Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Di Tinjau Dari Perspektif Ekonomi Islam

(1)

PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA

DiTINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.EI)

Oleh :

Panji Patra Anggaredho NIM : 203046101750

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA

DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.EI) Oleh :

Panji Patra Anggaredho

NIM : 203046101750

Di Bawah Bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Isnawati Rais, MA Jaenal Aripin, M.Ag NIP : 150 222 235 NIP : 150 289 202

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya yang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 April 2008


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 3 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.EI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

Jakarta, 3 Juni 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP : 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs.Djawahir Hejazziey, SH,MA (...) NIP : 130 789 745

2. Sekretaris : Drs.H.Ahmad Yani, M.Ag (...) NIP : 150 269 678

3. Pembimbing I : Dr.Isnawati Rais, MA (...) NIP : 150 222 235

4. Pembimbing II : Jaenal Aripin, M.Ag (...) NIP : 150 289 202

5. Penguji I : Prof.Dr.H.Hasanuddin AF, MA (...) NIP : 150 050 917

6. Penguji II : JM.Muslimin, Ph.D (...) NIP : 150 312 427


(5)

ABSTRAK

Panji Patra Anggaredho. 203046101750. Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau dari Perspektif Ekonomi Islam. Skripsi. Jurusan Muamalat. Fakultas Syariah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2008. v - 151 halaman.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai pemikiran ekonomi Mohammad Hatta yang obyektif, utuh dan komprehensif, yang akhirnya diharapkan dapat membuka jangkauan yang lebih luas dalam upaya aplikasi dan konseptualisasi pada perekonomian nasional.

Penelitian ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data dan cara analisis kualitatif dengan mendeskripsikan dan menganalisis obyek penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis. Skripsi ini menggunakan content analysis dan metode komparasi.

Kesimpulan sebagai hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa pemikiran ekonomi yang digagas oleh Mohammad Hatta sebagian besar tidak bertentangan dengan ekonomi Islam. Namun ada juga yang bertentangan dengan ekonomi Islam yaitu pemikirannya yang membolehkan praktik bunga di dalam bank dan pemikiran Hatta tersebut kiranya dapat dimaklumi karena Hatta memandang tidak adanya instrumen lain selain mendirikan bank (konvensional seperti yang ada pada saat ini) untuk menghimpun dana masyarakat untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang saat itu sangat berantakan pasca penjajahan. Terlebih lagi pada saat itu belum adanya praktik bank syariah yang memakai instrument mudharabah dan murabahah sebagai pengganti alternatif bunga.


(6)

Kepada pemuda Indonesia, yang

ingat akan sumpah dan janjinya :

“Indonesia tanah pusaka.

Pusaka kita semuanya.

Marilah kita mendoa :

Indonesia bahagia!

Marilah kita berjanji :

Indonesia abadi”


(7)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain untaian puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis tujukan kepada manusia paling mulia, Baginda Agung, Nabi Muhammad Saw. Semoga penulis bisa menemui beliau di hari akhir kelak.

Setelah mengalami proses yang melelahkan dan perjuangan yang panjang. Akhirnya penulis berhasil menyelesaikan studi di kampus hijau pembaharu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr.H.M.Amin Suma, SH, MA, MM, sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Seorang figur yang penulis kagumi, semasa penulis menimba ilmu di kampus ini.

2. Ibu Euis Amalia, M.Ag dan Bapak Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalat, serta Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Bapak Ahmad Yani, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Koordinator Teknis Program Non Reguler, yang tak pernah bosan mendengarkan keluh kesah penulis berkenaan masalah perkuliahan.

3. Ibu Dr.Isnawati Rais, MA dan Bapak Jaenal Aripin, M.Ag sebagai pembimbing skripsi ini, yang dengan tulus dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan-arahan serta bimbingan-bimbingan sehingga


(8)

penulis mendapat pencerahan dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga Allah membalas kebaikan beliau.

4. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepustakaan sebagai bahan referensi dalam pembuatan skripsi penulis.

5. Ayahanda Drs. Herman Effendi, MM dan Ibunda Lukiana, S.Sos tercinta, yang telah memberikan kasih dan sayang kepada penulis sejak lahir sampai saat ini. Dan dengan kasih dan sayang tersebut (+ marah-marahnya) penulis berhasil menyelesaikan studi di kampus ini.

6. Adikku tersayang Tania Adlinzila, yang senantiasa cerewet dalam memperingati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Dan penulis menyadari, tanpa kecerewetannya mungkin skripsi ini tidak akan rampung. 7. Bang Tion dan personel Toko Buku Gerak-Gerik, yang mau bersusah payah

untuk mencari buku yang penulis butuhkan.

8. Kawan-Kawanku jurusan Perbankan Syariah angkatan 2003, khususnya Perbankan Syariah kelas C : Abdul “Waiz”, M. “Fahmi”, Deden Za”inal” Muttaqien, Andi “Gudeng” Irmansyah, Andi “Sobat” Kristianto, Khayatul “Yayat” Qulub, “Erma” Hermawan, M.”Luthfi”, “Jamal”luddin, M.”Syahril”, Khairil, “Ihsan”uddin Fadhillah, “Wahyu” Mikurason, “Raden” M.Ikhsan, “Widi” Sentanu.P, M.Arif “Babe” Rifa’I, “Arif” Syamsuddin, “Fikri” Tamami, “Juli”, Kha”irul” Bejaharnia, “Hana” Rufaidah, Meutia “Muthe Sari, Siti “Uut” Mahmudah, “Iva” Lutfia, “Euis”, Rahayu Tri”doni”, Rah”ayu” Lisa, Anita, “Choi”riyah, yang selalu mengejek (kapan lulus? Atau sudah sampai bab berapa?) setiap kali berjumpa dengan penulis.

9. Alumni Pondok Pesantren Darunnajah angkatan 26, khususnya sahabatku Abu “Said” At-thobari, Amalia “Amel” Fajrina dan Khilda Zura”ida” Zahara, yang telah dan selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.


(9)

10. Rekan-rekan di Komunitas Gang Kodok, komunitasnya para pencari kebenaranya yaitu, Iwin “Iwe” Indra, Minhadzul “Izul” Abidin, “Edi” Effendi, “Rama” Juwandi, Rahmat Ham”dani”, Ahmad Mu”dassir”, Nana “Buluk” Lesmana, M.Ali Fer”nandez”, Daulay, yang selalu menjadi sparring diskusi penulis selama penulis kuliah di kampus ini.

11. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat khususnya HMI Komisariat Fakultas Syariah (KOMFAKSY) : Asep “Azuba” Jubaedillah, Fadhlika “Brey” Hima SH, Rudi, Habib, Mukh”tiar” Effendi, “Fauzul” Azim, Bayu.P, Rahadianto “Putro”, Asep.S, Hamdan.R, M.Siddiq, Isma, Ira, Syarah, dan kawan-kawan lainnya yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Di himpunan inilah, penulis beraktivitas dan mendapatkan ide untuk menulis pemikiran Mohammad Hatta dalam skripsi ini.

12. Nur Afriyanti, seseorang yang selalu menemani penulis selama ini. Seseorang yang meyakini penulis di saat orang lain meragukan penulis. Teman di kala susah, sahabat di kala senang dan kekasih di saat suka maupun duka. Semoga Allah senantiasa memudahkan langkahnya.

Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis akan merasa sangat senang terhadap semua kritik dan saran yang membangun terhadap karya tulis ini. Akhirnya hanya kepada-Nyalah kita kembali dan berserah diri. Semoga Kita Benar…!!

Jakarta, 10 Mei 2008


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Kajian Pustaka... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI ISLAM A. Pengertian Ekonomi Islam ... 16

B. Nilai-Nilai Dasar Ekonomi Islam ... 21

C. Nilai-Nilai Instrumental Ekonomi Islam ... 27

D. Tujuan Ekonomi Islam ... 42

BAB III RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD HATTA A. Pribadi & Pendidikan Mohammad Hatta ... . 45

B. Aktivitas Sosial & Politik Mohammad Hatta ... 52

C. Pemikiran-Pemikiran Mohammad Hatta dan Karya-Karyanya.. 66

BAB IV PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA DAN TINJAUANNYA DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


(11)

A. Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta ... 73

1.Demokrasi Ekonomi ... 73

2.Koperasi Menurut Mohammad Hatta ... 80

3.Politik Ekonomi Mohammad Hatta ... 88

B. Analisis Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta ditinjau dari Perspektif Ekonomi Islam ... 103

C. Relevansi Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta dengan Kondisi Perekonomian Indonesia Saat ini ... 123

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 130


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia telah ditunjuk oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi ini, atas dasar itulah seluruh ciptaan-Nya, baik itu yang berada di langit dan maupun di bumi, bebas digunakan dan dikelola untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Penunjukan manusia sebagai khalifah, bukanlah tanpa alasan dan bukan pula sebuah kebetulan. Akan tetapi penunjukan tersebut sudah merupakan sebuah keniscayaan karena dibandingkan makhluk Tuhan lainnya, manusia dilengkapi dengan akal pikiran, yang mana dengan akal pikiran ini manusia bisa merenung dan berfikir untuk memaksimalkan segala potensi-potensi yang ada di jagat raya ini. Kelebihan atau paling tepat sebuah anugerah dari Tuhan inilah yang membuat manusia berbeda dan lebih tinggi derajatnya dari makhluk-makhluk Tuhan lainnya dan akhirnya karena kelebihan ini juga manusia diberikan sebuah hak dan tanggung jawab untuk mengelola alam ini.

Namun, manusia bukannya tidak menemukan kesulitan dalam mengelola alam ini, sebab ketika manusia itu lahir, manusia sudah diharuskan untuk berhadapan dengan sebuah kenyataan yaitu bagaimana caranya agar eksistensi mereka terus berlanjut di dunia ini. Demi eksistensi serta naluri untuk mempertahankan hidup ini, manusia rela berjuang dan mencari apa saja yang


(13)

mereka anggap cukup dan layak untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, entah itu kebutuhan yang sifatnya dharuriyat (primer), Hajiyyat (sekunder) ataupun tahsiniyat (tersier).

Kebutuhan hidup manusia, pada masa-masa awal peradabannya, masih sangat terbatas dan juga masih bersifat sederhana. Tetapi seiring dengan semakin majunya tingkat peradaban, makin banyak dan makin bervariasi pula kebutuhan manusia sementara di lain pihak alat pemenuh kebutuhan manusia terbatas adanya. Ketidakseimbangan antara kebutuhan yang selalu meningkat dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas ini maka pada akhirnya menyebabkan diperlukan sebuah ilmu yang mengatur hal tersebut, yang belakangan ilmu ini disebut ilmu ekonomi.1 Namun pada saat itu ekonomi masih belum menjadi sebuah disiplin

ilmu. Ekonomi pada saat itu hanya masih dalam tahap wacana dan berupa pemikiran-pemikiran individu. Pada dasarnya pemikiran tentang ekonomi sebenarnya telah ada jauh sebelum masehi, akan tetapi pembicaraan tentang ekonomi pun masih merupakan bagian dari pemikiran dan mimpi para filosof tentang suatu tatanan masyarakat yang ideal, tulisan-tulisan ekonomi yang ada juga belum tersistematis secara komprehensif. Dari segi topik pembahasan pun masih sangat terbatas, begitu juga analisis yang dipakai tidak ada yang membahas aspek-aspek dari kegiatan perekonomian dalam masyarakat secara komprehensif.

1

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 1


(14)

Ekonomi baru menjadi disiplin ilmu setelah Adam Smith menulis buku An inquiry into the nature an causes of the wealth of nations pada tahun 1776.2

Lalu dengan dimulainya abad keduapuluh dan dengan bertambahnya peranan yang dimainkan oleh ekonomi dalam kehidupan, maka mulailah berbagai bangsa mengambil studi-studi ekonomi dalam bentuk bentuk baru, yang pada akhirnya studi ekonomi tersebut, mengarah pada terbentuknya mazhab-mazhab ekonomi. Studi-studi ekonomi tidak lagi berhenti pada batas observasi dan menguraikan gejala-gejala ekonomi untuk merumuskan hukum-hukum yang merupakan kaidah, melainkan telah memiliki tujuan-tujuan kehidupan perekonomian dan membatasi cara-cara yang perlu ditempuh untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dengan demikian, terpecah-pecahlah mazhab-mazhab ekonomi itu yang berbeda satu sama lain dan terbagi menjadi dua mazhab besar yaitu mazhab kapitalisme dan mazhab sosialisme.3

Pada praktiknya, kedua mazhab ini mempunyai yang ciri khas sangat berbeda dan begitu fundamental, mazhab kapitalisme menekankan tidak adanya intervensi negara dalam hal perekonomian, negara hanyalah sebuah fasilitator untuk memberikan suasana kondusif bagi sektor-sektor swasta untuk menjalankan roda perekonomian. Sedangkan mazhab sosialisme, yang bisa dibilang merupakan kebalikan dari mazhab kapitalisme, menekankan bahwa perekonomian suatu

2

Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Astaaruss Jakarta ,2005), h.1

3


(15)

negara hanya boleh diatur pemerintah. Berbeda dengan mazhab kapitalisme, yang sangat mengakui hak milik pribadi, mazhab sosialisme sangat membatasi hak milik individu bahkan cenderung meniadakan hak milik tersebut dan hanya mengakui kepemilikan bersama (community). Aliran sosialisme yang meniadakan hak individu inilah yang sampai saat ini kita kenal dengan aliran komunisme, yang mana pada praktiknya aliran komunisme ini lebih ekstrim daripada aliran sosialisme.

Dalam aktivitasnya, kedua mazhab ini sibuk mengkampanyekan serta menawarkan kesejahteraan dan kemakmuran kepada dunia dan saling berebut pengaruh dan mengklaim satu sama lain bahwa mazhab mereka masing-masinglah yang paling benar dan paling ampuh dalam mengatasi masalah-masalah perekonomian seperti kemiskinan, pengangguran, inflasi dan lain sebagainya. Tak jarang dalam mengkampenyekan ide-ide tersebut kedua mazhab ini harus berhadapan satu sama lain dalam posisi yang diametral, bahkan sampai meruncing, dan merembet ke masalah politik hingga konflik.

Namun sejarah tidak bisa dibohongi, kedua mazhab ini bukanlah mazhab yang tak pernah gagal dalam menangani masalah perekonomiam, sebut saja Amerika Serikat, salah satu penganut mazhab kapitalisme, pernah mengalami depresi besar-besaran pada tahun 1930-an. Dan juga hancurnya perekonomian Uni Soviet, yang menganut mazhab sosialisme/komunisme, yang pada akhirnya mengalami masa-masa yang tragis yaitu dengan bubarnya negara tersebut pada akhir tahun 1980.


(16)

Masalah ekonomi senantiasa menarik perhatian berbagai macam lapisan masyarakat dan individu. Berbagai penelitian telah dibuat untuk menyelesaikan masalah tersebut, walaupun begitu usaha dalam mengatasi masalah ini secara keseluruhan banyak menemui kegagalan dan sangat sedikit keberhasilan yang diperoleh.4 Berangkat dari kegagalan-kegagalan tersebut, maka mulai

bermunculan berbagai ekonomi alternatif, diantaranya gagasan ekonomi yang berdasarkan kerakyatan yang kita kenal dengan nama ekonomi kerakyatan, dan ekonomi yang berdasarkan Islam, yang kita kenal dengan nama ekonomi Islam.

Pada dasarnya pada kedua mazhab tersebut terdapat pelbagai persamaan dan pemikiran yang sama, bahkan inti dari kedua mazhab tersebut cenderung sama dan hampir tidak ada perbedaan, yaitu bagaimana harta itu tidak hanya berputar bagi kelompok atau golongan tertentu saja akan tetapi juga harus berputar di seluruh lapisan masyarakat. Retribusi yang adil dalam konsep ekonomi kerakyatan bukanlah mendistribusikan aset fisik/riil, bukan pula membagi-bagikan kegiatan bisnis para konglomerat baik yang sedang sekarat ataupun yang sudah bangkrut, bukan pula merupakan alat untuk memudahkan aset fisik dan kesempatan memperoleh rente ekonomi dari aktor-aktor lama ke aktor baru. Retribusi aset dapat diartikan sebagai usaha memberikan kekuasaan dan kesempatan yang adil bagi pengusaha kecil/menengah dan koperasi untuk

4

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, (Yogyakarta : PT Darma Bhakti Wakaf, 1995), h.1


(17)

melakukan kegiatan dan bisnis.5 Model ekonomi berdasarkan kerakyatan,

kira-kira sama dengan konsep yang ditawarkan ekonomi Islam. Yang mana dalam ekonomi Islam hal ini diatur di dalam surat An-Nahl ayat 71 dan Al-Hasyr ayat 7 :

)

ا

:

(

Artinya : dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (QS An-Nahl : 71)

)

ﺮﺸ

:

(

Artinya : supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu (QS Al-Hasyr : 7)

Prinsip ekonomi kerakyatan yang berdasarkan keadilan sangat sesuai dengan tatanan dan nilai-nilai Islam, dan ekonomi kerakyatan pun tidak bisa dipungkiri menjadi sebuah solusi untuk menuju perekonomian yang diidamkan. Hal ini terbukti, dalam kondisi krisis ekonomi di Indonesia yaitu pada tahun 1997-1998, ekonomi kerakyatan berperan dalam membantu usaha kecil, menengah dan koperasi terutama dalam kesulitan produksi dan distribusi kebutuhan pokok

5

Mubiyarto, ”Ekonomi Kerakyatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional”, Media Indonesia, 10 Desember 2001, h.55


(18)

masyarakat di sektor pertanian, tingkat produksi pangan telah berada dalam kondisi yang aman sehingga tingkat impor beras dapat ditekan dan juga subsektor perkebunan yang berorientasi ekspor menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pengalaman ini memberikan alasan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat tidak saja penting dari sudut pandang konseptual dalam mewujudkan demokrasi ekonomi tetapi bukti empiris menunjukkan bahwa UKM dan koperasi sangat berperan dalam usaha penyerapan tenaga kerja dan menggerakkan aktivitas terutama di masa krisis.6

Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengar karena pengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 tersebut usaha kecil telah terbukti mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Bahkan ekonomi kerakyatan memainkan fungsi penyelamatan di sektor kegiatan, fungsi penyelamatan ini terbukti pada sektor penyediaan kebutuhan rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi.7 Sehingga dengan adanya

pengalaman-pengalaman serta prestesi-prestasi tersebut, diharapkan dalam masa-masa yang akan datang pemerintah mau untuk lebih memperhatikan dan mulai melirik ekonomi kerakyatan.

Berbicara tentang ekonomi kerakyatan, tentu tidak pernah lepas dari sosok Mohammad Hatta. Sosok yang dikenal dengan nama akrab Bung Hatta ini

6

Lihat Adi Sasono, Prospek dan Posisi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dalam Baihaqi Abdul Madjid dan Saifudin A. Rashid (Ed), Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah,

(Jakarta : PT Pinbuk, 2000), h. 26

7

Noer Strisno, Ekonomi Rakyat Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonsia,


(19)

merupakan salah salah satu pelopor ekonomi yang berasaskan kerakyatan di negeri ini. Hatta, yang merupakan proklamator negeri ini, dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya, baik itu lewat pidato, tulisan, ataupun buku-buku yang dikarang sendiri oleh beliau, takkan pernah melepaskan perhatiannya dan selalu memberikan stressing akan pentingnya ekonomi berasaskan kerakyatan dengan koperasi sebagai instrumennya. Maka dengan memperhatikan sepak terjang Hatta, tidak heran pada Hatta sampai dijuluki sebagai Bapak Ekonomi Kerakyatan selain Bapak Koperasi di negeri ini. Hatta pernah mengungkapkan ide ekonomi yang berdasarkan kerakyatan antara lain :

”inilah dasar kerakyatan Pendidikan Nasional Indonesia! Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar keadilan dan kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata, rakyat itu daulat alias raja atas dirinya sendiri. Tidak lagi golongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi ; keputusan mufakat rakyat yang banyak”8

Lalu untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan itu, Hatta juga menyatakan, bahwa koperasi adalah suatu alat yang efektif untuk membangun ekonomi kerakyatan. Seperti dikatakannya :

”koperasi pada selanjutnya, mendidik semangat percaya pada diri sendiri, memperkuat kemauan bertindak dengan dasar ”self-help”. Dengan koperasi rakyat seluruhnya dapat ikut serta membangun, berangsur-angsur maju dari yang kecil melalui yang yang sedang sampai akhirnya ke lapangan

8

Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), Cetakan ke-II, h. 99-100


(20)

perekonomian yang besar. Tenaga-tenaga ekonomi yang lemah lambat laun disusun menjadi kuat. Koperasi dapat pula menyelenggarakan pembentukan kapital nasional dalam jangka waktu yang lebih cepat, dengan jalan menyimpan sedikit demi sedikit tapi teratur. Sebab itu koperasi dianggap suatu alat yang efektif untuk membangun kembali ekonomi rakyat yang terbelakang. Koperasi merasionilkan perekonomian, karena menyingkatkan jalan antara produksi dan konsumsi. Dengan adanya koperasi-produksi dan koperasi-konsumsi yang teratur dan bekerja baik, perusahaan-perantaraaan yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan memahalkan harga dapat disingkirkan. Tenaga-tenaga ekonomi yang tersingkir itu, dapat dialirkan kepada bidang produksi yang lebih produktif. Karena itu produsen memperoleh upah yang pantas bagi jerihnya dan konsumen membayar harga yang murah.” 9

Demikianlah sedikit gambaran pandangan ekonomi Hatta. Pandangan ekonomi Hatta ini menekankan asas kerakyatan, kekeluargaan dan sarat dengan nilai dan moral. Dan dengan berdasarkan latar belakang pemikiran dan argumen-argumen di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian yang lebih mendalam tentang aspek-aspek pemikiran ekonomi Mohammad Hatta serta ingin membandingkannya dari sudut pandang ekonomi Islam. Oleh karena itu dalam hal ini, Penulis memberi judul skripsi ini dengan ”PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA DITINJAU DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mohammad Hatta adalah seorang Politikus, Negarawan, ahli Hukum Tata Negara, Ekonom, serta lebih dari itu ia juga kerap kali mengeluarkan pemikiran-pemikiran keislaman. Oleh karena itu dalam mengkaji pemikiran-pemikiran Hatta, penulis

9


(21)

membatasi pemikiran Hatta hanya pada pemikirannya di bidang ekonomi saja. Dalam kajian ini, penulis berusaha mengkaji pemikiran ekonomi Mohammad Hatta lalu meninjau pemikirannya dari sudut pandang ekonomi Islam.

Agar dalam pembahasannya lebih terarah dan terproses, maka penulis perlu membuat rumusan-rumusan yang menurut penulis merupakan hal yang tak bisa disepelekan dari pembahasan ini. Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam rangka menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta?

2. Apakah pemikiran ekonomi Mohammad Hatta masih relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini?

3. Bagaimanakah pemikiran ekonomi Mohammad Hatta menurut tinjauan perspektif ekonomi Islam?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui pandangan dan pemikiran ekonomi Mohammad Hatta

b. Untuk mengetahui apakah pemikiran ekonomi Mohammad Hatta masih relevan untuk diterapkan terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat ini.


(22)

c. Untuk mengetahui apakah pemikiran ekonomi Mohammad Hatta sudah sesuai menurut tinjauan ekonomi Islam

2. Manfaat Penelitian

Penelitian skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk :

a. Bagi penulis, untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Bagi pengembangan disiplin ilmu, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan bahan masukan pada pengembangan disiplin ilmu.

D. Metode Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualitatif melalui kajian kepustakaan (Library Research) yang bersifat normatif, yaitu menelaah dan mengkaji buku-buku, artikel-artikel, jurnal ilmiah, majalah, koran maupun media internet yang ada hubungannya dengan topik bahasan di atas. Kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.

Dalam mengolah dan menganalisis data penulis menggunakan metode content analysis yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat


(23)

ditiru (replicable),10 dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Selain

itu penulis juga menggunakan metode komparatif, jadi penulis akan membandingkan kedua batasan masalah setelah dilakukan analisis isi.

Sumber primer pembahasan skripsi ini adalah hasil karya Mohammad Hatta antara lain yang berjudul : ”Demokrasi Kita, Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan”, “Beberapa Fasal Ekonomi Jilid I Jalan Ekonomi dan Koperasi”, “Beberapa Fasal Ekonomi Jilid II Jalan Ekonomi dan Bank”, “Kumpulan Karangan I, II dan III”, ”Kumpulan Pidato I, II dan III”, “Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi”, “Ekonomi Terpimpin”, “Karya Lengkap Bung Hatta Jilid 1 Kebangsaan dan Kerakyatan”, ”Karya Lengkap Mohammad Hatta Jilid 2 Kemerdekaan den Demokrasi”, ”Karya Lengkap Mohammad Hatta Jilid 3 Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial”, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, “Bank dalam Masyarakat Indonesia”.

Dan sebagai panduan penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan pengecualian sebagai berikut :

1. Terjemahan dari Al-Qur’an, Hadits dan kutipan dari bahasa Arab lainnya dipakai cara terjemah yang diketik dengan jarak satu spasi walaupun kurang dari empat baris. Sedangkan terjemahan Al-Qur’an diambil dari “Al-Qur’an dan Terjemahannya” yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI.

10

Burhan Bungin (ed.), Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.173


(24)

2. Dalam daftar Kepustakaan, Al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama sebagai penghormatan kepada kitab suci dan sesuai dengan ketinggian dan keagungannya sebagai sumber hukum yang pertama.

E. Kajian Pustaka

Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan oleh penulis. Penulis berasumsi bahwa penelitian mengenai pemikiran Hatta ini sangat prospektif dan menarik untuk dikaji. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain :

1. ”Konsepsi Mohammad Hatta tentang Islam dan Demokrasi Sosial”. Tesis yang ditulis oleh Abdul Rasyid Rahman (NIM 294 PTU 98), mahasiswa program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 1999. Tesis ini meneliti sejauh mana pemikiran Islam dapat memberikan kontribusi terhadapnya lahirnya demokrasi sosial oleh Mohammad Hatta, lalu bagaimana Islam dapat mempengaruhi aktivitas politik demokrasi sosial dan bagaimana peranan Hatta dalam menyatukan pemikiran sosialisme dalam demokrasi sosial.

2. ”Mohammad Hatta dan Pemikirannya dalam Bidang Politik”. Skripsi yang ditulis oleh Eti Nurbaeti (NIM 101045222259), mahasiswa Siyasah Syar’iyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2006. skripsi ini meneliti riwayat hidup Mohammad Hatta dan pemikirannya dalam bidang politik.


(25)

3. ”Pemikiran Mohammad Hatta dan Islam dalam Dinamika Politik Indonesia”. Disertasi yang ditulis oleh Efrinaldi (NIM 9930010101), mahasiswa program pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2006. Disertasi ini meneliti hubungan antara Islam dan demokrasi dalam konstelasi politik Indonesia, bagaimana dinamika dan faktor yang berpengaruh terhadap pemikiran Hatta tentang demokrasi dan Islam di Indonesia, dan bagaimana transformasi pemikiran Hatta dalam praktik politik kebangsaan dan Islam dan demokrasi dan pluralisme politik di Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Agar dalam penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka sistematika penyusunan skripsi ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, kajian pustaka, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI ISLAM

Bab ini terdiri pengertian ekonomi Islam, nilai dasar ekonomi Islam, nilai-nilai instrumental ekonomi Islam, tujuan ekonomi Islam.

BAB III RIWAYAT HIDUP MOHAMMAD HATTA DAN GENEOLOGI PEMIKIRAN EKONOMINYA


(26)

Bab ini terdiri pribadi dan pendidikan Mohammad Hatta, aktivitas sosial dan politik Mohammad Hatta, pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta dan karya-karyanya.

BAB 1V PEMIKIRAN EKONOMI MOHAMMAD HATTA DAN TINJAUANNYA DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Bab ini terdiri dari pemikiran ekonomi Mohammad Hatta, relevansi pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, dan analsis pemikiran ekonomi Mohammad Hatta ditinjau dari perspektif ekonomi Islam.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI ISLAM

A. Pengertian Ekonomi Islam

Kata ekonomi diambil dari bahasa Yunani kuno (greek),11 yaitu oikonomeia.

Kata oikonomeia berasal dari kata oikos yang berarti rumah tangga, dan nomos yang berarti aturan.12 Dengan demikian ekonomi memiliki arti mengatur rumah

tangga, dimana anggota keluarga yang mampu ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa lalu seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh kemudian populasinya semakin banyak dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok (community) yang diperintah oleh satu negara.13 Dari pengertian etimologis

tersebut ilmu ekonomi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengatur rumah tangga, yang dalam bahasa Inggris disebut economics.14

11

Taqyuddin An-Nabhani, Pembangunan Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

(Surabaya : Risalah Gusti, 1999), h. 47 12

Murasa Sarkani Putra, Pengertian Ekonomi Islam : Bahan Pengajaran Ekonomi dan Perbankan Syariah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta : tpn, 1999), h. 5

13

Taqyuddin An-Nabhani, Pembangunan Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, h. 47 14


(28)

Adapun secara terminologis para ekonom banyak sekali memberikan definisi mengenai ekonomi, diantaranya oleh Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ekonomi dunia mendefinsikan ekonomi adalah ilmu kekayaan atau ilmu yang mempelajari sarana-sarana kekayaan suatu bangsa dengan memusatkan perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab material dari kemakmuran, seperti hasil industri, pertanian dan lain-lain.15

Tokoh ekonomi Barat lainnya, Marshall berpendapat bahwa ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha individu dalam ikatan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari, ilmu ekonomi membahas bagian kehidupan manusia yang berhubungan dengan bagaimana ia memperoleh pendapatan dan bagaimana pula ia mempergunakan pendapatan itu, definisi tersebut memberikan penjelasan bahwa pokok dalam ilmu ekonomi adalah manusia dan segala aktifitasnya dalam memperoleh pendapatan.16

Sedangkan dalam bahasa Arab ekonomi dinamakan mu’amalah maddiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Lebih tepat lagi dinamakan iqtishad, yaitu mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.17

15

Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (terj), (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 10

16 Ibid

17

KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2002), Cet ke-1, h. 19


(29)

Melihat berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi, dengan demikian bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor dalam perilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi.18

Dengan semakin beragamnya definisi mengenai ekonomi secara umum yang dikemukakan oleh para pakar ekonomi, maka ekonomi Islam pun didefinisikan secara beragam pula oleh para pakar ekonomi Islam, diantaranya Muhammad Abdul Mannan soerang pakar ekonomi Islam, menurutnya yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.19

Adapun menurut Dr.Yusuf Qardhawi ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan, sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah, aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, import dan eksport tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan.20

18

Monzer Kahf, Ekonomi Islam , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), cet ke-1, h. 2 19

Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek¸ Penerjemah Potan Arif Harahap, (Jakarta : Intermasa, 1992), cet ke-1, h. 10

20

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), h. 31


(30)

Sedangkan Abdullah Al-Arabi berpendapat, Ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan diatas dasar-dasar sesuai dengan lingkungan dan masyarakat.21

Ekonomi Islam yang dikemukakan S.M Hasanuzzaman adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.22

Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari ekonomi Islam adalah studi tentang problem-problem ekonomi dan institusi yang berkaitan dengannya atau ilmu yang mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya untuk mencapai ridha Allah. Dari definisi ini terdapat tiga cakupan utama dalam ekonomi Islam, yaitu tata kehidupan, pemenuhan kebutuhan dan ridha Allah yang kesemuanya diilhami oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang akhirnya menunjukkan konsistensi antara niat karena Allah, kaifat atau cara-cara dan ghayah dan tujuan dari setiap manusia.23

21

Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), cet ke-1, h. 245

22

Rustam Effendi, Produksi dalam Islam, (Yogyakarta : Magistra Insani Press, 2003), Cet ke-1, h. 2-3


(31)

Ini tidak berarti ekonomi Islam hanya diproyeksikan untuk orang-orang yang beragama Islam, karena Islam membolehkan umatnya untuk melakukan transaksi ekonomi dengan orang-orang non muslim sekalipun. Dengan kalimat lain, ekonomi Islam lebih mengedepankan urgensi sistem ekonominya yang hendak dibina dan dibangun daripada sekedar membangun dan membina para pelakunya yang harus beragama Islam. Hanya saja, tentu Islam menghendaki agar umat Islam itu sendiri justru menjadi pelopor dan pengawal dari sistem ekonomi Islam itu sendiri yang dimilikinya.24

Sebagai agama yang oleh Al-Qur’an dijuluki dengan agama terlengkap dan tersempurna (dinul kamil wa-dinun Itmam), Islam memiliki dan mempersembahkan konsep-konsep pemikiran ekonomi yang filosofis, nilai-nilai etika ekonomi yang moralis, dan norma-norma hukum ekonomi yang tegas dan jelas. Diatas akar tunggang akidah Islamiah yang ajeg (kokoh), dan dibingkai dengan tiga pilar utama (konsep yang filosofis, nilai etika yang moralis dan hukum yang normatif aplikatif).25

Agama Islam berbeda dengan agama lainnya, karena agama lainnya tidak dilandasi postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran Islam juga dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterprestasikan bagaimana

23

Murasa Sarkani Putra dan Agus Kristiawan, Ilmu Ekonomi (Pengantar Ekonomi Moneter : Suatu Awalan), Bahan Pengajaran Ekonomi Perbankan dan Asuransi Islam, (Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), Cet ke-1, h. 7

24

Prof. Dr. H. M.Amin Suma, SH, MA, MM, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Ciputat : Kolam Publishing, 2008), h. 49

25


(32)

seseorang berhubungan dengan orang lain, dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat digiring ke arah bagaimana pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada, dan ini merupakan subyek yang dipelajari dalam ekonomi Islam.26

Namun pada perkembangan selanjutnya, kira-kira sama dengan sistem ekonomi lainnya. Ekonomi Islam juga terdapat mazhab-mazhab didalamnya. Adiwarman Karim, salah seorang pakar ekonomi islam Indonesia, dan penggagas The International Intitute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, menuliskan bahwa ada 3 mazhab dalam ekonomi Islam, yaitu sebagai berikut. Pertama, Mazhab Baqir al-Shadr. Mazhab ini dipelopori oleh Baqir al-Shadr dengan bukunya “Iqtishaduna”, mazhab ini berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang lemah. Ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Oleh karena itu, al-Shadr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, Sedangkan sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan karena firman Allah SWT dalam surat QS. al-Qamar (54:49) dinyatakan :

26

Prof. DR. M. M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Bangkit Daya Insana, 1995), h. 1


(33)

)

ﺮ ا

:

฀฀

(

Artinya : “sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya”. (QS.Al-Qamar : 49)

Kedua, Mazhab Mainstream yang terdiri dari M. Umer Chapra, M. Abdul Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan para pemikir ekonomi Islam dunia lebih banyak tergolong pada kelompok ini. Berbagai pendapat dari mazhab mainstream tidak begitu berbeda dengan pendapat konvensional, hanya saja yang membedakan adalah cara penyelesaian permasalahan (method of problem solving). Berbeda dengan penentuan skala prioritas dalam ekonomi konvensional yang tergantung pada individu dengan atau tanpa pendekatan agama, tetapi dengan “mempertuhankan nawa nafsu dan materi”, sedangkan mazhab ini berpendapat dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk ekonomi, harus merujuk pada ajaran Allah lewat al-Qur’an dan Sunnah. Mazhab ini juga setuju dengan kemunculan masalah ekonomi karena keterbatasan sumber daya yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Namun, keterbatasan sumber daya tersebut, hanya terjadi pada berbagai tempat dan waktu saja, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah (2:155) :

Artinya: “dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”. (QS.Al-Baqarah : 155)


(34)

selain keterbatasan merupakan ujian dari Allah SWT, juga sifat manusia yang berkeinginan tidak terbatas dianggap sebagai sifat yang alamiah.

Ketiga, mazhab Alternatif-Kritis Dipelopori oleh Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California). Kuran mengkritisi kedua mazhab di atas. Mazhab ini berpendapat bahwa yang perlu dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi Islam itu sendiri.27

Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian Islam di dunia, tampaknya mazhab Mainstream lebih fleksibel dan dominan dalam berkiprah karena seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin bahwa sesungguhnya esensi dari ekonomi Islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan ditegakkan berdasarkan syariah, dan (kemungkinan) menerima unsur ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya.28 Oleh karena itu,

mengenai pembahasan ekonomi Islam selanjutnya, yaitu nilai-nilai dasar ekonomi Islam, nilai-nilai instrumental ekonomi Islam dan tujuan ekonomi Islam, penulis menggunakan pendekatan yang lebih condong kepada mazhab mainstream.

B. Nilai-Nilai Dasar Ekonomi Islam

Nilai-nilai dasar ekonomi Islam tersebut adalah :

27

Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta : IIIT Indonesia, 2002), h. 13-16 28

Muhammad Muslehuddin, Economics and Islam (New Delhi: Marzkazi Maktaba Islami, 1982), h. 47


(35)

1. Nilai Dasar Pemilikan

Menurut sistem ekonomi Islam (a) pemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas-atas sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya. Seorang muslim yang tidak memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang diamanatkan Allah kepadanya, misalnya dengan membiarkan lahan atau sebidang tidak diolah sebagaimana mestinya akan kehilangan hak atas sumber-sumber ekonomi itu. Demikian juga halnya dengan sumber-sumber ekonomi yang lain. Hal ini disandarkan pada ucapan Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa ”Barang siapa yang menghidupkan satu bumi yang mati, maka ia (bumi) itu baginya” (HR Tirmidzi). Islam sangat mendorong serta memberikan janji pahala yang besar bagi orang yang mengelola tanah yang terbengkalai, karena pekerjaan itu akan meluaskan daerah pertanian dan menambah sumber pendapatan.29 Rasulullah

bersabda :“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan apa yang dimakan pencuri rizki (binatang liar), maka menjadi shadaqah baginya” Akan tetapi, kalau ia menelantarkan tanah itu, misalnya dengan hanya memagarinya saja dengan tembok selama tiga tahun lamanya, maka ia tidak berhak lagi ”memiliki tanah itu”.

Selain dari itu menurut sistem ekonomi Islam, (b) lama pemilikan atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia itu hidup di dunia ini. Apabila seorang manusia meninggal dunia, harta kekayaannya harus dibagikan kepada ahli

29

Dr. Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Rabbani Press, 1995), Cetakan ke-1. h. 178


(36)

warisnya menurut ketentuan yang ditetapkan Allah. Menurut ajaran Islam, (c) sumber-sumber daya alam yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang harus menjadi milik umum atau negara, atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan umum atau orang banyak. Islam memandang kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Manusia hanya bisa memiliki kemanfaatan atas fasilitas yang ada, seperti mempunyai tanah untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, sebagai lahan pertanian ataupun sebagai ladang bisnis. Kepemilikan yang ada hanya sebatas mengambil manfaat dan tidak bisa menghilangkan kepemilikan Allah yang hakiki atau mengurangi hak-hak Allah atas segala fasilitas kehidupan yang telah diturunkan di muka bumi.30 Oleh karena itu, Islam tidak membolehkan

pembentukan atau penguasaan monopoli yang bersifat pribadi, yang ada kemungkinan merugikan bagi masyarakat. Rasulullah Saw melarang pemilikan secara atau pengontrolan secara pribadi terhadap barang-barang yang digunakan masyarakat. Menurut riwayat Ibn Abbas, Rasulullah bersabda : “Padang rumput adalah milik Allah dan RasulNya dan tak seorangpun yang diperbolehkan memilikinya untuk dirinya sendiri.” Adapun hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Semua umat Islam bersama-sama memiliki tiga hal yaitu air, rumput dan api”.

30

Abdul Sami’ Al-Mishri , Pilar-Pilar Ekonomi Islam,(Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2006), Cetakan ke-1, h. 27


(37)

Maka dalam pandangan ekonomi Islam apabila terdapat cabang-cabang produksi yang mangandung hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pribadi, maka negara berhak menyitanya. Hal tersebut bersandar pada suatu riwayat, yaitu nabi pernah menyita sebidang tanah di kota Madinah “Tanah al-Naqi” yang diperuntukkan bagi kaum muslimin untuk mengembalakan kuda-kuda mereka, artinya tanah tersebut dijadikan sebagai milik publik dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Prinsip tersebut juga dilestarikan oleh khalifah Umar bin Khattab yang berusaha untuk menyita/menjaga aset yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat publik dalam penguasaan ruang publik tersebut, Umar pernah menyita tanah ar-Rabdzah dan diperuntukkan bagi tempat pengembalaan kaum muslimin.31

2. Keseimbangan

Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku ekonomi seorang muslim. Atas keseimbangan ini misalnya terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi keborosan (QS. Al-Furqan : 67, Ar-Rahman : 9). Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya bukan saja antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi

31


(38)

juga keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum. Disamping itu harus juga dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban.32

3. Keadilan

Nilai dasar sistem ekonomi Islam ketiga adalah keadilan. Kata adil adalah kata terbanyak disebut dalam Al-Qur’an (lebih dari seribu kali), setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Karena itu dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Ini berarti bahwa nilai kata itu sangat penting dalam ajaran Islam terutama dalam kehidupan hukum, sosial politik dan ekonomi. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa (a) keadilan itu harus diterapkan di semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi, misalnya, keadilan harus menjadi penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga, agar hasilnya sesuai dengan tekanan yang wajar dan kadar yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam Islam sistem ijon sangat dilarang dan tidak hanya ijon Islam juga melarang untuk menjual barang-barang yang palsu dan menganjurkan penggunaan ukuran dan timbangan yang benar, hal itu bisa dilihat :

32

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta, UI Press, 1988), h. 7-8


(39)

)

ﺮ ا

ة

:

(

Artinya : dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS.Al-Baqarah : 188)

ا

ل

:

ر

ل

م

ص

ﷲا

ﱢﺜ ا

رﺎ

ه

,

و

و

ه

.

لﺎ

لﺎ و

ﱠﻰ

ا

ر

د

ت

ا

ذ

ا

ﺜ ا

ﷲا

ة

ا

آ

لﺎ

ا

.

و

ر

و

ا

رﺎ

ر

ﷲا

ا

ﱠن

ر

ل

ﷲا

م

ص

ا

ﱠ ا

ﱠﻰ

ه

و

ا

ﱠﻰ

و

ا

ه

ا

و

ا

ى

)

اور

ىرﺎ ا

او

(

Artinya : disampaikan oleh Anas (semoga Allah ridha kepadanya) bahwa Rasulullah Saw melarang memperjualbelikan buah-buahan selama mereka belum matang. Ditanyakan : “bagaimana kita bisa mengetahui bahwa buah tersebut belum matang”. Jawabnya : “apakah engkau kira ada salah seorang diantaramu akan sanggup mengambil milik saudaranya jika Allah menghentikan buah-buahan itu untuk menjadi matang?“ seperti juga dikemukakan oleh Ibnu Umar yang mengatakan bahwa nabi Saw melarang jual beli pohon kurma sebelum kurma tersebut matang atau mempertukarkan bunga jagung sampai ia menjadi (matang) atau tidak terdapat kerusakan-kerusakan. Ia melarang tindakan membeli atau menjual seperti apa yang disebutkan diatas. (HR.Bukhari dan Muslim)

)

ﺎ ا

:

(

Artinya : ….dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil…(Al-An’am : 152)

Keadilan dalam ekonomi juga berlaku dalam penetapan upah pekerja. Dalam ekonomi Islam, upah yang diberikan oleh majikan kepada buruh harus sesuai dan layak. Islam tidak menghendaki adanya eksploitasi buruh yang diterapkan oleh


(40)

masyarakat kapitalis dan dalam ekonomi Islam, upah buruh ditetapkan secara adil dan seimbang. Yang mana upah yang seimbang itu disesuaikan dengan porsi kerja dari buruh tersebut. Seperti diterangkan oleh Allah :

)

ﺎ ا

ء

:

(

Artinya : sesungguhnya, bahwasanya Alah memerintahkan kalian agar menunaikan amanat kepada yang berhak, dan apabila kalian menetapkan keputusan diantara sesama manusia hendaklah kalian menetapkannya dengan adil. (An-Nisa : 58)

Selain itu, (b) keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infak (pengeluaran sukarela yang dilakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rezeki), sedekah (pemberian ikhlas yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan, baik jenis, jumlah maupun waktunya). Watak utama nilai keadilan yang dikemukakan diatas adalah bahwa masyarakat ekonomi haruslah merupakan masyarakat yang memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Penyimpangan dari watak ini akan menimbulkan bencana bagi masyarakat yang bersangkutan.

Ketiga nilai dasar sistem ekonomi Islam tersebut diatas yaitu (1) kebebasan yang terbatas mengenai harta kekayaan dan sumber-sumber produksi, (2)


(41)

keseimbangan dan (3) keadilan merupakan pangkal (asal) nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.33

C. Nilai Instrumental Ekonomi Islam

Tiap sistem ekonomi, menurut aliran pemikiran dan agama tertentu, memiliki perangkat nilai instrumental sendiri yang berlainan. Dalam sistem kapitalisme nilai instrumental terletak pada nilai persaingan sempurna dan kebebasan keluar masuk pasar tanpa restriksi, informasi dan bentuk pasar atomistik dari tiap unit ekonomi, pasar yang monopolistik untuk mencegah perang harga dan pada waktu yang sama menjamin produsen dengan kemampuan untuk menetapkan harga lebih tinggi daripada biaya marginal. Sedangkan dalam sistem marxisme, semua perencanaan ekonomi dilaksanakan secara sentral melalui proses yang mekanistik, pemilikan kaum proletar terhadap faktor-faktor produksi diatur secara kolektif, proses iterasi dan kolektivisme ini adalah beberapa nilai instrumental yang pokok dari sistem marxisme.34

Dalam sistem ekonomi Islam dapat kita tangkap, lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, sebagai berikut :

1. Zakat

33

Ibid,hal 8-9 34

Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta : Media Dakwah, 1984), h. 42


(42)

Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai arti tumbuh dan berkembang. Sedang secara istilah, zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan dan aturan tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.35 Zakat adalah salah satu rukun

Islam yang merupakan kewajiban agama yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Zakat bukanlah pajak yang merupakan sumber pendapatan negara. Karena itu, keduanya harus dibedakan. Perkataan zakat disebut di dalam Al-Qur’an 82 kali banyaknya dan selalu dirangkaikan dengan shalat (sembahyang) yang merupakan rukun Islam kedua.36

Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan dan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi. Zakat berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen dalam beberapa hal, mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau investasi dan konsumsi. Pengaruh-pengaruh baik dari zakat pada aspek sosial ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas karena ketajaman perbedaan pendapatan. Pelaksanaan zakat oleh negara akan menunjang terbentuknya keadaan ekonomi yang growth with equity, peningkatan produktivitas yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

35

M.Umar Chapra, The Future Of Economic On Islamic Perspektif, (Jakarta : SEBI, 2001), h. 63

36


(43)

Mengingat kedudukan zakat sebagai rukun Islam ketiga dan memiliki dampak sosial ekonomi yang baik, sampai-sampai khalifah Abu bakar Ash-Shiddiq berani mengambil risiko dan memerangi orang Islam yang tidak membayar zakat walaupun shalat. Peranan lembaga zakat, baik zakat harta (maal) maupun zakat fitrah (nafs) akan sangat nampak lagi dengan lebih baik bila diberlakukan bersama-sama dengan pelarangan riba dan qirad sebagai nilai instrumental lainnya.37

2. Pelarangan Riba

Secara etimologi, riba berarti kelebihan atau tambahan Secara etimologi, ar-riba berarti kelebihan atau tambahan. Semua pengertian ar-riba secara etimologis ini digunakan Allah diantaranya dalam Al-Qur’an, surat Fussilat : 39 yang berbunyi :

)

ﺼ ا

ت

:

(

Artinya :…maka apabila kami turunkan air diatasnya, niscaya bergerak dan subur…(QS Al-Fussilat : 39)

Dan surat An-Nahl : 92 yang berbunyi

)

ا

:

(

Artinya : …disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lain…(QS An-Nahl : 92)

37


(44)

Adapun para ulama fiqih mendefinsikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.”38 Pelarangan riba dalam

Islam pada hakikatnya berarti penolakan terhadap risiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual beli yang dibebankan kepada satu pihak saja sedangkan pihak lainnya dijamin keuntungannya. Bunga pinjaman uang, modal dan barang dalam segala bentuk dan macamnya, baik bunga tinggi maupun pendek, adalah termasuk riba. Sesungguhnya Islam itu adalah sustu sistem ekonomi yang bersendikan larangan riba.

☺⌧

38


(45)

)

ﺮ ا

ة

:

-(

Artinya : orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak berdiri seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila ; keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah ; orang yang mengulangi (mengambil riba), maka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya

Allah menghapuskan (berkat) riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai tiap orang dalam kekafirannya lalu berbuat dosa.

Sesungguhnya orang beriman dan mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat, untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya dan tak ada ketakutan atas mereka dan tiada mereka berduka cita.

Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) itu, jika kamu beriman.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (tidak meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu berbuat taubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan


(46)

kamu menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah 275-280)

Ulama-ulama telah sepakat tentang larangan riba menurut Al-Qur’an, yaitu riba nasiah, riba yang tambahan padanya merupakan imbalan dari masa yang tertentu, panjang atau pendek, sedikit atau banyak. Dan riba Al-Qur’an, termasuk riba yang dijalankan oleh bank atau lembaga keungan non bank dan orang-orang dalam transaksi perdagangan mereka yang non Islami, semuanya haram tanpa keraguan.

Islam mengharamkan seorang pengusaha mengambil sejumlah modal dari pihak lain, Bank atau non Bank, lalu membayar bunganya dengan kadar yang ditentukan, baik ia rugi dan untung. Dan Islam melarang setiap pedagang menjual barangnya melalui transaksi utang-piutang yang dibayar kemudian dengan tambahan tertentu.39

3. Kerjasama Ekonomi

Dalam ekonomi Islam dikatakan bahwa antara satu manusia dengan manusia yng lain adalah sebuah saudara dan oleh karena itu sesama saudara, Islam menganjurkan untuk saling tolong-menolong dan gotong-royong. Hal itu terlihat dari firman Allah :

39


(47)

)

ةدءﺎ ا

:

(

Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

(QS.Al-Maidah : 2)

Kerjasama (cooperation) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi yang Islami versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Nilai kerjasama dalam Islam harus dapat dicerminkan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Satu bentuk kerjasama ialah yang terwujud dalam qirad, yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.40

Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam seperti diatas akan dapat menciptakan kerja produktif sehari-hari dari masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial, mencegah penindasan ekonomi distribusi kekayaan yang tidak merata, dan melindungi kepentingan ekonomi dari pihak atau golongan ekonomi lemah. Ekonomi berdasar kerjasama Islami ini dalam semua kegiatan ekonomi menghendaki organisasi dengan prisnip serikat atau syarikah, si kuat membantu si lemah, pembagian kerja atau spesialisasi karena adanya saling ketergantungan serta pertukaran barang dan jasa karena tidak mungkin dapat berdiri sendiri.

40


(48)

Qirad atau syirkah dalam Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi non Islami yang individualistis, yang mengajarkan konflik antara pesaing dan memenangkan yang terkuat, sehingga melahirkan usaha untuk menumpuk kekayaan dan kekuatan, ketidakadilan sosial ekonomi, pertentangan antar kelas dan akhirnya kejatuhan bangsa dan kebudayaan.41

)

ا

:

(

Artinya : apakah mereka membagi-bagikan karunia dari Tuhanmu? Kamilah yang membagikan kepada mereka nafkah kehidupan diatas dunia ini, dan kami melebihi sebagian diantara mereka daripada yang lainnya, sehingga sebagian diantara mereka dapat membantu yang lainnya. Sesungguhnya karunia Tuhanmu adalah lebih baik dari kekayaan yang mereka timbun (QS. Zukhruf : 32)

Implikasi dari nilai kerjasama dalam ekonomi Islam ialah aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi, kepentingan negara dan kesejahteraan umat.

4. Jaminan Sosial

41


(49)

Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ajaran antara lain untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut antara lain adalah : 1) manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah (QS Al-An’am : 38 dan QS. Ar-Rahman : 10) (2) kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang punya. Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar diantara orang kaya saja (QS : Al-Humazah : 2) (4) berbuat baiklah kepada masayarakat, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS Al-Qashas : 77). Antara lain dengan menyediakan sumber-sumber alam itu, (5) seorang muslim yang tidak mempunyai kekayaan, harus mau dan mampu menyumbangkan tenaganya untuk tujuan-tujuan sosial (QS At-Taubah : 79), (6) seseorang janganlah menyumbang untuk kepentingan sosial dan juga untuk keperluan pribadi serta keluarga sebagai unit kecil masyarakat, agar dipuji orang lain (QS. At-Taubah : 262), (7) jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebutkan dalam Qur’an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan tersebut (QS Al-Baqarah : 273, At-Taubah : 60).42

Maksud jaminan sosial ialah bahwa negara menjamin bagi setiap individu dalam negara tersebut taraf hidup yang layak, dalam hal itu sekiranya ada orang fakir, sakit atau lanjut usia yang tidak lagi dapat mencapai taraf hidup ini, maka negara melalui zakat tetap menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi mereka. Dalam hal ini elemen jaminan sosial tidak hanya terbatas pada dana zakat saja,

42


(50)

melainkan sumber pendapatan negara lain seperti pajak, dan retribusi dapat dialokasikan begi pemenuhan kebutuhan dan jaminan sosial negara.

Dalam membahas jaminan sosial ini, Ibnu Hazm, seorang pemikir ekonomi Muslim masa lampau, mengatakan bahwa orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.43

Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah SWT :

)

ءﺮ ا

:

(

Artinya : dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan (QS Bani Israil : 26)

43

Ir. Adiwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), Edisi ke-III h. 141


(51)

)

ﺎ ا

ء

:

(

Artinya : dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” (An-Nisa : 36).

Pendapat senada dikemukakan Afzalur Rahman, pemikir ekonomi Islam kontemporer, dalam bukunya “Doktrin Ekonomi Islam”. ia mengatakan, dalam negara Islam, setiap individu berhak atas penghidupan dan setiap warga memiliki jaminan atas kebutuhan pokoknya. Sesungguhnya tugas dan tanggung jawab utama negara Islam untuk mengawasi setiap warga memperoleh kebutuhan pokoknya menurut prinsip “hak atas penghidupan” dan dalam hal yang berkaitan dengan masalah kebutuhan pokok. Seluruh warganya dalam kedudukan yang sederajat. Berdasarkan prinsip di negara Islam ini, departemen jaminan sosial memberikan jaminan kebutuhan pokok kepada seluruh warganya yang sakit, tua, miskin, kekurangan, penganggur atau cacat serta tidak mampu melakukan suatu pekerjaan. Lalu Afzalur Rahman juga mengatakan bahwa kebijaksanaan ini pernah dilaksanakan oleh nabi Muhammad saw yang menyediakan bantuan keuangan bagi orang miskin dan kekurangan dari lembaga keuangan rakyat, para pekerja yang mampu memberi keuangan kepada mereka yang sakit, cacat dan tidak mampu bekerja. Kebijaksanaan ini pun diteruskan oleh masa khulafaurrasyidin. Abu Bakar, pemerintahannya sangat ketat untuk memberikan jaminan rakyat yang diciptakannya. Umar, khalifah yang kedua, lebih memperluas dan mengembangkan departemen jaminan umum. Ia memberikan


(52)

jaminan dan dana umum kepada seluruh warga yang miskin dan kekuarangan, tanpa membedakan warna kulit dan agamanya. Seluruh rakyat, Islam, Yahudi, Kristen dan semuanya memperoleh bantuan dana darinya. Ia memberikan dana untuk anak-anak, penganggur, usia lanjut dan membantu orang miskin dan kekurangan yang sakit dan cacat dengan berbagai jenis jaminan untuk memenuhi keuangan mereka.

Setelah Umar, departemen jaminan sosial dipertahankan dengan baik oleh Usman, khalifah yang ketiga dan Ali, khalifah yang keempat, yang memberikan bantuan kepada kalangan miskin dan mereka yang dpandang layak dibantu bagi warga negaranya.

Disamping pemberian masalah sandang, pangan dan papan tersebut, dalam ekonomi Islam juga memberikan perhatian serta jaminan sosial pada bidang pendidikan dan kesehatan. Hal itu dicontohkan oleh Rasulullah yang semasa hidupnya memberi perhatian besar terhadap pengajaran dan pendidikan bagi setiap muslim dan menanamkan setiap sumber daya untuk membuat mereka melek huruf. Sebagai contoh, Rasulullah memerintahkan Zaid bin Tsabit yang telah diajarkan membaca dan menulis oleh seorang tawanan perang Badar, untuk mempelajari tulisan yahudi. Rasulullah juga menyatakan kepada sepuluh orang pemuda Anshar membaca dan menulis, mereka akan dibebaskan. Dengan cara ini, jumlah sahabat yang melek huruf meningkat sehingga juru tulis dan baca Rasulullah Saw tercatat sebanyak 42 orang. Angka ini sangat berarti dibandingkan dengan sebelum masa kenabian, jumlah suku Quraisy yang melek


(53)

huruf hanya 17. Demikian juga di Madinah, kecuali bangsa Yahudi, jumlah penduduk yang dapat membaca dan menulis sangat sedikit. Al-Waqidi mengatakan jumlah itu hanya sebelas orang. Gerakan belajar membaca dan menulis di Madinah dan menyebar luas sehingga tempat tesebut dikenal dengan nama Darul Qurra (rumah para penulis).44

Mengenai masalah pendidikan dan pengajaran ini, Dr.Yusuf Qardhawi, pemikir ekonomi Islam masa kontemporer, menegaskan bahwa dalam ekonomi Islam wajib mengembangkan sistem pengajaran dan pelatihan yang mana sistem tersebut ditujukan untuk mempersiapkan kemampuan dan potensi manusia pada berbagai bidang yang dibutuhkan. Hendaknya dikembangkan pula sistem manajemen dan keuangan agar berbagai sumber daya manusia ini dapat dikembangkan pula sistem manajemen dan keuangan agar berbagai sumber daya manusia ini dapat dikembangkan, dialokasikan dan didistribusikan untuk berbagai spesialisasi secara seimbang dan tepat,45 sebagaimana petunjuk yang diberikan

dalam Al-Qur’an :

44

Ibid, h.134 45


(54)

)

ﺔ ﻮ ا

:

(

Artinya :tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At-Taubah : 122)

Tidak hanya pendidikan dan pengajaran, jaminan sosial dalam ekonomi Islam juga harus meliputi masalah kesehatan. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah yang memberi perhatian sangat besar pada masalah kesehatan. Salah satu hadis Rasulullah yang paling terkenal adalah “kebersihan sebagian dari iman” membuktikan hal itu. Ini selaras dengan hadis lain yang mengatakan “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku mewajibkan mereka menggosok gigi setiap kali shalat.” Disamping itu, untuk mencegah penyebaran penyakit, Rasulullah memerintahkan agar orang yang sakit dikarantina sampai sembuh.46

5. Peranan Negara dalam Sistem Ekonomi

Nilai instrumental yang kelima ini ialah peran atau campur tangan pemerintah dalam fungsionalisasi sistem ekonomi Islam, negara dapat sebagai pemilik menfaat sumber-sumber, produsen, distributor dan sekaligus lembaga pengawasan kehidupan ekonomi melalui lembaga hisbah. Hisbah adalah institusi pemerintah yang pernah ada pada zaman Nabi Muhammad Saw, sebagai lembaga

46


(55)

pengawas pasar ekonomi yang menjamin tidak adanya perkosaan atau pelanggaran aturan moral dalam pasar, monopoli, perkosaan terhadap hak konsumen, keamanan dan kesehatan kehidupan ekonomi. Hisbah ini independen dari kekuasaan yudisial maupun eksekutif dari pemerintah.47

Peranan negara dalam perekonomian sangat variatif dan bermacam-macam salah satunya adalah mencegah ihtikar (penimbunan). Rasulullah sendiri, semasa hidupnya sangat melarang dan mengecam ihtikar ini. Pelarangan ihtikar ini pun dilanjutkan oleh para penerus Rasulullah. Imam Malik meriwayatkan bahwa khalifah Umar memerintahkan kepada rakyatnya agar tidak seorang pun yang boleh menyembunyikan keadaan barang dagangan dalam pemasarannya. Menurut riwayat Ibn Majah, Umar pernah berkata, “orang yang membawa hasil panen ke dalam kota kita akan dilimpahkannya kekayaan yang banyak dan orang yang menyembunyikannya akan dikutuk, jika ada seseorang yang menyembunyikan hasil panen (barang-barang kebutuhan lainnya) sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya (barang-barang keperluan lainnya) dengan paksa”. Sayyidina Usman, sebagai khalifah ketiga, pun melarang penyembunyian barang-barang selama masa kekhalifahannya.48

47

Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-NIlai, h. 105 48

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, (Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 82


(56)

Yahya bin Umar, seorang cendikiawan muslim, menyatakan bahwa timbulnya kemudharatan terhadap masyarakat merupakan alasan dari pelarangan penimbunan barang tersebut. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini harus disedekahkan sebagai pendidikan terhadap pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarakannya.49

Apabila campur tangan pemerintah dalam pengawasan moral ekonomi pasar pada individu maupun masyarakat makin kuat secara Islami, maka makin berkuranglah campur tangan langsung dari pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Peran pemerintah diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-nilai sistem ekonomi Islam dalam aspek legal, perencanaan maupun pengawasannya dalam pengalokasian atau distribusi sumber-sumber dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan, serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Semua campur tangan negara ini harus menghasilkan individu dan masyarakat yang saleh, saling kasih mengasihi dan bekerjasama dalam kebaikan serta taqwa kepada Allah SWT.50

49


(57)

Peranan negara pada umumnya, pemerintah pada khususnya sangat menentukan dalam pelaksanaan nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Peranan itu diperlukan dalam aspek hukum, perencanaan dan pengawasan alokasi atau distribusi sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.51

D. Tujuan Ekonomi Islam

Tujuan dari sistem ekonomi pada prinsipnya ditentukan oleh pandangannya tentang dunia, yang menyangkut tentang makna dari tujuan hidup manusia, prinsip kepemilikan dan tujuan manusia memiliki sumber daya-sumber daya yang ada dikaitkan kepada hubungannya antara manusia dengan manusia lain dengan lingkungannya. Dalam hal ini setiap agama mempunyai pandangan yang berbeda jika dunia dianggap dan dengan sendirinya, maka konsekuensi logis yang akan timbul adalah manusia harus bertanggung jawab segala perbuatannya. Tujuan hidupnya tak lebih hanya untuk memaksimumkan kepuasan pribadi masing-masing. Berbeda ketika manusia beranggapan bahwa ia hanya sekedar bidak diatas papan catur, semua peristiwa berjalan sesuai dengan “skenario langit” sehingga manusia tidak perlu mengusik segala macam ketidakadilan yang terjadi di dunia.

50

Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-NIlai, h.105-106 51


(58)

Berbeda dari keduanya, Islam menganggap bahwa manusia dan segala apa yang ia miliki adalah ciptaan Tuhan dan harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya, dan Islam juga mempunyai komitmen terhadap persaudaraan dan keadilan sehingga kesejahteraan (falah) bagi umat manusia merupakan tujuan (maqashid) pokok Islam. Maqashid Al-Syari’ah oleh Al-Ghazali dan Asy-Syatibi dibagi dalam lima unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (maal), kesejahteraan dapat diraih dengan pemenuhan kebutuhan materi dengan kebutuhan rohani di personalitas individu.52

Bertolak dari tujuan pokok Islam, maka tujuan ekonomi Islam secara umum adalah pemenuhan kebutuhan yang berasaskan kebahagiaan dunia dan akhirat secara selaras dan seimbang baik secara pribadi maupun keseluruhan masyarakat dengan tujuan pokok mencari keberuntungan dunia dan akhirat selaku khalifatullah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas. Tujuan ekonomi Islam bersandar kepada firman Allah dalam surat Al-Qashas ayat 77 :

)

ﺺﺼ ا

:

(

52

Umar Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Penerjemah Ikhwan Abidin, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), h. 8


(59)

Artinya : dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.Al-Qashas : 77)


(60)

BAB III

RIWAYAT HIDUP MOHAMMAD HATTA

A. Pribadi dan Pendidikan Mohammad Hatta

Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yang terletak ditengah-tengah dataran tinggi Agam. Letaknya indah diujung kaki gunung Merapi dan Gunung Singgalang dan disebelah utaranya kelihatan pula melingkung cabang-cabang Bukit Barisan. Antara Bukittinggi dan gunung Singgalang terbentang sebuah ngarai yang dalam dan bagus pemandangannya. Agak jauh dari tempat itu pada jurusan sebelah timur tampak gunung Sago. Apabila tidak ada kabut, kelihatan dari jauh sebelah barat laut gunung pasaman yang kesohor dalam gunung yang mengandung emas. Nagarai dan gunung-gunung serta bukit-bukit barisan yang kelihatan disekitarnya itu memberikan kepada kota Bukittingi suatu pemandangan yang indah sekali. Hawanya sejuk, pada malam hari malah terasa dingin. Berbagai jenis bunga subur tumbuhnya disana. Orang-orang yang datang bertamasya dari daerah pesisir sering menamai Bukittinggi ”Kota kebun bunga mawar”.53

Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Ia berasal dari Batu Hampar, kira-kira 16 km dari Bukittinggi arah ke Payakumbuh. Ibunya bernama Saleha, dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara

53


(61)

perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.54 Orang tua Mohammad Hatta

mula-mula memberikan nama Mohammad Athar kepadanya. Athar sendiri artinya ”harum”. Namun, karena orang-orang tua dan di lingkungannya sulit menyebutkan nama Athar, maka sehari-hari, ia dipanggil ”Atta” yang kemudian berkembang menjadi sebuah nama baru, ”Hatta”. 55

Di masa kecil, Hatta berkembang seperti anak-anak biasa, tetapi ia kurang memiliki sahabat bermain karena para tetangga sekitarnya tidak mempunyai anak seusianya dan di keluarganya, Hatta merupakan satu-satunya anak laki-laki. Kadang-kadang familinya menemukan Hatta bermain sendiri dengan cara membuat miniatur lapangan bola, sedangkan pemain-pemainnya dibuat dari gabus yang dibebani timah. bola, dibuatnya dari manik bundar. Hatta memainkan sendiri permainan sepak bola itu dengan asyiknya. Selain itu, Hatta adalah sorang yang hemat. Setiap kali jika orang tuanya memberi uang belanja kepadanya, yang pada waktu itu sebenggol, selalu uang itu ditabungnya. Caranya, uang logam itu disusun sepuluh-sepuluh dan disimpan dimejanya. Jadi, setiap orang yang mengambil atau mengusiknya, Hatta selalu tahu. Namun, kalau orang meminta dengan baik dan Hatta menganggap perlu diberi, tak segan-segan ia akan memberi apa yang dimilikinya.56

54

Tanpa pengarang, “Mohammad Hatta”, artikel diakses pada tanggal 28 Desember 2007 dari

http://ms.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta

55

Meutia Farida Swasono (penyunting), Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, (Jakarta : Sinar Harapan bekerjasama dengan Universitas Indonesia, 1980), h. 5

56 Ibid


(1)

Diriwayatkan nabi pernah menyita sebidang tanah di kota Madinan “Tanah al-Naqi” yang diperuntukkan bagi kaum muslimin untuk menggembalakan kuda-kuda mereka, artinya tanah tersebut dijadikan sebagai milik public dan tidak bolek dimiliki secara pribadi. Prinsip tersebut juga dilestarikan oleh khalifah umar bin khattab yang berusaha untuk menyita/menjaga asset yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat public. Umar pernah menyita tanah ar Rabdzah dan diperuntukkan bagi tempat penggemabalaan kaum muslimin. 254(penguasaan cabang2 produksi)

Menghargai kemanusiaan adalah badian dari prinsip ilahiah yang telah memuliakan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini.255 Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat –terutama masyarakat lemah- seperti yang dilakukan oleh sistem kapitasli. Tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis terutama marxisme. Akan tetapi pertengahan diantara keduanya, tidak menyianyiakan dan tidak

berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan,256 sebagaimana firman-Nya :

Dan Allah telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan), kamu janan melampaui batas tentang neraca itu dan tagakkanlah timbangnan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Ar-Rahman : 7-9) (keadilan)

254

Abdul Sami’ Al-Mishri, pilar….hal 75

255

DR.Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Cetakan Pertama, Jakarta : Rabbani Press, 1995, hal 64

256


(2)

Diantara hal penting yang diungkapkan ajaran Islam disini adalah penetapan aturamn pemilikan bersama menyangkut benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan) bagi semua manusia. Berdasarkan ini, Islam mengeluarkan dari ruang lingkup pemilikan individu segala sesuatu yang keberadaan dan

kemanfaatannya tidak tergantung usaha-usaha khusus. Sebagian besar manusia membutuhkannya, sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum, tidak boleh dilakukan oleh perorangan yang akan mengakibatkan kemudharatan bagi masyarakat. Rasulullah Saw menyebutkan benda-benda jenis ini sebanyak empat hal, yaitu air, padang rumput, api dan garam.257 Rasulullah Saw bersabda :

Kaum Muslimun berserikat dalam tiga hal : rumput, air dan api” (penguasaan cabang2 produksi)

Islam mendorong serte mamberikan janji pahal yang besar bagi orang yang mengelola tanah yang terbengkalai, karena pekerjaan itu akan meluaskan daerah pertanian dan menambah sumber pendapatan. Masalah ini dalam fiqh Islam dikenal dengan Ihyaul Mawat/ menghidupkan tanah mati. 258Rasulullah bersabda :

“Barang Siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan apa yang dimakan pencuri rizki (binatang liar), maka menjadi shadaqah baginya. (ihyaul mawat)

257

Peran Nilai dan …..hal 125

258


(3)

Umat Islam wajib mengembangkan sistem pengajaran dan pelatihan yang mempersiapkan kemampuan dan potensi manusia pada berbagai bidang yang dibutuhakn. Hendaknya dikembangkan pula sistem manajemen dan keuanagan agar berbagai sumber daya manusia ini dapatt dikembangkan pula sistem manajemen dan keuangan agar berbagai sumber daya manusia ini dapat dikembangkan, dialokasikan dan didistribusikan untuk berbagai spesialisasi secara seimbang dan tepat,

sebagaimana petunjuk yang diberikan dalam Al-Qur’an :

Tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang ). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabilamereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (At-Taubah : 122)

Demikian pula untuk memenuhi bidang-bidang yang biasa terabaikan, dengan cara diberikan dorongan ataupun ditugaskan.259 Penempatan orang harus sesuai dengan bidangnya. Jangan menyerahkan urusan bukankepada ahlinya :

“Apabil sesuau diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”. Islam sangat memperhatikann pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia, baik berkaitan dengan akal, jasmani, ruhani, keilmuan maupun keahlian. Sehingga keseimbangan antara agama dengan dunia akan terjadi, tanpa melampaui batas ataupun merugikan salah satunya.260 (pemenuhan kebutuhan dasar rakyat)

259

Peran Nilai dan…., hal 194

260


(4)

Bukhari dan Musli meriwayatka dari Anas dari Nabi Saw. Dalam doa yang disebutkannya :

Ya Allah Aku berlindung kepad-Mu dari kegundahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari himpitan utang dan penindasan orang” (HR Muttafaq Alaih)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk oranglain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (Al-Muthafiffin : 1-6)

Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggug kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk

mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.261 Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut

261

Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Cetakan ke-1, Jakarta : Pustka Asatruss, 2005141


(5)

pada firman Allah SWT : “dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang tedekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalan…” (Al-Isra : 26) Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” (An-Nisa : 36).(pemenuhan kabutuhan dasar rakyat)

Alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan yang paling utama menurut Ibnu Khaldun adalah masyarakat, pemerintah dan keadilan. Didalam masyarakat, solidaritas diperlukan untuk meningkatkan kerja sama, sehingga akan meningkatkan produktivitas.262 (keadilan)

262


(6)