Hak nafkah iddah pasca cerai gugat di hubungkan dengan azas kepastian hukum (analisis perbandingan putusan perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB)

HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT
DIHUBUNGKAN DENGAN AZAS KEPASTIAN HUKUM
(Analisis Perbandingan Putusan Perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan
Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:
ZIAN MUFTI
NIM.1110044100027

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M


HAK NAF'KAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT
DIHT]BUNGKAN DENGAN AZAS KEPASTIAN HUKUM
(Analisis Perbandingan Putusan Perkara No. 1394/p dt.G
t*0l2 lpA.JS dan
Perkara No.396/?d t.G t}Lt}tp A.JB;)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

Zian Mufti
NrM.1tt0044100027

197202241998031003

PROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA

(AHWAL SYAKHS rYYAH)


FAKTJLTAS SYARI'{I DAN HT'KUM
UNI1IERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF' HIDAYATT]LLAH

JAKARTA
1437 H

I 20t5M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "Hak Nafkah Iddah pasca cerai Gugat Dihubungkan
Dengan Azas Kepastian Hukum (Analisis Perbandingan Putusan Perkara

No.1394/Pdt.Gl20nnA.JS dan Perkara No. 396/pdt.Gt20l2tpA.JB)D telah
diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 5 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Satu (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga

Islam.
Jakarta, 5 Januari 2016
Mengesahkan

PANITIA UJIAN MUNAQ
Ketua

Dr. H. Abdul Halim. M.Ag.
NIP : 19670608199403 1005

Sekretaris

Arip Purkon. MA.
NIP : 197904272003121002

Pembimbing
19720224199803

Penguji I


1

003

Dr. H. Ahmad Mukri Adji. MA.
NIP : 195703121985031003
1

Penguji

II

Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin. Lc. MA.
NIP : 19610820199603200t

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Desember 2015

ZIAN MUFTI

ii

ABSTRAK
Zian Mufti. NIM 1110044100027. HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI
GUGAT DIHUBUNGKAN DENGAN AZAS KEPASTIAN HUKUM (Analisis
Perbandingan Putusan Perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Perkara No.
396/Pdt.G/2012/PA.JB).Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi

Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436/2015.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam
fikih dan Kompilasi Hukum Islam, mengetahui dasar dan pertimbangan Majelis
Hakim dari dua putusan yaitu perkara no. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara no.
396/Pdt.G/2012/PA.JB serta juga ingin mengetahui penyebab perbedaan dari dua
putusan tersebut. Dengan menganalisis dua putusanantara perkara no.
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara no. 396/Pdt.G/2012/PA.JB.
Majelis Hakim perkara no. 1394/Pdt.G/2012/PA.JSmengabulkan permohonan istri
terkait nafkah iddah dengan pertimbangan adanya kesanggupan bekas suami
untuk membayar dan memberikan kepada bekas istri berupa mut’ah, nafkah
iddah, maskan, dan kiswah. Sedangkan Majelis Hakim perkara no.
396/Pdt.G/2012/PA.JB telah tidak mengabulkan permohonan istri terkait nafkah
iddah dikarenakan dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf (b),
yang pada pokoknya mengatakan bahwa istri yang dijatuhi talak bain tidak
mendapatkan nafkah iddah.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan dengan pendekatan
kualitatif. Sumber data primer berupa wawancara hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dan Pengadilan Agama Jakarta Barat. Dan teknik penulisannya
berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.
Kesimpulan bahwa fikih Islam mengenai pembagian nafkah iddah pada cerai
gugat bahwa fuqaha’ berbeda pendapat tentang nafkah dan tempat tinggal bagi
wanita ber-iddah talak ba’indan Kompilasi Hukum Islam terkait nafkah iddah
pasca cerai gugat adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 149 huruf (b), yang pada
pokoknya mengatakan bahwa istri yang dijatuhi talak bain tidak mendapatkan
nafkah iddah.Majelis Hakim kedua Pengadilan Agama dalam pertimbangan
hukumnya sama-sama berdasarkan landasan yuridis (hadits, Kompilasi Hukum
Islam, dan perundang-undangan yang berlaku) namun disamping itu juga Majelis
Hakim tidak hanya terbatas mengacu kepada landasan yuridis saja, akan tetapi
juga kepada segi kasuistik yang ditangani. Perbedaan pertimbangan antar kedua
Majelis Hakim dalam perkara no. 1394/Pdt.G/2012/PA.JSdan perkara no.
396/Pdt.G/2012/PA.JBialah adanya kesanggupan dari bekas suami dalam
memenuhi permohonan bekas istri terkait nafkah iddah.
Kata kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka

: Cerai Gugat, Nafkah Iddah, Putusan Pengadilan Agama.
: Dr. Kamarusdiana, SA.g, M.H

:Tahun 1970 s.d Tahun2013

iii

KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmaanirrahim

Alhamdulillahirobbil‘alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga
berkat pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, pembawa
pelita kebenaran untuk seluruh umat manusia. dan semoga tercurah limpahkan
pula kepada sahabat, keluarga, para tabi’in dan tabi’ittabi’in. Semoga selalu
mendapat limpahan dari rahmat Allah SWT.
Skripsi ini ditulis merupakan bagian dan persyaratan untuk menyelesaikan
(studi) program stratasatu (S1) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta guna memperoleh Sarjana Syariah (S.Sy) pada konsentrasi
Peradilan Agama. Atas bantuan semua pihak untuk menyelesaikan skripsi ini
sesuai dengan rencana tak lupa penulis haturkan terima kasih sedalam-dalamnya.
Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., masing-masing sebagai
Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Moh. Ali Wafa, S.H, M.Ag., dosen pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat diseminarkan dengan baik.
4. Dr. H. Kamarusdiana, S,Ag. M.H., dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan saran, masukan dan pengarahan yang luar biasa bagi proses
penulisan skripsi ini
5. Seluruh Dosen/Staf Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah
membagi ilmunya dan motivasi yanag kontruktif kepada penulis dari semester
1 hingga sampai kepada penulisan skripsi. Selain itu terima kasih juga kepada
seluruh staf perpustakaan dan karyawan yang telah memfasilitasi penulis

iv

dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis yang mulia, Ayahanda Drs. Ace Ma’mun, M.H., dan

Ibunda Dra. Suhaimi, M.H., yang tanpa henti mencurhakan perhatian,
motivasi dan do’a yang tulus demi kesuksesan anaknya, serta tanpa lelah
memberikan bantuan baik secara moril maupun materil kepada penulis.
Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan pahala yang berlipat
ganda kepada mereka. Tentunya juga kepada kakakku Nurul Faizah Rahmah,
S.E., serta suaminya dan adik-adikku Nayla Husnul Hayati dan Muhammad
Adzhan Hakim yang tecinta yang telah memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2010,
terutama Irfan Zidny, S.Sy., Zaky Ahla Firdaus, S.Sy., Erwin Hikmatiar,
S.Sy., Muhammad Faudzan, S.Sy., Muhammad Ulil Azmi, S.Sy., Irfan Nur
Hasan. teman-teman seperjuangan yang telah mendukung dan memotivasi
penulis terutama Fahmi Fauzji S. Pd., Vico Tri Wahyudin, S. Pd., Bani Hadi
Putra Huri, S.T., dan teman-teman KKN RICKS.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan bantuan dan kontribusi yang cukup besar sehingga penulis dapat
lulus menjalani perkuliahan di Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga
segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain dan menjadi inspirasi bagi
generasi berikutnya.
Ciputat, 31 Desember 2015
Penulis,

ZIAN MUFTI

v

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................

i

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................

ii

ABSTRAK .............................................................................................................

iii

KATA PENGANTAR ...........................................................................................

iv

DAFTAR ISI ..........................................................................................................

vi

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................

1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................

7

D. Metode Penelitian ...........................................................................

8

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 13
BAB II

TEORI KEMASLAHATAN , TEORI KEADILAN DAN TEORI
KEPASTIAN HUKUM
A. Teori Maslahat ................................................................................. 15
B. Teori Keadilan ................................................................................ 19
C. Teori Kepastian Hukum .................................................................. 25

BAB III

HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT
A. Perceraian Dalam Perkawinan ........................................................ 31
B. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukum ............................................ 46
C. Pengertian Iddah dan Dasar Hukum ............................................... 52
D. Nafkah Iddah Dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam .............. 55
E. Perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS .............................................. 60

viii

F. Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB ............................................... 69
BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM DAN ANALISIS PUTUSAN
A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Perkara

No.

1394/Pdt.G/2012/PA.JS

dan

Perkara

No.

396/Pdt.G/2012/PA.JB ................................................................... 78
B. Analisis Putusan Perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan
Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB ............................................... 85
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 99
B. Saran-saran ..................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran Tentang Mohon Kesediaan Pembimbing
2. Lampiran Tentang Surat Permohonan Data/Wawancara Pengadilan Agama
Jakarta Barat
3. Lampiran Tentang Surat Permohonan Data/Wawancara Pengadilan Agama
Jakarta Selatan
4. Lampiran Tentang Surat Keterangan Wawancara Pengadilan Jakarta Barat
5. Lampiran Tentang Surat Keterangan Wawancara Pengadilan Jakarta Selatan
6. Lampiran Tentang Pedoman Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat
7. Lampiran Tentang Pedoman Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam menganjurkan perkawinan dan hukum perkawinan dibagi
menjadi beberapa hukum; wajib bagi orang bujangan yang sudah mampu
kawin; dan disunnah kan bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi
mampu kawin; dan diharamkan bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi
nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunya pun tidak mendesak;
makruh kawin bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu membeli
belanja istrinya, dan mubah bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasanalasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin, namun dalamIslam nikah sangat dianjurkan
terutama oleh Nabi Muhammad SAW dan Nabi menerapkannya dengan
memberi contoh melakukan pernikahan yang baik dan benar.1
Perkawinan merupakan syari‟at Islam yang tujuannya bukan saja untuk
menyalurkan nafsu seksual manusia dan meletakannya pada jalan yang benar,
tetapi berfungsi juga sebagai sarana untuk mengagungkan asma Allah sesuai
dengan tugas manusia “ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-Ku”.2
Hubungan suami-istri tentunya menghendaki adanya kasih sayang
diantara keduanya, sehingga tercipta kehidupan yang bahagia selamanya.
1

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6 Tentang Perkawinan,(Bandung : PT Al-Ma‟arif),

h.22.
2

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.172.

1

2

seperti yang tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun1974
tentang perkawinan yang menyatakan bahwa:”Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”3 Begitu pula dalam KHI disebutkan dalam pasal 3 yaitu:
”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yaitu
sakinah mawaddah warrahmah.”4
Dari rumah tangga yang sunnatullah itu akan diharapkan lahirnya anakanak atau generasi yang bermoral tinggi (berakhlak mulia) dari sini muncullah
manusia-manusia beriman dan bertaqwa serta sekaligus akan mencintai tanah
airnya, bangsa dan agamanya. Apabila masing-masing suami istri menyadari
bahwa perkawinan itu sunnatullah (syariat agama) tentunya tidak akan disiasiakannya antar lain karena ia berdosa pada sisi Allah, yang kelak akan
diminta pertanggung jawabannya di hari akhirat kelak.5
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanyasuami-istri
penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadipudar, namun pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar,
bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang,
dan suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan
memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak
keturunannya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang
3

Sayuti Tholib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-press, 2009), h.141.
Tim Redaksi Nuanasa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Kewarisan
dan Perwakafan, (Bandung; CV Nuansa Aulia, 2008), h.2.
5
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,(Jakarta:
Kencana, 2004) h.87.
4

3

merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Memang benar kasih sayang itu
bisa beralih menjadi kebencian. Akan tetapi perlu pula diingat bahwa
kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi kasih sayang.6
Meskipun perkawinan tersebut sebuah ikatan sakral namun tidak boleh
dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Ikatan
perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan
dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan
karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan
perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas
yang kemudian dapat disebut dengan talak.7
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antar
lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau
karena perceraian yang terjadi antar keduanya,atau karena sebab-sebab lain.
Akad nikah dalam Islam tidak untuk jangka waktu tertentu, tetapi untuk
selama hayat di kandung badan. Baik suami maupun istri, harus berusaha
memelihara rumah tangga yang tenang penuh kedamaian lahir batin serta
menciptakan taman yang permai, tempat tumbuhnya generasi yang berbudi
penerus dari orang tuanya. Karena itu, hubungan suami istri itu sangat suci
dan terhormat, kuat ikatannya, dan tinggi nilainya sesuai dengan tinggi nilai
manusia itu sendiri.8
Menurut hukum Islam, suami yang mempunyai kekuasaan memegang
6

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,h.97.
Amiur Nuruddin dan Azhari A.Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006),
h.207-208.
8
A.Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2009), h.247.
7

4

tali perkawinan, oleh karena itu jika terjadi perselisihan maka suami
mempunyai hak untuk melepaskan ikatan tali perkawinannya dengan
mengucapkan talak, yaitu perceraian sederhana yang masih bisa dirujuk
kembali ketika masih berada dalam kondisi 1 atau 2 kali talak, bukan
megakhiri sebuah perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam membuka peluang bahwa keinginan perceraian itu
bisa berasal dari suami dan bisa juga atas keinginan istri. Dalam hal ini
Undang-Undang menjamin dan memberikan hak yang sama bagi suami
ataupun istri jika ingin mengakhiri ikatan perkawinan. Namun demikian,
Pengadilan Agama berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan
pasangan yang ingin bercerai agar rukun kembali, hal ini dilakukan pada
setiap sidang dilaksanakan. Undang-Undang perkawinan tidak melarang
perceraian, hanya dipersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan
adanya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat
dihindarkan, itupun harus dilaksanakan dengan secara baik di depan sidang
pengadilan.9Tugas Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa
masyarakat untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Bila perkara yang
masuk kepada pengadilan banyak, dan putusan pengadilan terhadap perkaraperkara tersebut juga banyak, tetapi masyarakat tidak merasa bahwa putusan
pengadilan sebenarnya telah menyelesaikan masalah mereka, maka berarti
pengadilan telah gagal mengemban misi utamanya.10

9

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), h.8-9.
10
Amiur Nuruddin dan Azhari ATarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI), h.206.

5

Menurut ajaran Islam, perceraian diakui atas dasar ketetapan hati
setelah mempertimbangkan secara matang, serta dengan alasan-alasan yang
bersifat darurat atau sangat mendesak. Perceraian diakui secara sah untuk
mengakhiri hubungan perkawinan berdasarkan adanya petunjuk syari‟at.
Namun demikian, secara normatif Rasulullah memperingatkan bahwa Allah
sangat membenci perbuatan itu meskipun halal untuk dilakukan. Dengan
demikian secara tersirat Rasulullah mengajarkan agar keluarga muslim
sedapat mungkin menghindarkan perceraian. Dan di balik kebencian Allah itu
terdapat suatu peringatan

bahwa perceraian itu sangat berbahaya dan

berdampak negatif terhadap keluarga.11
Secara

singkat,

perceraian

didefinisikan

sebagai

melepas

tali

perkawinan dengan kata talak atau kata sepadan artinya dengan talak.
Perceraian bukanlah produk baru dalam Islam, ia sudah ada sebelum Islam
lahir.12 Ketika seorang istri mengajukan cerai gugat maka haknya memperoleh
nafkah iddah gugur, ketentuan tersebut dapat di lihat dalam KHI Pasal 149
poin (b) yang berbunyi “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri
selama dalam iddah, kecuali bila istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil.”
Pengadilan

Agama

Jakarta

Selatan

Perkara

No.

1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara No.
396/Pdt.G/2012/PA.JB telah menjatuhkan putusan mengenai hak nafkah iddah
11

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.48.
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.174.
12

6

pasca cerai gugat namun berbeda dalam putusannya. Pengadilan Agama
Jakarta Barat dalam putusannya tidak memberikan hak nafkah iddah pasca
cerai gugat sedangkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam putusannya
memberikan nafkah iddah kepada istri pasca cerai gugat dengan adanya
kesepakatan dengan mantan suaminya. Oleh karena itu, berawal dari
perbedaan putusan antar Pengadilan Agama tingkat I terkait hak nafkah iddah
pasca cerai gugat, penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi tentang,
“Hak Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat Dihubungkan Dengan Azas
Kepastian Hukum (Analisis Perbandingan Putusan Perkara No.
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB)”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis memberikan
batasan lingkup permasalahan pada cerai gugat putusan perkara No.
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam serta peraturan perundang-undangan yang lain,
jika terjadi perceraian atas keinginan istri maka salah satu akibatnya ialah
istri tidak mendapatkan hak nafkah selama masa iddah. Namun,
kenyataannya dalam keputusan hukum di Pengadilan Agama masih
banyak perbedaan atau disparitas terkait masalah hak nafkah iddah pasca
cerai gugat ini.

7

Dari latar belakang masalah dan landasan hukum tersebut diatas,
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana hak nafkah iddah pasca cerai gugatdalam Fikih dan
Kompilasi Hukum Islam?
b. Apa dasar dan pertimbangan majelis hakim yang digunakan dalam
memutuskan perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No.
396/Pdt.G/2012/PA.JB?
c. Apa

penyebab

perbedaan

hasil

putusan

antara

perkara

No.

1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah
terjawabnya semua permasalahan yang dirumuskan, yaitu:
a. Mengetahui hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam Fikih dan
Kompilasi Hukum Islam.
b. Mengetahui dasar dan pertimbangan hakim yang digunakan dalam
memutuskan perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No.
396/Pdt.G/2012/PA.JB.
c. Mengetahui penyebab perbedaan hasil putusan antara perkara No.
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan
bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya, yaitu:

8

a. Secara Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi acuan mengenai
hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam putusan pengadilan.
b. Secara Lembaga Pustaka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
ilmiah dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi khususnya
terkait dengan hak nafkah iddah pasca cerai gugat.

D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
a. Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa ucapan, tulisan, atau perilaku yang dapat diamati dari
subjek itu sendiri (hakim yang menetapkan perkara yang penulis teliti).
b. Penelitian Kepustakaan
Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan pengkajian dari bukubuku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini
yang dianalisis data-datanya.
c. Studi Lapangan
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif maka dari
tempat penelitian dengan cara observasi langsung.

9

2. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu melakukan wawancara dengan hakim yang
menetapkan

perkara

yang

penulis

teliti

yaitu

perkara

No.

1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan
beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara hak
nafkah iddah pasca cerai gugat serta dikumpulkan permasalahan dan
diklarifikasi.
Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan
teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis yang dibahas, dimana
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah,
artikel maupun website.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Menganalisa terhadap Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Barat
Perkara No. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan Penetapan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Perkara No. 396/Pdt.G/2012/PA.JB dan studi
dokumentasi dengan cara menelusuri buku-buku serta literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
b. Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis
dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang

10

telah dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
danhakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu
data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan diberikan pengkodean dan
disusun berdasarkan kategorisasi serta diklasifikasikan berdasarkan
permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
5. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan
dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis,
sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang
berguna.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di fakultas syariah dan
Hukum UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data
yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain:
1. Abrohul Isnaini tahun 2012, dengan judul skripsi “Jaminan Pelaksanaan
Kewajiban Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur.”
Tujuan skripsi ini menjelaskan dan menguraikan tentang nafkah iddah di
Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang dasar hukum dan langkahlangkah Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam menjamin nafkah iddah

11

seorang suami terhadap istri di Pengadilan Agama Jakarta timur karena
sering terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Jakarta timur .
2. Nurul Huda tahun 2009, dengan judul skripsi “Nafkah Masa Iddah
Menurut Persepektif Fikih dan Implementasinya Dalam Keluarga
Islam (Studi Pada Mahkamah Rendah Syariah Perak Malaysia).”
Tujuan skripsi ini menguraikan tentang nafkah masa iddah menurut
perspektif fikih dan implementasinya dalam undang–undang di Perak
Malaysia. Penulis membandingkan antara fikih dan hukum positif dalam
pelaksanaan nafkah iddah dan mengetahui mengenai prosedur percerian
dan eksekusi hakim terhadap nafkah iddah.
3. Muhammad

Fazrul

Llizan

tahun

2008,

dengan

judul

skripsi

“Problematika Perceraian dan Pengaruhnya Terhadap Nafkah Dalam
Masa Iddah dan Biaya Anak (Studi di Mahkamah Syariah Kuching
Sarawak Dari Tahun 1999-2007).”Tujuan skripsi ini menerangkan
tentang memahami nafkah iddah dan biaya anak menurut syariat, dan
selain itu tentang sebab yang menyebabkan wajib membayar nafkah iddah
dan prosedur mahkamah syariah dalam hal perceraian nafkah iddah dan
biaya anak dan mengetahui penerapan ordina keluarga Sarawak dalam
mengatur urusan yang terkait.
4. Hani Nurhanipah tahun 2013, dengan judul skripsi, “Hak Nafkah Iddah
Istri Dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz (Studi Komparatif Putusan
No.0033/Pdt.G/2011/PA.JT dan Putusan No. 1550/Pdt.G/2011/PA.JS)”
Tujuan skripsi ini menerangkan tentangistri yang telah bercerai dari

12

suaminya dengan thalaq raj’i masih mendapatkan hak-hak dari mantan
suaminya atau yang disebut dengan nafkah iddah selama berada dalam
masa iddah karena pada masa itu ia tidak boleh melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain. Namun lain hal nya dengan istri yang di
talak cerai oleh suaminya dengan alasan istri nusyuz. Istri yang terbukti
nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah iddah sebagaimana yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 huruf b yakni :
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.”
5. Defi Uswatun Hasanah tahun 2014, dengan judul skripsi, “Nafkah Iddah
Pasca Cerai Gugat dan Implementasinya di Pengadilan Agama
Tanjung Pati”
Tujuan skripsi ini untuk mengetahui bagaimana hak perempuan
memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat yang diajukan istri dengan
alasan KDRT dan poligami liar dalam prakteknya dipengadilan, dalam
artian putusan tersebut telah sesuai dengan aturan perundang-undangan
atau belum. Karena pada saat ini banyaknya kasus perceraian yang
diajukan oleh istri yang mana dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan
cerai gugat.
Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang
sudah banyak yang membahas mengenai masalah hak nafkah iddah pasca
cerai gugat. Dari kasus peneliti diatas, maka penulis sangat membedakan

13

penelitian dalam masalah hak nafkah iddah pasca cerai gugat ini yaitu
berdasarkan dua putusandi Pengadilan Agama yang berbeda. Ketidakserasian
dalam penerapan putusan hak nafkah iddah pasca cerai gugatdi Pengadilan
Agama, menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini
memberikan inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari
segi mana dan apa yang menjadi dasar majelis hakim memutuskanhak nafkah
iddah pasca cerai gugat.
Penulis ingin lebih fokus dengan menganalisis perbandingan hak nafkah
iddah pasca cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Barat dengandi
Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar pembahasan skripsi ini tidak melebar.
Dengan demikian penulis menggarisbawahi bahwasannya bahasan ini tidak
ada kesamaan isi dan pertimbangan hakim karena berdasarkan data yang
diperoleh di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu
sabagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab kedua mengenai kajian teori hukum tentang hak nafkah iddah
meliputi teori keadilan, teori kepastian hukum, dan teori maslahat.

14

Bab ketiga mengenai tinjauan umum tentanghak nafkah iddah pasca
cerai gugat yang membahas perceraian dalam perkawinan, pengertian nafkah
dan dasar hukum, pengertian iddah dan dasar hukum, nafkah iddah dalam
fikih dan kompilasi hukum islam serta deskripsi putusan pengadilan agama
yaitu

perkara

no.

1394/Pdt.G/2012/PA.JS

dan

perkara

no.

396/Pdt.G/2012/PA.JB.
Bab keempat berupa analisis penulis mengenai analisis terhadap
pertimbangan hukum majelis hakim perkara no. 1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan
perkara no. 396/Pdt.G/2012/PA.JB dan analisis perbandingan perkara no.
1394/Pdt.G/2012/PA.JS dan perkara no. 396/Pdt.G/2012/PA.JB.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran.

BAB II
TEORI KEMASLAHATAN, TEORI KEADILAN DAN TEORI
KEPASTIAN HUKUM

A. Teori Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Secara etimologis, arti al-maslahah dapat diartikan kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata almaslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah yang artinya kerusakan.1
Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usul fiqh.Al-Gazali misalnya, mengatakan bahwa makna
genuine dari maslahah adalah yang menarik/mewujudkan kemanfaatan
atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb manfa’ah atau daf’
madarrah) Menurut Al-Gazali, yang dimaksud maslahah, dalam arti
terminologis syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara‟
yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta
kekayaan. Ditegaskan oleh Al-Gazali bahwa setiap sesuatu yang dapat
menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasikan
sebagai maslahah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang mengganggu dan
merusak kelima hal tersebut di nilai sebagai mafsadah maka, mencegah
dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasikan sebagai
maslahah.

2

Sedangkan menurut bahasa, kata maslahah dari bahasa arab

1

Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus Di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h 35.
2
Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana Khusus
Di Indonesia,h.36.

15

16

dan telah dibakukan dalam bahasa indonesia menjadi kata maslahah, yang
berarti mendatangkan kebaikan atau membawa kemanfaatan dan menolak
kerusakan.3
2. Landasan Hukum Maslahah Mursalah
Sumber asal dari metode maslahah adalah diambil dari Al-Qur‟an
maupun Al-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti ayat-ayat berikut :
a. QS. Yunus : 57

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman”.(QS.Yunus : 57)4
b. QS. Al-Baqarah : 219-220

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah
: “mengurus urusan mereka secara baik adalah baik, dan jika kamu
bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah
mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat
mendapatkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah :219-220)5
3

Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan
Bintang,1955, h. 43.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asy-Syifa‟,
1984, h. 659.
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 59.

17

Sedangkan nash dari Al-Sunnah yang dipakai landasan dalam
mengistinbatkan hukum dengan metode maslahah adalah Hadist Nabi
Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi :

‫لاباءلالمع رلع لخالبرلاجعفيلع لعكرلمةل‬.‫لحدلثنالعبدلالر اق‬,‫حدلثنالمدلب لحي‬
‫لالرل ل لالرا ل‬:‫لقا ل س لو لهلصيلهلعليهل لسم‬: ‫ع لاب لعبال لقا‬
Artinya: Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur
Razzaqbercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari
IbnAbbas: Rasulullah SAW bersabda, “tidak boleh membuat
mazdarat(bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat
padaorang lain”. (HR. Ibn Majjah)
Atas dasar Al-Qur‟an dan Al-Sunnah di atas, maka menurut Syaikh
Izzuddin bin Abdul Salam, bahwa maslahah fiqhiyyah hanya dikembalikan
kepada dua kaidah induk, yaitu :
1 ‫درءالمفاسد‬
Artinya: Menolak segala yang rusak

2 ‫جلب ال صالح‬
Arinya: Menarik segala yang bermasalah
3. Syarat-syarat Maslahah

Maslahah merupakan kepentingan yang diputuskan bebas, namun
tetap terikat pada konsep syari‟ah yang mendasar. Karena syari‟ah sendiri
tunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum
dan

berfungsi

untuk

memberikan

kemanfaatan

dan

mencegah

kemadharatan (kerusakan). Dengan kata lain maslahah sebagai metode
hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai
akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah ada tiga
bagian :

18

a. Daruriyat, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan)
seperti memelihara agama, memelihara jiwa,akal, keturunan, dan harta.
b. Hajiyat,(kepentingan-kepentingan esensial dibawah derajat daruriyat),
namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami
kesukaran

dan

kesempitan

yang

jika

tidak

terpenuhi

akan

mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, hanya saja dapat
mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.
c. Tahsiniyat, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak
terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam
kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai
pelengkap atau hiasan hidupnya.6
Menurut Abu Ishaq al-Syatibi menjelaskan lebih jauh secara terperinci
mengenai Daruriyat, ialah sesuatu yang tidak boleh tidak ada demi
tegaknya kebaikan dan kesejahteraan, baik menyangkut urusan ukhrawi
mapu urusan duniawi, dimana manakala ia lenyap, tidak ada, maka tidak
dapat terwujud kehidupan duniawi yang tertib dan sejahtera bahkan, yang
terwujud ialah kehiduoan duniawi yang chaos dan kehidupan ukhrawi
yang

celaka dan menderita. Bagi al-Syatibi, daruriyat itu mencakup

upaya-upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan,
memelihara harta kekayaan, dan memelihara akal budi.7
Adapun al-maslahah Hajiyat, dalam pandangan al-Syatibi,ialah sesuatu
yang dibutuhkan dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan
6

Hasbi Asy-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 426.
Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus Di Indonesia, h. 56.
7

19

menghilangkan kesempitan yang biasanya membawa kepada kesukaran
dan kesusahpayahan yang diiringi dengan luputnya tujuan/sasaran.
Apabila maslahah Hajiyat tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran
dan kesusahpayahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang
bisanya terjadi pada maslahah Daruriyat, yang bersifat umum. Kategori
maslahah Hajiyat sesungguhnya mengarah kepada penyempurnaan
daruriyat, dimana dengan tegaknya Hajiyat, akan lenyapnya segala
masyaqqah dan tercipta keseimbangan dan kewajaran, sehingga tidak
menimbulkan ekstrimitas.
Sedangkan al-maslahah Tahsiniyyat, menurut pendapat al-Syatibi,
ialah sesuatu yang berkenaan dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan
yang baik dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasakan
pertimbangan akal sehat. Hal ini sering disebut dengan makarim al-akhlak.
Bagi al-Syatibi, keberadaan maslahah Tahsiniyyat bermuara kepada
kebaikan-kebaikan yang melengkapi prinsip maslahah al-daruriyah dan
maslahah Hajiyat, ini karena ketiadaan maslahah Tahsiniyyat tidak
merusak urusan Daruriyat dan Tahsiniyyat, ia hanya berkisar pada upaya
mewujudkan keindahan, kenyamanan dan kesopanan dalam tata hubungan
sang hamba dengan Tuhan dan dengan sesama makhluk-Nya.8

B. Teori Keadilan Hukum
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang

8

Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana
Khusus Di Indonesia, h. 56.

20

mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan
memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama didepan hukum.
Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan
masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan
melalui sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu
kepada orang lain yang menjadi haknya9Keadilan dapat juga diartikan sebagai
suatu tindakan yang didasarkan pada norma-norma, baik norma agama
maupun norma hukum.
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum itu
merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain
sistem hukum adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan
kesatuan tersebut.10
1. Konsep Keadilan dalam Islam
Konsep keadilan dalam Islam tidak lepas dari semangat qurani
yang telah memback-upnya. Al-Qur’an telah memerintahkan kepada umat
manusia untuk menegakkan keadilan antar sesama agar tercipta
keseimbangan. norma agama, terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang
berisi tentang keadilan yang merupakan inti dari hukum Islam diantaranya
terdapat dalam surat :

9

Makna Keadilan, diakses dari http://id.shvoong.com/social-sciences/2193610-maknakeadilan/, tanggal 17 Agustus 2015, jam 8.05 wib.
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), h
122.

21

Surat An-Nisa ayat 58

َ ْ ّ‫ا لاَليأْمر ُْل َأ ْ لتؤ‬
ْ ْ ‫الاْمااتلاَل َأهْلهال ا الح َْ ُْلب ْْلالنا ل َأ‬
‫لََوالِلْعدْ لا ل‬
ِ
ِ
ِ
ِ ‫لَيعالبصرا‬
َ‫اَل ع اليعظ ُْلبهلا لاَل‬
ِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila
menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha melihat”. (QS.An-Nisa : 58)
Surat An-Nisa ayat 135

‫َ َأُا لاَي لءامنوا لكو وا لقوامْ لِلْق ْسط لشهداء لَ ل ل ْو لعَ ل َأ ْفس ُْ ل َأ لالْواِْلي ل‬
‫ْ َاْ ْقربْلا ْ ليك ْ لغن ًيال َأ ْ لفقرالفاَل َأ ْ َلِ الفَلتّبعوالالْهو ل َأ ْ لت ْعدلوال ا ْ لتلْو ال َأ ْ ل‬
ِ
ِ
‫ت ْعرضوالفا لاَلَ لب الت ْع لو لخبرا‬
ِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tau
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”. (QS.An-Nisa : 135)
Surat Al-Maidah ayat 8

ْ ‫َ َأُالاَي لءامنوالكو والقوامْ لَ لشهداء لِلْق ْسطل ا‬
‫لَرمن ُْ لش نأ لق ْو لعَ ل َأال‬
‫ت ْعدلوالا ْعدلوالهول َأ ْقربلللّ ْقو ل اتقوالاَلا لاَلخبرلب الت ْع لو ل‬
ِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang
yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha

22

mengatahui apa yang kamu kerjakan”.11 (QS.Al-Maidah : 8)
Makna yang terkandung dalam konsepsi dari keadilan adalah
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Secara zahir, ayat di atas
dapat dipahami bahwa antara amanat dan adil adalah sebuah konsepsi
yang tidak jauh berbeda, bahkan saling terintegrasi. Sehingga, ketika
seseorang telah menyampaikan amanat kepada orang yang berhak
menerima (menempatkan pada tempatnya) juga sudah dianggap sebagai
orang yang adil. Begitupula sebaliknya, ketika seseorang telah berlaku
adil, maka ia telah melaksanakan amanat yang baik.
Konsep keadilan Nabi Muhammad SAW dalam perkawinan,
perkawinan dalam syariat Islam bukanlah sekedar suatu formalitas seperti
meminta paspor atau membeli karcis kereta api. Perkawinan dan
mendirikan hidup rumah tangga adalah salah satu amanah suci dari khaliq.
Rasulullah bersabda :

)

‫ه باما ة اه ) ا البخا‬

‫اتق ااه ف ال سا ء فاا كم اخ ت‬

“Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam urusan-urusan wanita (isteri),
sebab sesungguhnya kamu telah memanggil mereka (sebagai isteri)
dengan amanah Allah”. (H.R.Bukhari).12
Akad nikah mempertemukan dua pribadi yang sama-sama
bermartabat kemanusiaan dalam ikatan suami isteri, yang mengandung
ketentuan tentang hak dan kewajiban yang harus sama-sama dipenuhi
secara timbal balik. Rasulullah bersabda :

)
11

‫ا َ ل سا ء كم عليكم حقَا ا َ لكم علي َ حقَا ) ا البخا‬

Kemaslahatan dan Keadilan menjadi inti dari hukum Islam. Ini diwujudkan dengan
banyaknya ayat al-Quran yang berisi tentang kemaslahatan dan keadilan. Diantaranya yaitu : AnNisaa’:58, An-Nisa:135 dan Al-Maidah:8.
12
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), h52.

23

“sesungguhnya isterimu mempunyai hak atas kamu dan sesungguhnya
kamu mempunyai hak atas mereka” (H.R. Bukhari).13
Keadilan menurut Menurut Sayid Qutub
1. Kebebasan emosional (perasaan, emosi, suara hati)
2. Kesamaan hak asasi
3. Tanggung jawab sosial yang mendalam14.
Kehidupan manusia tidak akan berjalan selama manusia menikmati
kebesaran-Nya tanpa batas. Memberikan asupan pada perasaan dengan
kebebasan pada segala sesuatu menekankannya. Dan dengan persamaan
hak yang tidak dibatasi oleh kata dan syarat. Kebebasan emosional seperti
itulah yang dapat menghancurkan atau merobohkan masyarakat seperti
merobohkan dirinya sendiri.
Masyarakat meminta hak untuk mendapatkan maslahat yang tinggi
yang harus diperhatikan oleh kebebasan individu. Dan setiap individu
memiliki maslahat yang khusus yang mana tetap harus mengetahui
batasnya agar tidak tertipu oleh syahwat.15
Dan Islam memberikan kebebasan individu dengan baik persamaan
hak pribadi dengan pemaknaan yang dalam, namum juga jangan sampai
meniggalkan kerusakan atau ketidakseimbangan.16
2. Perspektif Keadilan Dalam Hubungan Hukum Nasional
Menurut

Kahar

Masyhur

dalam

bukunya

mengemukakan

pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal
13

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga sakinah, h53.
Sayyid Qutub, al-Adalah al-ijtima-iyyah fi al-Islam, cet. Ke VII, (Beirut : Dar al-kitab alarabi, 1967M), h35.
15
Sayyid Qutub, al-Adalah al-ijtima-iyyah fi al-Islam, cet. Ke VII, h62.
16
Sayyid Qutub, al-Adalah al-ijtima-iyyah fi al-Islam, cet. Ke VII, h63.
14

24

tentang pengertian adil.17
a. “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
b. “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain
tanpa kurang.
c. “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa
lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang
sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum,
sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari
Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada
hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan
yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu
yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya
dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila
peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.18
Lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif
hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan
sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang
antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang
seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui

17

Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak. (Jakarta: Kalam Mulia, 2005). h. 71.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
(Jakarta: Rajawali, 2002). h. 83.
18

25

“hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut
denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula
menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga
memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang
ada pada diri individu.19
Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya
dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila
peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.20
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka
keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan.
Keadilan sosial dapat diartikan sebagai : 21
“)1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak. (2)
Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusahapengusaha. (3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara
setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah
yang didapatnya dengan tidak wajar”.
C. Teori Kepastian Hukum
1. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang
berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga
dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh
hukum harus ditegakkan). Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
19

Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika,
2000). h. 50.
20
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, h. 83.
21
Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak.(Jakarta: Kalam Mulia, 2005). h. 71

26

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan
ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum tidak identik dengan
keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap
orang yang mencuri harus dihu