Hak Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama Tanjung Pati

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

DEFI USWATUN HASANAH

NIM.1110044100003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

HAK

NAFKAH IDDAH

PASCA

CERAI GUGAT DAN

TMPLEMENTASINI"YA

DI

PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.SV) Oleh

DETI USWATUN HASANAH

NIM.

1110044100003

KONSENTRASI PERADILAN

AGAMA

PROGRAM

STUDI

HUKUM KELUARGA

ISLAM

F'AKULTAS

SYARI'AH DAN

IIUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAII

JAKARTA

t43sl20t4

i

Bimbingan:


(3)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.

Jakarta, 12Mei2014 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua Drs. H.A. Basiq Djalil. S.H.M.A NrP. 19500306197603 1 001

E.

Rosdiana. M.A.

Pembimbing

NrP. 1 9690 6102003 t22001 Dr. Hj. Mesraini. M.Ag

NrP. 1 97602t32003 12200t

Dr. Asmawi. M.Ag Penguji I

NrP. 19721010199703 1008 Sri Hidayati. M. Ae

NIP. 1 97 1 02151997 032002

a

Sekretaris

196808121 999031014


(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 April 2014


(5)

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M. x + 87 halaman + 69 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat yang diajukan istri dengan alasan KDRT dan poligami liardalam prakteknya di pengadilan, dalam artian putusan tersebut telah sesuai dengan aturan perundang-undangan atau belum. Karena pada saat ini banyaknya kasus perceraian yang diajukan oleh istri yang mana dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan cerai gugat. Pada penelitian ini penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan AgamaTanjung Pati, Sumatera Barat. Penulis ingin mengetahui bagaimana hak perempuan pasca cerai gugat ini dipraktekan dalam putusan hakim di Pengadilan tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Sedangkan untuk penentuan sampelnya dilakukan dengan tekhnik random sampling yang mana disini terdapat 12 putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati Tahun 2012 yang berkaitan dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat. Sehubungan dengan itu maka respondennya adalah 5 Hakim di Pengadilan Agama Tanjung Pati. Tekhnik analisis yang digunakan adalah analisis normatif kualitatif, yaitu dengan berpedoman pada aturan yang ada dan membandingkan dengan fakta-fakta terhadap putusan- putusan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu putusan pun yang memberikan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat, walaupun dalam proses persidangan hakim membenarkan adanya KDRT, namun putusan tersebut berakibat sang istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah. Kata kunci: Nafkah Iddah, Cerai Gugat

Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, M. Ag Daftar Pustaka : Tahun 1986s.d Tahun 2012


(6)

v

KATA PENGANTAR ميح رلا نمحرلا ها مسب

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam yang taat akan ajarannya hingga akhir zaman .

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Firdaus MS dan IbundaDra. Hj Dewi Warti yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Penulis sadar tidak akan dapat menyelesaikan sripsi ini tanpa adanya bantuan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin,M.A, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A, dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program StudiHukum Keluarga, serta Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing akademik. Penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan, perhatian, serta arahan yang selama ini diberikan.

3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi yang sangat berarti demi kelancaran penulisan skripsi ini.


(7)

mengarungi samudra kehidupan.

5. Ketua Pengadilan Agama Tanjung Pati dan para Hakim serta pihak-pihak terkait yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum beserta para

staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada Adik-adikku tercinta, Defi Rahmi Fadillah dan Irfanul Habibi, yang menjadi cermin bagi penulis untuk menjadi kakak yang baik dan bijak sehingga bisa menjadi contoh. Terima kasih telah memberi semangat dan dukungan. Karena berkat do‟a, kasih sayang dan motivasi dari mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Nenek, Kakek, Etek dan Pak Etek, Uni dan Uda keluarga besar di Payakumbuh, yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil kepada ananda selama ini.

9. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A angkatan 2010, terutama the winnie Nisa Oktafiani,Wardhatul Jannah,Nurul Hikmah, Dede Umu Kulsum, Restia Gustiana, Eka Dita Martiana, dan teman-teman semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih telah mengisi menjadi partner Penulis selama ini dan terima juga atas semangat yang telah ditularkannya kepada Penulis

10.Teman-Teman KKN Langit 13, Gengker dan lainnya, terima kasih atas hari-hari yang telah kita lalui bersama


(8)

vii

11.Kakanda dan Adinda di Komisariat Syari‟ah dan Hukum IMM Cabang Ciputat, terima kasih telah menjadi bagian dalam kehidupan organisasi penulis selama ini

12.Teman-Teman di Kosan “ Happy Family” ( Liah, Ainun, Nopeng, Aci, Mijeh, Hayyi dan Eka) , suka dan duka hidup di perantauan kita lalui bersama di kosan

Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak, semoga Allah Swt membalas dan melipatgandakan jasa dan kebaikan semuanya. Akhir kata, dengan kerendahan hati semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Pepatah klasik nan sederhana senantiasa bergema, tak ada gading yang tak retak. Untuk itu, penulis mohon maaf apabila dalam penyusunan tugas akhir ini banyak kekurangan dan kealfaan.Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatdan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Ciputat, 21 April 2014


(9)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 11

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ... 14

F. Sistematika Penelitian ... 16

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG CERAI GUGAT A. Pengertian Cerai Gugat dan Khulu‟ ...17

B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat dan Khulu‟ di Pengadilan Agama ...24


(10)

ix

BAB III HAK PEREMPUAN MEMPEROLEH NAFKAH IDDAH

A. Pengertian Nafkah Iddah ... 41

B. Nafkah Iddah menurut Fuqaha Mazhab di Indonesia ... 44

C. Nafkah Iddah dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 48

D. Komparasi antara Pendapat Fuqaha Mazhab dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia tentang Hak Nafkah Iddah. ... 53

BAB IV HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI A. Profil Pengadilan Agama Tanjung Pati ... 59

B. Putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati tentang Nafkah Iddah Pada Perkara Cerai Gugat Tahun 2012 ... 64

C. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati Tentang Hak Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat ... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ...83


(11)

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin) diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama terakhir merupakan agama yang komprehensif, dimana ajarannya lengkap mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia. Hal ini sangat wajar karena Islam merupakan agama yang diturunkan Tuhan Pencipta alam yang mengetahui keadaan, kebutuhan dan kemampuan semua makhluknya dan Allah telah menciptakan manusia tentu mengetahui berbagai kebutuhan manusia sekaligus menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan tersebut yang diiringi dengan aturan-aturan mainnya, agar tidak terjadi benturan-benturan kebutuhan antar sesama manusia sehingga terwujud ketertiban di bumi-Nya. Di antara kebutuhan-kebutuhan manusia yang diatur cara pemenuhannya adalah kebutuhan biologis yang menuntut manusia untuk saling mencintai,memiliki pasangan hidup dan sekaligus melahirkan keturunan dari pasangannya tersebut. Hal ini diatur melalui Perkawinan. 1

Perkawinan ini juga merupakan syariat Islam yang tujuannya bukan saja untuk menyalurkan instink seksual manusia dan meletakkannya pada jalan yang

1

Adil Samadani, Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 2.


(12)

2

benar, tetapi berfungsi juga sebagai sarana reproduksi manusia untuk mengagungkan nama Allah. Dan Nabi saw juga menganjurkan umatnya untuk menikah “ nikah adalah ajaranku, barang siapa yang tidak mengikuti ajaranku, maka ia bukan umatku.”2

Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam pasal 1 disebutkan: “Perkawinan adalahikatan lahir bahtin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”3

Definisi perkawinan diatas sarat dengan muatan filosofis. Istilah kekal dalam definisi tersebut dapat dimaknai bahwa tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya. Oleh karena itu sebagaimana yang disebutkan oleh Anik Farida bahwa salah satu unsur perekat perkawinan adalah adanya keabadian atau kelanggengan (idea of permanence) yaitu keinginan untuk hidup bersama dari pasangan sampai kematian menjemput.4

Untuk menjaga kelanggengan sebuah perkawinan masing-masing pasangan berkewajiban untuk selalu memelihara prinsip-prinsip perkawinan. Diantara prinsip tersebut adalah mawaddah wa rahmah atau cinta dan kasih sayang (Q.S. Al Ruum/30: 21), saling melengkapi dan melindungi (Q.S.Al-Baqarah/2:187),

2

Yayan Sopyan, Islam-Negara Tranformsi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional(Ciputat: UIN Jakarta, 2011), h. 172.

3

Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , h. 1.

4

Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di berbagai Komunitas Adat (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007), h. 3.


(13)

mu„asyarah bil ma’ruf atau memperlakukan pasangan dengan sopan (Q.S. An

Nisa‟/4: 19)

Memelihara prinsip perkawinan adalah kewajiban bersama suami-istri. Dengan demikian peran untuk membangun dan mempertahankan keluarga bahagia menjadi kewajiban kolektif suami-istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dalam suatu lembaga perkawinan setiap pasangan tidak hanya dituntut untuk melakukan serangkaian kewajiban, tetapi setiap pasangan juga memiliki sejumlah hak.5

Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan waktu akad nikah. Ikatan janji yang terbentuk antara suami istri tersebut bukanlah sembarang janji. Wahyu Ilahi menyebutnya bukan pula menggunakan kata-kata yang biasa seperti ع atau kata ع yang keduanya berarti ikatan janji, tetapi kata yang digunakan adalah ثيم yakni suatu istilah yang khusus dipakai untuk ikatan janji yang penting seperti perjanjian dua kaum atau dua bangsa, dan untuk perjanjian suci seperti perjanjian antara Allah swt dan hamba-hambaNya.6 Melihat begitu pentingnya ikatan antara suami dan istri itu, wahyu ilahi memakai istilah ثيم

ظي غ ( ikatan yang kuat).7

5

Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 4.

6

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995) h. 53

7

Satria Efendi menambahkan dalam bukunya bahwa kalimat ijab kabul adalah kalimat sangat mudah untuk diucapkan oleh calon suami dan wali calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh Rasulullah disebut sebagai Khafifatani „alal lisan tsaqilatani fil mizan(ringan untuk diucapkan oleh lidah, tetapi berat pada timbangannya). Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan perhatian yang serius dan terus-menerus.Satria Efendi M Zein, Problema Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah, (Jakarta:Preanada Kencana, 2004), h. 97.


(14)

4

Namun terkadang dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan dan pertentangan. Hal ini sering terjadi karena pernikahan merupakan pertemuan antara dua jiwa yang berbeda latar belakang, adat istiadat, pendidikan, prilaku dan kebiasaan, sehingga manakala satu dengan yang lainnya sudah tidak ada saling pengertian dalam perbedaan- perbedaan tersebut, maka muncullah masalah dalam rumah tangga. 8

Permasalahan yang muncul dalam keluarga biasanya adanya diawali dengan percekcokan.Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga. Tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.9Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini, ada pasangan yang dapat mengatasinya, dalam artian mereka mereka bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Namun ada juga keluarga yang tidak dapat mengatasi problematika ini sehingga berakibat adanya konflik, masing-masing pihak tetap bersikeras pada pendiriannya untuk berpisah, dan upaya rekonsiliasi pun gagal ditempuh, pada kondisi ini perceraian tidak dapat dihindarkan. Melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan suatu hal yang sama sekali tidak bisa dihindari dalam kehidupan perkawinan, maka Islam memberikan legislasi akan adanya perceraian meskipun sangat diajurkan untuk ditinggalkan. Hal ini tampak pada sabda Nabi: ( اط ا ها ى ع اح ا ضغبأ ) “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian”. Dengan demikian perceraian adalah jalan terakhir yang

8

Adil Samadani, Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap Tindak Kekerasan, h. 2.

9


(15)

dapat diambil oleh suami-istri jika tidak ada upaya lain demi menghindari bahaya yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang menegaskan bila seseorang dihadapkan pada suatu dilema, maka akan dibenarkan untuk memilih melakukan kemudharatan yang paling ringan diantara beberapa kemudaratan yang sedang dihadapinya.10

Perceraian menurut hukum agama Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam Pasal 14 sampai Pasal 18 serta Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mencakup cerai talak dan cerai gugat.11 Dalam memahami kasus cerai gugat atau talak ini, pemahaman yang paten berlaku adalah ketika perceraian itu diajukan oleh suami, maka jenis perkaranya cerai talak, di mana suami mohon izin untuk ikrar talak raj’i di muka sidang Pengadilan Agama. Sementara ketika perceraian itu diajukan oleh pihak istri, maka jenis perkaranya cerai gugat, di mana istri meminta hakim untuk memutus perkawinannya, selajutnya putusan itu berbentuk

ba’in sughra.

Terdapat perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat, sebagaimana yang tercantum dalam KHI pasal 149,12 dalam pasal-pasal tersebut

10

Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian, h. 6.

11

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013), h. 7.

12

Pasal 149, diantaranya: (1) Bekas suami wajib memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali qabla al-dukhul. (2) Memberikan nafkah, maskan, dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah (menunggu) kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz. (3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla dukhul. (4) Memberikan biaya hadhanah untuk ank-anaknya yang belum mencapai


(16)

6

terlihat adanya perbedaan akibat hukum antara cerai talak dan cerai gugat, adalah dimana cerai talak sang istri berhak mendapat mut‟ah dan hak nafkah iddah,maskan serta kiswah dari suami, kecuali jika ia nusyuz (KHI pasal 152)13, sementara pada cerai gugat aturan tersebut tidak ada.

Mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat membolehkan terjadinya perceraian, yang mana itu menjadi acuan hakim ketika memutuskan perkara perceraian, terdapat dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, baik dalam KHI, PP No 9 Tahun 1975 pasal 19, maupun Pedoman dalam Pelaksanaan Teknis Peradilan lainnya. Sehingga dengan adanya aturan ini dapat memperkecil terjadinya perceraian antara suami-istri. Akan tetapi permasalahan yang dihadapi di lapangan tidak bisa semua disamaratakan atau diputuskan dengan aturan hukum yang sudah ada. Sebagian besar aturan tersebut belum melindungi pihak perempuan ketika ia mengajukan cerai gugat dikarenakan penyebab-penyebab yang ada pada suaminya. Sementara ia tidaklah termasuk kepada golongan istri yang nusyuz. Akan tetapi menurut Undang-Undang Perkawinan mereka tetap digolongkan kepada istri yang nusyuz, sehingga tidak berhak atas hak nafkah iddah dan hak-hak pasca perceraian lainnya.

Masalah nafkah iddah menjadi salah satu hal menarik untuk dikaji terutama dalam perkara cerai gugat. Hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang pasti dan

umur 21 tahun. Lihat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2003), h. 69.

13

Pasal 152 berbunyi: bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari suaminya, kecuali ia nusyuz.


(17)

tegas dalam menetapkan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat, sehingga sebagian hakim tidak berani mengambil keputusan di luar aturan yang ada, akan tetapi hakimMahkamah Agung telah berani melakukan improvisasi hukum,dengan menetapkan uang hak nafkah iddah kepada istri yang mengajukan cerai gugat. Hal ini terdapat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137K/AG/2007 dan No 276K/AG/2010. Kedua yurisprudensi tersebut menetapkan adanya hak nafkah iddah bagi istri yang mengajukan cerai gugat dimana dalam proses persidangan ia tidak terbukti telah berbuat nusyuz. Tentu hal ini bertentangan dengan pasal 149 KHI yang

menyatakan bahwa tidak ada mut‟ah dan nafkah iddah bagi istri yang mengajukan

cerai gugat dan khulu‟, karena ia dinilai melakukan nusyuz, di sini sang hakim menggunakan Hak ex officionya untuk menciptakan adanya keadilan bagi istri atau pemenuhan minimal hak-hak istri pasca perceraian.

Di dalam buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah.

Pengadilan Agama Tanjung Pati adalah salah satu pengadilan yang berwenang dalam memutus perkara cerai gugat di Kab 50 Kota. Menurut Laporan Perkara yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Pati pada tahun 2012 terdapat 617 perkara. Dari 617 perkara tersebut 421 perkara adalah dalam bentuk perkara cerai gugat dan 196 perkara dalam bentuk perkara cerai talak. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk meneliti bentuk putusan perkara di Pengadilan Agama Tanjung


(18)

8

Pati dalam perkara cerai gugat, dalam artian apakah Pengadilan Tanjung Pati ini mempraktekkan yurisprudensi tersebut atau tidak.

Berdasarkan uraian singkat di atas penulis tertarik untuk membahas masalah ini dan merumuskannya ke dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “HAK NAFKAH IDDAH PASCA CERAI GUGAT DAN IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN AGAMA TANJUNG PATI”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam kasus cerai gugat dengan alasan apapun yang diajukan sang istri, baik karena kekerasan dalam rumah tangga, poligami tanpa izin, tidak diberi nafkah selama beberapa waktu. Sesuai dengan aturan yang ada baik dalam KHI maupun UUP, hakim akan langsung menjatuhkan talak ba’in sughra, akibat dari talak ini sang

istri tidak akan mandapat hak nafkah iddah, mut‟ah, kiswah dan maskan.Kecuali istri dalam keadaan hamil, karena istri yang dalam keadaan hamil maka ia akan

mendapatkan hak nafkah iddah, mut‟ah, maskan dan kiswah. Pada beberapa putusan pengadilan tidaklah semua istri yang mengajukan cerai gugat itu tergolong kepada istri yang nusyuz. Kadang-kadang malah sebaliknya suamilah yang menyebabkan istri mengajukan cerai gugat, seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga. Di sini istri berusaha untuk menuntut haknya.

Di sini akan dilihat bagaimana hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati Kab 50 Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat memutuskan perkara ini, apakah hakim


(19)

Pengadilan Agama Tanjung Pati tetap tidak memberikan hak nafkah kepada istri yang mengajukan cerai gugat dalam keadaan tidak hamil, akibat KDRT (sesuai dengan aturan KHI) sehingga menyebabkan ketidakadilan bagi istri. Atau hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati memberikan putusan yang berbeda dengan memberikan hak nafkah iddah bagi istri yang menggugat cerai suaminya dengan alasan KDRT.

Objek penelitian ini hanya difokuskan untuk menganalisis hak istri yang mengajukan cerai gugat namun tidak dalam keadaan hamil memperoleh nafkah iddah dalam putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati selama tahun 2012

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat menurut fuqaha mazhab dan Peraturan Perkawinan di Indonesia.

2. Bagaimana hak perempuan dalam memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat dipraktekkan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.

3. Sejauh mana kebebasan hakim dalam menafsirkan ketentuan perundang-undangan tentang hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam upaya menegakkan keadilan.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian


(20)

10

1. Untuk mengkaji bagaimana hak perempuan memperoleh nafkah iddah pasca cerai gugat menurut fuqaha mazhab dan Peraturan Perkawinan di Indonesia. 2. Untuk menjelaskan bagaimana hak perempuan dalam memperoleh nafkah

iddah pasca cerai gugat dipraktekkan di Pengadilan Agama Tanjung Pati. 3. Untuk mengetahui sejauh mana kebebasan hakim dalam menafsirkan

ketentuan perundang-undangan tentang hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam upaya menegakkan keadilan

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk penulis maupun praktisi-praktisi hukum, terutama hakim-hakim di Pengadilan Agama Tanjung Pati dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul akibat perceraian, fokusnya mengenai cerai gugat.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan/peraturan yang lebih baik dimasa mendatang.


(21)

D. Metode Penelitian. 1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris. Yang dimaksud dengan pendekatan yuridis-empiris adalah: penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.

Metode pendekatan yuridis empiris merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.

Pendekatan yuridis empiris ini dimaksudkan untuk melakukan penjelasan atas masalah yang diteliti dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam hubungan dengan aspek hukum dan realita yang terjadi menyangkut hak nafkah iddah pada cerai gugat di Pengadilan Agama Tanjung Pati.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk mengungkapkan rahasia sesuatu dilakukan dengan cara menghimpun data dalam keadaan sewajarnya, mempergunakan cara kerja yang sistematis, terarah dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya.


(22)

12

Karena yang menjadi objek kajian adalah putusan hakim, maka penelitian ini juga akan terfokus pada isi putusan. Oleh karenanya peneliti akan menggunakan content analysis.14

Dengan teknik ini, maka data kualitatif tekstual yang diperoleh akan dipilah, dilakukan pengelompokan yang sejenis, selanjutnya dianalisa isinya secara kritis untuk mendapatkan suatu formulasi analisa mengenai putusan hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati tahun 2012 mengenai hak nafkah iddah

3. Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Tanjung Pati. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati terkait hak nafkah iddah pada cerai gugat. Sedangkan penentuan sampelnya dilakukan dengan tekhnik random sampling15 terhadap putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati yang berkaitan dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat, dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehubungan dengan itu maka respondennya adalah 5 orang Hakim Pengadilan Agama Tanjung Pati.

14

Content Analisis atau Kajian Isi menurut Holsti adalah teknik yang digunakan untuk manarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Lihat Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011), h. 220. Boy Sabarguna mendefinisikan content analisis dengan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilah berbagai pengertian, hingga ditemukan yang relevan. Lihat Boy Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UIP, 2008), h. 66.

15

Random Sampling adalah pengambilan sampel secara random atau tampa pandang bulu. Ini adalah salah satu dari jenis Probability Sampling. Probability Sampling adalah tekhnik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur anggota populasi untuk dilpilih menjadi anggota sampel. Tekhnik itu meliputi salah satunya Random Sampling. Lihat Sugiyono,

Metode Penelitian Kualitatif, Kuantatif dan R&D, (Bandung:Alfabeta, 2011), h. 82. Pengambilan sampel secara Random ini hanya dapat dilakukan jika keadaan populasi memang homogen. Lihat Suharsimi Arikanto, Prosedur Penelitian, (Jakarta:Rineka Cipta, 2010), h. 181.


(23)

4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian ini berupa literatur-literatur fiqh, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 137 K/AG/2007 dan No 276 K/AG/2010. Serta artikel atau majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah nafkah iddah pada cerai gugat

b. Studi Lapangan

Studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut

1. Studi dokumen untuk memperoleh berkas dalam bentuk Putusan Pengadilan Agama Tanjung Pati dari tahun 2012 yang telah Berkekuatan Hukum Tetap terkait dengan hak nafkah iddah pada cerai gugat

2. Wawancara yang dilakukan kepada hakim yang menyelesaikan perkara tentang hak nafkah pada cerai gugat di Pengadilan Agama Tanjung Pati. Wawancara ini dilakukan dengan metode Wawancara tak terstruktur (open– ended) yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas menjawab pertanyaan tersebut.16Wawancara ini digunakan untuk mengungkap perasaan-perasaan, dan pikirandan alasan-alasan tingkah lakunya, atau disebut juga“ Informasi emic“17

16

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, t.th), h. 233.

17


(24)

14

5. Metode Analisis Data

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, akan digunakan analisis normatif kualitatif. Normatif18 karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris)19 dari responden. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah responden baik secara lisan maupun secara tertulis selama dalam melakukan penelitian.

6. Teknik Penelitian

Adapun tekhnik penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap karya ilmiah yang bertema tentang hak nafkah iddah pada cerai gugat di Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum, penulis menemukan dua skripsi yang berkaitan. Dua skripsi yang terkait

18

Disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini hukum MA dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam perundang-undangan (law in books). Lihat, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), h. 118.

19


(25)

akan dikemukakan oleh penulis secara ringkas untuk mengetahui sisi perbedaan dengan skripsi penulis.

Pertama, skripsi Hanif Bagus Azhar (107044202413), dengan judul “Nafkah Iddah bagi Mantan Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Analisis Putusan

Perkara Nomor 1038/pdt.G/2008/PA.Jt)” pada tahun 2012. Penelitian yang digunakan

adalah analisis deskriftif yaitu menggambarkan isi putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai hak nafkah bagi mantan istri akibat adanya kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya dalam pertimbangan sang hakim tidak menyebutkan secara jelas bahwa perkara ini adalah perkara kekerasan dalam rumah tangga. Padahal dalam petitumnya telah disebutkan oleh penggugat bahwa tergugat sering memukul penggugat.Berbeda dengan skripsi penulis, dalam skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan mengambil putusan secara ramdom sampling. Dan hak nafkah iddah pada perkara cerai gugat tidak hanya didasarkan pada alasan kekerasan dalam rumah tangga.

Kedua, Skripsi Noor Baayah binti Abu Bakar (107044103904), dengan judul

“Hak-Hak Istri Akibat Perceraian Perbandingan Imam Syafii dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI)” pada tahun 2011. Penelitian yang digunakan adalah perbandingan

antara pendapat Imam Syafi‟i dan Kompilasi Hukum Islam mengenai hak-hak mantan istri akibat putusnya perceraian secara umum. Baik mahar, nafkah iddah,

mut‟ah, kiswah dan lainnya. Hasil penelitiannya memaparkan persamaan dan

perbedaan antara pendapat Imam Syafi‟i dan KHI mengenai hal tersebut, yang mana


(26)

16

perbedaannya adalah dalam hal pembagian harta bersama. Sedangkan skripsi yang akan penulis tulis secara khusus tidak membandingkan pendapat Imam Syafi‟i dan KHI, tetapi antara aturan perundang-undangan mengenai hak nafkah iddah pada cerai gugat dan melihat realitanya di Pengadilan Agama Tanjung Pati.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sitematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah,pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, sistematika penulisan. Unsur-unsur ini dikemukakan diawal sebagai pedoman dari penelitian yang akan dilakukan.

Berikutnya, Bab II, akan mengupas kajian teoritis tentang cerai gugat dan

khulu‟, baik dalam perspektif perundang-undangan perkawinan di Indonesia maupun dalam aturan hukum Islam. Di dalamnya mencakup pengertian, proses penyelesaian perkara sampai akibat hukumnya. Bagian ini penting untuk dibahas mengingat bahwa tiap-tiap putusnya perkawinan memiliki dampak yang berbeda.

Bab III menguraikan tentanghak perempuan memperoleh nafkah iddah menurut pandangan Imam Mazhab dan juga peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia dan juga komparasi antara pandangan Fuqaha Mazhab dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tentang hak nafkah iddah

Bab IV adalah bagian inti penelitian ini, yaitu bahasan mengenai implementasi hak nafkah iddah pasca cerai gugat dalam putusan Pengadilan Agama


(27)

Tanjung Pati tahun 2012. Disini akan dijelaskan bagaimana implementasi aturan perundang-undangan mengenai hak nafkah iddah pada cerai gugat di Pengadilan Agama Tanjung Pati dengan menganalisis putusan-putusan yang ada mengenai hal ini. Di sini juga akan dipaparkan seberapa jauh hakim menggunakan kebebasannya dalam memutuskan perkara mengenai cerai gugat dengan melihat alasan yang diajukan sang istri, dengan melampirkan hasil wawancara dari hakim di Pengadilan Agama Tanjung Pati.


(28)

18 BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG CERAI GUGAT

A. Pengertian Cerai Gugat dan Khulu’

Setiap orang melaksanakan perkawinan dengan harapan terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, namun dalam realitanya hal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, bahkan banyak terjadi kehidupan keluarga atau kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia. Dalam Islam, kehidupan suami istri yang mengalami kekacauan atau kebencian akibat tidak adanya kasih sayang, pergaulan yang tidak baik atau masing-masing pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan baik, maka dalam hal ini Islam berpesan agar bersabar, sanggup menahan diri dan menasehati satu sama lain. Tetapi terkadang kekacauan atau kebencian itu semakin membesar, perpecahan semakin sangat,penyelesaiannya menjadi sulit, kesabaran menjadi hilang.20Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.

Istilah perceraian terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Begitu juga dengan KHI,akan tetapi pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. Seperti dalam pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

20


(29)

Menurut Abdul Kadir Muhammad sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Syaifuddin, putusnya perkawinan karena kematian disebut dengan “cerai mati‟, sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 istilah, yaitu: cerai gugat (khulu‟) dan cerai talak.21

Pengertian dari cerai gugat yaitu isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat.22

Abdul Manan mendefinisikan cerai gugat sebagaimana yang terdapat dalam buku Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam di Indonesia yaitu cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh seorang istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.23

Cerai gugat terjadi karena adanya kemauan dari pihak istri, dengan alasan perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi. Cerai gugat dapat terjadi jika ada keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri, karena ia benci kepada suaminya. Cerai gugat dalam Islam dikenal dengan istilah khulu‟/talak tebus, artinya talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami.Khulu‟ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a yang berasal dari kata يِث ا ع خ(menanggalkan

21

Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian h. 16.

22

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia(Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2002), h. 906.

23

Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 19.


(30)

20

pakaian).24Dihubungkannya kata khulu‟dengan perkawinan karena dalam Al qur‟an disebutkan bahwa suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat Al Baqarah ayat 187:

مت ا م

“Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka” Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai

pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh khulu‟ diartikan dengan:

ع ا ا اط ا ظ ب ض عب ف

“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan thalaq atau khulu’.25

Dalam buku Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha, Aris Bintania menyebutkan bahwa khulu‟menurut istilah fiqh berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar tebusan kepada

pemilik akad (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu‟. Khulu‟

merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya. Khulu‟ disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau

24

Ibnu Manzur, Lisanul Arab juz 4, (Beirut: Darehie Al Tourath Al- Arabi, t.th) h. 178. Dan juga A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Pentashih, Ali Ma‟sum & Zainal Abidan

Al Munawwir, ed. 12(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 360.

25

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2009), h. 231.


(31)

pengganti yang diberikan istri kepada suami disebut dengan iwadh.Iwadh dapat berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati kedua suami istri.26

Sedangkan menurut pasal1 huruf i Kompilasi Hukum Islam, khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya. Menurut pasal 124 Kompilasi Hukum Islam

khulu‟ harus berdasarkan atas alasan perceraian

Untuk maksud yang sama dengan kata khulu‟ itu ulama menggunakan beberapa kata, yaitu: fidyah, shulh, mubaraah.27 Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dalam dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan.

Khulu‟ hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar

kebolehannya terdapat di dalam Al Qur‟an dan terdapat pula dalam hadist Nabi.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an surat Al Baqarah ayat 229:

ف ا ح ي ي اأ مت خ ف

ب تفا يف ي ع ج ا

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya.”

Dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 maupun Peraturan PemerintahNomor 9 Tahun 1975, istilah khulu‟ ini tidaklah ditemukan,Pengadilan

26

Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka fiqh Al qadha,(Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2012),h. 134.

27

Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah, maka disebut dengan khulu’.Bila ganti rugi adalah separoh dari mahar, disebut

shulh. Bila ganti rugi lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah.Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 231.


(32)

22

Agama hanya mengenal adanya dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara permohonan cerai talak dan perkara cerai gugat. Dalam perkara cerai gugat disebutkan bahwa jika istri ingin memutuskan ikatan perkawinan dengan suaminya ia bisa menggugat cerai suaminya melalui pengadilan yang akan memutuskan hubungan perkawinan keduanya.28 Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Disini terlihat bahwa Undang-Undang tersebut tidak membedakan antara cerai

gugat dan khulu‟ sehingga mereka tidak menjelaskan pasal-pasal mengenai hal tersebut.

Berbeda halnya dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI membedakan antara cerai gugat dengan khulu’.Jika sebelumnya istri ingin memutuskan hubungan perkawinan dengan suaminya mengajukan gugat, maka dalam KHI seorang istri juga bisa mengajukan perceraian dengan jalan khulu‟ (talak tebus) kepada dan dengan persetujuan suaminya. Namun berlakunya acara perceraian dengan cara khulu‟ (talak tebus) tidak melahirkan jenis perkara perceraian yang baru di Pengadilan Agama,

khulu‟ menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan putusan mengenai

tebusan yang harus dibayar oleh istri dan perceraian menjadi dengan jatuhnya talak

khulu’ dari suami.

Akan tetapi perceraian dengan jalan khulu‟ (talak tebus) tidak justru

mempermudah seorang istri untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan

28


(33)

suaminya, ia harus tetap memiliki alasan-alasan sebagaimana yang harus juga ia buktikan dalam cerai gugat biasa, bahkan konsekuensinya ia harus membayar tebusan kepada suaminya.

Dari paparan diatas terlihat adanya persamaan dan perbedaan di antara keduanya dalam pandangan KHI. Persamaannya adalah keinginan untuk bercerai sama-sama berasal dari pihak isteri dan alasan-alasan cerai gugat maupun khulu‟ pun harus sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam pasal 116 KHI.Sementara perbedaannya: pertama, dilihat dari wajibnya disediakan iwadh oleh istri, dalam

khulu‟ iwadh harus ada, sementara pada cerai gugat tidak perlu membayar uang iwad (uang tebusan).29Kedua, dari bentuk putusannya, cerai gugat biasanya putusannya

berbentuk talak satu ba‟in sughra, dan kalau cerai gugat dengan alasan pelanggaran

taklik talak dengan talak satu khul’i. Sementara pada khulu‟ apapun alasannya putusannya berbentuk talak satu khul’i.30 Ketiga, hak istri untuk menerima nafkah

iddah, pada khulu‟ istri tidak berhak atas nafkah selama masa iddah yang ia jalani,

pada cerai gugat selama menjalani masa iddah ia akan tetap memperoleh nafkah iddah dari mantan suaminya. 31

Melalui cerai gugat atau khulu‟ ini, maka perempuan memiliki hak yang

setara dengan laki-laki dalam institusi perkawinan yang dapat membebaskan istri dari

29

Aris Bintaria,Hukum Acara Peradilan Agama dalam,h.144.

30

Mahkamah Agung, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama,Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Buku II(Jakarta: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010), h.155.

31


(34)

24

tekanan yang dialaminya.32 Hanya saja yang perlu dikritisi adalah bentuk penerapan cerai gugat ini masih terdapat sebuah ketidakadilan jika dibandingkan dengan talak. Apabila si istri mengajukan cerai gugatnya ke pengadilan, maka yang harus terlebih dahulu disiapkan adalah biaya untuk menebus dirinya. Dibandingkan dengan cerai talak, di mana sang suami tanpa sebuah tebusan untuk dirinya.

B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat dan Khulu’ di Pengadilan Agama

Salah satu azas-azas hukum perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah azas mempersukar atau mempersulit proses perceraian, yang disebut juga dengan azas preventif. 33 Azas mempersulit proses hukum perceraian juga terkandung dalam pasal 39 ayat [2] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan imperatif bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-istri. Kemudian ketentuan imperatif dalam pasal 39 ayat [2] UU Nomor 1 Tahun 1974 telah dijabarkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menentukan alasan-alasan hukum perceraian.34

32

Anik Farida, dkk, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian,h. 33.

33

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani,2004), h. 222.

34

Alasan-alasan perceraian tersebut yaitu: (1)Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. (3)Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat lagi setelah perkawinan berlangsung.(4)Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. (5)Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau


(35)

Pasal 19 Peraturan Pemerintah diatas diulangi dalam Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan yang sama, hanya menambahkan dua anak ayatnya, yaitu:

1. Suami melanggar taklik talak.35

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang dibacakan suami setelah akad nikah. Kalau suami melanggar janji yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela bisa mengadu ke pengadilan untuk mengajukan perceraian. Jadi taklik talak sebagai sebuah ijtihad baru sangat penting untuk melindungi hak-hak wanita.36 Pada prinsipnya taklik talak adalah suatu penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara

istri. (6)Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

35

Taklik talak ini telah lazim diperjanjikan dalam perkawinan dewasa di Indonesia, dimana setiap mempelai laki-laki setelah akad nikah mengucapkan ijab kabul, mengucapkan lagi ikrar taklik talak yang berbunyi sebagai berikut:“apabila saya (suami) meninggalkan istri saya 6 bulan berturut-turut, tanpa memberi kabar dan memberi nafkah kepada istri saya”, atau “apabila saya (suami) memukul/ menyakiti istri saya melampaui batas dan berbekas”, atau “ apabila saya

(suami) menambah istri saya, maka apabila istri saya tidak ridho datang kepada saya atau pihak yang berwajib atau Kantor Urusan Agama atau mesjid dan membayar uang iwadh sebesar yang ditentukan, maka jatuhlah talak saya (suami) satu”. Lebih lanjut baca Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, h. 141.

Memang tidak jelas kapan metode perceraian taklik talak ini pertama kali dipraktekkan, sebagaimana yang dikutip oleh Ratna Lukito dalam bukunyaseorang ilmuan belanda, Jan Prins, sudah mengklaim pada tahun 1951 institusi taklik ini cenderung untuk mempertahankan beberapa hak tradisional istri, berasal dari dekret yang dikeluarkan oleh seorang raja Mataram pada abad ketujuh belas Masehi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu terhadap institusi taklik talak ini, membuktikan adanya percampuran elemen-elemen yang diderivasikan dari hukum adat dan hukum Islam. Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islamdan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998) h. 78.

36

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh No 1/1974 sampai KHI(Jakarta: Kencana, 2004), h. 22.


(36)

26

suami istri. Secara prinsipil pernyataan dalam taklik talak berupa ikrar dari suami dan hanya mengikat pada suami istri itu sendiri. Lembaga taklik talak disamping untuk menjaga kerukunan hubungan suami istri juga untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami.

Undang-Undang Perkawinan tidak menyinggung murtad sebagai alasan perceraian sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam murtad dijadikan alasan perceraian. Artinya jika salah satu keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan.

Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 39 dan pasal 40.37 Pasal 115 KHI menegaskan bunyi Pasal 39 UU Perkawinan yang sesuai dengan

konsep KHI, yaitu orang Islam: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dengan aturan ini perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum.38

Menurut pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami, istri, dan kuasanya kepada pengadilan yang daerah

37

Pasal 39 UU Perkawinan:(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang- undangan tersendiri.

38


(37)

hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Tetapi setelah lahirnya UU No 73 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 jo. UU No 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama disebutkan dalam pasal 73 bahwa gugatandiajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri) kecuali apabila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan.39 Apabila gugatan perceraian dilaksanakan atas alasan satu diantara dua pihak mendapat penjara 5 tahun atau lebih, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti, istri sebagai penggugat menurut Pasal 74 UU No.7 Tahun 1989 jo. UU No 3 Tahun 2006 jo. UU No 50 Tahun 2009 cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau juga putusan Mahkamah Agung RI40 disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. 41

39

Senada dengan pasal 132 KHI, hanya saja dalam ayat 2 KHI disebutkan apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

40

Dalam pasal 135 KHI disebutkan jika gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan keputusan perceraian sebagai bukti, maka penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah berkekuatan hukum tetap.

41


(38)

28

Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka hakim berdasarkan Pasal 75 UU No 7 Tahun 1989 jo. UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009, dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian didasarkan syiqaq (cekcok) terus menerus yang membahayakan kehidupan suami-istri,maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009.42

Adapun cara mengajukan gugatan adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (bagi orang islam) yang bersangkutan. Bagi orang yang tidak dapat menulis boleh mengajukan secara lisan. Majelis hakim Pengadilan Agama menurut pasal 80 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009, melakukan pemeriksaan atas gugatan perceraian selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.43

Pengadilan wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara agar mereka rukun lagi dalam satu rumah tangga. Usaha ini dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama itu tidak hanya terbatas pada sidang pertama, tetapi pada setiap sidang dilakukan. Agar perdamaian yang dilakukan oleh majlis hakim

42

Muhammad Syaifuddin,dkk,Hukum Perceraian,h. 256.

43


(39)

membawa hal positif, maka suami-istri yang bersatu itu harus datangsecara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal di luar negeri dan tidak mungkin hadir dalam sidang secara pribadi, dalam hal in i dapat diwakilkan oleh kuasanya.

Apabila hakim berhasil mendamaikan suami-istri yang berperkara itu, maka mereka tidak dapat lagi mengajukan gugatan dalam alasan yang sama.44 Akan tetapi, apabila tidak berhasil mendamaikan mereka,selanjutnya Hakim akan mengadakan pemeriksaan.

Sidang Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksaperkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam sidang tertutup yang diatur dalam Pasal 80 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 jo UU No 50 Tahun 2009. Hal ini disebabkan karena dalam sidang gugatan perceraian itu kedua belah pihak saling mengucapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib yang kurang layak diketahui orang lain.

Proses hukum cerai gugat di Pengadilan Agama diuraikan secara teknis- yuridis dalam Buku II Edisi Revisi Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama45 adalah sebagai berikut:

a) Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah memutuskan perkawinan penggugat dengan tergugat.

44KHI Pasal 144: “apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian

baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Lihat juga PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 32

45


(40)

30

b) Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar mempedomani Pasal 73 s.d.86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo pasal 14 s.d. 36 Peraturan Pemeritah Nomor 9 Tahun 1975.

c) Gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut‟ah, nafkah iddah dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat, sedangkan gugatan hadhanah dan harta bersama suami istri sedapat mungkin diajukan terpisah dalam perkara lain. d) Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan

provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

e) Permohonan provisi sebagaimana yang dimaksudkan oleh huruf d diatas antara lain: permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping (Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

f) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah terhadap suami, sepanjang istrinya tidak terbukti telah berbuat nusyuz (Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

g) Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan Agama atau Mahkamah


(41)

pendidikan suami dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah dan nafkah anak.

h) Cerai gugat dengan alsan taklik talak harus dibuat sejak awal diajukan gugatan, agar selaras dengan format laporan perkara.

i) Dalam hal tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus dengan verstek, pengadilan tetap melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh penggugat.

j) Cerai gugat dengan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah (lil istibra’)46

k) Untuk keseragaman, amar putusan cerai gugat berbunyi: “menjatuhkan talak

satu ba’in shughra tergugat (nama...bin....) terhadap penggugat (nama....

binti....)”

l) Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak berbunyi:”menjatuhkan talak satu khul’i tergugat (nama...bin....) terhadap penggugat (nama.... binti....) dengan iwadh sebesar Rp... (... tulis dengan

huruf)”.

Setalah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang

46 Istibra‟ berarti menunggu masa bersih dan sucinya seorang istri dari mengandung/

pengetahuan akan kekosongan rahim dari kehamilan. Sejumlah ulama berpendapat bahwa istibra‟ itu hanya diwajibkan terhadap wanitawanita yang tidak mengetahui kekosongan rahimnya (hamil/tidak). Sedangkan wanita yang mengetahui kekosongan rahimnya, maka tidak ada kewajiban beristibra‟. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga. Pen. M Abdul Ghafar (Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2006) h. 376.


(42)

32

bersangkutan.47Terhadap keputusan tersebut para pihak dapat mengajukan upaya hokum banding dan kasasi. Apabila selama jangka waktu 14 hari semenjak diputuskan perceraian gugat itu suami tidak melakukan upaya banding, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pada dasarnya prosedur administrasi perceraian melalui khulu‟ tidak jauh berbeda dengan prosedur administrasi cerai gugat diatas. Istri atau kuasa hukumnya mengajukan gugatan perceraian melalui khulu‟ kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri.

Proses hukum talak khulu‟ di Pengadilan Agama diuraikan secara teknis -yuridis dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Edisi Revisi 2010) adalah sebagai berikut:48

a) Talak khulu‟ merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat.

b) Untuk keseragaman, amar putusan talak khulu‟ berbunyi:

“Menjatuhkan talak satu khul’i tergugat (nama...bin...) terhadap penggugat (nama....binti....) dengan iwadh berupa uang sebesar Rp .... ( .... tulis dengan

huruf)”.

Iwadh tersebut dapat pula berupa uang, rumah atau benda lainnya secara bersama.

47

KHI pasal 147 ayat {1}.

48


(43)

c) Terhadap putusan khulu‟ dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. d) Ketentuan khulu‟ sebagaimana tersebut dalam pasal 14849 KHI harus

dikesampingkan pelaksanaannya sebab menyalahi ketentuan hukum acara,

gugatan khulu‟ tetap harus diputus oleh hakim dan boleh banding dan kasasi.

Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa aturan

mengenai khulu‟ tidak berlaku di dalam UU Perkawinan maupun dalam Peraturan Pemerintah.Hukum acara khulu‟ ini ditemui aturannya dalam Kompilasi Hukum

Islam. Di berlakukannya acara khulu‟ di Pengadilan Agama membawa perubahan signifikan terhadap hukum acara perceraian, jika sebelumnya baik suami maupun istri berada dalam posisi yang sama untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama, meskipun dengan pembedaan dua jenis perkara, dan istri supaya gugatan perceraiannya dapat dikabulkan dan ikatannya diputus oleh Pengadilan Agama, istri

49

Proses hukum khusus gugatan perceraian dengan jalan khulu‟ menurut pasal 148 Kompilasi Hukum Islam adalah: (1) Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‟ menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya. (2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya 1 bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. (3) Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu‟ dan memberikan nasehat-nasehat. (4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama.Terhadap penetapan ini dapat dilakukan upaya kasasi dan banding. (5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak,Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirim ke Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan. Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri. Helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. (6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara biasa.


(44)

34

hanya perlu membuktikan alasan-alasan untuk terjadinya perceraian tanpa harus menebus dirinya.

Dengan diberlakukannya acara khulu‟ seorang istri, jika alasan-alasan perceraian yang terbukti ternyata berasal dari pihak istri, maka ia harus menebus dirinya supaya talak dijatuhkan oleh suaminya, sehingga pada dasarnya bukan pengadilan yang memutus ikatan perkawinan, tetapi kesediaan suami mengikrarkan talaklah yang memutuskan hubungan perkawinan.

Berdasarkan paparan di atas terlihat bahwa dalam mengompilasi hukum Islam, di satu sisi ada keinginan yang kuat untuk menyerap sebanyak mungkin semangat dan nilai-nilai hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi di sisi lain ada berbagai persoalan-persoalan penerapan hukum Islam ke dalam hukum positif yang tidak terlepas dari adanya perbedaan dan semangat nilai-nilai, yang diutamakan oleh hukum Islam dalam mengatur kehidupan para penganutnya berhadapan dengan nilai dan cita-cita pembentukan kesatuan hukum di Negara Indonesia dengan cita rasa keadilan, yang melindungi segenap warga negara sehingga dimata hukum semua warga negara berada dalam kedudukan yang sejajar dalam seluruh lapangan hukum, termasuk hukum keluarga.

Hal ini berakibat pada aturan acara khulu‟ yang dimuat dalam Kompilasi

Hukum Islam sebagai alternatif bagi kaum perempuan dan jalan untuk memutuskan hubungan perkawinan niscaya akan menjadi pasal-pasal yang tidak bermakna dan tidak fungsional, karena seorang perempuan pasti akan memilih perceraian dengan


(45)

jalan cerai gugat biasa ketimbang dengan cara khulu‟, mengapa harus dengan talak

tebus jika alasan-alasan perceraian yang harus dibuktikan sama dengan cerai gugat biasa yang tidak perlu dengan tebusan plus masih berhaknya istri atas nafkah iddah.

C. Akibat Cerai Gugat

Akibat putusnya perkawinan (perceraian) diatur dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 149 KHI.Pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah;

a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara, melindungi dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihanmengenai penguasaan anak,pengadilan memberikan putusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak, bila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya hidup untuk bekas istri.

Pasal 149 KHI menjelaskan akibat talak, berbunyi; bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:


(46)

36

a. memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang, benda kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul

b. Memberikan nafkah, maskawin dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al-dukhul

d. Memberikan biaya (hadhanah) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Di dalam KHI memang tidak dijelaskan akibat cerai gugat dalam pasal tersendiri. Dari pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa bagi apabila cerai gugat maka istri tidak menerima: pertama, hak nafkah iddah. Hal ini apabila perkara cerai gugat tersebut diputus oleh majelis hakim dengan putusan talak ba‟in dan istri tidaklah dalam keadaan hamil, sebagaimana pemahaman dalam pasal 149 huruf b. Hak nafkah iddah ini hanya diberikan kepada istri yang berada dalam iddah talak

raj‟i. Pemahaman ini berlandaskan karena istri yang mengajukan cerai gugat adalah istri yang nusyuz sehingga ia pantas untuk tidak mendapatkan hak nafkah iddah.

Kedua, mantan istri tidak akan menerima mut‟ah. Mut‟ah adalah pemberian

bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang lainnya. Mut‟ah


(47)

ba‟da dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami (KHI Pasal 158).50 Sementara cerai gugat adalah perceraian dengan kehendak istri, maka ia tidak berhak atas mut‟ah

Ketiga, tidak dapat ruju‟. Cerai Gugat putusannya berupa talak ba‟in sughra. Talak ba‟in sugra adalah talak satu atau dua disertai dengan iwadh dari istri kepada suami yang dengan akad nikah baru suami dapat kembali kepada istrinya.51 Sementara KHI dalam Pasal 119 ayat 1 menjelaskan bahwa talak ba‟in sughra adalah

50

Terdapat perbedaan dalam pendapat para ulama mazhab tentang wanita yang berhak mendapatkan mut‟ah. Pertama, Mazhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Alaudin Al Kasani berpendapat: (a) wajib apabila terjadi perceraian sebelum dukhul (qabla dukhul) yang tidak disebut mahar sewaktu akad nikah dan penyebab perceraiannya adalah dari laki-laki, (b) Mustahabbah, apabila terjadi talak dalam keadaan selain tersebut pada point a di atas. Kedua, Mazhab Syafi‟i dan Ibnu

Taimiyah berpendapat, wajib bagi semua perempuan yang ditalak kecuali yang berhak menerima separuh mahar. Baik penyebab perceraian dari laki-laki maupun penyebab dari perempuan. Ketiga, Umar, Ali Husein bin Ali mengatakan wajib mut‟ah bagi perempuan yang ditalak secara mutlak, tanpa kecuali. Lihat lagi Mudatsir Roci,”Seputar Masalah Mut‟ah, “ Suara Uldilag VII, no 4 (Maret 2004): h. 88

Abu Bakar Al Jashash dalam kitab Tafsirnya sebagaimana yang dikutip oleh Edi Riadi menguraikan perbedaan pendapat ulama salaf dan khalaf tentang hukum pemberian mut‟ah dari laki-laki kepada mantan istrinya. Para ulama salaf dan khalaf dalam menyikapi hukum mut‟ah terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Abu Zainal, Abi Laila dan Al Laits berpendapat memberikan mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya sunnah bukan wajib, sehingga suami tidak dapat dipaksa untuk memberi mut‟ah kepada bekas istrinya. Kelompok kedua berpendapat, suami memberi mut‟ah kepada istri yang dicerai hukumnya wajib. Kelompok kedua ini walaupun sepakat hukum memberikan mut‟ah wajib, akan tetapi mereka terbagi kepada lima varian. Pertama, suami yang mentalak istrinya wajib memberikan mut‟ah kepada mantan istrinya secara mutlak, pendapat ini dipelopori oleh Ali ra. Kedua, wajib memberikan mut‟ah, terbatas untuk mantan istri yang ditalak

apabila si istri tersebut belum diberi mas kawin dan belum disenggama, demikian pendapat Syuraih, Ibrahim dan Al Hasan. Ketiga, Ibnu Abbas dan Nafi‟ berpendapat wajib memberi mut‟ah untuk istri

yang ditalak, sudah diberi mahar tapi belum disenggama oleh suaminya. Keempat, pendapat Muhammad Bin Ali, mut‟ah wajib untuk mantan istri yang belum diberi mahar baik sudah disenggama maupun belum disenggama. Kelima, pendapat Abu Amar, beliau berpendapat mut‟ah wajib untuk

seorang istri yang ditalak, akan tetapi mantan istri yang sudah diberi mahar belum disenggama hanya berhak mut‟ah sebanyak ½ jumlah mahar. Abu Bakar Al Jashash sendiri berpendapat pemberian mut‟ah wajib secara mutlak untuk istri yang ditalak. Lihat lagi, Edi Riadi, “ Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian (Study Banding Hukum Normatif di Negara Turki, Tunisia, Mesir dan Iran ), Suara

Uldilag II, no 6(April 2005): h. 67.

51

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011) h. 29.


(48)

38

talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. Sementara ayat 2 nya menyebutkan bahwa bentuk talak

ba‟in tersebut berupa: (a) talak yang terjadi qabla al-dukhul, (b) talak dengan tebusan

khulu‟, (c) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Sedangkan dalam hal-hal lain tidak ada perbedaan akibat hukum antara cerai gugat dan talak seperti dalam hal harta bersama dan hadhanah. Terhadap harta bersama diatur dalam pasal 37 UU Perkawinan.Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa mengenai harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang mencakup hukum agama, hukum adat atau hukum yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa UU No 1 Tahun 1974 menyerahkan kepada para pihak yang bercerai untuk memilih hukum mana dan hukum apa yang berlaku. Menurut penjelasan Mohd. Idris Ramulyo sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Syaifuddin, dalam hukum Islam apabila terjadi putus hubungan perkawinan, baik karena cerai talak atau cerai gugat, maka harta bersama yang diperoleh selama perkawinan itu harus dibagi antara suami istri menurut pertimbangan yang sama.52 Dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam ditentukan bahwa akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 97 yang memuat

52


(1)

hal. 6 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

Islam, akan tetapi tidak berhasil karena Penggugat tetap dengan pendiriannya untuk bercerai dari Tergugat;

Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, semua perkara yang masuk ke pengadilan terlebih dahulu harus dilaksanakan mediasi, akan tetapi dalam perkara yang bersangkutan karena pihak Tergugat tidak pernah hadir, maka mediasi tidak dapat dilaksanakan;

Menimbang, bahwa Penggugat telah menghadap sendiri (in person) di persidangan, sedangkan Tergugat tidak pernah hadir di persidangan dan tidak pula mengirimkan orang lain selaku wakil atau kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, dan tidak ternyata ketidakhadiran Tergugat itu disebabkan suatu alasan yang sah menurut hukum (default without reason), maka sesuai dengan pasal 149 ayat (1) Rbg jo pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perkara a quo dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya Tergugat;

Menimbang, bahwa tidak hadirnya Tergugat di persidangan, dapat dianggap tidak bermaksud untuk mempertahankan hak-hak keperdataannya dan atau membela kepentingannya di persidangan, mengakui dan membenarkan semua Posita dan Petitum dalam surat gugatan Penggugat, sedangkan gugatan Penggugat juga tidak ternyata melawan hukum;

Menimbang, bahwa Majelis sependapat dan mengambil alih pendapat ahli fiqih dalam Kitab Ahkamul Qur'an Juz II hal 405 yang berbunyi:

Artinya: Barang siapa yang dipanggil untuk menghadap Hakim Islam, kemudian tidak menghadap maka ia termasuk orang yang zalim, dan gugurlah haknya.

Menimbang, bahwa namun demikian oleh karena perkara ini adalah mengenai bidang perceraian yang dinilai penting untuk ditemukan kebenaran materilnya, dan untuk lebih meyakinkan majelis atas dalil-dalil gugatan Penggugat, maka dengan memperhatikan dan sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Edisi 2010, maka Majelis berpendapat bahwa Penggugat haruslah tetap diwajibkan untuk mengajukan bukti-bukti yang dapat mendukung dalil-dalil posita dan petitum gugatannya;


(2)

hal. 7 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

Menimbang, bahwa alasan Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Tergugat adalah sebagai berikut:

- Bahwa selama Penggugat dengan Tergugat membina rumah tangga yang rukun hanya 1 tahun 3 bulan kemudian tidak rukun lagi karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan nafkah/belanja yang diberikan Tergugat kepada Penggugat sangat kurang dan Tergugat sering menyakiti jasmani Penggugat; - Bahwa Tergugat telah meninggalkan kediaman bersama dan telah berpisah tempat

tinggal sampai sekarang lebih kurang 9 bulan lamanya;

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan bukti tertulis, bukti P (Fotokopi Kutipan Akta Nikah);

Menimbang, bahwa terhadap alat bukti tertulis yang diajukan Penggugat, Majelis berpendapat alat bukti tersebut telah memenuhi persyaratan formil karena merupakan fotokopi sah dari suatu akta otentik, khusus dibuat sebagai alat bukti, telah diberi meterai cukup sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 dan telah di-nazegeling, dan secara materiil dapat dipertimbangkan karena alat bukti “P” tersebut memuat keterangan yang menguatkan dan relevan dengan dalil gugatan Penggugat sehingga harus dinyatakan secara formil dan materiil alat bukti tersebut dapat diterima;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti yang diajukan Penggugat tersebut maka harus dinyatakan terbukti Penggugat dan Tergugat telah dan masih terikat dalam perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan pasal 285 R.Bg jo pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa dengan demikian maka Penggugat dan Tergugat telah mempunyai hubungan hukum sebagai suami isteri dan mempunyai kapasitas hukum untuk menjadi pihak dalam perkara ini (persona legal standi in judicio) dan karenanya Penggugat mempunyai kualitas untuk mengajukan tuntutan dalam sengketa bidang perkawinan yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa oleh karena alasan gugatan perceraian yang diajukan Penggugat berkenaan dengan ketentuan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, sehingga untuk mengetahui dengan jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 22


(3)

hal. 8 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, maka Majelis perlu mendengarkan keterangan pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut;

Menimbang, bahwa Penggugat telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi, masing-masing dibawah sumpahnya telah memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:

- Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri dan sudah dikaruniai anak tiga orang;

- Bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tidak rukun karena sering terjadi pertengkaran disebabkan nafkah/belanja yang diberikan Tergugat kepada Penggugat sangat kurang ;

- Bahwa Tergugat telah menyakiti jasmani Penggugat;

- Bahwa Tergugat telah meninggalkan kediaman bersama dan Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal lebih kurang 9 bulan;

- Bahwa pihak keluarga Penggugat sudah menyusun rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tetapi tidak berhasil;

Menimbang, bahwa terhadap alat bukti berupa dua orang saksi yang diajukan Penggugat di persidangan, Majelis telah mendengarkan keterangan pihak keluarga dan atau orang yang dekat dengan Penggugat yang sekaligus adalah sebagai saksi-saksi dalam perkara ini, dan telah memberikan keterangan yang secara materiil telah didasarkan atas pengetahuan saksi-saksi sendiri, mempunyai keterkaitan dan hubungan, serta saling bersesuaian dan atau saling menguatkan antara satu dengan lainnya yang dapat digunakan untuk menguatkan suatu perbuatan sesuai ketentuan pasal 307-309 R.Bg. sehingga harus dinyatakan alat bukti saksi tersebut dapat diterima;

Menimbang, bahwa berdasarkan penilaian terhadap gugatan Penggugat, serta alat-alat bukti yang telah diajukan Penggugat di atas, Majelis menemukan fakta-fakta yuridis yang telah dikonstatir sebagai berikut:

- Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak rukun telah terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan nafkah/belanja dari Tergugat yang kurang;

- Bahwa Tergugat telah menyakiti jasmani Penggugat;

- Bahwa Penggugat dengan Tergugat telah berpisah tempat tinggal 9 bulan ;

- Bahwa pihak keluarga Penggugat sudah menyusun rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tetapi tidak berhasil;

Menimbang, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga sakinah yang diliputi suasana mawaddah wa rahmah, sebagaimana


(4)

hal. 9 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

dikehendaki oleh al-Qur'an surat al-Rum ayat 21 dan rumusan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 2 dan pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, namun melihat kenyataan dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat tujuan tersebut di atas sudah tidak mungkin lagi dapat terwujud;

Menimbang, bahwa menurut ajaran Islam perceraian adalah merupakan perbuatan yang tidak terpuji, namun demikian dalam hal suatu perkawinan yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi keutuhannya karena telah pecah, sehingga menimbulkan mafsadat yang lebih besar dari pada maslahatnya, maka perceraian dibolehkan;

Menimbang, bahwa dari apa yang diuraikan di atas, maka Majelis berpendapat pintu perceraian dapat dibuka guna menghindarkan para pihak dari kemelut rumah tangga yang berkepanjangan yang akan membawa mudharat kepada kehidupan Penggugat dan Tergugat apabila rumah tangga tetap dipertahankan, sedangkan kemudharatan harus disingkirkan sebagaimana kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

Artinya: Kemudharatan harus disingkirkan

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis berkesimpulan, alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat dalam gugatannya telah terbukti dan telah memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka berdasarkan pasal 125 ayat (1) HIR dan pasal 149 ayat (1) Rbg, harus dinyatakan Tergugat tidak hadir dan gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 84 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka Majelis memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Limapuluh Kota mengirimkan salinan putusan ini yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Suliki Kabupaten Limapuluh Kota;

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, maka seluruh biaya perkara dibebankan kepada Penggugat;


(5)

hal. 10 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

Mengingat semua peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dalil-dalil hukum Islam yang berhubungan dengan perkara ini;

M E N G A D I L I

1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk datang menghadap di depan persidangan, tidak hadir;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;

3. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat (TERGUGAT) terhadap Penggugat (PENGGUGAT);

4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Limapuluh Kota mengirimkan salinan putusan ini yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota; 5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang

hingga kini sebesar Rp 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah).

Demikianlah diputus dalam sidang permusyawaratan majelis Pengadilan Agama Kabupaten Limapuluh Kota pada hari Kamis tanggal 6 September 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 19 Syawal 1433 Hijriyah oleh Dra. Hj. DEWI WARTI sebagai Ketua Majelis, SAMSUL FADLI,S.Pd.SH dan AHYAR SIDDIQ,SEI,MHI masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Limapuluh Kota dengan Penetapan Nomor : 231/Pdt.G/2012/PA.LK, tanggal 29 Agustus 2012, untuk memeriksa perkara ini, dan diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum, dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota yang sama dan MASRI JAFRIsebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.

HAKIM-HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA

ttd ttd

SAMSUL FADLI,S.Pd.SH Dra. Hj. DEWI WARTI

ttd

AHYAR SIDDIQ,SEI,MHI

PANITERA PENGGANTI

ttd

MASRI JAFRI

Perincian Biaya Perkara :


(6)

hal. 11 dari 11 hal. Perkara No. 231/Pdt.G/2012/PA.LK

2. Biaya pemberkasan Rp. 50.000,- 3. Biaya Panggilan Rp. 225.000,- 4. M e t e r a i Rp. 6.000,- 5. R e d a k s i Rp. 5.000,- _______________________________ Jumlah Rp. 316.000,-