keseimbangan dan 3 keadilan merupakan pangkal asal nilai-nilai instrumental sistem ekonomi Islam.
33
C. Nilai Instrumental Ekonomi Islam
Tiap sistem ekonomi, menurut aliran pemikiran dan agama tertentu, memiliki perangkat nilai instrumental sendiri yang berlainan. Dalam sistem kapitalisme
nilai instrumental terletak pada nilai persaingan sempurna dan kebebasan keluar masuk pasar tanpa restriksi, informasi dan bentuk pasar atomistik dari tiap unit
ekonomi, pasar yang monopolistik untuk mencegah perang harga dan pada waktu yang sama menjamin produsen dengan kemampuan untuk menetapkan harga
lebih tinggi daripada biaya marginal. Sedangkan dalam sistem marxisme, semua perencanaan ekonomi dilaksanakan secara sentral melalui proses yang
mekanistik, pemilikan kaum proletar terhadap faktor-faktor produksi diatur secara kolektif, proses iterasi dan kolektivisme ini adalah beberapa nilai instrumental
yang pokok dari sistem marxisme.
34
Dalam sistem ekonomi Islam dapat kita tangkap, lima nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan
masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya, sebagai berikut : 1. Zakat
33
Ibid, hal 8-9
34
Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta : Media Dakwah, 1984, h. 42
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai arti tumbuh dan berkembang. Sedang secara istilah, zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan dan
aturan tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
35
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama yang dibebankan atas harta kekayaan
seseorang menurut aturan tertentu. Zakat bukanlah pajak yang merupakan sumber pendapatan negara. Karena itu, keduanya harus dibedakan. Perkataan zakat
disebut di dalam Al-Qur’an 82 kali banyaknya dan selalu dirangkaikan dengan shalat sembahyang yang merupakan rukun Islam kedua.
36
Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan dan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi. Zakat
berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen dalam beberapa hal, mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau investasi dan konsumsi.
Pengaruh-pengaruh baik dari zakat pada aspek sosial ekonomi memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas
karena ketajaman perbedaan pendapatan. Pelaksanaan zakat oleh negara akan menunjang terbentuknya keadaan ekonomi yang growth with equity, peningkatan
produktivitas yang dibarengi dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
35
M.Umar Chapra, The Future Of Economic On Islamic Perspektif, Jakarta : SEBI, 2001, h. 63
36
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 9
Mengingat kedudukan zakat sebagai rukun Islam ketiga dan memiliki dampak sosial ekonomi yang baik, sampai-sampai khalifah Abu bakar Ash-Shiddiq berani
mengambil risiko dan memerangi orang Islam yang tidak membayar zakat walaupun shalat. Peranan lembaga zakat, baik zakat harta maal maupun zakat
fitrah nafs akan sangat nampak lagi dengan lebih baik bila diberlakukan bersama-sama dengan pelarangan riba dan qirad sebagai nilai instrumental
lainnya.
37
2. Pelarangan Riba Secara etimologi, riba berarti kelebihan atau tambahan Secara etimologi, ar-
riba berarti kelebihan atau tambahan. Semua pengertian riba secara etimologis ini digunakan Allah diantaranya dalam Al-Qur’an, surat Fussilat : 39 yang berbunyi :
☺
ﺼ ا ت
:
Artinya :…maka apabila kami turunkan air diatasnya, niscaya bergerak dan subur…QS Al-Fussilat : 39
Dan surat An-Nahl : 92 yang berbunyi
ا :
Artinya : …disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lain…QS An-Nahl : 92
37
Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-Nilai , h. 69
Adapun para ulama fiqih mendefinsikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalangantinya.”
38
Pelarangan riba dalam Islam pada hakikatnya berarti penolakan terhadap risiko finansial tambahan yang
ditetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual beli yang dibebankan kepada satu pihak saja sedangkan pihak lainnya dijamin keuntungannya. Bunga
pinjaman uang, modal dan barang dalam segala bentuk dan macamnya, baik bunga tinggi maupun pendek, adalah termasuk riba. Sesungguhnya Islam itu
adalah sustu sistem ekonomi yang bersendikan larangan riba.
☺⌧ ☺
☺
☺
☺ ⌧
☺
38
Dr.Haroen Nasroen, MA, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000, h. 181
☺ ☺
⌧
☺
ﺮ ا ة
: -
Artinya : orang-orang yang memakan mengambil riba tidak berdiri seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila ;
keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus berhenti dari
mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah ; orang yang
mengulangi mengambil riba, maka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya
Allah menghapuskan berkat riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai tiap orang dalam kekafirannya lalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang beriman dan mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat, untuk mereka itu pahala di sisi Tuhannya dan tak
ada ketakutan atas mereka dan tiada mereka berduka cita. Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkan
sisa-sisa riba yang belum dipungut itu, jika kamu beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan tidak meninggalkan riba, maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu berbuat taubat dari mengambil riba, maka bagimu pokok hartamu, kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan
kamu menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Al-Baqarah 275-280
Ulama-ulama telah sepakat tentang larangan riba menurut Al-Qur’an, yaitu riba nasiah, riba yang tambahan padanya merupakan imbalan dari masa yang
tertentu, panjang atau pendek, sedikit atau banyak. Dan riba Al-Qur’an, termasuk riba yang dijalankan oleh bank atau lembaga keungan non bank dan orang-orang
dalam transaksi perdagangan mereka yang non Islami, semuanya haram tanpa keraguan.
Islam mengharamkan seorang pengusaha mengambil sejumlah modal dari pihak lain, Bank atau non Bank, lalu membayar bunganya dengan kadar yang
ditentukan, baik ia rugi dan untung. Dan Islam melarang setiap pedagang menjual barangnya melalui transaksi utang-piutang yang dibayar kemudian dengan
tambahan tertentu.
39
3. Kerjasama Ekonomi Dalam ekonomi Islam dikatakan bahwa antara satu manusia dengan manusia
yng lain adalah sebuah saudara dan oleh karena itu sesama saudara, Islam menganjurkan untuk saling tolong-menolong dan gotong-royong. Hal itu terlihat
dari firman Allah :
39
Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai, h. 73
ةدءﺎ ا :
Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran
.
QS.Al-Maidah : 2
Kerjasama cooperation merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi yang Islami versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran
ekonomi marxisme. Nilai kerjasama dalam Islam harus dapat dicerminkan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Satu
bentuk kerjasama ialah yang terwujud dalam qirad, yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan
atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.
40
Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam seperti diatas akan dapat menciptakan kerja produktif sehari-hari dari masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial, mencegah penindasan ekonomi distribusi kekayaan yang tidak merata, dan melindungi kepentingan ekonomi dari
pihak atau golongan ekonomi lemah. Ekonomi berdasar kerjasama Islami ini dalam semua kegiatan ekonomi menghendaki organisasi dengan prisnip serikat
atau syarikah, si kuat membantu si lemah, pembagian kerja atau spesialisasi karena adanya saling ketergantungan serta pertukaran barang dan jasa karena
tidak mungkin dapat berdiri sendiri.
40
Ibid, h. 74
Qirad atau syirkah dalam Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi non Islami yang individualistis, yang mengajarkan konflik antara pesaing dan
memenangkan yang terkuat, sehingga melahirkan usaha untuk menumpuk kekayaan dan kekuatan, ketidakadilan sosial ekonomi, pertentangan antar kelas
dan akhirnya kejatuhan bangsa dan kebudayaan.
41
☺ ☺
☺ ⌫
⌧ ⌫
☺ ☺
ا ﺰ
ﺮ :
Artinya : apakah mereka membagi-bagikan karunia dari Tuhanmu? Kamilah yang membagikan kepada mereka nafkah kehidupan diatas dunia ini, dan
kami melebihi sebagian diantara mereka daripada yang lainnya, sehingga sebagian diantara mereka dapat membantu yang lainnya. Sesungguhnya
karunia Tuhanmu adalah lebih baik dari kekayaan yang mereka timbun QS. Zukhruf : 32
Implikasi dari nilai kerjasama dalam ekonomi Islam ialah aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk
memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi, kepentingan negara dan kesejahteraan umat.
4. Jaminan Sosial
41
Ibid, h. 78
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ajaran antara lain untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut
antara lain adalah : 1 manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah QS Al-An’am : 38 dan QS. Ar-Rahman : 10 2
kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang punya. Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar diantara orang
kaya saja QS : Al-Humazah : 2 4 berbuat baiklah kepada masayarakat, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu QS Al-Qashas : 77. Antara lain
dengan menyediakan sumber-sumber alam itu, 5 seorang muslim yang tidak mempunyai kekayaan, harus mau dan mampu menyumbangkan tenaganya untuk
tujuan-tujuan sosial QS At-Taubah : 79, 6 seseorang janganlah menyumbang untuk kepentingan sosial dan juga untuk keperluan pribadi serta keluarga sebagai
unit kecil masyarakat, agar dipuji orang lain QS. At-Taubah : 262, 7 jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebutkan
dalam Al-Qur’an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan tersebut QS Al- Baqarah : 273, At-Taubah : 60.
42
Maksud jaminan sosial ialah bahwa negara menjamin bagi setiap individu dalam negara tersebut taraf hidup yang layak, dalam hal itu sekiranya ada orang
fakir, sakit atau lanjut usia yang tidak lagi dapat mencapai taraf hidup ini, maka negara melalui zakat tetap menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi mereka.
Dalam hal ini elemen jaminan sosial tidak hanya terbatas pada dana zakat saja,
42
M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, h. 16-17
melainkan sumber pendapatan negara lain seperti pajak, dan retribusi dapat dialokasikan begi pemenuhan kebutuhan dan jaminan sosial negara.
Dalam membahas jaminan sosial ini, Ibnu Hazm, seorang pemikir ekonomi Muslim masa lampau, mengatakan bahwa orang-orang kaya dari penduduk setiap
negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum
muslimin bait al-mal tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim
dingin dan musim panas yang layak dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.
43
Ibnu Hazm mendasarkan pandangannya tersebut pada firman Allah SWT :
☺
ﻰ ءﺮ ا
:
Artinya : dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan QS Bani
Israil : 26
☺ ☺
☺
43
Ir. Adiwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006, Edisi ke-III h. 141
ﺎ ا ء
:
Artinya : dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak- anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” An-Nisa : 36.
Pendapat senada dikemukakan Afzalur Rahman, pemikir ekonomi Islam kontemporer, dalam bukunya “Doktrin Ekonomi Islam”. ia mengatakan, dalam
negara Islam, setiap individu berhak atas penghidupan dan setiap warga memiliki jaminan atas kebutuhan pokoknya. Sesungguhnya tugas dan tanggung jawab
utama negara Islam untuk mengawasi setiap warga memperoleh kebutuhan pokoknya menurut prinsip “hak atas penghidupan” dan dalam hal yang berkaitan
dengan masalah kebutuhan pokok. Seluruh warganya dalam kedudukan yang sederajat. Berdasarkan prinsip di negara Islam ini, departemen jaminan sosial
memberikan jaminan kebutuhan pokok kepada seluruh warganya yang sakit, tua, miskin, kekurangan, penganggur atau cacat serta tidak mampu melakukan suatu
pekerjaan. Lalu Afzalur Rahman juga mengatakan bahwa kebijaksanaan ini pernah dilaksanakan oleh nabi Muhammad saw yang menyediakan bantuan
keuangan bagi orang miskin dan kekurangan dari lembaga keuangan rakyat, para pekerja yang mampu memberi keuangan kepada mereka yang sakit, cacat dan
tidak mampu bekerja. Kebijaksanaan ini pun diteruskan oleh masa khulafaurrasyidin. Abu Bakar, pemerintahannya sangat ketat untuk memberikan
jaminan rakyat yang diciptakannya. Umar, khalifah yang kedua, lebih memperluas dan mengembangkan departemen jaminan umum. Ia memberikan
jaminan dan dana umum kepada seluruh warga yang miskin dan kekuarangan, tanpa membedakan warna kulit dan agamanya. Seluruh rakyat, Islam, Yahudi,
Kristen dan semuanya memperoleh bantuan dana darinya. Ia memberikan dana untuk anak-anak, penganggur, usia lanjut dan membantu orang miskin dan
kekurangan yang sakit dan cacat dengan berbagai jenis jaminan untuk memenuhi keuangan mereka.
Setelah Umar, departemen jaminan sosial dipertahankan dengan baik oleh Usman, khalifah yang ketiga dan Ali, khalifah yang keempat, yang memberikan
bantuan kepada kalangan miskin dan mereka yang dpandang layak dibantu bagi warga negaranya.
Disamping pemberian masalah sandang, pangan dan papan tersebut, dalam ekonomi Islam juga memberikan perhatian serta jaminan sosial pada bidang
pendidikan dan kesehatan. Hal itu dicontohkan oleh Rasulullah yang semasa hidupnya memberi perhatian besar terhadap pengajaran dan pendidikan bagi
setiap muslim dan menanamkan setiap sumber daya untuk membuat mereka melek huruf. Sebagai contoh, Rasulullah memerintahkan Zaid bin Tsabit yang
telah diajarkan membaca dan menulis oleh seorang tawanan perang Badar, untuk mempelajari tulisan yahudi. Rasulullah juga menyatakan kepada sepuluh orang
pemuda Anshar membaca dan menulis, mereka akan dibebaskan. Dengan cara ini, jumlah sahabat yang melek huruf meningkat sehingga juru tulis dan baca
Rasulullah Saw tercatat sebanyak 42 orang. Angka ini sangat berarti dibandingkan dengan sebelum masa kenabian, jumlah suku Quraisy yang melek
huruf hanya 17. Demikian juga di Madinah, kecuali bangsa Yahudi, jumlah penduduk yang dapat membaca dan menulis sangat sedikit. Al-Waqidi
mengatakan jumlah itu hanya sebelas orang. Gerakan belajar membaca dan menulis di Madinah dan menyebar luas sehingga tempat tesebut dikenal dengan
nama Darul Qurra rumah para penulis.
44
Mengenai masalah pendidikan dan pengajaran ini, Dr.Yusuf Qardhawi, pemikir ekonomi Islam masa kontemporer, menegaskan bahwa dalam ekonomi
Islam wajib mengembangkan sistem pengajaran dan pelatihan yang mana sistem tersebut ditujukan untuk mempersiapkan kemampuan dan potensi manusia pada
berbagai bidang yang dibutuhkan. Hendaknya dikembangkan pula sistem manajemen dan keuangan agar berbagai sumber daya manusia ini dapat
dikembangkan pula sistem manajemen dan keuangan agar berbagai sumber daya manusia ini dapat dikembangkan, dialokasikan dan didistribusikan untuk berbagai
spesialisasi secara seimbang dan tepat,
45
sebagaimana petunjuk yang diberikan dalam Al-Qur’an :
⌧ ☺
⌧ ⌧
⌧
44
Ibid, h.134
45
DR.Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral, h. 194
⌧
ﺔ ﻮ ا :
Artinya :tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” At-Taubah : 122
Tidak hanya pendidikan dan pengajaran, jaminan sosial dalam ekonomi Islam juga harus meliputi masalah kesehatan. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah yang
memberi perhatian sangat besar pada masalah kesehatan. Salah satu hadis Rasulullah yang paling terkenal adalah “kebersihan sebagian dari iman”
membuktikan hal itu. Ini selaras dengan hadis lain yang mengatakan “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku mewajibkan mereka menggosok gigi
setiap kali shalat.” Disamping itu, untuk mencegah penyebaran penyakit, Rasulullah memerintahkan agar orang yang sakit dikarantina sampai sembuh.
46
5. Peranan Negara dalam Sistem Ekonomi Nilai instrumental yang kelima ini ialah peran atau campur tangan pemerintah
dalam fungsionalisasi sistem ekonomi Islam, negara dapat sebagai pemilik menfaat sumber-sumber, produsen, distributor dan sekaligus lembaga
pengawasan kehidupan ekonomi melalui lembaga hisbah. Hisbah adalah institusi pemerintah yang pernah ada pada zaman Nabi Muhammad Saw, sebagai lembaga
46
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h. 137
pengawas pasar ekonomi yang menjamin tidak adanya perkosaan atau pelanggaran aturan moral dalam pasar, monopoli, perkosaan terhadap hak
konsumen, keamanan dan kesehatan kehidupan ekonomi. Hisbah ini independen dari kekuasaan yudisial maupun eksekutif dari pemerintah.
47
Peranan negara dalam perekonomian sangat variatif dan bermacam-macam salah satunya adalah mencegah ihtikar penimbunan. Rasulullah sendiri, semasa
hidupnya sangat melarang dan mengecam ihtikar ini. Pelarangan ihtikar ini pun dilanjutkan oleh para penerus Rasulullah. Imam Malik meriwayatkan bahwa
khalifah Umar memerintahkan kepada rakyatnya agar tidak seorang pun yang boleh menyembunyikan keadaan barang dagangan dalam pemasarannya. Menurut
riwayat Ibn Majah, Umar pernah berkata, “orang yang membawa hasil panen ke dalam kota kita akan dilimpahkannya kekayaan yang banyak dan orang yang
menyembunyikannya akan dikutuk, jika ada seseorang yang menyembunyikan hasil panen barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan
manusia memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya barang-barang keperluan lainnya dengan paksa”. Sayyidina Usman, sebagai
khalifah ketiga, pun melarang penyembunyian barang-barang selama masa kekhalifahannya.
48
47
Ahmad M.Saefuddin, Studi Nilai-NIlai, h. 105
48
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995, h. 82
Yahya bin Umar, seorang cendikiawan muslim, menyatakan bahwa timbulnya kemudharatan terhadap masyarakat merupakan alasan dari pelarangan
penimbunan barang tersebut. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini harus
disedekahkan sebagai pendidikan terhadap pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya,
pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak mempedulikan peringatan tersebut,
pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarakannya.
49
Apabila campur tangan pemerintah dalam pengawasan moral ekonomi pasar pada individu maupun masyarakat makin kuat secara Islami, maka makin
berkuranglah campur tangan langsung dari pemerintah terhadap kegiatan ekonomi. Peran pemerintah diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi
nilai-nilai sistem ekonomi Islam dalam aspek legal, perencanaan maupun pengawasannya dalam pengalokasian atau distribusi sumber-sumber dana,
pemerataan pendapatan dan kekayaan, serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Semua campur tangan negara ini harus menghasilkan individu dan masyarakat
yang saleh, saling kasih mengasihi dan bekerjasama dalam kebaikan serta taqwa kepada Allah SWT.
50
49
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,, h. 289
Peranan negara pada umumnya, pemerintah pada khususnya sangat menentukan dalam pelaksanaan nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Peranan itu
diperlukan dalam aspek hukum, perencanaan dan pengawasan alokasi atau distribusi sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
51
D. Tujuan Ekonomi Islam