REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”).

(1)

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH

DARA”)

SKRIPSI

Oleh :

R.NOVAYANA KHARISMA NPM. 0743010213

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(2)

Judul Penelitian :

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAHDARA”

(Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)

Nama Mahasiswa : R.Novayana Kharisma

NPM : 0743010213

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti ujian / seminar proposal.

KETUA PROGRAM STUDI PEMBIMBING

JUWITO, S.Sos, M.Si. ZAINAL ABIDIN ACHMAD. S.Sos, M.Si. M. ED NPT.36704 95 00361 NPT. 37305990170.1


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat, Nikmat, serta Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “RUMAH DARA”)

Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan Skripsi ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini baik moral maupun tenaga antara lain :

1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.

4. Untuk Mami dan keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta,


(4)

5. Untuk “Cinta”ku terimakasih untuk support dan segala yang kau berikan.

6. For Rea-Reo, Batok’s, Pleki, Brewik, Mama, Diaz, Bangau, Along, Gopel,

Pencenk, Cupank, Vermin, Hendry you’re the best guys.

Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam penyusunan Proposal ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Proposal ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga Proposal ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima kasih.

Surabaya, 6 Mei 2011


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1. Landasan Teori ... 11

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa ... 11

2.1.2. Konstruksi Realitas Sosial ... 14

2.1.3. Representasi ... 19

2.1.4. Pengertian Kekerasan ... 22

2.1.4.1. Definisi Kekerasan ... 22

2.1.4.2. Kategori Kekerasan ... 24

2.1.4.3. Kekerasan Dalam Media ... 27

2.1.5. Respon Psikologi Warna ... 29

2.1.6. Semiotika ... 31

2.1.7. Teori Semiotika John Fiske ... 33

2.1.8. Kerangka Berpikir ... 36


(6)

3.1. Metode Penelitian ... 38

3.2. Kerangka Konseptual ... 39

3.2.1. Corpus Penelitian ... 39

3.2.2. Definisi Operasional ... 47

3.2.2.1. Representasi ... 47

3.2.2.2. Kekerasan ... 47

3.2.2.3. Kategori Kekerasan ... 47

3.3. Unit Analisis ... 49

3.4. Jenis Sumber Data ... 50

3.4.1. Sumber Data Primer ... 50

3.4.2. Sumber Data Sekunder ... 50

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 51

3.6. Teknik Analisi Data ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… ... 52

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data . ... 52

4.1.1. Gambaran Umum Film Rumah Dara ... 52

4.1.2. Penyajian Data . ... 55

4.2. Analisis Data . ... 57

4.2.2. Analisis Keseluruhan . ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN . ... 109

5.1. Kesimpulan . ... 109

5.2. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN


(7)

DAFTAR GAMBAR

4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam dengan pisau

4.2.2. Adam mematahkan tangan Alam tangan Alam 4.2.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam

4.2.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman 4.2.5. Leher Jimmy dipatahkan oleh Adam

4.2.6. Adjie mencekik ibu Dara

4.2.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman 4.2.8. Adam membacok tangan Petrus hingga putus

4.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya

4.2.10. Dara memukul syarief dengan senjata api milik syarief hingga mati

4.2.11. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya

4.2.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan clurit milik adam

4.2.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak bisa bernapas

4.2.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya

4.2.15. Arman mencoba menjilati dan mencium bagian tubuh ladya namun ladya berhasil meloloskan diri

4.2.16. Arman memergoki ladya lalu membawanya kekamar untuk melakukan adegan seksual dengan cara paksaan


(8)

ABSTRAKSI

R.NOVAYANA KHARISMA. REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “RUMAH DARA” (Studi Semiotik Terhadap Film “Rumah Dara”)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam film melalui tokoh-tokoh utama. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat.

Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi. Data dibagi menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera, pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi, Efek Media

Massa Dalam Kehidupan Masyarakat. 

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan verbal dan kekerasan psikologis. Kekerasan tersebut dilakukan karena ingin menyelamatkan diri dari serangan keluarga ibu dara yang dialami tokoh-tokoh utama, dan kekerasan yang dihadirkan merupakan bumbu untuk menimbulkan kengerian dan ketakutan bagi penontonnya.

Kata kunci :


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Film adalah salah satu bentuk karya seni yang menjadi fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai objek seni abad ini, film dalam proses berkembang menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada manusia sebagai penonton. Film berperan sebagai pembentuk budaya massa” (McQuail, 1987:13). “Selain itu pengaruh film juga sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia karena penonton tidak hanya terpengaruh ketika ia menonton film tetapi terus sampai waktu yang cukup lama” (Effendy, 2002:208). Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya memberikan pengaruh kepada khalayaknya untuk bertindak sesuatu.

Hal ini sesuai yang dikatakan sumarno (1998:85) yang mengatakan bahwa film adalah sebuah seni mutakhir dari abad 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan dapat memberikan dorongan terhadap


(10)

penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton ini lebih jauh misalnya sebuah film dapat menjadi media menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga mendidik melalui film dokumenter, dan lain sebagainya.

Dunia film, pada dasarnya juga bentuk pemberian informasi kepada masyarakat. Film juga memberi kebebasan dalam menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang pembuat sineas kepada para penontonnya. Kebebasan dalam hal ini adalah film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sesuatu, dipihak lain film juga terkadang malah disertai tendensi tertentu, misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema sentral.

Berdasarkan maksud ingin memberikan informasi, secara umum film dikelompokkan menjadi dua pembagian besar yaitu film cerita dan non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan kepada publik sebuah cerita yang mengandung unsur-unsur yang menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat auditif visual, yang dapat disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan suara yang dapat didengar, dan merupakan suatu hidangan yang masak untuk dinikmati, sungguh merupakan suatu medium yang bagus untuk mengolah unsur-unsur tadi, film itu sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksi menjadi kesatuan yang menarik. Unsur-unsur seks, kejahatan/kriminalitas, roman, kekerasan, rasisme dan sejarah adalah unsur-unsur cerita


(11)

yang dapat menyentuh rasa manusia, yang dapat membuat publik terpesona, yang dapat membuat publik tertawa terbahak-bahak, menangis terisak-isak, dapat membuat publik dongkol, marah, terharu, iba, bangga, tegang dan lain-lain. Maka diambillah dari kisah-kisah dari sejarah, cerita nyata dari kehidupan sehari-hari, atau juga khayalan untuk kemudian diolah menjadi film (Effendy,2003:207)

Film mempunyai dampak tertentu bagi penontonnya, dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya film, baik yang ditayangkan di televisi atau bioskop, selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Selain itu, kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.

Hal ini dapat terjadi Karena media visual seperti film dan televisi mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menirukan dunia nyata melalui duplikasi realitasnya, sehingga lebih mudah memahami apa yang disampaikan olehnya dari pada menjelaskannya. Film sebagai media visual elektronik secara drastis telah mengubah cara kita merasakan dunia, bahkan kita sendiri. Selama kurun waktu 80 tahun terakhir, kita telah


(12)

dibombardir dengan ribuan film yang beredar sebagai informasi massa, tanpa kita bertanya bagaimana cara mereka menyampaikan komunikasi tersebut dan apa makna dari informasi yang mereka sampaikan.

Cristian Metz (1974 : 47) menyatakan : bahwa kita dapat memahami film bukan karena kita mempunyai pengetahuan tentang sistem di dalamnya, tetapi lebih kepada kita mendapatkan pemahaman atas sistem didalamnya karena kita memahami film. Dengan kata lain, bukan karena film adalah bahasa, sehingga ia dapat menyampaikan sebuah cerita yang menarik, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa film telah menjadi bahasa karena telah mampu menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik.

“we understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories

(Metz, 1974 : 47)

Karakter film sebagai media massa mampu membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Singkatnya, film merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat. (Jowett dalam Irawanto, 2003:90)


(13)

Realitas yang disajikan dalam film merupakan realitas sebenarnya, atau dapat juga berupa realitas imajinasi. Film menunjukkan pada kita jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Fenomena perkembangan film yang begitu pesat membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang progresif. Bukan saja oleh negara yang memiliki industri besar, tetapi juga oleh negara yang memiliki industri film besar, tetapi juga oleh negara yang baru menata industri filmnya. Apa yang telah dihasilkan oleh Hollywood, Bombay dan Hongkong dengan menglobalkan sesuatu yang semula hanyalah sebuah sub-kultur di negara asalnya, setidaknya menjadi latar belakang kesadaran tersebut. Film juga bisa dianggap mempresentasi citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan juga bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. (Mambor, 2000:1)

Diawal tahun 90 an dunia penuh diwarnai kecemasan tentang kekerasan yang banyak ditampilkan oleh film-film yang diputar di televisi maupun bioskop-bioskop. Kekerasan itu mulai dari senjata api, kemudian senjata tajam, merusak dengan sengaja, serta berbagai ancaman lain yang serius. Sumber kecemasan terletak pada ekses-ekses kekerasan yang dapat berpengaruh pada penonton, terutama dalam pembentukan kepribadian dan watak


(14)

anak-anak. Seperti yang kita ketahui America dan Hollywood memiliki dunia perfilman yang sangat maju. Hal ini terbukti mulai dari segi teknologi perfilman yang sangat modern, ide cerita yang sangat kaya dan memilki pengaruh yang sangat besar sehingga menjadi tolak ukur bagi perfilman dunia dalam segala hal. “Menurut Medved, pengarang buku Hollywood in America, film-film Hollywood telah lama pamer kekerasan secara berlebihan. Film-film seperti Basic insting, Saw, American History dan total recall, semata-mata hanya menciptakan kengerian dari kehidupan sehari-hari” (Sumarno,1998:85).

Salah satu film yang bercerita tentang fenomena kekerasan di Indonesia yaitu film yang berjudul “Rumah Dara” Film yang bersemboyan "Horor menemukan seorang ibu" ini disutradarai oleh Mo Brothers yaitu duet sutadara, yakni Kimo Stamboel dan Timothy Tjahjanto dan dibintangi oleh Shareefa Daanish dan Julie Estelle sebagai tokoh utama. Film Rumah Dara berkisah mengenai sekelompok pemuda-pemudi yang terjebak di rumah milik seorang pembunuh misterius yang bernama "Dara". Dan setiap tamu yang datang kerumahnya akan dibunuh dan dibantai secara sadis seperti kepala di penggal dengan gergaji mesin lalu di mutilasi, mata ditusuk dengan stileto, tangan di bacok dengan clurit hingga putus, dibakar dengan lighter dan masi banyak adegan lainnya yang lebih keras dan sadis. Film ini penuh dengan adegan kekerasan, dari


(15)

faktor –faktor pendukung lain yang ditampilkan dalam film ini yaitu simbol-simbol hiasan dinding seperti kepala-kepala hewan, senjata tajam seperti pedang samurai dan pisau serta simbol pentagram yang sangat sarat dengan tanda atau lambang pemujaan setan.

Jika diamati sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Medved (Sumarno,1998), film ini termasuk salah satu dalam kategori film yang mengekspos kekerasan secara berlebihan. Hampir semua bentuk kekerasan tergambar dan terwakili dalam ini, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan verbal dan nonverbal, kekerasan agresif-defensif, kekerasan individu-kolektif maupun kekerasan semoitik atau simbolis.

Rumah Dara adalah film horor jagal dari Indonesia yang dirilis pada tanggal 22 Januari 2010. Sebelum ditayangkan di Indonesia, karakter Dara telah lebih dahulu dipopulerkan lewat segmen film pendek "Dara" dalam film horor antologi "Takut: Faces of Fear" yang juga disutradarai Mo Brothers dan dirilis pada tahun 2008 di festival-festival film di seluruh dunia. Segmen film pendek Dara mendapat begitu banyak tanggapan positif sehingga akhirnya Rumah Dara mendapat harapan besar dari para penggemar film Dara. Pada tahun 2008-2009, Rumah Dara juga telah dilayarkan lebih dahulu di berbagai festival film internasional


(16)

dan banyak meraih penghargaan. Pada akhir 2009, film ini ditayangkan di Singapura terlebih dahulu dan mendapatkan rating

M18 (untuk adegan sadis dan kekerasan).Rumah Dara lalu dirilis

secara serempak di seluruh Indonesia pada tanggal 22 Januari 2010. Distribusi film ini ke Amerika Utara dan Eropa telah dibeli oleh Overlook Entertainment. Film ini sangatlah bertolak belakang dengan apa yang diinginkan padap RUU perfilman Indonesia yang tepat pada bulan maret 1992 RUU tersebut di sahkan menjadi Undang-Undang. Pada pasal 36 ayat b: menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; dan pasal 48 f mengenai pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme. Terkait dengan pasal 33 ayat 1 “ barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan menayangkan film yang tidak di sensor akan dikenai pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.40.000.000 (empat puluh juta rupiah). (http//www.google.co.id/RUU perfilman). Tetapi mengapa di Indonesia malah film ini ditayangkan di bioskop-bioskop dan diedarkan secara resmi? Dalam twitter resmi Rumah dara, diumumkan bahwa film ini dicekal dan dilarang untuk tayang di Malaysia karena tema yang dianggap bertentangan dengan hukum sensor film Malaysia. Film ini menjadi film Indonesia pertama


(17)

yang dicekal dan dilarang untuk tayang di Malaysia. (ESQmagazine. 24 Februari 2011)

Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak negative bagi penonotonnya, karena bukan tidak mungkin lagi bagi mereka meniru apa yang sudah mereka lihat dari film, oleh karena itu, menurut Eigynysebroto (1977:78) kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita dipihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu.

Untuk itu peneliti menggunakan analisis semiotik sebagai alat analisis. Sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik yakni penggunaan lambing-lambang yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu lambang. Sedangkan


(18)

semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada suatu waktu tertentu (Berger, 2000:11-12 dalam Bhirowo, 2004:18). Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda-tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semiolog memandang film, program televisi, poster, iklan, dan bentuk lainnya sebagai teks semacam dalam linguistic. Dalam hal ini film dapat bertugas untuk memperluaskan bahasa (Barthes, 2001:53)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin meneliti “Bagaimanakah Representasi kekerasan dalam film “Rumah Dara” ? ”

1.3. Tujuan Peneliti

Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui representasi kekerasan dalam film “Rumah Dara”


(19)

11 

 

1.4. Manfaat Penelitian

Peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti untuk mengetahui representasi kekerasan pada film, yang ingin menganalisa kajian kekerasan dengan menggunakan metode semiotika.

2. Secara Praktis

Analisis semiotik kekerasan di film “Rumah Dara” dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Dan menjadi kerangka acuan bagi film maker Indonesia agar lebih hati-hati dalam menampilkan adegan-adegan kekerasan dalam film, karena sangat berdampak negatif bagi penontonnya


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang : Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita, video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya.

Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar, yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan kepada umum, dan film dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Mengapa hanya dibatasi di media tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah karena media itulah yang paling sering


(21)

menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi, sehingga senantiasa melakukan pengkajian yang seksama (Effendy,2003:79).

Dalam komunikasi massa film dengan televisi mempunyai sifat yang sama yaitu audio visual, bedanya mekanik atau non elektronik dalam proses komunikasinya dan rekreatif-edukatif persuasif atau no informatif dalam fungsinya. Dampak film bagi khalayak sangat kuat dalam menimbulkan efek afektif, karena medianya berkemampuan untuk menanamkan kesan, layarnya untuk menayangkan cerita relatif besar, gambarnya jelas, dan suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat suasana penonton mencekam.

Seorang komunikator melalui media massa dikatakan mahir, apabila ia berhasil menemukan metode yang tepat untuk menyiarkan pesannya. Meskipun jumlah komunikannya mencapai jutaan, kontak yang asasi adalah antara dua orang, benak komunikator harus mengenai benak komunikan. Komunikasi Massa yang berhasil adalah kontak pribadi dengan pribadi yang diulangi ribuan kali secara serentak.

“Jadi dalam komunikasi massa ada 2 tugas komunikator, yaitu mengetahui apa yang ia komunikasikan dan bagaimana ia


(22)

harus menyampaikannya”(Effendy,2003:81). Adapun ciri-ciri dari komunikasi massa adalah :

a. Komunikator melembaga

b. Pesan bersifat umum

c. Media menimbulkan keserempakan

d. Komunikan bersifat heterogen

e. Proses berlangsung satu arah

Menurut, Wright komunikasi massa memiliki empat macam fungsi (Wiryanto,2000:11) yaitu :

a. Surveillance, menunjuk pada fungsi pengumpulan dan

penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik diluar maupun didalam masyarakat. Fungsi ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling News.

b. Correlation, meliputi fungsi interpretasi pesan yang

menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian, funsi di identifikasikan sebagai fungsi editorial dan propaganda.

c. Transmissions, menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan

informasi, nilai-nilai dan norma sosial budaya dari satu generasi kegenerasi yang lain, atau dari anggota-anggota


(23)

masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini di identifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

d. Entertainment, menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif

yang dimaksudkan untuk memberi hiburan tanpa mengaharapkan efek-efek tertentu.

Film merupakan media untuk komunikator, yang dalam hal ini adalah orang yang memiliki ide cerita/creator, untuk menyampaikan gagasannya tentang sesuatu. Yaitu apa yang menjadi tema suatu film yang dibuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mira Lesmana :

Film adalah pilihan hidup saya dan medium

ekspresi pilihan saya, buat saya film indonesia adalah rekaman pikiran manusia-manusia Indonesia pada jamannya “Extremely Important To Be Exist.com” (Lesmana:2000.Layarkata)

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1994:13)

` 2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh berkembang dalam


(24)

masyarakat dan memproyeksikan kedalam layar. (Irwanto dalam Alex sobur.2002:127).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak”(moving image) namun juga telah di ikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan

dampak negatif (Victor C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh peter L Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social

Construction of Reality (1996). Menurut Berger realitas sosial

eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subyeknya. Bagi Berger,


(25)

realitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif. (Poloma,2000:299)

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Berger setuju dengan pernyataan fenomologis bahwa terhadap realitas berganda daripada hanya suatu realitas tunggal. Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified) realitas sama-sama dimiliki oleh orang lain. Akan tetapi, berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam metode yang dialektis, Berger melihat


(26)

masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. (Poloma,2000:13)

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap :

Pertama, Eksternalisasi, yakni usaha untuk pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, Ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana Ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.

Kedua, Objektivasi, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.

Ketiga, Internalisasi. Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.


(27)

Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14-15).

Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengubah masyarakat itu. (Poloma, 2000:316).


(28)

2.1.3. Representasi

Menurut John Fiske yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004:282).

Konsep representasi adalah proses pemaknaan yang berupa simbol-simbol yang terdapat dalam film yang diteliti, sehingga kita dapat mengetahui hasil yang didapat setelah melakukan representasi terhadap film yang diteliti.

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosialn dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.  (Chris Barker, 2004:8)

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan


(29)

yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. (Nuraini Juliastuti, 2000:4)

representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.  (http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk abstrak. Kedua, bahasa yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi dalam bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat


(30)

bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. (Juliastuti, 2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. (http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa (Eriyanto,2001:113).

Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan


(31)

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaanya. (Irawanto,1999:15).

2.1.4. Pengertian Kekerasan

2.1.4.1. Definisi Kekerasan

Kekerasan atau bahasa Inggris: Violence berasal dari bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan

kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat

diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini. Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif


(32)

untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak, seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme. (Bourdieu, Pierre, 1977:248)

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan. (Poerwadarminta, 1999:102).

Sedangkan dalam bahasa inggris, kekerasan (violence) berarti suatu serangan / invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. (Englander dalam Saraswati,2006:13).

Ada dua jenis kekerasan menurut kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi: umpatan, olok-olok, hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal


(33)

adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.

2.1.4.2 Kategori Kekerasan

Ada empat jenis kekerasan yang diidentifikasi (Santoso, 2002:11):

1. Kekerasan Terbuka

Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.

2. Kekerasan Tertutup

Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam.

3. Kekerasan Agresif

Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu seperti penjabalan.

4. Kekerasan Difensif


(34)

Kekerasan bisa merupakan suatu aktivitas kelompok atau individu yang disebut :

1. Kekerasan individu, seperti bunuh diri.

2. Kekerasan kolektif, kekerasan yang dilakukan oleh suatu massa atau orang yang berkumpul bersama, orang yang membagi hartanya secara sosial tidak terorganisasi dalam kaitannya dengan nilai atau tujuan politik tertentu.

3. Kekerasan Gang, melibatkan suatu kelompok yang bertindak bersama, adanya pandangan bahwa kekerasan merupakan perilaku inovatif, mundur atau perilaku memberontak. (Santoso, 2002:41).

Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan antara lain (Sunarto, 2009:123) :

a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan.

b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau


(35)

tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, istri, teman atau orang tua).

c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban memaksa hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa.

d. Kekerasan financial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.

e. Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.


(36)

f. Kekerasan fungsional adalah tindakan memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, meghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain-lain yang relevan.

2.1.4.3 Kekerasan dalam Media

Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun didalamnya ada tersaji nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinisikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang sifatnya simbol, kekerasan berupa sikap tidak saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif. (http://id.shvoong.com).

Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya kekerasan social riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap


(37)

representif masyarakat, alat penggerak hokum. (Haryatmoko, 2007:124).

Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga berdasarkan tiga tipe dunia dalam media, yaitu : (Nel dalam buku Haryatmoko, 2007:127)

1. Kekerasan – dokumen – Merupakan bagian dari dunia riil atau factual. Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar yang dapat mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan gambar tersebut dipahami pemira sebagai dokumen atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media dapat di representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan (pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan) bisa juga dengan situasi (konflik, luka, tangisan) sehingga timbul emosi yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri manusia tersebut.

2. Kekerasan – fiksi – menunjuk kepada kepemilikan dunia yang mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan iklan. Kekerasan yang terdapat dalam kisah fiksi dapat menyebabkan pemirsa terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi menjadi berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.


(38)

3. Kekerasan – simulasi – Berasal dari dunia virtual, misal : dalam permainan video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak-anak yaitu dapat melhirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan, kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan video.

Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai kekerasn simbolik (Haryatmoko, 2007:127). Kekerasan simbolik berlangsung karena system informasi dan media besar berjalan mengikuti aturan tertentu dalam bentuk keseragaman, tuntutan reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan (Haryatmoko, 2007: 128).

2.1.5. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga dianggap sebagai suatu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresif, bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan


(39)

mempunyai arti “Bahagia” di budaya Oriental.

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, keteraturan.

3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya barat), pengkhianat.

5. Ungu/Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan, tranformasi, kekerasan, keangkuhan

6. Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan.

7. Coklat : Tanah/Bumi, reability, comfort, daya tahan.

8. Abu-abu : Intelektual, masa depan (kaya warna millenium), kesederhanaan, kesedihan.

9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan, ketidakbersalahan,

kematian,ketakutan,kesedihan,keanggunan . (http//www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.1html).


(40)

2.1.6. Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atasa dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. (Eco, dalam Alex Sobur 2002:95)

Menurut John Fiske (2004:282), semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sitem tanda, ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media, atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Eco, dalam Alex Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan oleh (Van Zoest, dalam Alex Sobur 2002:96) mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Preminger (2001), ilmu ini menganngap bahwa fenomena sosial atau masyarakat kebudayaan itu meupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,


(41)

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce, seorang filsuf Amerika yang hidup diperalihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005:33)

Logika, secara umum adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (..), suatu doktrin formal atau Quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “Quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (..) kita diarahkan kepada pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali niscaya. (Pierce, 1986:4 dalam Budiman, 2005:34)

Disisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai seorang sarjana languistik di Perancis. Sebuah


(42)

ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan menjadi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama semiologi (dari bahasa Yunani “Semeon” “tanda”). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya. (Saussure, 1966:16 dalam Budiman, 2005:35).

2.1.7. Teori Semiotika – John Fiske

Teori yang dikemukakan John Fiske adalah tentang “The Codes of Television” (Fiske, 1987:4), dipakai oleh peneliti untuk menganalisis film “Rumah Dara”. Peneliti menggunakan teori semiotika John Fiske karena semiotika John Fiske mampu memaknai obyek yang termasuk dalam gambar gerak (moving image).

Kode adalah suatu tanda yang sudah ditetapkan dimana peraturan dan konvensi telah dibagi dalam suatu sosial budaya, yang digunakan untuk mengeneralisasikan dan mensirkulasikan arti dalam dan untuk budaya itu sendiri. Kode adalah links diantara produser, teks, penonton dan agen intertekstual melalui teks yang berhubungan di dalam suatu netwrok yang telah menetapkan dalam kultur kita. Kode-kode ini bekerja dalam satu struktur komplek


(43)

hirarki yang terlalu sederhana untuk suatu kejelasan. Teori ini menyatakan bahwa peristiwa yang dinyatakan telah dienkode oleh kode-kode sosial adalah sebagai berikut:

1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara).

2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara).

3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran).


(44)

  36

2.1.9. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik, mengingat film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek, baik verbal maupun non verbal. Menurut pendekatan semiotik John Fiske analisis isi terbagi atas tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideology. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan film ini.

Adegan : Kekerasan Fisik Kekerasan Psikologis Kekerasan Seksual Kekerasan Verbal

Analisis Semiotika John Fiske

Hasil Interpretasi

  Film


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2002:3) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Alasan penggunaan metode kualitatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. (Moleong, 2002:5).

Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk memberikan gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang terkonstruksi dalam film “Rumah Dara”.


(46)

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotic. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian analisis yang dikemukakan John Fiske untuk merepresentasikan atau memaknai kekerasan dalam film “Rumah Dara” melalui aktor-aktor utama.

3.2. Kerangka Konseptual

3.2.1.Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesewenangan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap, Corpus juga bersifat homogen mungkin, baik homogeny pada taraf waktu (sinkroni) (Kurniawan, 2000:70).


(47)

Keseluruhan scene dalam film ini adalah 134 dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 18 adegan (selengkapnya ada pada lampiran) dan dialog yang merujuk pada kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dalam film “Rumah Dara” yang ditonton dalam versi DVD. Corpus dalam penelitian ini sebagai berikut :

Kekerasan Fisik:

3.2.1.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam dengan pisau


(48)

3.2.1.3. tangan Astrid ditusuk dengan pisau oleh Adam

3.2.1.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman


(49)

3.2.1.6. Adjie mencekik ibu Dara

3.2.1.7. Taufik dibacok lehernya dengan pisau oleh Arman


(50)

3.2.9. Dara menginjak mata Aming dengan Highhils sepatunya

3.2.1.10. Syarief menembak maya pas di dahi kepalanya

3.2.1.11. Dara memukul syarief dengan senjata api milik syarief hingga mati


(51)

3.2.1.12. Adjie dengan bantuan ladya memenggal kepala Adam dengan clurit milik adam

3.2.1.13. Ladya menarik kalung Dara hingga Dara kesakitan dan tidak bisa bernapas


(52)

Kekerasan Psikologis :

3.2.1.14. Astrid memohon ketika Dara mengambil paksa anaknya

Kekerasan Seksual :

3.2.1.15.Arman mencoba menjilati dan mencium bagian tubuh ladya namun ladya berhasil meloloskan diri


(53)

3.2.1.16. Arman memergoki ladya lalu membawanya kekamar untuk melakukan adegan seksual dengan cara paksaan

3.2.2. Definisi Operasional

3.2.2.1. Representasi

Representasi berasal dari kata dasar Bahasa Inggris represent yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Representasi juga berarti sebagai proses dan hasil memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi kekerasan yaitu kekerasan itu sendiri yang dihadirkan atau diperlihatkan melalui tanda-tanda melalui aktor-aktor utama dalam film “Rumah Dara” berarti.


(54)

3.2.2.2.Kekerasan

Kekerasan dalam film ini adalah kegiatan atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan , dan tekanan suatu serangan/invasi fisik atau integritas mental psikologis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.

3.2.2.3.Kategori Kekerasan

Kategori kekerasan dalam film “Rumah Dara” ini adalah :

a. Kekerasan Fisik : Kekerasan dengan cara memukul, menampar,

mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.

b. Kekerasan Psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak,

menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, istri, teman atau orang tua) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.


(55)

c. Kekerasan Seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban memaksa hubungan-hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.

d. Kekerasan Verbal : kekerasan yang berbentuk kata-kata, umpatan, hinaan dan menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Rumah Dara”.

3.3. Unit Analisis

Unit analisis pada film ini adalah keseluruhan tanda dan lambing yang menunjukkan kekerasan berdasarkan pembagian level analisis John Fiske, yang terdapat pada aktor-aktor utama dalam film “Rumah Dara”. Pembagian level tanda lambing menurut John Fiske yaitu :


(56)

1. Level pertama adalah Reality (realitas), adalah suatu pesan yang dikode dimana kenyataannya disesuaikan berdasarkan kebudayaan kita. Kode sosialnya antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.

2. Level kedua representation (representasi), adalah kode-kode

sosial yang sudah ditetapkan berdasarkan realita yang sudah ditetapkan dan benar di dalam sebuah medium yang sudah di ekspresikan. Kode sosial antara lain camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.

3. Level ketiga adalah Ideology (ideologi), adalah ideologi tidak hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan dimana sebuah pesan yang dangkal ternyata mempunyai arti yang lebih dalam dan mempunyai efek buat penontonnya. Kode sosialnya antara lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.


(57)

3.4. Jenis Sumber Data

3.4.1.1. Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD “Rumah Dara”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah terbagi kedalam 12 chapter. Pembagian chapter-chapter ini membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data berupa gamabar-gambar dalam film tersebut yang digunakan dalam penelitian ini.

3.4.2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan tambahan dari sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti buku, majalah, internet. Sumber bahan ini dapat melengkapi informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap,

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak pada film “Rumah Dara” dan melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.


(58)

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan sistem tanda yang tampak pada cerita “Rumah Dara” yang dapat digolongkan sebagai kekerasan. Kemudian tanda tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :

1. Level Reality (realitas),

Kode sosialnya yang termasuk dalam level pertama ini yaitu meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expressions (ekspresi), sound (suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.

2. Level representation

Dalam level kedua ini, kode-kode yang termasuk didalamnya antara lain berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.


(59)

51   

3. Level Ideology (ideologi),

Kode-kode yang termasuk dalam level ketiga yaitu, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), casting (pemeran) yang terdapat pada film “Rumah Dara”.


(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data 4.1.1. Gambaran Umum Film Rumah Dara

Film Rumah Dara di produksi Merah Production yang disutradarai oleh Duo sutradara bertalenta besar Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto atau lebih dikenal dengan Mo Brothers, telah berhasil membesut film yang “thanks to them” memberikan sedikit nafas lega akan sebuah film yang berbeda. Ketika atmosfir genre di perfilman Indonesia didominasi hanya yang “itu-itu” saja, Macabre atau Rumah Dara hadir dengan genre yang tidak poluler di negeri kita, yakni film slasher.

Bagi yang tidak tahu jenis film apakah slasher itu, mungkin jika menyebut judul SAW akan ada gambaran seperti apa genre ini. Mo Brothers seakan tidak peduli filmnya akan laku atau tidak nantinya, karena mereka toh tahu dan yakin, film jenis ini ada penggemarnya dan penonton kita sudah gerah dengan film yang hanya menjual kebodohan, seksualitas, dan horor tong kosong nyaring bunyinya. Dari sudut pandang penggemar film dan pecinta film tanah air, film ini telah menyelamatkan kita dari ketololan abadi yang berasal dari film-film yang tidak lebih dari sampah, jadi Macabre pasti akan punya penonton setianya.


(61)

Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam. Bagi penggemar film slasher, sudah barang tentu akan menyukai setiap adegan dalam film ini. mata yang tertusuk stiletto, kepala yang terpenggal, kaki patah, tangan terpotong, hingga jari-jari tertusuk pisau disajikan dengan nyata

Tidak ada kata sia-sia atau menyesal dengan film berdurasi hampir 100 menit ini. Selepas menonton ini yang tersisa adalah sebuah kepuasan, mulut ini pun tak berhenti memuja keseluruhan isi film, yah tentu saja dengan sedikit kekurangannya juga. Film yang juga memenangkan penghargaan untuk kategori aktris terbaik di Puchon Film Festival di Korea Selatan ini, merupakan sebuah paket slasher yang dikemas sangat menggemaskan dengan darah yang mengalir tak ada hentinya, di balut dengan teror ketika sang Ibu Dara mulai memburu dengan atau tanpa senjata di tangan, dengan “finishing touch” seluruh isi perut dan daging manusia, Macabre adalah hadiah akhir tahun terbaik khususnya untuk penggemar film horor dan perfilman Indonesia pada umumnya.

Film ini memang tidak menonjolkan kelebihannya dari segi cerita, karena apa yang ditawarkan dari cerita hanya layaknya dongeng sebelum tidur, sebelum pada akhirnya kita semua tertidur lelap dan mengalami


(62)

mimpi buruk lewat adegan-adegan sadis yang cukup membuat ngilu. Penonton dipaksa dengan lembut untuk sesekali berteriak dan menutup mata, ketika Mo Brothers mulai menaikkan intensitas ketegangan di film ini. Perkenalan belasan menit kepada masing-masing karakter dalam film ini dirasa telah cukup, untuk nantinya mempersilahkan para penonton untuk memilih siapa yang seharusnya hidup dan siapa yang harus mati terlebih dahulu. Di lain sisi, kemisteriusan Dara dan keluarganya tetap terjaga dan makin membuat penasaraan dari awal kemunculan mereka sampai film ini bergulir dari adegan demi adegan.

Lewat cerita yang lurus-lurus saja, justru membuat Mo Brothers dapat dengan leluasa mengeksplorasi tingkat kesadisan yang bisa ditampilkan film ini. Terbukti, film ini dengan baik dapat mengirimkan pesan berdarahnya sampai dengan selamat kepada penonton-penontonya yang sedang menanti adegan selanjutnya sambil menutup mata mereka. Walau cukup berbasa-basi diawal, pada kenyataannya film ini tidak berbasa-basi soal menampilkan sosok-sosok jahat yang siap sedia memotong bagian tubuh manusia sepotong demi sepotong. Tatapan dingin nan haus darah Ibu Dara dan anak-anaknya berhasil menyeret kita ke level ketegangan yang makin lama-makin meninggi, layaknya menaiki sebuah rollercoaster, kita diajak naik sampai tingkat yang paling tinggi lalu terjun bebas dengan teriakan penuh kepuasan.


(63)

Macabre adalah obat penenang bagi yang sakit jiwa, jika dosisnya terlalu banyak, maka sang pasien akan menjerit-jerit histeris dan lompat dari bangku penonton. Kitalah pasiennya, kitalah yang sakit jiwa karena telah menonton film yang sakit pula, dan kita bertepuk tangan untuk film ini layaknya sebuah drama shakespeare, apakah bukan sakit itu namanya. Mungkin juga tidak, kita tidak sakit, tapi puas akan apa yang dicapai oleh perfilman tanah air. Lewat Mo Brothers, kita telah disuguhkan dengan tontonan alternatif yang berkualitas dan salut untuk mereka yang telah berjalan di jalur berbeda tersebut sendiri dan berani mengambil resikonya. ENAK KAN!!

4.1.2. Penyajian Data

Cerita film “Rumah Dara” diawali dari Adjie dan Astrid, pasangan suami istri yang akan diberkati kehadiran anak pertama, pergi bersama 3 temannya ke Bandung pada suatu malam. Perjalanan ini merupakan usaha terakhir Adjie untuk berpamitan dengan adiknya, Ladya. Kedua kakak-beradik ini sudah tak akur lagi, dan besok Adjie harus berangkat ke Australia untuk menempuh hidup baru, Pertemuan mereka tidak berjalan mulus pada mulanya.

Ladya yang seorang pemberontak menyalahkan Adjie atas tragedi di masa lalu. Tetapi atas bujukan Astrid, Ladya mengalah dan dengan


(64)

sungkan ikut mengantar ke bandara, Perjalanan terhenti ketika seorang perempuan cantik menghampiri mereka dengan cemas dan lingkung. “Nama saya Maya. Saya baru saja dirampok,” ujarnya.

Berniat menolong, mereka pun mengantar perempuan ini pulang Sesampainya di rumah Maya, mereka diperkenalkan kepada seorang perempuan anggun dan misterius bernama Dara. Disinilah niat tulus dan maksud baik menjadi awal bencana.

Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam. Kekerasan dalam film ini kemudian dijabarkan lagi menjadi Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikologis, Kekerasan Verbal dan Kekerasan Seksual.


(65)

4.2. ANALISIS DATA Penggalan Scene 1

4.2.1. Maya mau membunuh Alam dengan memutuskan urat nadi Alam

dengan pisau

Level Realitas :

 Penampilan (kostum dan make up) :

Alam menggunakan kaos dan celana jeans dan make up terlihat dengan bekas luka yang ada dikepalanya,

Maya menggunakan short dress berwarna merah, make up Maya terlihat pucat dengan rambut yang terurai.

 Setting :

Suasana ruang makan rumah maya, yang sebelumnya Alam, jimmy, Eko, Ladya sedang menyantap hidangan makan malam yang disediakan ibu Dara di tempat itu


(66)

Level Representasi

 Camera : Close Up (CU),

teknik pengambilan gambar ini menciptakan ketegangan dan menambah kengerian, karena gambar terlihat sangat detail, seperti percikan darah dalam adegan scene ini.

 Lighting :

lighting yang digunakan lighting tungsten /blonde 2000w yang menampilkan cahaya yang kuning, pada scene ini terlihat terang, karena ingin memperlihatkan ekspresi Alam dan goresan luka yang ada pada tangan Alam

Level Ideologi

 Dialog :

Maya : Kamu sudah bangun…???

Alam : Temen gue kemana yah??

Maya : Teman-teman kamu…mereka ada diatas

Alam : Gua ke atas dulu ya…

Maya : Hey…Alam, tunggu aja

Kamu dari tadi tidak mau berbicara dengan saya kenapa??

Alam : Si Ladya diatas..??

Maya` : Memangnya ada apa sih??

Temani saya sebentar saja..kedapur…kamu tidak suka dengan apa yang kamu liat didepan kamu??


(67)

Alam : Ok…gua Cuma mau tahu temen-temen gua & ladya dimana…

Maya : Teman-teman kamu diatas…masak kamu tidak mau

temenin saya yang lagi sendirian???

Alam : Gue Cuma pengen cari temen-temen gue…

Ah…eko kemana sih,,,, Apa lagi sih may….????

Maya : Memangnya kenapa sih….??

Memangnya kenapa….???

Kenapa……???hah….

Analisis :

Pada adegan ini, Maya mengahampiri Alam yang baru tersadar dari pingsan, Alam kebingungan mencari teman-temannya lalu maya mencoba menghalangi Alam untuk mencari temannya dengan merayu alam secara sensual, namun alam tetap pada pendiriannya bahwa ia cuma ingin mencari temannya dan tidak terjebak rayuan dari maya, lalu alam mendorong maya, dan seketika itu maya marah, lalu maya memegang tangan alam dan melukai tangan alam dengan pisau. Alam terkejut dengan ekpresi ketakutan, alam perlahan-lahan mundur, dan alam melakukan perlawanan dengan menendang maya hingga terjatuh, maya pun semakin emosi, lalu maya juga berhasil melukai pipi alam dengan pisaunya itu.

Pada scene ini, adalah pembukaan dari mulainya perguliran darah, terlihat pada tanggan Alam yang mengalir lumuran darah hingga kelengan


(68)

sebelah kirinya dan pada bagian mukanya terlihat mengalir lumuran darah juga hingga menetes kelantai.

Pada setting ruangan juga terlihat seperti banyak darah membekas dilantai pada ruang tamu dan pintu ruang tamu sehingga membuat kesan yang mengerikan dan dapat dimaknai sebuah kekerasan yang terjadi pada setting ruang tersebut

Aksi yang dilakukan maya terhadap alam diekspos dengan kasat

mata sehingga gambar yang dihasilkan sangat detail sampai percikan darahpun terlihat jelas pada gambar, sebab gambar diambil Close up oleh camera. Dalam pengambilan gambar close up pada scene ini dapat dimaknai penegasan yang ingin ditampilkan oleh sutradara yang diperankan oleh Maya dalam memerankan seorang pembunuh berdarah dingin.

Pada dialog tidak ada perkatan umpatan, hanya pada dialog tedapat perkataan rayuan sensual yang menggoda yang dilakukan oleh Maya. Namun ada penekanan kata yang diulang-ulang yang mengekspresikan Maya marah seperti pada dialog : Memangnya Kenapa…kenapa hah..??

Kekerasan yang dilakukan scene diatas tergolong kedalam kekerasan fisik, yaitu kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata tajam, menganiaya, membunuh.


(69)

Penggalan Scene 2

4.2.2. Adam mematahkan tangan Alam dengan tangan kosong

Level Realitas :

 Penampilan (Kostum dan Make up) :

Alam menggunakan kaos dan celana jeans dan make up terlihat dengan keringat di sekucur tubuh dan bekas luka yang ada dikepala, muka, dan tangannya

Adam terlihat rapi, gagah dan terlihat dingin tanpa ekspresi dengan kostum baju kemeja lengan panjang berwarna putihnya yang selalu dikancing kerah lehernya, serta celana panjang kain berwarna coklat dan memakai sepatu vantovel hitam.

 Setting :

Ruang tamu, terlihat pertikaian maya dengan Alam lalu alam menghampirinya untuk membantu Maya


(70)

Level Representasi :

 Camera : Medium Close Up

Pengambilan gambar ini, ingin menunjukkan kegagahan dan kekuatan adam dengan mematahkan tangan Alam dengan tangan kosong dan sekali pukulan

 Lighting

lighting yang digunakan lighting tungsten yang menimbulkan efek warna kuning kemerahan sehingga menampilkan cahaya yang kuning, namun pada scene ini terlihat terang sebab di ruang tamu banyak bantuan lampu-lampu dinding, dan meja serta lampu ruang tamu

Level Ideologi :

 Dialog :

Adam : Sekarang berani……

Alam : Gue tusuk lo….gue tusuk lo…(bergemetar,ketakutan)

Adjie : Lam….Alam….(berteriak)

Alam : Anjing………(sambil teriak kesakitan)

Analisis :

Dari scene ini terlihat sekali bahwa sosok Adam sangat kuat ,serta tidak terkalahkan, sampai-sampai Alam diberikan pisau untuk melawan Adam, dengan ekspresi ketakutan, Alam mau menusuk Adam, namun


(71)

dengan mudah ditepis oleh Adam, dan tangan Alam dipatahkan dengan satu kali pukulan.

Dalam kamus bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan. (Poerwadarminta,1999:102).

Pengambilan gambar secara Medium pada scene ini, ingin menunjukkan kegagahan dan kekuatan adam dengan mematahkan tangan Alam dengan tangan kosong dengan sekali pukulan, dapat dimaknai ketegasan yang ingin disampaikan karakter yang diperankan oleh Adam.

Setting pada scene ini sutradara ingin menunjukkan sedang terjadi kekerasan pada ruangan tersebut, dari penampilan darah yang terdapat pada lantai dan pintu.

Pada scene ini juga terdapat kekerasan Psikologis yaitu kekerasan yang menimbulkan ketakutan, terlihat ekspresi Alam ketika Adam menendang pisau dilantai untuk diberikan kepada Alam untuk melawannya, namun Alam terlihat sangat ketakutan sampai tangannya bergemetar dan tidak bisa menusukkan pisau ketubuh Adam

Kekerasan yang dilakukan scene diatas tergolong kedalam kekerasan fisik, yaitu kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata tajam, menganiaya, membunuh.


(72)

Pada dialog di scene ini juga terjadi kekerasan verbal yaitu berupa umpatan “Anjing”. Umpatan anjing adalah umpatan yang sering diucapkan orang-orang yang tentu saja tidak bisa menguasai dirinya. Ia meluapkan emosinya, ia membela dirinya, ia merasa dengan menganjing-menganjingi orang atau sesuatu hatinya akan lega, sesuatu hati yang membara pun akan redam. Jadi kata-kata tersebut cenderung tabu untuk diucapkan dan dikategorikan tidak pantas diucapkan dalam film. http://id.wikipedia.org

Penggalan Scene 3

4.2.3. Tangan Astrid ditusuk oleh adam

Level Realitas :

 Penampilan (kostum dan make up) :

Astrid menggunakan baju hamil berwarna putih, make up terlihat pucat, dengan ekspresi ketakutan sambil menangis.


(73)

 Setting :

Kamar tamu tempat adjie dan astrid beristirahat,terlihat adam sedang mengejar astrid

Level Repreaentasi :

 Camera : Close Up

teknik pengambilan gambar sutradara ingin menampilkan / mempertontonkan bagaimana tangan Astrid ketika ditusuk oleh Adam  Lighting :

Lighting yang digunakan lighting tungsten /blonde 2000w yang menampilkan cahaya yang kuning, pada scene ini terlihat terang sebab sutradara inginn menampilkan ekspresi Astrid.

 Musik (sound) :

Menggunakan instrument yang menakutkan bernuansa horror, dan mengagetkan, sehingga dapat menimbulkan kengerian dan kehisterisan penonton pada adegan adam menusuk tangan Astrid ini.

Level Ideologi :

 Dialog :

Astrid : jik…….

Astrid : Adjie…….

Astrid : hwa………….(menangis dan berteriak kesakitan karena


(74)

Analisis :

Pada adegan ini Asrtrid sedang berusaha meloloskan diri dari serangan Adam, Adam terus mengikutinya sampai Astrid masuk kekamar, dan Astrid merobohkan lemari yang ada didekat pintu sebagai penghalang pintu sehingga Adam tidak bisa masuk ke kamar.

Scene ini sangat mengejutkan sekali, ketika Adam sudah berhenti berusaha membuka pintu kamar Astrid, Astrid mengira Adam sudah pergi, lalu Astrid berusaha memanggil adjie untuk meminta pertolongan dari balik pintu, namun karena kecerdikan Adam, Adam dengan menggunakan indera pendengarannya dibalik pintu kamar, ia dapat mengetahui posisi dari tubuh Astrid, lalu Adam dengan mudahnya menusukkan pisaunya pada tangan astrid dari balik pintu, Astridpun menagis dan menjerit ketika ia menarik tangannya hingga terlepas dari jeratan pisau Adam.

Teknik pengambilan gambar secara close up pada scene ini , bertujuan ingin menampilkan / mempertontonkan bagaimana tangan Astrid ketika ditusuk oleh Adam dan sampai terlepas dari jeratan pisau, pada scene ini dapat dimaknai ketegasan dalam peran yang diperankan oleh Adam dan pesan sadis yang ingin disampaikan dalam penggalan scene ini

Lighting / pencahayaan pada scene ini dibuat terang, sebab sutradara ingin menampilkan ekspresi Astrid dan proses ketika tangan


(75)

Astrid ditusuk, sehingga dengan bantuan lighting dapat mendukung kedetailan gambar.

Setting pada scene ini tidak terlalu tampak jelas sebab pengambilan gambar secara close up to close up, hanya terlihat penimbulan penggunaan efek darah pada tangan Astrid

Sound efek pada scene ini sangat mengejutkan karena volume yang tinggi ketika Adam menusukkan pisau menambah ketegangan bagi penonton, sehingga mewakili terjadinya tindak kekerasan yang berkesan menegangkan pada adegan Adam menusukkan pisau dari balik pintu ke tangan Astrid

Kekerasan yang dilakukan scene diatas tergolong kedalam kekerasan fisik, yaitu kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata tajam, menganiaya, membunuh.

Pada adegan ini ada unsur kekerasan psikologis, sebab ancaman dari Adam membuat Astrid ketakutan, walaupun ancaman tersebut tidak dengan kata-kata, namun yang ditampilkan ekspresi Adam sungguh sangat dingin dan mengerikan, sehingga membuat Astrid ketakutan, dan dari ketakutannya Astrid walaupun keadaan hamil, ia dapat merobohkan lemari yang terdapat di kamar sebagai penghalang di pintu kamarnya.


(76)

Penggalan Scene 4

4.2.4. Kepala Alam dipenggal dengan mesin gergaji oleh Arman

Level Realitas :

 Penampilan (kostum dan make up) :

Alam menggunakan kaos dan celana jeans dan make up terlihat dengan keringat di sekucur tubuh dan bekas luka yang ada dikepala, muka, dan tangannya

Arman berpenampilan layaknya tukang jagal daging dipasar/tukang jagal dengan peralatan pisau yang ada di bajunya, bertubuh gendut dan memakai kacamata.

 Setting :

Tempat pengeksekusian korban, terdapat kotak tumpukan gabus serta beberapa senjata tajam yang digantungkan pada dinding


(77)

Level Representasi :

 Camera : Close Up

teknik pengambilan gambar ini menciptakan ketegangan dan menambah kengerian, karena gambar terlihat sangat detail, seperti percikan darah hingga mengenai lensa camera dalam adegan scene ini.  Lighting :

Lighting yang digunakan lighting tungsten /blonde 2000w yang menampilkan cahaya yang kuning, sehingga terlihat tidak terang dan tidak terlihat gelap juga, menampilkan kesunyian.

 Musik (sound) :

Menggunakan Lagu keroncong dari Mantra yang berjudul Cinta Matiku

Analisis :

Pada adegan scene ini sangat menegangkan ketika mesin gergaji dihidupkan oleh Arman dan berjalan perlahan-lahan menuju Alam, Alam sempat berontak namun ia tidak berdaya, lalu kepala Alam dipenggal hingga putus dan jatuh ke lantai, kemudian tubuh Alam dipotong-potong dengan gergaji tersebut lalu dipotong-potong lagi lebih kecil dengan pisau belati Arman. Ladya yang melihat langsung dari bolongan kecil yang terdapat di pintu juga berteriak secara histeris sambil mengangis.

Pada adegan ini terlihat dari penampilan Arman yang penuh dari percikan darah hingga wajah dan tubuh Arman terselimuti darah pada saat


(78)

Arman memotong organ tubuh Alam dengan mesin pemotong gergaji, scene ini terlihat sangat sadis dan kebrutalan yang ingin ditampilkan oleh sutradara.

Pengambilan gambar secara close up menambah ketegangan dari penonton, yaitu bertujuan agar proses pemenggalan kepala Alam terlihat secara detail pada gambar, hingga percikan darah mengenai lensa camera. Pada pengambilan gambar dapat dimaknai bahwa Arman tidak mempunyai hati nurani atau rasa kemanusiaan, ia seorang pembunuh berdarah dingin seperti seseorang yang sakit jiwa.

Pada setting tempat pengeksekusian korban juga demikian hampir seluruh ruangan yang berukuran persegi panjang dari lantai, meja dan tirai plastik itu tertutupi oleh darah dari percikan organ tubuh Alam. Pada setting dapat dimaknai pesan sadis dan kebrutalan yang ingin disampaikan oleh sutradara dalam scene ini.

Ketika Ladya menangis dan ketakutan disitu terjadi kekerasan psikologis, yaitu kekerasan yang dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, istri, teman atau orang tua)

Pengambilan musik pun pada adegan ini juga menyertai kekerasan, sebab lirik pada reff lagu ini yaitu “Jantungmu Untukku” dan di ulang beberapa kali. Lagu ini menjadi soundtrack pada film rumah dara, lagu


(79)

yang beraliran keroncong ini di ciptakan oleh Mantra yang berjudul “Cinta Matiku

Kekerasan yang dilakukan scene diatas tergolong kedalam kekerasan fisik, yaitu kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata tajam, menganiaya, membunuh.

Penggalan Scene 5

4.2.5. Leher Jimmy dipatahkan oleh Adam

Level Realitas :

 Penampilan (kostum dan make up) :

Jimmy menggunakan kemeja layaknya seorang eksekutif muda, Make up terlihat pucat dan ada bekas luka memar dipipinya.


(80)

 Setting :

Suasana malam hari Di hutan depan rumah ibu dara, hujan yang sangat deras.

Level Representasi :

 Camera : Medium shot

teknik pengambilan gambar ini memberikan informasi setelah kepala Jimmy dipatahkan lalu jimmy mati tersungkur kebawah

 Lighting :

Lighting pada secene ini terlihat gelap karena malam hari dan lokasi dihutan.

 Musik (sound) :

Menggunakan sound horror berbunyi string dan terdengar suara sambaran petir dengan bunyi rintikan hujan serta bunyi seperti detak jantung, sehingga meningkatkan ketegangan

Analisis :

Jimmy hendak mencari dan menolong Ladya yang terjebak sendirian didalam hutan, lalu jimmy berhasil menemukan Ladya dan bergegas menolong Ladya, setelah itu nasib malang jimmy, ia ditusuk dengan pedang samurai oleh Adam, jimmy masih kuat, ia hendak menghambat adam dengan merangkulinya dari belakang agar ladya pergi dan meloloskan diri dari jeratan Adam, namun adam membanting jimmy


(1)

112

penggunaan sound pada film ini untuk membantu atau meningkatkan ketegangan dari sebuah aksi yang dilakukan oleh para pemain atau tokoh dalam film Rumah Dara

Pada level ideology khususnya pada kode sosial dialog tidak terlalu banyak yang ditampilkan kekerasan dalam film ini, hanya ada beberapa kekerasan yang berupa umpatan dan kekerasan yang berupa ancaman. Pada film Rumah Dara ini, memang tidak begitu banyak dialog yang ditampilkan melainkan action/aksi dari film ini yang dipamerkan.


(2)

 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di bab sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari penelitian ini bahwa kekerasan dalam film Rumah Dara ini direpresentasikan melalui komunikasi verbal dan non verbal dari para tokoh dalam film.

Dari empat jenis kekerasan , yang paling sering dimunculkan dalam film ini adalah kekerasan fisik yaitu Kekerasan dengan tindakan memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh. Adapun kekerasan verbal kekerasan yang berbentuk kata-kata umpatan, kekerasan psikologis kekerasan yang berupa ancaman, kekerasan seksual yaitu kekerasan yang mengarah pada desakan seksual, tetapi dalam film ini tidak mendominasi seperti kekerasan fisik.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi kekerasan dalam film ini tidak hanya hadir karena latar belakang konflik atau kesalah pahaman antar tokoh, tetapi terjadi karena kejiwaan dari keluarga psikopat rumah dara,


(3)

110   

yang bertujuan dengan memakan daging manusia ia akan hidup lebih lama.

5.2. Saran

Film “Rumah Dara” yang sudah tersebar luas dan telah ditonton jutaan penonton memiliki banyak kekerasan didalamnya dan jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak negatif bagi penontonnya, karena bukan tidak mungkin bagi mereka untuk meniru apa yang dilihatnya dalam film.

Dan bagi pembuat film sebaiknya lebih bijaksana lagi dalam memuat unsur-unsur dalam sebuah film, karena muatan-muatan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Perfilman maupun peraturan yang dibuat KPI(Komisi Penyiaran Indonesia).


(4)

Daftar Pustaka

Barthes, Roland.2001. Semiologi of Roland Barthes. Jakarta: PT.Dunia Pustaka

Berger, Arthur Asa. 2000. Media and communication research methods. London:Sage Publication

Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori & Filsafat Komunikasi. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti.

Eriyanto, 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideology dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS

Fiske, John. (1987). Television Culture. London : Routledge

Fiske, John. (2004). Cultural and communication studies.(Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim, Trans). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra

Fiske, John (2006). Culture and communication studies – sebuah pengantar paling komprehensif. Idi Subandy Ibrahim (Ed.). Yogyakarta : Jalasutra

Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Hakim, Budiman. (2005). Dasar-dasar kreatif Periklanan. Yogyakarta : Galang Press

Irawanto, Budi. (1999). Film Ideologi dan Militer : hegemoni militer dalam sinema Indonesia. Yogyakarta : Media Pressindo.


(5)

Kurniawan, 2000. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Yayasan Indonesia

McQuail, Dennis, 1994. Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga

Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya

Poloma, Margaret, M., 2000. Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Penerbit Rajawali Press.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media : Sebuah pengantar kepada analisis Wacana Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung ; Remaja Rosdakarya

Sumarno, Marselli. (1996) Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sunarto. (2009). Televisi, kekerasan dan perempuan. Jakarta : PT.Kompas Media

Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 (8/1992), tanggal 30 Maret 1992 (Jakarta) tentang : Perfilman, pasal 1.

Non Buku :


(6)

  54

http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Dara, 06 Maret 2011, 22:47:01

http//www.google.co.id/RUU perfilman

Barthes, Roland.2001. Semiologi of Roland Barthes. Jakarta: PT.Dunia Pustaka

(Victor C.Mambor:http//situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm)

(http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html).

(Juliastuti, 2000:http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

(http//kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)

(http://id.shvoong.com).