, implementasi maskulintas terhadap teknologi dapat

dilihat dari pernyataan Dipaolo berikut “secara tradisonal cerita hero dipahami dengan cara melibatkan ikon manusia heroik, berpakaian warna-warni dan memiliki kemampuan luar biasa, cerdas, dan berkekuatan supranatural. Tetapi sebaliknya saat ini ada beberapa hero seperti Iron Man dan Green Latern yang


(39)

27

merupakan „manusia normal‟, tapi dapat menjadi sangat kuat dengan bantuan teknologi canggih (Dipaolo, 2011:2)”.

Pernyataan Di Paolo diatas menandakan bahwa terdapat pergeseran sudut

pandang bahwa „kekuatan‟ tidak lagi hanya mengenai persoalan fisik dan

supranatural tetapi dapat berwujud teknologi. Jadi, saat ini maskulinitas melihat

„kekuatan‟ laki-laki tidak harus selalu berarti fisik yang kuat dan badan yang kekar. Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun laki-laki secara fisik tidak menonjol, tetapi ia diharuskan memiliki kemampuan yang lebih, sehingga membuat dirinya menonjol.

2.3.2. Representasi Perilaku Seorang Hero

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.Sedangkan bagi masyarakat barat, hero atau pahlawan didefinisikan sebagai: a) a mythological or legendary figure often of descent endowed with great strength or ability; b) an ilustrios warrior; c) a man admired for his achievements and noble qualities (www.websterdictionary.com).

Jika dilihat dari sejarahnya, definisi hero dalam masyarakat barat berakar dari istilah Yunani Kuno. Istilah ini menjadi populer melalui karya-karya sastra seperti wiracarita atau epos, yaitu sejenis karya sastra tradisional yang menceritakan kisah kepahlawanan (wira berarti pahlawan dan carita adalah kisah). Dalam era Yunani Kuno, wiracarita yang sangat berpengaruh diantaranya adalah


(40)

28 Homeros dan Hesiodos dalam karyanya menceritakan para hero sebagai manusia setengah dewa atau demigod yang dikaruniakan kekuatan super, contohnya seperti Herakles (Hercules), Achilles, dan Perseus.

Selain memiliki kekuatan super, tokoh hero dalam cerita Yunani Kuno juga digambarkan sebagai sosok petualang pemberani dan pembela kebenaran yang berperilaku lurus. Hal tersebut membuat mereka menjadi panutan bagi orang disekitarnya. Konsep hero seperti inilah yang kemudian mempengaruhi identitas pahlawan di Barat, khususnya dalam cerita komik, televisi, dan film. Alhasil ketika mendengar kata hero, tentunya kita akan hanyut dalam anggapan bahwa ia adalah seorang tokoh utama yang gagah, baik hati, pembela keadilan dan kebenaran, idola, dan lain sebagainya. Anggapan ini menuntun kita bahwa semua perilaku hero mencerminkan sisi positif dari manusia ideal.

Namun adakalanya orang bosan dengan hero berperilaku lurus dan ingin melihat sosok hero dengan sifat yang berbeda. Ketika masyarakat mulai bosan, maka insan perfilman Hollywood dengan cermat memanfaatkan situasi tersebut

dengan menghadirkan „pahla wan-pahla wan barunya‟ agar penonton tidak

menjauh darinya. Sineas-sineas Hollywod lantas menampilkan hero baru yang berperilaku kasar, egois, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masuk kategori penjahat. Fenomena ini nampak dalam beberapa karakter hero seperti Robin Longstride (Robin Hood), Captain Jack Sparrow (Pirates Of The Caribbean), Dominic Toretto (Fast and Furious), dan lain-lain.


(41)

29 Secara garis besar gambaran hero yang berperilaku negatif sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sebelum industri Hollywood terlahir. Salah satu tokoh yang terkenal dalam menampilkan hero berkarakter negatif adalah George Gordon Byron (Lord Byron). Byron merupakan sastrawan Inggris yang karyanya pada abad ke-19 seperti Fragment of a Novel dianggap sangat berbeda, menarik, dan dilihat sebagai suatu nafas baru dalam kesusastraan Inggris.

Karya-karya Byron kemudian diteruskan oleh kedua temannya, Mary Shelley dan John William Polidori. Mary Shelley menerapkan hero berkarakter negatif dalam novel Frankenstein, sementara Polidori menulisnya dalam cerita berjudul The Vampire. Kedua cerita dari Shelley dan Polidori kemudian sukses, dan untuk menghormati kontribusi Lord Byron sebagai inspirasi dalam karya-karya tersebut maka muncul aliran Byronic Hero untuk mendeskripsikan sosok

hero dengan karakter negatif.

Menurut Gross yang dikutip oleh Bima Pranachitra (2010:3), Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam. Namun di lain sisi ia terpelajar, baik hati, dan bersahaja. Ciri perwatakan Byronic Hero yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood)

dan cenderung kontroversial menjadikannya sulit untuk ditentukan sebagai kategori tokoh protagonis atau antagonis.

Byronic Hero difungsikan sebagai sindiran (satire) sekaligus perlambang terhadap perilaku masyarakat abad ke-18, yang mana diperbudak oleh teknologi, commit to user


(42)

30 dan berperilaku layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962). Sehingga Byronic Hero

merupakan gambaran hero yang manusiawi dimana ia tidak dapat ditebak secara matematis dan akurat karena memiliki perasaan dan suasana hati, meskipun ia tidak bias lepas dari keharusan bersikap rasional.

Sementara Thorslev Jr. (1962:7) juga menyebutkan bahwa Byronic Hero

sering juga disebut sebagai Villainous Hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga

sebagai „algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa cinta dan rasa benci, kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu. Mengomentari pernyataan tersebut, Bima dalam penelitiannya (2010:12) menyimpulkan bahwa perilaku pendosa seorang Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi terhadap ketidakadilan sosial yang dialaminya di masa lalu. Inilah kemudian yang menggambarkan Byronic Hero

sebagai tokoh yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental. Berdasarkan Wikipedia, Byronic Hero biasanya menunjukkan beberapa ciri- ciri sebagai berikut: a. Sombong, licik dan mampu beradaptasi; b. Sinis dan seringkali emosinya bertentangan, bipolar, atau moody; c. Menghormati pangkat dan hak istimewa; d. Memiliki kebencian terhadap lembaga sosial dan norma-norma; e. Memiliki masa lalu bermasalah atau menderita karena suatu kejahatan yang tidak disebutkan; f. Cerdas, perseptif, canggih dan berpendidikan; g. Misterius; h. Sifatnya senang merugikan diri sendiri; i. Berjuang dengan integritas; j. Diperlakukan dalam pengasingan, sebagai orang terbuang, atau sampah masyarakat (http://en.wikipedia.org/wiki/Byronic_hero).


(43)

31 Dalam penerapannya, film Hollywood banyak menggambarakan Byronic Hero sebagai tokoh yang semula dianggap antagonis, antara lain: mahkluk supranatural (setan, vampir, dan monster), pelaku kriminal, buronan, orang buangan, ataupun tokoh kontroversial lainnya. Namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang hero yang melindungi orang-orang disekitarnya.

Pada dasaranya manifestasi perilaku seorang hero bukanlah hal yang terbentuk secara mudah (instan) ataupun alamiah. Sulitnya memahami perilaku seorang hero juga dialami oleh tokoh-tokoh Byronic Hero. Seorang Byronic Hero

tidak bisa secara tiba-tiba mengerti perilaku dan nilai-nilai kepahlwanan, namun mereka memerlukan waktu dan pengalaman yang terbentuk melalui proses belajar. Proses belajar inilah yang kemudian dapat diamati berdasarkan konsep-konsep ilimiah. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengkaji proses belajar seorang hero adalah teori belajar konstruktivisme.

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar, maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya

sendiri. Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan bukanlah “sesuatu yang

sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot, 1996:14).


(44)

32 Salah satu tokoh yang terkenal dalam aliran belajar konstruktivisme adalah seorang pakar psikolog dari Swiss bernama Jean Piaget. Piaget dalam Fosnot (1996:13-14), menyoroti bagaimana individu pelan-pelan membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Tampak bahwa Piaget menaruh gagasannya pada keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang terus menerus dari anak-anak sampai dewasa.

Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan sehingga pemaham orang akan terus berkembang (Suparno, 1997:31). Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai. Dalam keadaan ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1997:32).


(45)

33 Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal. Konsep secara radikal terjadi karena adanya peristiwa anomali, yaitu peristiwa dimana individu tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Suparno (1997:50-51) mengatakan bahwa agar terjadi perubahan konsep secara radikal maka dibutuhkan keadaan dan syarat sebagai berikut:

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Individu mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.

b. Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan dan penemuan fenoma yang baru.

Untuk mempersingkat konsep asimiliasi dan akomodasi, kita dapat menyimaknya melalui contoh sederhana dalm film Robin Hood. Mulanya Robin Hood mempunyai skema bahwa semua ksatria (pahlawan) harus menjunjung kebenaran dan taat pada hukum. Skema ini didapatkannya terhadap nilai-nilai yang pernah dijumpainya. Namun pada suatu hari terjadi peristiwa anomali dimana ia menyadari bahwa penegak hukum (bangsawan) yang dipandang sebagai ksatria justru berbuat korupsi.

Melalui peristiwa tadi Robin Hood mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok dengan pengalaman yang baru, maka dia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru. Dalam skema barunya, Robin Hood terdorong untuk mencuri harta para bangsawan korup dan dibagikan kepada orang miskin. commit to user


(46)

34 Sejatinya mencuri adalah pelanggaran hukum yang tidak mencerminkan sikap ksatria, namun bagi Robin Hood tindakannya tersebut justru merupakan sikap pahlawan yang sebenarnya.

Kasus Robin Hood menunjukkan bahwa seorang hero terkadang dapat berbuat menyimpang karena melakukan pelanggaran hukum. Meskipun melanggar hukum akan tetapi Robin Hood masih dianggap sebagai seorang hero

karena ia menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Intinya, meskipun Robin Hood adalah seorang pelaku kriminal namun di lain sisi ia memperlihatkan sikap penolong, yangmana sikap tersebut terbentuk melalui proses belajar.

2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero

Hero dalam film Hollywood direpesentasikan dalam latar belakang sosial yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Konteks latar belakang sosial seorang

hero bisa dilihat dari beberapa sudut pandang misalnya dari stratifikasi sosial. Menurut Bungin (2006:49), stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa masyarakat memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Lapisan soisal terjadi karena adanya pengelompokan yang didasarkan pada suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai dalam suatu kelompok masyarakat. Berharga atau bernilai dalam hal ini didasarkan pada pandangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya yang dipahami oleh masyarakat tersebut. Sedangkan secara umum strata sosial


(47)

35 melahirkan kelas sosial atau golongan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower cla ss).

Sebagai representasi dari realitas, film Hollywood juga memperlihatkan kondisi pelapisan sosial yang terdapat di masyarakat, khususnya masyarakat Amerika. Berdasarkan Paul Horton (2007:6), pada masyarakat Amerika pelapisan sosial yang terjadi karena faktor ekonomi terbagi menjadi enam kelas yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1 Gambar Pelapisan Sosial Masyarakat Amerika

Atas

Menengah

Bawah

1. Upper-upper class : Kelas keluarga-keluarga yang telah lama kaya. 2. Lower-upper class : Kelas masyarakat yang belum lama menjadi kaya. 3. Upper-middle class : Kelas dari kelompok pengusaha dan kaum professional. 4. Lower-middle class : Kelas yang terdiri dari pegawai pemerintah, kaum

semi profesional, supervisor, dan pengrajin terkemuka. 5. Upper-lower class : Kelas dari kelompok pekerja tetap (golongan pekerja). 6. Lower-lower class : Kelas para pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh

musiman, orang yang bergantung.

1 2 3 4 5 6


(48)

36 Pembagian kelas sosial diatas juga nampak terjadi dalam film-film Hollywood. Seringkali tokoh hero dalam film Hollywood ditempatkan sebagai golongan sosial menengah keatas. Contoh-contoh hero dari golongan atas terlihat pada karakter Bruce Wayne (Batman), Tony Stark (Iron Man), Oliver Queen (Arrow), Sam Flynn (Tron Legacy), Britt Reid (The Green Hornet) dan lainnya. Tokoh-tokoh hero yang disebutkan tadi merupakan kelompok masyarakat kaya atau milyuner yang mewarisi kekayaan keluarganya secara turun-temurun.

Sedangkan menurut Soekanto (1990:262) “salah satu ukuran atau kriteria

yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran pekerjaan. Barang siapa yang memiliki

pekerjaan kantoran, termasuk dalam lapisan teratas.” Oleh sebab itu produsen -produsen film Hollywood secara disadari maupun tidak, seringkali menampilkan seorang hero sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan kantoran. Contoh hero

yang bekerja kantoran bisa dilihat pada karakter-karakter seperti Clark Kent (Superman) dan Peter Parker (Spiderman) yang bekerja sebagai jurnalis atau Matt Murdock (Daredevil) yang berprofesi menjadi pengacara.

Disamping faktor kekayaan dan pekerjaan, pelapisan sosial juga dapat diukur dari segi pakaian yang dikenakan seseorang. Soekanto (1990:263) menyebutkan bahwa salah satu kriteria yang dipakai untuk menggolong-golongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan. Kekayaan tersebut misalnya bisa dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, cara-cara mempergunakan pakaian, serta bahan pakaian yang digunakannya.


(49)

37

Menurut Herman Jusuf (2001), “dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali menangkap kesan pertama dari orang yang ditemuinya melalui pakaian yang dikenakannya. Pandangan sekilas saja terhadap penampilan seseorang akan mengkomunikasikan karakter, kedudukan, dan status orang tersebut di masyarakat. Sehingga setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang mereka kenakan baik secara gamblang maupun samar-samar akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya.”

Pakaian dan status sosial sangat berkaitan erat, sehingga seseorang berusaha menaikkan status mereka dengan mengenakan pakaian yang dikenakan oleh kalangan yang berstatus tinggi. Identitas sosial seorang hero terlihat dari jenis pakaian yang mereka kenakan dalam aktivitas sehari-hari, terutama ketika bekerja. Sedangkan jenis-jenis pakaian yang digunakan oleh seorang hero

cenderung mengarah pada pakaian yang bagus dan relatif mahal, contohnya seperti setelan jas (tuxedo).

Beberapa contoh hero yang sering mengenakan jas adalah kalangan eksekutif seperti Tony Strak (Iron Man) dan Bruce Wayne (Batman). Kemudian ada kelompok-kelompok detektif seperti Harry Callahan (Dirty Harry) dan Roger Murtaugh (Lethal Weapon) yang selalu memakai jas saat bekerja. Bahkan ada

hero yang selalu identik dengan tuxedo yang elegan seperti agen mata-mata dalam film James Bond. Dengan banyaknya hero yang menggunakan jas dalam kesehariannya, mengisyaratkan bahwa ia diposisikan sebagai masyarakat yang berasal dari kelas sosial menengah keatas.


(50)

38 Film Hollywood menampilkan status sosial seseorang tidak sebatas dari pakaian yang dikenakan oleh seorang hero semata, tetapi juga dari pakaian seorang villain (penjahat). Adi (2008:19) menyebutkan bahwa penjahat kulit hitam biasanya digambarkan mengenakan pakaian murahan dengan model dan warna yang mencolok. Jika berpakaian mahal, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengenakannya. Memakai anting di telinga, di hidung atau di bibir, serta atribut-atribut anak jalanan lainnya.

Sejatinya, latar belakang seorang hero tidak hanya ditunjukkan melalui status dan kelas sosial saja, tetapi juga dicerminkan dari golongan ras yang dimilikinya. Secara tidak langsung Hollywood telah mengkampanyekan isu-isu rasisme dalam berbagai filmnya, permasalahan ini tidak bisa lepas dari kebudayaan masyarakat Amerika yang sangat kental dengan isu rasisme. Rasisme berakar dari etnosentrisme yang tumbuh kuat dalam masyarakat Amerika dan direpresentasikan lewat penokohan karakter dalam film-film Hollywood.

Menurut Jones yang dikutip Liliweri (2002:15), konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersamaan dengan rasisime. Konsep ini mewakili suatu pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat dan ideologi untuk menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etknik atau ras lain. Sikap etnosentrisme dan rasisme itu berbentuk prasangka, stereotip, diskriminasi, dan jarak sosial terhadap kelompok lain

Liliweri mengatakan bahwa prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Seperti commit to user


(51)

39 halnya sikap, prasangka meliputi keyakninan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras disebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnis disebut etnisisme. Menurut Liliweri (2005), bentuk-bentuk prasangka dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Stereotip. Stereotip adalah salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori, ras, jenis kelamin, kebanggan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non-verbal. b. Jarak sosial. Menurut Robert Park dan Ernst Burgess jarak sosial

merupakan kecenderungan untuk mendekat atau menjauhkan diri pada suatu kelompok. Apabila jarak sosial sudah menjadi norma di dalam kelompok akan dapat menimbulkan orang berprasangka tanpa bergaul dulu dengan individu atau kelompok yang dikenai prasangka itu. Dalam hal ini, Allport berpendapat bahwa social distance (jarak sosial) dalam suatu masyarakat hanya terdapat pada masyarakat yang heterogen yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang memiliki fungsi dan ketertarikan yang berbeda-beda.

c. Diskriminasi. Kalau prasangka masih meliputi sikap, keyakinan, atau predisposisi untuk bertindak, maka diskriminasi mengarah pada tindakan nyata. Dengan kata lain diskriminasi adalah aplikasi dari prasangka yang dimiliki.

Dalam realisasinya, produsen-produsen film Hollywood secara nyata maupun samar-samar mewujudkan prasangka yang berwujud rasisme melalui gambaran tokoh di dalam film. Menurut Junaedi (2007:49), film Hollywood, khususnya film laga banyak menciptakan tokoh hero dari ras kulit putih Amerika,

White Anglo-Saxon Protestan (WASPs). Sebaliknya secara oposisi biner

merepresentasikan kulit hitam, Asia, Arab dan Latin sebagai “yang lain” (the other) adalah jahat dan tidak berperadaban.

Secara lebih detil, simbol-simbol yang merepesentasikan kelompok ras tertentu juga dikontruksi oleh Hollywood, contoh sederhananya adalah janggut commit to user


(1)

186 DAFTAR PUSTAKA

Adi, Ida Rochani. 2008. Mitos di Balik Film Laga Amerika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Akuinginsukses.com. 2010. Bagaimana Mengatasi Depresi dan Mengubah Hidup

Anda. Retrieved 11 April 2014, from

http://www.akuinginsukses.com/bagaimana-mengatasi-depresi-dan-mengubah-hidup-anda/

Ardianto, Elvinaro., & Kumala, Lukti. 2004. Komunikasi Massa Suatu Penganta r. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Barker, Chris. 2007. Cultural Studies; Theory and Practice, Fourth Ed. London: Sage Publication.

Barnard, Malcolm. 2007. Fa shion Sebagai Komunikasi: Cara Mengomunika sikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: JalaSutra.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Burton, Greame. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

Demartoto Argyo. 2010. Konsep Maskulinitas Dari Jaman ke Jaman da n Citranya Dalam Media. Retrieved 11 April 2014, from http://argyo.staff.uns.ac.id/2010/08/10/konsep-maskulinitas-dari-jaman-ke-jaman-dan-citranya-dalam-media/.

Devereux, Eoin. 2003. Understanding the Media. London: Sage Publication.

Dewar, Sharon. 2007. Hollywood‟s Great White West Saves the Rest Media.

MEDC 5310-2007 Journal of Media and Culture: 1-13.

Dipaolo, Marc. 2011. War, Politics and Superheroes: Ethics and Propaganda in Comics and Film. North Carolina: McFarland Publisher.

Eriyanto. 2006. Analisis Wacana; Pengatar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.

Febriyanti. 2011. “Representasi Maskulinitas Dalam Iklan Produk Pera watan Tubuh Untuk Laki-Laki”. Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011.

Fiske, John. 1999. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar


(2)

187 Fosnot. 1996. Enquiring Teachers Enquiring Learners; A Constructivist

Approach for Teaching. New York: Columbia University.

Gendon. 2012. Mencuri Teknologi Dari Alien. Retrieved 11 April 2014, from http://donnygendon.wordpress.com/2012/12/18/mencuri-teknologi-dari-alien/.

Hall, Stuart. 1997. Representation; Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication.

Hangguman, Willy. 2012. Ada Apa Dengan Film Indonesia. Retrieved 4 February 2014, from http://www.tubasmedia.com/berita/ada-apa-dengan-film-indonesia/

Harun. 2012. Hero dan Anti-Hero Dalam Fiksi dan Realitas. Retrieved 14 April 2014, from http://seniberpikir.wordpress.com/2012/11/16/hero-dan-anti-hero-dalam-fiksi-dan-realitas/

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial. Depok: Komunitas Bambu. Horton. Paul, B. 2007. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Hude, Darwis. 2006. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga.

Ibrahim, M. Nasir. 2007. Analisis Pengaruh Media Periklanan Terhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Air Minum Kemasan Merek Aqua Pada Masyarakat Kota Palembang. Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya, Vol. 5, No 9 Juni 2007: 44-70

Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer, Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jiyantoro, Sugani. 2010. Representasi Hero Dalam Film Kung Fu Panda. Jurnal Komunikator, No.2, Vol. 2, November 2010: 129-148.

Jones, Jeenen. 2012. Kebenaran Tentang Kejaha tan Hitam. Retrieved 14 April 2014, from http://apisuci.blogspot.com/2012/03/kebenaran-tentang-kejahatan-hitam.html.

Junaedi, Fajar. 2007. Komunikasi Massa Pengantar Teoritis. Yogyakarta: Santusta.

Jusuf, Herman. 2001. Pakaian Sebagai Penanda: Kajian Teoritik Tentang Fungsi dan Jenis Pakaian Dalam Konteks Semiotika. Jurnal Seni Rupa dan Desain,, Vol.1, No.3, Agustus 2001. 80-90.

Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesiacommit to user , Vol. 8, No.1, Juli 2004: 17-36.


(3)

188 Lakhsmi. 2011. Anti-Hero. Retrieved 13 April 2014, from

http://sepocikopi.com/2011/11/10/anti-hero/

Lestari, Ike. 2010. Prasangka, Diskriminasi, da n Etsosentrisme. Retrieved 12 April 2014, from http://ikelestari13110417.blogspot.com/2010/12/bab-xi-prasangka-diskriminasi-dan.html

Light, D., Keller, S., & Calhoun, C. 1989. Sociology. New York: Alfred A. Knopf. Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konfilk: Komunikasi Lintas Budaya

Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKiS.

Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Lovece, Frank. 2008. Batman Himself is an Anomaly as One of The Few Superheroes Without Superpowers. International Journal Film, July 2008: 33-46

Mahrita. 2013. Latar Belakang Demografi Presiden Amerika. Retrieved 13 April 2014, from http://mahrita-fisip12.web.unair.ac.id

Mahya, Wie. 2010. Pola Hidup Masyrakat Terstratifikasi. Retrieved 13 April 2014, from http://www.wiedjcorn.blogspot.com/2010/11/pola-hidup-masyarakat-terstratifikasi.html

McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa ed. 2. Jakarta: Erlangga

Merah, Pangeran. 2007. Rasisme Media. Retrieved 13 April 2014, from http://pangeranmerah24.blogspot.com/2007/11/rasisme-media.html

Minimagz. 2008. Berani Berbuat, Berani Bertanggungja wab. Retrieved 12 April 2014, from http://minimagz.wordpress.com/2008/04/16/

Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan Ketiga, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muslimah. 2013. Pengaruh Status Sosial dan Kelas Sosial Terhadap Perilaku

Konsumen. Retrieved 13 April 2014, from l

http://muslimah2792.blogspot.com/2013/06/pengaruh-status-sosial-dan-kelas-sosial.html

Nanda, Putra. 2010. Mosaik Amerika: Sejarah Etnis Sebuah Bangsa. Retrieved 14 April 2014, from http://poseidon04.blogspot.com/2011/12/mosaik-amerika-sejarah-etnis-sebuah.html.


(4)

189 Nava, Julie. 2013. Tahapan Perjalanan dan Archetype Dalam The Hero’s

Journey. Retrieved 12 April 2014, from

http://www.warungkopi.net/2013/11/tahapan-perjalanan-dan-archetype-dalam.html

Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memaha mi Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purnama. 2013. Teori Belajar Konstruktivisme. 13 April 2014, from http://magister-pendidikan.blogspot.com/p/teori-konstruktivistik.html Pranachitra, Bima. 2010. “Representa si Byronic Hero Dalam Novel Frankenstein

Karya Mary Shelley”. Tesis, Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan, 2010.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Prasetyadi, Bagas, Bahri Syaiful. 2009. Jago Bikin Film Superhero. Yogyakarta:

Penerbit Indonesia Cerdas.

Psychologymania.com. 2012. Definis Bullying. Retrieved 12 April 2014, from http://www.psychologymania.com/2012/06/definisi-bullying.html

Psychologymania.com. 2012. Fa ktor-Faktor Penyebab Terjadinya Bullying.

Retrieved 12 April 2014, from

http://www.psychologymania.com/2012/06/faktor-faktor-penyebab-terjadinya.html

Psychologymania.com. 2012. Jenis-Jenis Bullying. Retrieved 12 April 2014, from http://www.psychologymania.com/2012/06/jenis-jenis-bullying.html Raney, A. A., & Bryant, J. 2002. Moral Judgment and Crime Drama: An

Integrated Theory Enjoyment. Journal Of Communication, Vol. 52, Issue 2, June 2002: 402-415.

Reynolds, Richard. 1992. Super Heroes: A Modern Mythology. London: Batsford. Schehr, Roberl Carl. 2000. Martial Arts Films and the Action-Cop Genre:

Ideology, Violence and Spectatorship. Journal of Criminal Justice and Popular Culture, Vol. 7, Issue 3, New York, 2000: 102-118.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penga ntar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.


(5)

190 Soemandoyo, Priyo. 1999. Wacana Gender & Layar Televisi; Studi Perempua n

Dalam Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: L3PY.

Sontagkinder. 2011. Antihero. Retrieved 13 April 2014, from http://sontagkinder.wordpress.com/2011/03/01/antihero/

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

Tabloidcleopatra.com. 2011. Tanamkan Jiwa Pahla wan Sejak Kecil. Retrieved 12 April 2014, from http://www.tabloidcleopatra.com/tanamkan-jiwa-pahlawan-sejak-kecil/

Thorslev, Jr., Peter. 1962. The Byronic Hero; Types and Prototypes. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Tidmarsh, David. 2009. Study Of The Superhero. Retrieved 11 April 2014, from http://yaledailynews.com/blog/2009/02/03/study-of-the-superhero/.

TV Tropes Foundation, 2012. Byronic Hero. Retrieved 5 March 2013 http://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/ByronicHero

Vigorito Anthony J., & Curry, Timothy J. 1998. Marketing Masculinity: Gender Identity and Popular Magazines. Journal of Research, July, 1998: 135-152. Wajcman, Judi. 2001. Feminisme Versus Teknologi, terj. Yogyakarta: Sekretariat

Bersama Perempuan Yogyakarta (SBPY).

Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban-Kosmopolit. Jakarta: Gramedia.

Wikipedia. 2013. Animasi. Retrieved 7 March 2013, from http://id.wikipedia.org/wiki/Animasi.

Wikipedia. 2014. Buddy Cop Film. Retrieved 14 April 2014, from http://en.wikipedia.org/wiki/Buddy_cop_film.

Wikipedia. 2013. Byronic Hero. Retrieved 5 March 2013, from http://en.wikipedia.org/wiki/Byronic_hero.

Wikipedia. 2014. Grafiti. Retrieved 12 April 2014, from http://id.wikipedia.org/wiki/Grafiti

Wikipedia. 2013. List of Highest Grossing Films. Retrieved 6 June 2013, from http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest-grossing_films.


(6)

191 Wikipedia. 2014. Laser. Retrieved 11 April 2014, from

http://id.wikipedia.org/wiki/Laser.

Wikipedia. 2014. Pra sangka. Retrieved 12 April 2014, from http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka

Wikipedia. 2014. Vandalisme. Retrieved 12 April 2014, from http://id.wikipedia.org/wiki/Vandalisme

Wiratama, Dawin. 2013. Representasi Whiteness Dalam Film Machine Gun Preacher. Jurnal Komunikasi Universitas Petra Surabaya, Vol I. No.3: 187-197

Wollstein J.B.. The Idea of Equality, The Freema n: Ideas on Liberty, April 1980; Vol. 30 No. 4:. 221-226

Zoest, Aart Van. 1991. 5 Fiksi dan Nonfiksi Dalam Kajian Semiotik, terj. Jakarta: Intermasa.

Zulfikra. 2011. Kontruksi Maskulinitas Dalam Film Merantau. Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2011.

.