Jurnalisme Investigasi dalam Film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”)

JURNALISME INVESTIGASI DALAM FILM

(Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”)

Oleh: BARLIAN ANUNG PRABANDONO

D0206040

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul: JURNALISME INVESTIGASI DALAM FILM

(Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”)

Adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Apabila ada footnote atau kutipan dari buku atau pendapat lain, sudah dikutip menurut tata cara penulisan ilmiah. Saya bersedia menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata di kemudian hari terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau sebenarnya.

Surakarta, 8 Agustus 2012

Barlian Anung Prabandono NIM. D 0206040

MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”(6) “ Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain ”(7)

(QS. Alam Nasyrah : 6 – 7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan untuk:

Orang Tua Dunia Pendidikan Universitas Sebelas Maret Keluarga besar komunikasi FISIP UNS Semua pihak yang mendukung terselesaikannya penulisan skripsi

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melmpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi dengan judul Jurnalisme Investigasi dalam Film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam Film “State of Play”) dapat diselesaikan dengan baik.

Penelitian untuk skripsi ini bermula dari ketertarikan penulis untuk mengetahui lebih banyak mengenai wacana jurnalisme investigasi dalam film “State of Play”.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari, Msi Ph. D selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.

3. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang telah bersedia memberikan bimbingan, ilmu, arahan, dan masukan pada pembuatan skripsi saya.

4. Team penguji (Drs. Alexius Ibnu Muridjal, M.Si, Drs. Aryanto Budhy, M.Si, dan Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D) yang telah memacu skripsi ini menjadi lebih baik.

Atas ilmu, pengetahuan, pembelajaran, dan kerjasama yang baik.

6. Untuk kedua orang tua saya, keluarga besar, dan kerabat.

7. Eka Nada Shofa Alkhajar atas arahan dan diskusi yang baik.

8. Komunikasi FISIP UNS angkatan 2006 atas lingkungan belajar yang baik.

9. Rochmat Fajri Susetyo sang empunya MARKAS dan teman-teman yang bernaung di MARKAS itu sendiri atas lingkungan pergaulan serta hubungan perkawanan yang baik.

10. Sahabat, sohib, rekan, tetangga, dan konco baik dunia nyata ataupun maya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu atas proses menjadi manusia yang lebih baik.

11. Nikky Fardhani atas hubungan hati yang baik.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu, kritik dan saran selalu diharapkan untuk perbaikan ke depan. Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta, 8 Agustus 2012

Barlian Anung P.

ABSTRAK

Barlian Anung Prabandono, D0206040, Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film “State of Play”), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana-wacana apa saja yang dikemas dalam film “State of Play”, bagaimana wacana Jurnalisme Investigasi

dikonstruksi oleh komunikator film serta faktor apa saja yang menjadi pendorong maupun penghambat Jurnalisme Investigasi. Objek penelitian ini adalah film “State of Play” yang diluncurkan oleh Universal Studio pada 17 April 2009 silam.

Jurnalisme investigasi mengungkap fakta dari kasus yang sengaja disembunyikan. Membutuhkan kegigihan dan keberanian dalam melakukan kerja investigasi. Hal ini dikarenakan adanya pihak yang tidak ingin kasus yang melibatkan pihak tersebut terungkap kebenarannya. Film adalah media yang efektif dibandingkan dengan media massa lainnya. Film mampu menyuguhkan audio dan visual secara bersamaan sehingga khalayak mampu lebih mudah dalam menangkap pesan yang disampaikan. Oleh karena itu menarik untuk meneliti pesan dalam sebuah karya audio visual berupa film.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian interpretif – kualitatif dengan menggunakan pendekatan subjektif yang mengasumsikan bahwa pengetahuan bersifat tidak tetap melainkan bersifat interpretif yang memberi peluang yang besar bagi peneliti dalam melihat dan menggambarkan objek penelitian secara detail. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis wacana Van Dijk yang sering disebut kognisi sosial. Pendekatan ini dipilih karena model Van Dijk juga melihat bagaimana struktus sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, serta bagaimana pikiran serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh besar terhadap teks tertentu. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari konstruksi wacana dalam suatu teks.

Strategi wacana komunikator dalam film ini dapat ditemukan melalui pisau analisis wacana Van Dijk yang meliputi elemen Tematik, Skematik, dan Semantik. Analisis dalam elemen tersebut memerlukan penyesuaian, hal ini karena teks tertulis berbeda dengan teks pada film. Strategi wacana yang dilakukan, komunikator film ini berhasil menciptakan keterkaitan antara satu wacana denggan wacana yang lain sehingga kesimpulan akhir dalam benak khalayak adalah wacana jurnalisme investigasi.

Film ini memang dielu-elukan sebagai film tentang jurnalisme secara umum dan jurnalisme investigasi secara khususnya. Jurnalisme investigasi berusaha mengungkap sebuah fakta yang sengaja disembunyikan. Berbagai tantangan dan rintangan harus dihadapi jurnalis dalam perjalanan investigasi mencapai fakta akhir. Ia menerima berbagai tekanan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, militer, mapun media sendiri. Secara umum tertangkap kesan kuat bahwa komunikator film hendak mengkonstruksikan tema besar tentang Jurnalisme Investigasi. Jurnalisme Investigasi diposisikan sebagai pihak yang

Barlian Anung Prabandono, D0206040, Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film (Analisis Wacana Jurnalisme Investigasi dalam film “State of Play”), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

This study aims to determine what are the discourses that are packed in the film "State of Play", how the discourse constructed by the communicator Investigative Journalism and the film becomes what factors driving and inhibiting Investigation Journalism. Object of this study is the film "State of Play" was released by Universal Studio on 17 April 2009 back.

Investigative journalism is an interesting journalistic masterpiece. Investigative journalism uncover the facts of the case are deliberately hidden. Requires persistence and courage in doing investigative work. This is because the parties do not want a case involving the truth was revealed. The film is an effective medium compared to other mass media. Film can deliver audio and visual simultaneously so the audience can more easily catch the message. It is therefore interesting to examine the message in an audio visual masterpiece of film.

This study is a kind of interpretive research - qualitatively using a subjective approach that assumes that knowledge is not fixed, but rather an interpretive who gives a great opportunity for researchers to see and describe in detail the research object. The method of analysis used in this study is a model of discourse analysis is often referred to Van Dijk social cognition. This approach was chosen because the model of Van Dijk also look at how social struktus, domination, and power groups in society, and how the mind and consciousness that shape and influence on a particular text. By looking at how the building structure of language, discourse analysis is more able to see the hidden meaning of the construction of discourse in a text.

Strategies of discourse communicator in this movie can be found through the analysis of discourse Van Dijk knife which includes thematic elements, Schematic, and Semantics. Analysis of the elements requires adjustment, this is because the text is different from the written text on the film. Through the discourse strategies that do, this film managed to create the communicator link between the discourse denggan discourse of the other so the final conclusion in the minds of audiences is the discourse of investigative journalism.

This film is being hailed as a film about journalism in general and investigative journalism in particular. Investigative journalism trying to uncover a fact that is intentionally hidden. Various challenges and obstacles faced in the course of investigations of journalists reached the final facts. He received a variety of pressures from various parties ranging from government, military, media mapun own. In general, captured the strong impression that the movie was about to construct a communicator major theme of Investigative Journalism. Investigative journalism is positioned as a party that can reveal the truth of a case.

E.5 Reportase Investigasi dalam Jurnalistik ...........................

E.5.1 Pengertian Reportase Investigasi ...........................

E.5.2 Ciri Jurnalisme Investigasi .....................................

E.5.3 Tujuan dan Sifat Pelaporan Junalisme Investigasi .

F. Metode Penelitian ......................................................................

F.1 Penelitan Terdahulu ..........................................................

F.2 Jenis Penelitian .................................................................

F.3 Subyek Penelitan ..............................................................

G. Sumber Data .............................................................................

H. Teknik Pengumpulan Data .......................................................

I. Teknik Analisis Data ..................................................................

46 J. Validitas Data .............................................................................

BAB II. DESKRIPSI LOKASI

A. Deskripsi Film ...........................................................................

B. Sinopsis .....................................................................................

C. Keterangan Film ........................................................................

D. Casting Film .............................................................................

E. Pemeran Film ............................................................................

F. Biografi dan Portofolio Sutradara Kevin Mc’Donald ............... 67

BAB III. PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

A. Tematik Film “State of Play” ..................................................

A.1.1 Investigasi Sebagai Pengungkap Fakta yang Tersembunyi............................................................. .....

A.1.2 Kerja Investigasi yang Berkesinambungan dan Tidak Cepat Puas Terhadap Fakta Awal yang Diperoleh............................................................. ..........

A.2 Penelusuran Fakta Material dan Saksi Kunci .....................

A.2.1 Penelusuran Bukti-bukti yang Dilakukan Jurnalis Investigasi dalam Film “State of Play ”............................................................. ................

A.2.2 Kegiatan Wawancara yang Dilakukan Jurnalis

Investigasi dalam

Film “State of Play” ............................................................. ..........................

A.3 Tekanan Terhadap Jurnalisme Investigasi ......................... 119

A.3.1 Kekerasan Fisik Terhadap Jurnalis....................... 120

A.3.2 Tekanan dari Media............................................. 123

A.3.3 Tekanan dari Pemerintah Terhadap Jurnalisme Investigasi................................................................ ......

B. Skematik Film “State of Play” ................................................ 130

C. Semantik Film “State of Play” ............................................... .. 141

C.1 Latar ................................................ ................................... 141

C.2 Maksud .............................................. ................................. 147

C.3 Detail ................................................................ .................. 152

A. Kesimpulan ............................................................................... 159

B. Saran ........................................................................................ 164

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini informasi telah menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat. Dengan informasi, masyarakat menjadi tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Butuh media penyaluran informasi kepada masyarakat. Salah satu media yang dapat menyampaikan informasi kepada masyarakat adalah melalui kegiatan jurnalistik baik cetak maupun elektronik.

BM Mursito memaparkan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan dan memproses fakta menjadi format informasi tertentu, serta menyiarkannya kepada khalayak melalui media massa. 1

Informasi yang disampaikan melalui kegiatan jurnalistik tidak boleh dibuat- buat atau direkayasa. Jurnalistik berperan utama dalam proses penyebaran informasi yang benar dan jujur kepada masyarakat. Jurnalistik harus mampu mengungkap kebenaran yang sesungguhnya dan tidak memanipulasi informasi yang disuguhkan kepada khalayak. Sehingga kebenaran tersebut dapat membuka mata masyarakat dalam menentukan sikap dan langkah menjalani dinamika kehidupan.

Permasalahan kemudian muncul ketika jurnalistik berusaha mengungkap fakta namun ditutup-tutupi atau sengaja disembunyikan oleh pihak tertentu. Arus informasi melalui kegiatan jurnalistik kepada masyarakat yang seharusnya Permasalahan kemudian muncul ketika jurnalistik berusaha mengungkap fakta namun ditutup-tutupi atau sengaja disembunyikan oleh pihak tertentu. Arus informasi melalui kegiatan jurnalistik kepada masyarakat yang seharusnya

Istilah investigasi sendiri muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi reporter di Pittsburg Dispatch pada tahun 1890. Ia memulai gaya jurnalistik yang menandakan pengisahan seorang wartawan tentang orang-orang biasa. Pelaporan materi jurnalistik yang mengembangkan secara serial bagaimana kehidupan orang kelas bawah di dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan Bly harus bekerja di sebuah pabrik untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur (anak-anak) yang

dipekerjakan dalam kondisi yang tidak baik tersebut. 2

Dalam sejarah pers Indonesia, Harian Indonesia Raya dianggap koran pertama yang melakukan reportase investigasi ketika mereka membongkar adanya komite yang menyediakan wanita penghibur bagi para peserta Konferensi Asia

Afrika pada April 1955. Komite tersebut bernama Hospitality Committee. 3 Jurnalisme investigasi diposisikan sebagai level teratas dalam tingkatan kesulitan dalam jurnalistik. Berita-berita yang berdasarkan investigasi ini sering

disebut dengan istilah berita eksklusif. 4 Hal ini tidak berlebihan karena sifat

peliputannya yang berbeda dari peliputan reguler. Dalam melakukan investigasi, jurnalis harus mampu mengungkap fakta dari sebuah kasus yang tersembunyi maupun sengaja ditutup-tutupi. Sikap yang independen dibutuhkan agar berita yang disajikan terbebas dari pengaruh apapun. Pengaruh tersebut dapat berupa

2 Septiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 51.

mayoritas, subyektifitas pribadi, maupun tekanan dari media tempat sang jurnalis bekerja.

Jurnalis atau wartawan investigasi ada di antara kepentingan dan dinamika politik; berada di antara berbagai kepentingan menuntut jurnalis investigasi untuk mengambil sikap yang netral dan menampilkan berita secara obyekif. Sikap obyektif mengharamkan adanya keberpihakan dan mengutamakan prinsip cover both side yaitu memberikan porsi yang sama terhadap kedua belah pihak. Jurnalis investigasi harus mampu mengetengahkan berita yang utuh, benar, jujur, dan seorang jurnalis investigasi harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap suatu peristiwa yang terjadi.

"Konon, investigasi itu seperti seks. Sebagian orang lebih suka langsung mempraktikkannya daripada berlama-lama membicarakan

teorinya." 5

Sangat menarik ketika kita bisa melihat kinerja jurnalisme investigasi yang tidak mudah layaknya peliputan regular. Hal ini karena jurnalisme investigasi membutuhkan perjuangan wartawan dalam mengungkap sebuah kasus yang tersembunyi dan sarat akan kepentingan. Film “State of Play” menggambarkan kinerja jurnalis yaitu Cal Mc Affrey yang diperankan oleh Russell Crowe dan Della Frye yang diperankan oleh Rachel Mc Adams dalam melakukan investigasi suatu kasus. Mereka berusaha untuk mengungkap fakta secara obyektif.

mengungkap sebuah kasus pembunuhan. Awal dari film ini bercerita tentang 3 kasus pembunuhan yang ternyata saling berkaitan. Salah satu korban pembunuhan adalah seorang kepala Peneliti Departemen Pertahanan Amerika yaitu Sonia Baker. Kematian Sonia Baker berpengaruh pada Kepala Departemen Pertahanan yaitu Steven Callin yang notabene adalah teman baik Cal sewaktu kuliah. Cal memiliki pengalaman emosional yang buruk dengan istri Steven Callin karena dulu ia pernah tidur dengan istri Steven. Skandal tersebut menciptakan tantangan bagi sang jurnalis karena kepentingan pribadi dihadapkan pada independensi liputan.

Pencarian informasi kepada narasumber merupakan syarat mutlak dalam suatu investigasi. Itu pula yang dilakukan Cal yaitu dengan mencari narasumber yang dirasa relevan dan mengetahui kejadian pembunuhan. Hal ini tidak mudah mengingat tidak semua narasumber yang dihubunginya mau memberikan penjelasan karena alasan ancaman yang akan diterima.

Dalam kegiatan investigasi yang dilakukan oleh Cal yang notabene adalah

seorang jurnalis dalam film “State of Play”, ia dihadapkan pada banyak tantangan dan tekanan. Kasus yang ia ungkap ternyata mengancam eksistensi suatu perusahaan jasa keamanan, pemerintahan, serta melibatkan orang penting di dalam parlemen. Meski begitu, Cal tetap berusaha mengungkap fakta karena ia merasa mengemban tanggung jawab kepada masyarakat yaitu kebenaran yang sejati walaupun nyawa menjadi taruhan. Hal ini senada dengan pernyataan Bill Kovach dan Rosenstiel melalui sembilan elemen jurnalistik. Sembilan elemen ini

Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme “kebenaran” pada urutan yang

pertama. 6 Sebagaimana yang dialami oleh Cal dalam film “State of Play”, ia

ditembak oleh pelaku pembunuhan dan harus terseret mobil karena berusaha untuk menyelamatkan diri dari percobaan pembunuhan demi mengungkap kebenaran.

Joseph Pulitzer , menurut Mitchell V.Charnley, menyatakan ada dua hal yang signifikan yang mendasari reportase investigatif: bahwa jurnalisme harus membawa muatan pelayanan “pencerahan” (enlightened) publik dan

seringkali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja peliputan jurnalistik macam ini dimotivasi oleh “semangat, ketrampilan, keberanian, dan imajinasi”. Kerja peliputannya tidak puas dengan “kemendalaman penggalian” dan agresivitas serta kerap “berbahaya/berisiko

tinggi” terhadap fakta-fakta yang tersembunyi. 7

Jurnalis investigasi tak akan berjalan sendirian dalam melaksanakan tugasnya. Terdapat instansi netral bernama media yang menaungi para jurnalis dalam bekerja. Kita tidak boleh lupa bahwa media massa merupakan perusahaan yang membutuhkan keuntungan agar tetap bertahan dan berkembang. Mereka membutuhkan ketepatan waktu dan kecepatan jurnalis dalam peliputan. Bahkan tak jarang media memberikan tekanan kepada jurnalis dalam pemberian tenggat waktu penerbitan berita kepada wartawannya agar keuntungan tetap mengalir. Dalam film “State of Play” ini, Cal diminta oleh sang editor di tempat ia bekerja yaitu Washington Globe untuk menampilkan berita mengenai peristiwa pembunuhan Sonia Baker sesuai tenggat waktu yang diberikan. Masalah muncul ketika Cal belum menemukan siapa pembunuh dan apa yang sebenarnya terjadi di

membutuhkan berita untuk ditampilkan agar keuntungan tetap diperoleh. Di sisi lain, Cal juga membutuhkan fakta untuk menguak kebenaran sejati dan independen. Akhir dari film ini menyajikan investigasi seorang jurnalis bernama Cal yang berusaha sangat keras menampilkan fakta sesungguhnya dengan mengesampingkan tenggat waktu yang diberikan oleh pihak media. Baginya, kebenaran lebih penting dari tenggat waktu dan cerita bohong. Ia menulis kesimpulan dalam liputan berita investigasinya bahwa Steven Collin yang notebene adalah teman baiknya menjadi otak dari pembunuhan Sonia Baker.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana isu-isu jurnalisme investigasi diwacanakan dalam film, dalam hal ini yang menjadi objek kajian adalah film

“State of Play”. Film ini bisa dikatakan sebagai representasi dari jurnalisme investigasi. Dinamika jurnalisme investigasi nampak kental ditampilkan dengan

kisah seorang jurnalis yang harus mempertahankan independensinya dalam melakukan investigasi. Sang sutradara tentu memiliki maksud tersendiri dari film garapannya mulai dari pemilihan cerita hingga jalan ceritanya. Oleh karena itu analisis wacana berperan penting dalam pengungkapan makna-makna yang terkandung dalam film ini.

Menurut Ronald Carter dalam bukunya Working with Texts: A core book for language analysis, Discourse is a term used in linguistics to describe the rules and conventions underlying the use of language in extended stretches of text, spoken and writen. (Such an academic study is referred to as discourse analysis ). The term is also used as a convenient general term to refer to language in action and the patterns which

characteristise particular types of language in action. 8 characteristise particular types of language in action. 8

Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan konteks lebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Para analis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan. Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untuk memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat.

Analisis wacana melihat pada “bagaimana” dari suatu pesan atau teks komunikasi. Analisis wacana bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Selain itu, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari sebuah teks melalui struktur

kebahasaannya. 9 Dengan menggunakan metode analisis wacana, peneliti

menganalisis unsur teks film, sehingga dapat diketahui apakah film ini mampu mengusung wacana atau pesan-pesan tentang jurnalisme investigasi kepada khalayaknya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang seperti yang sudah penulis utarakan diatas dapatlah kiranya dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong dan menghambat jurnalisme investigasi dalam film “State of Play”?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana jurnalisme investigasi direpresentasikan dalam film “State of Play”.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menghambat jurnalis melakukan investigasi dalam film “State of Play”.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan bagaimana wacana isu-isu jurnalisme investigasi yang direpresentasikan dalam bentuk adegan dan dialog.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait permasalahan jurnalisme investigasi.

3. Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada para sineas untuk dapat memahami bahwa jurnalisme investigasi dapat mengungkap sebuah fakta yang tersembunyi sehingga dapat mendorong sineas Indonesia utuk lebih menggambarkan film sebagai wacana konstruksi sosial.

E. Telaah Pustaka

Manusia melakukan interaksi antar sesama yang sifatnya saling melengkapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan orang lain. Untuk memperlancar interaksi sosial tersebut maka dibutuhkan komunikasi sebagai

kegiatan pertukaran pesan antara manusia. 10

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan berasal dari kata communis yang memiliki arti yaitu sama. Komunikasi akan terlaksana dengan lancar apabila terdapat kesamaan pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan

makna yang dimaksudkan. 11

Dalam bukunya, John Fiske membagi studi komunikasi menjadi dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. 12 Pertama, ia mengkategorikan komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik mengenai bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Lebih lanjut Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses dimana seorang pribadi dapat mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Apabila efek tersebut tidak sama atau lebih kecil daripada yang diharapkan, maka hal

10 Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan Perempuan

dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta. 11 dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta. 11

sebagai “Mahzab Proses”. 13

Kedua, Fiske melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang guna menghasilkan makna yakni peran teks dalam kebudayaan kita. Terdapat penggunaan istilah-istilah seperti pertandaan atau signification , dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. Hal itu bisa saja terjadi karena adanya

perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. 14 Bagi mahzab ini, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima kemudian menghasilkan makna. Studi komunikasi dalam mashab ini adalah studi tentang teks dan kebudayan. Pengirim yang didefinisikan sebagai transmiter pesan menjadi turun arti pentingnya. Penekanan bergeser ke pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Terjadi proses penemuan makna ketika pembaca sedang berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Munculnya negosiasi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks tersebut. Pembaca yang memiliki pengalaman sosial berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pula ketika perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. 14 Bagi mahzab ini, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima kemudian menghasilkan makna. Studi komunikasi dalam mashab ini adalah studi tentang teks dan kebudayan. Pengirim yang didefinisikan sebagai transmiter pesan menjadi turun arti pentingnya. Penekanan bergeser ke pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Terjadi proses penemuan makna ketika pembaca sedang berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Munculnya negosiasi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks tersebut. Pembaca yang memiliki pengalaman sosial berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pula ketika

Dari uraian di atas maka disimpulkan bahwa pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B akan tetapi suatu elemen di dalam sebuah hubungan terstruktur beserta elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dilihat sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan yang terstruktur ini. Model struktur ini dapat digambarkan sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang

konstan dan dinamis. 16 Di dalam mashab inilah penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif dibandingkan kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih menonjolkan pihak pengirim pesan teks.

2. Film Sebagai Medium Komunikasi

Media komunikasi manusia dan segala karakteristiknya akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada di masyarakat. Selain itu salah satu unsur yang

membuat media terus berkembang adalah kemajuan dari teknologi. 17 Perangkat audio visual memiliki arti bahwa perangkat tersebut adalah perangkat yang bisa diterima menggunakan indera pendengar maupun indera penglihatan. Singkatnya, alat tersebut dapat didengar dan dilihat. Melalui

15 Ibid . 16 Ibid , hal.11.

17 Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi 17 Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi

bersuara dan televisi. 18

Larry Gross, di dalam jurnal Sol Worth and The Study of Visual Communication, pada Chapter One : The Development of a Semiotic of Film yang dapat diakses di http://astro.temple.edu/~ruby/wava/worth/sintro.html , film menciptakan tanda (sign) dan simbol dengan makna (pesan) tertentu. Oleh karena itu, film merupakan sebuah bentuk komunikasi dengan tanda. Dimana simbol dan tanda erat kaitannya dengan bahasa. Film layaknya sebuah bahasa yang dirangkai melalui bentuk simbol dan tanda yang

membawa pesan tertentu. 19

Salah satu fungsi film menurut Ron Mottram adalah sebagai media yang komunikatif. Film dianggap bagian penting dari sistem yang dipergunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan

menerima pesan (send and receive messages). 20

Makna yang dimiliki oleh film berasal dari hubungan antara pembuat film (bisa dikatakan produsen film, bisa produser atau sutradara) dengan penonton dari film itu sendiri. 21 Hal ini bisa dimaknai bahwa makna bukan berasal dari film itu sendiri. Pemaknaan film dibentuk melalui proses produksi sebuah film terkait dengan ”pengirim”, dimana proses produksi ini

akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan disampaikan kepada

18 Ibid. 19 Eka Nada Sofa Al Khajar dalam skripsinya yang berjudul Patriotisme Dalam Film, UNS Surakarta tahun

penonton atau ”penerima”. Jakobson mengemukakan bahwa pesan yang dibawa pastilah mengacu pada sesuatu diluar pesan itu sendiri. Hal ini ia sebut dengan ”konteks”. Jakobson juga menambahkan dua faktor lain yakni ”kontak” sebagai sarana saluran fisik dan koneksi fisiologis antara pengirim

dan penerima; dan ”kode”, sebagai sistem makna. 22

Context Message

Addresser------------------------------------------------------------------Addresse

Contact Code

Gambar 1.1.

Model Komunikasi Jakobson

Berdasar model di atas maka bisa dilihat bahwa sebuah film mengandung unsur komunikasi karena selain terkait dengan aktor utama komunikasi yaitu dalam hal ini pembuat film dan penonton, terdapat juga konteks acuan terhadap realitas. Sehingga seringkali film mengisahkan sebuah realitas sosial dalam masyarakat atau kondisi saat film itu dibuat. Bentuk hubungan antara aktor pun terjalin karena penonton seolah-olah

mengalami hal yang diceritakan dalam film. 23 Film memiliki sistem makna mengalami hal yang diceritakan dalam film. 23 Film memiliki sistem makna

model komunikasinya Jakobson 24

3. Hubungan Wacana dengan Film

Wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “discourse”. Di beberapa kamus wacana atau discourse secara harfiah memiliki beberapa artian, yaitu : 1) komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan, konversasi atau percakapan 2) komunikasi secara umum terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah 3) risalat tulis, disertasi

formal, kuliah, ceramah, khotbah. 25

James P. Gee memeliki gagasan berupa teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi. Ia membedakan discourse ke dalam dua jenis: Yang pertama adalah “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kemudian yang kedua adalah “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non- language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non- language “stuff” ini bisa berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non- language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian James P. Gee memeliki gagasan berupa teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi. Ia membedakan discourse ke dalam dua jenis: Yang pertama adalah “discourse” (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kemudian yang kedua adalah “Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse” (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non- language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non- language “stuff” ini bisa berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non- language “stuff” itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian

Secara ilmiah teoritik beberapa pakar telah mendefinisikan perdebatan tentang wacana atau discourse ini. Fiske mendefinisikan “discourse” atau wacana sebagai bahasa atau sistem representasi yang dibangun secara sosial dalam suatu tertib untuk membuat dan mengedarkan seperangkat makna yang koheren tentang suatu topik penting. Sedangkan Roger Fowler mendefinisikan wacana sebagai komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya, kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia, sebuah organisasi atau

representasi dari pengalaman. 27

Merunut pada pendapat Fiske dan Roger Fowler di atas maka wacana dapat berupa komunikasi lisan atau komunikasi ujaran dan komunikasi tulis. Yang menjadi faktor penting adalah bentuk komunikasi tersebut harus berupa sistem representasi yang dibangun secara sosial untuk mengedarkan suatu makna koheren tentang suatu topik. Karena itu, sebuah wacana harus punya

dua unsur penting, yakni kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence). 28 Seringkali banyak orang terpaku jika wacana hanya melingkupi komunikasi tulisan saja padahal titik singgung utama dari sebuah wacana adalah adanya pemakaian bahasa. Dalam kenyataan, wujud dari bentuk wacana itu dapat dilihat dalam beragam buah karya si pembuat wacana:

26 Ibid. 27 Ibid.

berita, features, artikel opini, cerpen, novel, dsb.

2. Talk (wacana dalam wujud ucapan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara, obrolan, pidato, dsb.

3. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud lakon drama, tarian, film, defile, demonstrasi, dsb.

4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud

bangunan, lanskap, fashion, puing, dsb. 29

Dalam wacana terdapat unsur teks dan konteks yang tidak bisa dipisahkan. Ia mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya.Hal

ini diungkapkan oleh Guy Cook. 30

Graeme Turner dalam Film As Social Practice menyatakan bahwa, wacana juga berada di media komunikasi film dimana terdapat unsur ekspresi komunikasi berupa ucapan, musik, gambar, efek suara, dan citra. Film, TV, dan periklanan akan menjadi target utama penelitian analisis teks karena

29 Opcit.

tanda dan makna. 31

Lebih lanjut film bukan berarti hanyalah sebuah media komunikasi yang dapat dipahami hanya dari segi tekstualnya melainkan film juga sebagai sarana perdebatan yang lebih luas mengenai representasi proses sosial yang telah menghasilkan gambar, suara, tanda dan tujuan untuk sesuatu (dalam wacana ini yang disebut dengan konteks). Film merupakan produk budaya dan wujud praktek sosial di mana nilai yang terkandung dari sebuah film

dapat memberitahu kita tentang sistem dan proses sebuah budaya. 32 Lebih lanjut Graeme Turner melihat makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan

kode-kode, konvensi-konvensi,

dan

ideologi dari kebudayaannya. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Menurut Van Zoest pada film menggunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan

sesuatu. 33 Pesan yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana sebuah film dapat merepresentasikan isu-isu jurnalisme investigasi. Sehingga dapat

31 Skripsi Muhammad Fanni Ikhsan berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam Mengahadapi Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan Perempuan

dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta. 32 dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). UNS Surakarta. 32

4. Jurnalistik

a. Pengertian Jurnalistik Menurut Kustadi Suhandang, pengertian jurnalistik dari segi estimologi terdiri dari dua suku kata, jurnal dan istik. Kata jurnal berasal dari bahasa Perancis, journal, yang berarti catatan harian. Hampir sama bunyi ucapannya dengan kata yang ditemukan dalam bahasa Latin, diurna yang berarti hari ini. Sehubungan dengan kegiatan jurnalistik, pada zaman kerajaan Romawi Kuno yang diperintah oleh Julius Caesar dikenal dengan istilah acta diurna yang mengandung makna rangkaian akta (gerakan, kegiatan, dan kejadian) hari ini. Adapun kata istik merujuk pada istilah estetika yang memiliki arti ilmu

pengetahuan tentang keindahan. 35

Berdasar uraian di atas, Kustadi Suhandang mengartikan jurnalistik secara estimologis sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari, karya mana memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian khalayaknya sehingga dapat dinikmati dan

dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya. 36

Ia juga menambahkan bahwa jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita

34 Disarikan dari skripsi Muhammad Fanny Ikhsan yang berjudul Potret Perjuangan Perempuan dalam

Mengahadapi Ketidakadilan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan (Analaisis Wacana Perjuangan

Perempuan dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). 35 Perempuan dalam Film Perempuan “Perempuan Punya Cerita”). 35

kehendak para jurnalisnya. 37

Jurnalistik, menurut Lislie Stephen, seperti dikutip Fraser Bond dalam buku “ Pengantar Jurnalistik”, terdiri dari penulisan tentang hal-

hal yang penting yang tidak anda ketahui. 38

Seperti yang dijelaskan Adinegoro yang dikutip Suhandang dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Jurnalistik”, jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, sedangkan publisistik adalah kepandaian yang ilmiah. Sebagai kepandaian praktis, jurnalistik adalah salah satu obyek di samping obyek- obyek lainnya dari ilmu publisistik, yang mempelajari seluk beluk penyiaran berita-berita dalam keseluruhannya dengan meninjau segala saluran, bukan saja pers, tapi juga radio, televisi, film, teater, rapat-rapat umum, dan segala

lapangan. 39 Astrid S. Susanto melalui bukunya, Komunikasi Massa (1986:73)

mendefinisikan jurnalistik sebagai kejadian pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. 40

BM Mursito memaparkan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan dan memproses fakta menjadi format informasi tertentu, serta menyiarkannya kepada khalayak melalui media massa. Fakta di sini adalah berupa peristiwa, fenomena, situasi, kondisi, atau kecenderungan yang benar-benar ada dalam

37 Ibid. 38 Mursito BM, Penulisan Jurnalistik, SPIKOM, Solo, 1999, hal. 3.

menstruktur fakta menjadi suatu bentuk wacana baik bersifat audio, visual,

maupun audio visual. 41

Senada dengan itu Onong Uchyana Effendy (1981:102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan hingga

penyebarannya kepada masyarakat. 42

Begitu juga A.W. Widjaja (1986:27) yang menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang

secepat-cepatnya. 43

Djafar H. Assegaff, seorang wartawan senior Indonesia yang juga mantan Duta Besar mendefinisikan jurnalistik sebagai “kegiatan untuk

menyampaikan pesan/berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media entah media tadi media cetak ataupun elektronika”. (Djafar

H. Assegaff, 1985:11) 44

Lebih ringkas lagi Djen Amar, mantan Pimpinan Umum Harian Indonesia

Expres , mendefinisikan

jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-

luasnya dalam waktu yang secepat-cepatnya. 45

Dalam bukunya yang berjudul Ihwal Jurnalistik, Rosihan Anwar (1974:10) menceritakan bahwa di Amerika Serikat ada orang-orang yang mengatakan bahwa, jurnalism is not a game, kewartawanan itu bukan

41 Ibid. 42 Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik, Nuansa, Bandung, 2004, hal.21. 43 Ibid, hal 21-22.

tujuan sosial yang serius. Dengan menggunakan kemerdekaannya, pers di Amerika merupakan senjata yang paling berkuasa untuk menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, membetulkan apa yang salah dan yang

tidak adil, serta memerangi kejahatan. 46

Dalam buku Kustadi Suhandang, terdapat satu definisi yang lengkap mengenai beberapa pendapat tokoh-tokoh di atas yaitu jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah,

dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya. 47 Dari beberapa uraian definisi di atas, terdapat beberapa persamaan yaitu definisi-definisi tersebut tidak keluar dari ciri utama jurnalistik. Ciri-ciri utama tersebut adalah tentang keterampilan dalam menyusun pemberitahuan, penyampaian yang menarik perhatian, dan bertujuan untuk mempengaruhi khalayak.

Ciri kegiatan jurnalistik memang ditandai oleh kegiatan menyampaikan berita. Namun tidak setiap kejadian bisa dijadikan berita jurnalistik. Ada ukuran-ukuran tertentu yang harus dipenuhi agar suatu kejadian atau peristiwa dapat diberitakan pers. Inilah yang disebut sebagai kriteria layak berita (news value, news worthy), yaitu layak tidaknya suatu kejadian dalam masyarakat diberitakan oleh pers atau bernilainya kejadian tersebut bagi

pers. 48

46 Opcit. 47 Opcit , 23.

value dan layak berita adalah yang mengandung satu atau beberapa unsur di bawah ini :

1. Significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang mempunyai akibat terhadap kehidupan pembaca.

2. Magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.

3. Timelines (waktu), yaitu kejadian yang menyangkut hal-hal yang baru terjadi, atau baru dikemukakan.

4. Proximity (kedekatan), yaitu kejadian yang dekat bagi pembaca. Bisa berupa kedekatan geografis maupun emosional.

5. Prominence (tenar), yaitu menyangkut hal-hal yang terkenal atau sangat dikenal oleh pembaca.

6. Human interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberi sentuhan

perasaan bagi pembaca. 49

b. Reportase Investigasi dalam Jurnalistik

1. Pengertian Reportase Investigatif Dalam bukunya yang berjudul “Jurnalisme Investigasi”, Septiawan Santana mengutip dari http://www.spatacus.schoolnet.co.uk pada bulan Agustus tahun 2000 mengenai historical jurnalisme investigasi. Dalam 1. Pengertian Reportase Investigatif Dalam bukunya yang berjudul “Jurnalisme Investigasi”, Septiawan Santana mengutip dari http://www.spatacus.schoolnet.co.uk pada bulan Agustus tahun 2000 mengenai historical jurnalisme investigasi. Dalam

umur (anak-anak) yang dipekerjakan dalam kondisi yang tidak baik. 50 Pernyataan Atmakusumah juga dikutip dalam buku ini. Menurut Atmakusumah, reporting berasal dari asal kata latin reportare, yang berarti "membawa pulang sesuatu dari tempat lain". Dijelaskan oleh Atmakusumah bahwa bila dikaitkan ke dalam dunia jurnalisme, hal itu menjelaskan seorang wartawan yang membawa laporan kejadian dari sebuah tempat di mana telah terjadi sesuatu. Sementara investigative berasal dari kata Latin vestigum, yang berarti "jejak kaki". Hal itu menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta,berbentuk data

dan keterangan, dari sebuah peristiwa. 51