Ketentuan Maksimal Kadar Wasiat Wajibah (Studi Analisa Putusan Perkara No. 339/Pdt. G/2000/Pa. Jb)

(1)

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh: Ahdi Maulana NIM:109044100008

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1435 H/2014M


(2)

(3)

(4)

(5)

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. ix + 69 h + 1(satu) lampiran.

Skripsi ini berisi tentang ketentuan maksimal kadar wasiat wajibah. Secara teori dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah hanya diperbolehkan kepada anak angkat dan orang tua angkat saja dengan batas maksimal 1/3 dari harta peninggalan, akan tetapi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris lebih dari 1/3. Karena permasalahan tersebut skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebenaran terkait putusan hakim yang memberikan lebih dari 1/3 harta peninggalan.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam dan hukum positif terkait kadar wasiat wajibahyangmelebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalan dan untuk mengetahui alasan dan dasar hukum hakim dalam memutuskan perkara wasiat wajibah lebih dari1/3 (sepertiga).

Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan pemasalahan yang diteliti dan menghimpun seluruh data yang ada di skripsi ini diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat terhadap putusan perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB.

Wasiat wajibah artiya tindakan wasiat itu atas kehendak undang-undang, hal ini berbeda dengan wasiat ikhityariyah yang merupakan tindakan sukarela atas kemauan sendiri dari pemilik harta.

Wasiat wajibah menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia, dan wasiat ini harus tetap dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik kehendak maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia. Jadi dalam pelaksanaan wasiat wajibah itu tidaklah tergantung kepada pewasiat, akan tetapi kehendak undang-undang yang mengatur pembagian dengan kadar maksimal.

Kata kunci : Maksimal, Kadar, Wasiat Wajibah, (Putusan Perkara No.339/ Pdt.G/2000/PA.JB).

Pembimbing : Sri Hidayati, M.Ag Daftar Pustaka : 1971-2012


(6)

vi

Segala puja dan puji hanyalah kepada Allah SWT. Yang selalu memberikan rahmat dan nikmatNya kepada kita semua khsusnya kepada penulis. Karena dengan nikmat dan pertolongannya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Ketentuan Maksimal Kadar Wasiat Wajibah (Studi Analisa Putusan Perkara No. 339/Pdt. G/2000/PA. JB)”.

Tak lupa lantunan shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dengan kedatangannya membawa kita semua keluar dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan keilmuan yang dapat kita rasakan saat ini.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini bukan lah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri melainkan adanya bantuan dari orang-orang disekitar yang selalu siap sedia membantu. Melalui secarik kertas ini untaian rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada:

1. Ayah dan Bunda tercinta yang yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayang dan do’a yang tiada henti dan tak kenal lelah untuk penulis, serta adik-adikku tersayang yang selalu memberikan dukungan kepada


(7)

vii

seluruh Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayaullah tahun 2009-2014.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Hukum Keluarga. 4. Sri Hidayati, M.Ag dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi, yang selalu

meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan bimbingan dan arahan serta masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan memenuhi standard.

5. Hj. Rosdiana M.A. Sekretaris Program Studi hukum keluarga.

6. Drs. Heldi, M.Pd. Dosen Pembimbing Akademik, yang selalu membimbing penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

7. Segenap ibu dan bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan mendidik kami.

8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan umum dan fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan pelayanan untuk mengakses referensi yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Salam rindu kepada Eryna Ikawati, yang selalu memberikan motivasi,


(8)

viii

Iyas, Fauzan, Kosim, Eni, Ridwan, Fikri, Dewi, Farhan, Marzuki, nailul, helmi, Jefri dan Sarah Semoga hubungan persahabatan kita tidak akan terputus. Serta semua pihak terkait yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, atas segala bantuan, dukungan dan doa yang diperuntukkan kepada penulis.

11. Kepada teman-teman (LEBAH) yang selalu memberikan support dan dukungannya.

12. Kepada teman-teman AMSIN BROATHER CLUB dan lainnya. yang membantu memberikan refreshing apabila telah datang kejenuhan.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati dan mengharap ridho illahi, penulis hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya do’a lah yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan kasih sayangNya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca umumnya. amin.

Jakarta, Mei 2014

Rajab 1435


(9)

ix

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1

B. PembatasandanPerumusanMasalah ... 5

C. TujuandanManfaatPenelitian ... 5

D. TinjauanStudiTerdahulu ... 7

E. MetodePenelitian ... 8

F. SistematikaPenulisan ... 9

BAB II : KETENTUAN UMUM WASIAT A. Pengertian ... 11

B. Dasar Hukum ... 16

C. Rukun dan Syarat ... 21

D. Batas ... 26

BAB III : WASIAT WAJIBAH. A. Pengertian ... 29


(10)

x

BAB IV : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. PERKARA 339/Pdt.G/2000/PA.JB DAN ANALISA HUKUM.

A. Kronologi Kasus... 43

B. Tuntutan Penggugat ... 46

C. Putusan ... 47

D. Alasan Hakim ... 48

E. Analisa Penulis ... 49

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Setiap orang mengalami peristiwa penting dan sangat berpengaruh dalam kehidupannya, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Apabila sesorang meninggal dunia bukan berarti dia lepas dan bebas dari segala persoalan yang mengiringinya, karena akan timbul persoalan baru terhadap sesuatu yang ditinggalkannya.1 Ada beberapa kewajiban yang harus ditunaikan terkait harta peninggalannya diantaranya, warisan dan pembagian wasiat. Berkenaan dengan hal ini harus diatur agar tidak terjadi perebutan harta warisan.2

Wishayah adalah amanat yang diberikan seseorang kepada pihak lain agar melaksanakan pesan-pesannya sesudah ia meninggal dunia, seperti melunasi utang-piutangnya, menagih piutang yang menjadi miliknya, menjaga dan menafkahi anak-anaknya, dan sebagaimya. Washayah kadang-kadang disebut dengan wilayah atau al-washiyyah al-„adhiyyah (pesan amanat), dan orang yang

1

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. (Jakarta, Rineke Cipta :1997), h. 5

2

Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta, kencana: 2004) h. 394


(12)

menerima amanat itu disebut al-washi al-mukhtar, atau penerima amanat yang dipilih.3

Di Indonesia, seperti diketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia asli disamping tunduk pada hukum adat daerah masing-masing juga merupakan pemeluk agama yang berbeda namun Islam sebagai agama yang memiliki syari’at yang banyak diikuti oleh penganutnya sehingga memilik pengaruh kuat dalam salah satunya hukum waris di Indonesia. Hukum Islam sebagai komponen penting dalam hukum nasional menawarkan konsep-konsep tentang menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan dalam Islam dimaksudkan untuk menegakkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip keadilan Islam. Sama halnya dengan sistem hukum lainnya yang hidup dan berlaku di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam hukum Islam tetap exis dan berlaku seperti di Indonesia.

Sejak zaman dahulu, pembagian harta warisan bagi orang-orang yang ditinggalkan sudah menjadi ketetapan umum, akan tetapi sebelum Islam datang pembagian tersebut belum sepenuhnya adil. Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan secara pasti siapa saja yang belum mendapatkan harta waris.4

3

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,cet 16,(Jakarta: Lentera ,2006) h. 525

4


(13)

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.5 Kata wasiat itu sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu washa yang berarti menyampaikan, dengan kata lain wasiat adalah harta yang diberikan kepada orang lain ketika si pemberi meninggal dunia. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 (f) mendefinisikan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.6Menurut syara’ wasiat itu adalah secara suka rela memberikan hak yang dikaitkan setelah mati.7

Wasiat merupakan hal yang penting dalam hukum dan kewarisan hukum Islam, hal ini diatur dalam Al-quran surat Al-baqarah ayat 180. Ayat ini mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang ditinggalkan berkaitan dengan hartanya.8 Menurut fuqaha pemberian wasiat itu adalah setiap pemilik barang yang sah hak kepemilikannya terhadap orang lain.9

5

Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam,(Jakarta: Attahiriyah, 1976) ,h. 351

6

Kompilasi Hukum Islam pasal 171 poin f, Cet II, 2007

7Ali As’ad, Fathul Mu’in,(yogyakarta,Menara Kudus,1979), h.393 8

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan, dan keserasian Al-Quran,Vol I (jakarta :lentera hati ,2000), h. 397.

9

Al-faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid,(Jakarta : Pustaka Amani,2007).h.366


(14)

Bila diperhatikan dengan seksama lembaga wasiat wajibah seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Mesir dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat persamaan dan perbedaannya, bahwa pada Undang-Undang Mesir wasiat wajibah hanya untuk anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah yaitu untuk cucu yang ditinggal mati orang tuanya sedangkan kakek atau neneknya masih hidup akan tetapi kakek neneknya tersebut tidak memberikan wasiat. Sedangkan di Indonesia wasiat wajibah diperuntukan yaitu bagi anak angkat dan orang tua angkat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan di berikan untuk anggota keluarga sedarah dengan syarat ahli waris yang lain mengizinkan.

Secara normatif seharusnya wasiat wajibah maksimal diberikan 1/3 dari harta warisan. Namun pada tataran prakteknya ternyata wasiat wajibah diberikan lebih dari 1/3. Berdasarkan putusan Maejlis Hakim PA. Jakarta Barat nomor penetapan perkara 339/Pdt.G/2000/PA.JB.

Dengan demikian dari latar belakang tersebut, penulis ingin mengadakan penelitian yang membahas tentang “Ketentuan Batas Maksimal Wasiat Wajibah” ( Analisis Putusan Perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB).


(15)

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindarkan pembahasan yang meluas penulis membatasi masalah mengenai ketentuan kadar wasiat wajibah yang berlaku di Indonesia di kaitkan dengan putusan Pengadilan Agama perkara No. 339/Pdt. G/PA. JB.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini penulis susun dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang wasiat wajibah lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian.

b. Bagaimana ketentuan hukum positif tentang wasiat wajibah lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian.

c. Bagaimana alasan hakim menetapkan wasiat wajibah lebih dari 1/3 dalam putusan perkara No 339/Pdt.G/2000/PA.JB.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, diantarnya adalah:

a. Untuk mengetahui ketentuan hukum Islam dan Hukum positif tentang wasiat wajibah yang lebih dari 1/3 harta warisan.


(16)

b. Untuk mengetahui alasan atau dasar hukum hakim dalam menetapkan wasiat wajibah yang melebihi 1/3 dari harta warisan.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dalam objek penelitian ini adalah:

a. Untuk penulis: memberikan wawasan kepada penulis, dalam meningkatkan pengetahuan ilmu yang akan dikembangkan dalam penelitian, sesuai dengan bidang studi penulis yang berkecimpung dalam penelitian yang penulis garap.

b. Untuk civitas akademis: seperti mahasiswa dan para penganut akademis dengan adanya skripsi ini bisa berguna sebagai bahan informasi dan pengetahuan juga sebagai bahan rujukan terhadap pembelajaran terkait kasus-kasus yang sama.

c. Penambahan ilmu pengetahuan: sebagai sumbangan terhadap adik-adik kelas nanti sebagai studi terdahulu terkait skripsi yang digarap dalam konteks yang sama dan sebagai sumbangsih kepada perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D.Tinjauan Studi Terdahulu

1. Pembagian Wasiat Wajibah Kepada Ahli Waris yang Berbeda Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB), oleh Hilma Yuniasti (106044201464), dalam skripsi ini membahas tentang orang-orang yang berhak menerima wasiat wajibah diantaranya adalah: anak angkat dan orang tua angkat. Selain itu skripsi ini


(17)

membahas tentang pemberian wasiat wajibah kepada non muslim dengan alasan masih mempunyai hubungan kekerabatan dan emosional kepad si pewasiat, melihat pertimbanga secara psikologis dari ahli waris berdasarkan landasan yuridis dan normatif Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Wasiat Wajibah Kepada Ahli Waris Non Muslim (Studi Analisis Penetapan Perkara No. 0176/Pdt.p/2012/PA.JP), oleh Muhammad Syaefudin Bahri (109044100006), dalam skripsi ini membahas tentang penetapan ahli waris yang ditetapkan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang dalam skripsinya memfokuskan kepada wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim .

Dari tinjauan studi di atas jelas skripsi yang penulis ingin teliti berbeda, karena dalam pembahasan skripsi penulis, yaitu mengenai besarnya kadar wasiat wajibah yang diputuskan di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Dengan judul “Ketentuan Batas Maksimal Kadar Wasiat Wajibah (Studi Analisis Putusan Perkara No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB).” Dalam penelitian ini menurut hemat penulis tema ini sangat menarik, karena apa yang diputuskan hakim berbeda dengan teori yang berlaku di Indonesia dan hukum Islam.

E.Metode penelitian

1. Sumber dan Jenis Bahan Hukum Penelitian

Jenis bahan yang di tuangkan dalam penelitian adalah berbentuk dokumen. Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri:


(18)

Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat No. 339/Pdt.G/2000/PA.JB.

b. Bahan sekunder:

Bahan skunder merupakan data pendukung dari data primer yang didapatkan dari beberapa sumber hukum baik berupa undang-undang maupun ketentuan lain yang berlaku di Indonesia, seperti KUHPer dan Kompilasi Hukum Islam, Selain itu, karena penelitian ini juga meninjau pandangan hukum Islam, maka data sekunder terdiri dari literatur fiqh atau hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan materi penelitian, baik secara langsung maupun tidak.

2. Tehnik Pengumpulan Bahan

Dalam tehnik pengumpulan bahan penulis melakukan Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan menghimpun seluruh data proses Pengadilan Agama Jakarta Barat terhadap Putusan Perkara No. 339/Pdt.g/2000/PA.JB, tentang putusan pembagian wasiat wajibah kepada ahli waris yang berbeda agama.

3. Tehnik Analisa bahan

Bahan yang penulis dapatkan, penulis analisa bersifat content analisis atau menganalisa putusan yang diperoleh dengan menggunaka


(19)

penjelasan-penjelasan sehingga dapat tersusun secara sistematis dalam menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan.

4. Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tehnik yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing mempunyai sub-sub bab tersendiri dengan dengan sistematika penulisan yaitu:

Bab pertama, yaitu merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, studi review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab Kedua, yang membahas tentang ketentuan umum wasiat yang terdiri dari Pengertian secara umum, dasar hukum, rukun dan syarat, batas.

Bab Ketiga, yang membahas tentang wasiat wajibah terddiri dari Pengertian, menurut pandangan ulama, menurut KHI, beberapa contoh di negara muslim, contoh penghitungan.


(20)

Bab Keempat, yang membahas tentang Putusan pengadilan dan analisa terdiri dari kronologi perkara, tuntutan penggugat, putusan majlis hakim, alasan, analisa putusan.


(21)

BAB II

KETENTUAN UMUM WASIAT

A. Pengertian

Wasiat menurut bahasa adalah Washiyyatussyai’a aw syiihi artinya (aku menyampaikan sesuatu).1 Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain;

washaitu bi kadzaa au aushaitu (aku menjadikan sesuatu itu untuknya). Washaya

yang merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah mencakup wasiat harta; sedangkan iisha’, wishaayah, dan washiyyah dalam istilah ulama fiqh diartikan kepemilikan yang disandarkan pada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabarru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang. Dengan arti ini, istilah-istilah tersebut menjadi berbeda dengan kepemilikan-kepemilikan benda munjazah

(yang langsung bisa dilaksanakan), seperti penjualan dan hibah, juga kepemilikan nilai guna seperti sewa-menyewa, dan yang disandarkan kepada keadaan selain kematian seperti sewa-menyewa yang disandarkan kepada waktu mendatang, misalnya diawal bulan depan atau yang lainnya.2

1

AW Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, cet XXV, (Surabaya, Pustaka Progresif, 20002), h. 1563

2

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 154


(22)

Menurut istilah wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari’atkan.3 Wasiat menurut istilah syaria’at adalah hibah dari seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang, manfaat dengan ketentuan pihak yang diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.4 Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah wafat.5

Menurut syafi’iyyah wasiat adalah suatu pemberian secara suka rela yang pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal baik disebutkan maupun tidak waktu pelaksanaannya wasiat tidak ada perbedaan yakni tetap pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Menurut ulama hanabilah wasiat adalah perintah untuk mentasarufkan sesuatu setelah orang yang berwasiat meninggal, seperti wasiatnya seseorang kepada orang lain untuk merawat anaknya yang masih kecil atau mengawini putrinya atau memisahkan 1/3 dari hartanya.6 Sedang kitab Undang-undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946 menta’rifkannya secara umum yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan

3

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h. 43

4

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, Cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 588

5

Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 19

6

Abdur rahman, Al-Zairy, Fiqh Ala Madzahibi Al-Arba’ah, jilid III ,(Libanon Bairut:


(23)

macam-macam wasiat yakni mengalihkan hak memiliki harta peninggalan, yang ditangguhkan kepada kematian seseorang.7

Dalam pengertian syara’ para ulama mazhab berbeda dalam mendefenisikan wasiat. Menurut ulama hanafiyyah wasiat adalah pemberian hak untuk memliki sesuatu secara suka rela (tabarru’) yang pelaksanaanya setelah adanya kematian baik itu berbentuk barang atau manfaat.8 Menurut ulama malikiyyah wasiat adalah akad yang mewajibkan pemberian hak 1/3 dari harta warisan orang yang berwasiat sedang waktu pelaksanaannya adalah setelah si pewasiat meninggal. Sebagian ulama malikiyyah mengartikan wasiat seperti ulama hanafiyyah.9

Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang lama dan pendapat ini diakui oleh Ibnu Abdul Barri sebagai ijma’ ulama, bahwa wasiat itu tidak wajib berdasarkan dalil makna hadis dari Ibnu Umar r.a. itu, karena seandainya dia tidak mewasiatkan niscaya dia bagikan semua hartanya antara para ahli warisnya berdasarkan ijma’ para ulama. Lalu seandainya wasiat itu adalah wajib, maka pasti dia sudah mengeluarkan sebagian dari hartanya sebagai bagian pengganti wasiat itu.10

7

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet.IV, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1975), h. 50-51

8

Rahman, Ilmu Waris, h. 50-51

10

Ash Shan’ani, Subulussalam, Terjemahan oleh Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 372.


(24)

Dalam Hukum Pokok Perdata wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. pada dasarnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdlig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.11

Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam lebih mudah dikenal dalam nahasa hukum di Indonesia. Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan islam menempuh jalan tengah sebagai jalan alternatif anatara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendakinya.12

Apabila dilihat secara makro, bahwa penyelesaian harta peninggalan belumlah cukup diselesaikan dengan aturan kewarisan secara sistematis dengan bagian-bagian yang telah ditentukan dalam rangka penyebaran harta pada lingkungan kompleks masyarakat sosial tertentu. Akan tetapi wasiat merupakan

11Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet 31, (Jakarta : Intermasa, 2003), h. 106-107

12

Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, Editor.M.Roem Syibly, Cet.I, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012),h. 28-37


(25)

cara penyelesaian alternatif yang bertujuan melengkapi cara penyelesaian waris bagi mereka yang tidak memperoleh bagian waris karena adanya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan yang meninggal.13

Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan subtansial akan tetapi antara satu dengan lainnya saling melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur yaitu : pertama,

wasiat itu merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan harta benda atau manfaatnya. Kedua, wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak kepemilikan dari orang yang berwasiat kepada yang menerima wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.14Subtansi wasiat di atas berarti juga mengandung pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah meninggal kelak. Akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus tunduk kepada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.15

13

Tono, Kedudukan Wasiat, h. 58

14

Tono, Kedudukan Wasiat, h. 46

15


(26)

B. Dasar Hukum 1. Al-Qur’an

Surat Al-Baqarah ayat : 180









Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf16, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Baqarah:180)

Ayat ini secara lugas mengemukakan hukum wasiat yang dimaksud di dalamya dengan hukum wajib. Kelugasan demikian dijadikan golongan zahiriyah sebagai dasar menetapkan bahwa wasiat itu hukmnya fardu’ain bagi tiap orang yang akan meninggal dunia dengan meninggalkan harta pusaka.17

Dalam surat Al-Baqarah ayat 180 Rasyid Ridha berpendapat bahwa hukum wasiat adalah wajib bagi orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang banyak bagi pewarisnya, dimana wasiat tersebu harus diberikan kepada

16

Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris

17

Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, cet, I,(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996), h. 54-55


(27)

orang tua dan kerabat yang tidak dapat mewarisi, meskipun kedua orang tuanya berbeda agama dengan batas sepertiga harta.18

Sasaran hukum wasiat di atas ditunjuk kepada ibu bapak dan karib kerabat. Sasaran ini yang perlu direspon dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia sebab istilah yang dipergunakan Al-Qur’an itu apakah mencakup orang tua angkat, anak angkat atau mencakup batasan yang lebih luas secara kontekstual dalam menampung perkembangan hukum yang semakin kompleks.19

Surat Al-Baqarah ayat : 240















Artinya: “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri

mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Menurut Mahmud Yunus, tafsir kebanyakan ulama, bahwa orang-orang yang meninggal dunia hendaklah berwasiat kepada isterinya, supaya bersenang-senang dan ber’idah setahun lamanya dengan tiada berkawin dan tiada keluar dari

18

Rasyid, Ridha, Tafsir Al-Manar, juz II, (Beirut : Dar Al-Ma’arif,t,th),h. 127 19


(28)

rumahnya. Ayat di atas jelas menegaskan kewajiban berwasiat untuk para istri yang ingin ditinggal mati oleh suaminya, hendanya berwasiat untu para istri tersebut.20

Surat An Nisa ayat : 11





























Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisaa (4): 11)

20Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim Terjemahan,(Jakarta: PT. Karya Agung, 1978), h. 53


(29)

Surat An Nisa ayat : 12





















Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (Q.S. an-Nisaa (4): 12)

Dua ayat tersebut diatas menurut Mahmud Yunus pembagian pusaka itu dilaksanakan sesudah dibayarkan utang-utangnya dan dibagikan wasiatnya, jika


(30)

wasiatnya tidak lebih dari sepertiga harta pusaka, jika lebih maka wasiat itu hukumnya batal. Jadi sangat jelas bahwa menyalurkan warisan itu setelah utang dan wasiat.21

2. Hadits

رمع نْب هاّْبع ْنع ،عفان ْنع ،كلم انربْخا ،فس ْ ي نْب هاّْبع انثَّح

ها يضر

ص ها ْ سر َّا ،ام ْنع

مَلس هْيلع ها َىل

اق

َّحام :

ةبْ تْ م هتَيص َاا نتلْيل ْيبي ،هْيف ْيصْ ي ئْيش هل ملْسم ئرْما

ْنع ،رمع ْنع،رْمع ْنع ،ملْسم نْبَّمحم. ّْنع

هْيلع ها َىلص ِيبَنلا

مَلس

Artinya: “Abdullah bin Yusuf berkata: Malik memberi kabar kepada saya dari

Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya nabi SAW berkata: bukanlah hak

seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat disisinya”, hadits ini diikuti oleh Muhammad bin Amar, dari Ibn Umar, dari Nabi Muhammad

SAW.” (HR. Imam Bukhari)

ْ مي ّْأ رْ ي ه ة مب انأ يندْ عي ملس هْيلع ها ىلص يبنلا ينءاج

ءارْفع نْبا ها محْري : اق ا ْنم رجاه يتلا ضْرأْلاب

ْ سراي : ْلق

: اق ,ثًلثلا : ْلق ,ال : اق؟رْطشلا: ْلق .ال : اق؟هلك امب يصْ أ,ها

كتثر عّ ّْأ كنا ,رْيثك ثلثلا ,ثلثلاف

ءاينْغأ

ْم عّ ّْأ ْنم رْيخ

ًةلاع

.ْمهّْيأ يف سانلا ّْ فف تي

21

Yunus, Tafsir Qur’an Terjemahan, h. 107 22

Abu Al-Hasan Nur Ad-Din Muhammad, Shahih Al-Bukhari jilid 2,(Bairut:Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah,1971), h. 230

23Abi ‘abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Bardizbah Al

-Bukhori, Shohih al-Bukhori, Juz, 5 (Mesir: 1985) h. 5


(31)

“Rasulullah SAW datang mengunjungi saya ketika berada di Mekkah pada saat

saya menderita sakit keras. Rasulllah mendoakan: semoga Allah Merahmati mu

wahai Ibn „Afra. Saya bertanya kepada rasul: bolehkah Saya mewasiatkan seluruhku kepada anakku? Rasulullah menjawab: Tidak. Saya pun bertanya kembali:separu wahai rasul?Rasulullah menjawab: Tidak. Saya pun bertanya kembali: sepertiga wahai Rasulluah?Rasulullah menjawab: berikanlah sepertiga, karena sepertiga sudah cukup banyak, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.’

Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahi bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni sepertiga harta peninggalan mayit, maka ukuran wasiat adalah sepertiga.

3. Ijma’

Umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang banyak menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh seorangpun. Ketidak ingkaran seseorang tersebut24 menunjukkan adanya Ijma.

C.Rukun dan Syarat

1. Rukun Wasiat Ada Empat :

a. Orang yang berwasiat, keadaannya bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan dengan kehendaknya sendiri.

24


(32)

b. Yang menerima wasiat (Maushilah), hendaklah kedaannya yang bukan jalan maksiat, baik kepada kemaslahatan umum seperti membuat masjid, sekolah atau lainnya.

c. Suatu yang diwasiatkan, keadaannya dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.

d. Lafaz kalimat wasiat dengan kalimat yang dapat difaham untuk wasiat.25 Dalam kitab ad-Durrul Mukhtaar dari golongan Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan, rukun wasiat hanya ijab saja, yakni perkataan tentang wasiat yang keluar dari pihak mushii (orang yang berwasiat). Sedangkan

qabul dari pihak mushaa lah (orang yang menerima wasiat) hanya merupakan syarat bukan rukun. Yang dimaksud qabul adalah suatu ucapan yang jelas atau terang-terangan, seperti qabiltu (aku terima), atau secara isyarat/petunjuk. Qabul

dalam wasiat hanya sah apabila dialukan setelah meninggalnya

mushii26.Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu

mushii (pihak pembuat wasiat), mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih

(sesuatu atau barang yang diwasiatkan), dan shigat (ucapan serah terima).27

25

Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam,(Jakarta: Atthahiriyyah, 1976),hlm. 352

26

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 160

27


(33)

Sedangkan Jumhur Ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaiu

mushii (pihak pembuat wasiat), mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih

(sesuatu atau barang yang diwasiatkan), dan shigat (ucapan serah terima).28 Dalam hukum perdata Islam hanya kabul rukun wasiat, karena jika disatukan antara ijab dan kabul itu terlalu mengada-ngada, sebab bagaimana mungkin ijab dan kabul dilaksanakan seandainya penerima wasiat tidak ada ditempat, misalnya dalam keadaan si pewasiat ditengah perjalanan, atau si pewasiat meninggal mendadak.29

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 194 :

(1) Orang yang telah berumur skurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

(2) harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari si pewasiat. (3) Pemilik terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

dilaksanakn sesudah pewasiat meninggal dunia.

28

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 161

29

Suhardi K. Lubis dan Komis, Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 46


(34)

2. Syarat Wasiat Adalah :

Para ahli hukum Islam berselisih paham tentang rukun dan syarat-syarat wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kehendak syara’.

a. Pemberi wasitat.30 b. Dewasa.

c. Berakal. d. Merdeka.

e. Dapat dipercaya31

Menurut Wahbah Zuhaili syarat sah Mushii itu adalah: Berkompeten melakukan tabarru’ yaitu mukallaf (balig dan berakal sehat), merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, dan muslim maupun kafir.32

Berakal adalah syarat yang sudah disepakati dalam hal wasiat. Karena itu, wasiat yang dikeluarkan dari orang gila, orang idiot dan orang epilepsi tidaklah sah karena perbuatan mereka tidak dianggap hukum. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan mushii harus orang yang merdeka. Maka wasiat yang keluar dari seorang budak tidakklah sah. Golongan Hanafiyah sepakat dan golongan

30

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5,(Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 595

31Abi Syuja’ Ahmad, Al

-Ashfani, Terjemah Mantan Ghoya Wat Taqrib Cet II, (Jakarta: Pustaka Amani ,2001),h. 89

32


(35)

Syafi’iyyah satu pendapat yang lebih unggul dari dua pendapat yang ada mensyaratkan mushii haruslah orang yang sudah baligh. Artinya, tidaklah sah wasiat yang keluar dari anak kecil yang sudah atau belum tamyiz. Golongan Malikiyyah dan Hanabillah memperbolehkan wasiat yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, yang sudah berusia sepuluh tahun atau kurang sedikit, jika si tamyiz ini memikirkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah SWT).33

Wasiat sah dilakukan oleh orang mukallaf merdeka dalam keadaan bebas merdeka, untuk keperluan-keperluan yang halal semisal pembangunan masjid, makanya tidak sah wasiat dilakukan oleh anak kecil, orang gila, budak sekalipun mukatab tanpa seizin tuannya, dan juga orang yang dipaksa wasiat. Dan wasiat boleh kepada anak yang telah mumayyiz.34

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 195 menurut penulis menjadi syarat wasiat :

(1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

33

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 170


(36)

(3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau disaksikan di hadapan Notaris

Dan termasuk juga pasal 196 kedalam syarat wasiat yang berbunyi “Dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang diwasiatkan.

D. Batas Maksimal

Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahi bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni sepertiga (1/3) harta peninggalan mayit, maka ukuran wasiat adalah sepertiga.

a. Jika Mushii memiliki ahli waris; jumhur ulama fiqh selain golongan zahiriyyah dan malikiyyah berpendapat; wasiat yang melebihi sepertiga harta peninggalan si mayit tidaklah diluluskan dan tidak dilaksanakan, kecuali adanya izin dari ahli waris.35

35


(37)

Mengenai wasiat yang melebihi sepertiga harta tidak dilaksanakan melainkan setelah adanya izin dari ahli waris. Wahbah Zuhaili menjelaskan : pertama, Imam madzhab empat berpendapat bahwa pemberian izin tidaklah diterima atau diharuskan untuk dilakukan melainkan setelah meninggalnya Mushii. Apabila pemberian izin atau penolakan terjadi semasa hidupMushii hal tersebut tidak dianggap/ tidak sah. Karena, status kepemilikan harta peninggalan hanya akan sah menjadi milik ahli waris ketika Mushii sudah meninggal. Maka, pemberian izin atau penolakan mereka baru menjadi sah setelah status kepemilikan benar-benar ada ditangan mereka.36

Namun, golongan malikiyyah mengatakan ahli waris memberikan izin saat

Mushii sakit yang mengkhawatirkan dan dilakukan dihadapan Mushii,dan setelah itu Mushii tidak lagi sehat, maka pemberian izin itu menjadi wajib dilaksanaka. Kecuali, karena ada udzur yang berupa ketidaktahuan. Artinya, ahli waris tersebut tidak mengetahui akan komitmen pemberian izin saat sakit tersebut.37

Wasiat tidaklah syah pada selebihnya dari 1/3 harta dalam wasiat yang diucapkan pada waktu sakit parah, yaitu yang kebanyakan orang mati dari penyakit sejenis itu, jika ditolak ahli waris khas yang mempunyai hak tasarruf mutlaq, karena harta itu adalah hak ahli waris itu. Apabila ada sebagian ahli waris

36

Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 229

37


(38)

yang menyetujuinya, maka syah untuk jumlah sebesar bagian mereka dalam selebihnya 1/3 harta, dan apabila seluruh ahli waris menyetujuinya.38

Qatada mengatakan Abu Bakar mewasiatkan seperlima, sedang Umar mewasiatkan seperempat. Dan Abu Bakar berkata seperlima itu lebih aku sayangi. Sementara para fuqaha berpendapat bahwa kadar wasiat yang dianjurkan adalah sepertiga.39 Jadi jelas bahwa hadist Nabi SAW dan sahabat serta para fuqaha tidak ada yang berpendapat lebih dari sepertiga berserikat ataupun sendiri.

38

Ali,Fathul Mu’in (Yogyakarta : Menara Kudus, 1979),h. 40 39

Al-faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid, h. 370


(39)

A.Pengertian

Wasiat wajibah menurut Suparman Usman adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.1 Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarakan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.2

Indonesia memang negara yang aneh tetapi nyata. Sebab sering salah kaprah dalam menerapkan istilah , termasuk dalam masalah menyebutkan istilah wasiat wajibah ini. Istilah yang ada dalam UU Hukum Keluarga Mesir, jelas tidak sama dengan istilah yang disebutkan dua kali pada pasal 209 KHI di atas. Pasal itu membahas mengenai jatah waris bagi orang tua angkat dan anak angkat

1

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: gaya Media Pratama, 1997), h. 163.

2

Usman dan Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, 1997, h. 163.


(40)

yang oleh karena tidak bisa mendapatkan warisan maka oleh ulama Indonesia, mereka tetap diberi jatah dengan nama wasiat wajibah

B. Pandangan Ulama

Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf. Menurut Fatchur Rahman dijelaskan : (1) tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat Fuqaha dan Tabi’in besar ahli hukum Islam(fiqih) dan ahli hadis, antara lain, Said Ibnu al Musayyah, Hasan al Basry, Tawus,Ahmad, Ishaq Ibnu Rahawaih dan Ibnu Hazm, (2) pemberian sebagian hartapeninggalan si mati kepada kerabat-kerabatnya yang tidak menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibnu Hazm yang dinukilkan dari Fuqaha Tabi’in dan pendapat Imam Ahmad, (3) pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar sepertiga peninggalan adalah didasarkan pendapat Ibnu Hazm dan kaidah syari’ah yang mengatakan bahwa pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang diperbolehkan karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemashlahatan umum, bila penguasa menetapkan maka wajib mentaati.3

Ketentuan wasiat wajibah di atas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah. Sebagaimana ulama, dalam menafsirkan

3


(41)

ayat tersebut berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu, bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan masih dapat diberlakukan. Sedang sebagian ulama lain berpendapat bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut sudah di nasakh atau dihapus hukumnya baik oleh al-Quran maupun al-Hadis.4

Para ulama berbeda pendapat mengenai wasiat wajibah. Hal ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan pendapat dalam masalah mansukh atau tidaknya ayat Al-Qur’an dalam bidang kewarisan. Akan tetatpi jumhur ulama berpendapat sudah mansukh, baik yang menerima warisan atau tidak.5 Sebagian ulama fiqih seperti Ibnu Hazim azh-Zhahiri, ath-Thabari, dan Abu Bakr bin Abdul Aziz dari golongan Hambali berpendapat, wasiat adalah kewajiban bersifat utang dan pemenuhan untuk kedua orang tua serta kerabat yang tidak bisa mewarisi.6

Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu ketika orang yang meninggal lupa atau teledor dalam memberikan wasiat kepada

4Usman dan Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, h. 164

5

Tengku, Muhammad Hasbih, Ash-shiddieaqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT Pustaka, 2001), h. 274

6


(42)

orang yang seharusnya menerima harta wasiat. 7 Dalam kaitan ini Ibn Hzm berpendapat bahwa apabila diadakan wasiat untuk kerabat dekat yang mendapatkan yang tidak mendapatkan pusaka dari warisnya, maka hakim harus bertindak memberikan sebagian harta peninggalan kepada kerabatnya.8 Karena, sesuatu yang menghalangi mereka seperti perbedaan agama.9 Mesir dan Syiria menggunakan pendapat tersebut dalam Perundang-Undangan negaranya.10

C.Menurut KHI

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 209 ayat (1) dan (2) dijelaskan :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 113 dari harta warisan anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 113 darki harta warisan orang tua angkatnya.

7

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Cet.IV, h. 63

8

Dorry Elvana, sarie, Wasiat Sebagai Bentuk Penerobosan Kewarisan Ahli Waris Non Muslim, 2005, h. 37

9

Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 245

10


(43)

Dalam pasal tersebut di atas wasiat dijelaskan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan baik itu sendiri maupun lebih. Dan yang melewati jalan wasiat wajibah hanya anak angkat dan orang tua angkat, selain dari pada itu tidak ada landasan hukum untuk menerima harta dari jalan wasiat.

D.Di Negara Islam

Hukum keluarga Islam selama berabad-abad diakui sebagai landasan utama bagi pembentukan masyarakat (umat) Islam. Selain itu, kajian terhadap hukum keluarga Islam tetap penting dan terus berkembang juga karena dari persoalan-persoalan inilah selalu muncul perdebatan antara kekuatan konservatif dengan kekuatan-kekuatan progresif di dunia Islam. Oleh karena itu, mengkaji perkembangan hukum Islam di dunia Islam perlu dilaksanakan.11

Kebaradaan wasiat wajibah dalam sistem hukum keluarga Islam terutama bila dihubungkan dengan hukum kewarisan memiliki kedudukan sangat penting terutama dalam menjaga dan menjamin kesejahteraan keluarga bahkan masyarakat. Sehubung dengan arti pentingnya wasiat dalam hukum keluarga islam dan tengah-tengah hukum muslim sehingga mudah dimengerti jika ada beberapa negara Islam yang memasukan dictum wasiat wajibah dalam undang-undang kewarisan.12

11

M. Atho Mudzar dan Khairudin Nasution, Hukum keluarga di Dunia Islam Modern, Cet I, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 164

12

sarie, Wasiat Sebagai Bentuk Penerobosan Kewarisan Ahli Waris Non Muslim, (Semarang: Universitas Diponorogo, 2005), h. 36-37


(44)

1. Kuwait

Perundang-undangan yang sangat penting berhubungan dengan warisan adalah hukum Wasiat Wajibah (Law on Obligatory Bequest/ Qanun Wasiyyah al-Wajibah) tahun 1971, yang diundangkan tanggal 4 April 1971. Perundang-undangan ini dapat membeikan manfaat bagi cucu yang orang tuanya meninggal (descendant of the predeceased children of deceased persons) dimana menurut aturan ini cucu tersebut berhak mendapat bagian.13

Istilah Wasiat Wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui Hukum Waris 1946 guna menegakan keadilan dan membantu cucu yatim. Hukum Wasiat Wajibah Kuwait 1971 dibuat secara sederhana yang hanya memuat empat pasal. Ketentuan ini meskipun menderivasi dari UU Mesir, tentang “wasiat”, yaitu menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 180 menururt mufassir dan fruqaha tradisional terhadap ayat ini wasiat hanya diberikan kepada orang tua dan kerabat dekat.14

Sebagaimana disebutkan sebelumnya penduduk kuwait memeluk tiga mazhab fiqh, yaitu Maliki, Hambali, dan minoritas Syi’ah.15 Pemedapat mereka semua beragam, akan tetapi pendapat yang lebih tegas berasal dari kalangan

13

Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 165-166

14

Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 168-169

15


(45)

mazhab Zahiri “Wajib bagi setiap Muslim berwasiat kepada keluarga dekat yang tidak mendapatkan warisan.16

a. Butir Undang-Undang Wasiat Wajibah Tahun 1977

1) Bila seorang meninggal dunia (kakek/nenek) tidak berwasiat kepada cucunya dari anak-anaknya yang meninggal sebelumnya atau anak yang meninggal bersama dengan kakek, bagian (warisan) ayah dari harta yang ditinggalkan kakek saat meninggal akan berpindah kepada anaknya (cucu) sebagai harta wasiat yang harus diberikan kepadanya tapi tidak boleh melebihi sepertiga jumlah harta yang boleh diwasiatkan. Cucu tersebut tersebut tidak termasuk ahli waris kakek yang meninggal yang tidak memberinya dengan cara lain. Tanpa pertimbangan lain, itulah hak yang harus diberikan kepadanya. Wasiat itu menjadi hak keturunan generasi pertama dari anak anak perempuan orang yang meninggal. Akan tetapi wasiat itu menjadi hak garis keturunan laki-laki kebawah yang akan menghalangi keturunannya sendiri, tapi bukan keturunan garis lain (garis perempuan). Bagian anak laki-laki dari orang yang meninggalkan dibagi diantara anak-anak (cucu)-nya kebawah sesuai prinsip kewarisan yang seakan-akan hubungan itu melalui orang yang dihubungkan kepada orang

16


(46)

yang meninggal setelah dia dan kematiannya terjadi pada saat generasi itu masih memiliki hubungan dengannya.17

2) Jika orang yang meninggal berwasiat kepada cucu yangb melebihi harta yang harus diwasiatkan, pengaruhnya dianggap sebagai wasiat biasa dan jika dia berwasiat kurang dari batas itu, kewajiban memenuhi wasiat itu sebatas memenuhi haknya. Jika wasiat itu (mesti) diberikan kepada beberapa orang akan tetapi si mati hanya berwasiat untuk beberapa orang diantaranya, tidak kepada yang lainnya, maka wasiat itu harus juga diberikan kepada mereka (yang tidak diberi wasiat) sesuai haknya. Orang-orang yang tidak diberi wasiat wajibah dan juga orang-orang yang diberi wasiat wajibah kurang dari jumlah itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang boleh diwasiatkan. Jika sisa harta itu tidak c ukup, maka wasiat yang diberikan itu menjadi optimal.18

3) Wasiat wajibah lebih diutamakan dari pada wasiat biasa (optimal). Jika si mati tidak brwasiat kepada cucu yang seharusnya mendapatkan wasiat wajibah, tapi justru berwasiat kepada yang lain, maka cucu-cucu itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang diwasiatkan (jika masih ada sisa) atau mengambil harta yang diwasiatkan kepada orang lain itu. 19

17

Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 172

18

Mudzhar dan Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 172-173

19


(47)

2. Maroko

Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat atau terakhir setelah Mesir, Syiria, dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini demi menjamin cucu yatim. Menurut Undang-undang Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak (dan seterusnya kebawah) dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam mazhab manapun dalam fiqh tradisional, sebab warisan hanya diperuntukan bagi ahli waris yang masih hidup.20

3. Mesir

Dalam kitab Undang-undang Mesir Tahub 1946 Nomor 71 dalam pasal 76, 77 dan 78 menetapkan bahwa :

a. Pewaris boleh berwasiat kepada orang yang menerima pusaka tanpa bergantung izin dari ahli waris atau tidak, sebagaimana halnya membolehkan wasiat kepada orang yang tidak menerima harta peninggalan atau dzawil arham.21

b. Menetapkan wasiat wajibah berdasarkan hasil kompromi dari beberapa pendapat ulama Mesir, dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadits, antara lain Said Ibnu Musyaiyah, Hasanul Bisrhry, Thawus

20

Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, h. 115

21

M. Idris, Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cet IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 103


(48)

Imam Ahmad dan Ishaq bin Rawaih, serta Ibnu Hazm. Bahwa besarnya wasiat wajib kepada keluarga yang tidak memperoleh harta peninggalan sebesar apa yang diperoleh ayah atau ibunya dengan batas maksimal sepertiga dari harta peninggalan. 22

Undang-undang Mesir pasal 9 dan Undang-undang Syria pasal 215 menetapkan:

1. Wasiat sah meskipun diberikan kepada orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan dengan pihak mushii

2. Jika mushaa lah adalah orang asing maka disyaratkan ada sistem pertukaran satu sama lain.

Artinya, perbedaan agama tidaklah mencegah sahnya wasiat, demikian juga perbedaan Negara. Jika negara mushaa lah tidak menghalangi wasiat kepada orang seperti mushii, sebagai aplikasi atas persamaan dan sistem pertukaran satu sama lain, maka wasiat diperbolehkan apabila Negara mushi memperbolehkan akad semacam wasiat. Wasiat dicegah apabila Negara tersebut tidak memperbolehkannya.23

22

Ramulyo, Hukum Perkawinan, h. 103

23

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 181-182


(49)

E. Contoh Penghitungan 1. Kasus I :

Dibawah ini adalah gambar pembagian wasiat wajibah dan keterangannya serta perhitunganya:

Keterangan: P: pewaris

C: anak laki-laki pewaris yang sudah meninggal dunia D: anak laki-laki pewaris yang masih hidup

F: cucu laki-laki pewaris (anak dari C) G: cucu perempuan pewaris (anak dari C)

Untuk F dan G yang tidak berhak mewarisi menurut ahli sunnah (syafi’i) karena terhijab oleh D anak laki-laki pewaris yang masih hidup,

P

C

D

F


(50)

memperoleh wasiat dari pewaris sebesar apa yang harus diterima ayahnya yang meninggal lebih dahulu yaitu setengah dari harta peninggalan. Bilamana pewaris tidak berwasiat maka Undang-undang wasiat menganggap ada wasiat sebesar apa yang harus diterima ayah F dan G yakni maksimal sepertiga diberikan ke F dan G berbanding 2:1. Hasilnya F cucu laki-laki memperoleh bagian 2/3 X 1/3 = 2/9, G cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris yang sudah meninggal dunia memperoleh 1/3 X 1/3 = 1/9. Sedangkan D anak laki-laki pewaris yang masih hidup memperoleh sisanya 1- 2/9 + 1/9 = 1- 3/9 = 6/9. Bagian keseluruhannya adalah F+G+D= 2/9+1/9+6/9 = 9/9 = 1.24

2. Kasus II :

Keterangan: P: pewaris

E: anak perempuan pewaris yang sudah meninggal

24

Ramulyo, Hukum Perkawinan, h. 104

P

E

H


(51)

H: cucu laki-laki pewaris (anak dari E) I: cucu perempuan pewaris (anak dari E)

H dan I cucu pewaris (anak dari E, yaitu anak perempuan pewaris yang sudah meninggal), menurut sistem kewarisan ahlu sunnah (Syafi’i), tidak mendapat peninggalan, maka pewasiat harus berwasiat sebesar apa yang harus diterima ibunya H dan I yaitu setengah. maksimal sepertiga. Bila mana tidak sempat atau tidak ada wasiat, maka Undang-undang Mesir secara hukum menanggapi ada wasiat sebesar apa yang diterima ibunya H dan I maksimal sepertiga.

H memperoleh 2/3 X 1/3 = 2/9 I memperoleh 1/3 X 1/3 = 1/9

Sedangakan sisanya mereka tidak berhak menerimanya, maka akan diserahkan kepada Baitul Maal atau kas negara.25

3. Kasus III:

Seseorang (M) meninggal dunia dengan meninggalkan bapak (B), ibu (I), 2 orang anak laki-laki (L dan K), dan seorang cucu perempuan daria anak

perempuan (P).26 Penyelesaian kasus sebagai berikut:

Pertama: menentukan bagian masing-masing ahli waris M, sesuai kadar penerimannya.

25

Ramulyo, Hukum Perkawinan, h. 104

26

Usman dan Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: gaya Media Pratama, 1997), h. 181-182


(52)

Bapak (B) = 1/6 :1 =====> 1/6

Ibu (I) = 1/6 a.m. 6 :1 =====> 1/6

L dan K (anak laki-laki) = ‘a : 4=====> 4/6

Kedua: memberikan bagian penerima wasiat wajibah (P), karena orang tuanya perempuan, detengah bagian penerimaan L dan K, dan memasukannya kedalam perhitungan.

B = 1/6 --- 1/7 I = 1/6 --- 1/7

L dan K = 4/6 (masing-masing 2/6) --- 4/7 (masing-masing 2/7) P = 1/6 (setengah bagian L dan K) 1/7

7/6 7/7 (dalam perhitungan di atas seakan terjadi ‘aul)

Ketiga: karena bagian penerima P = 1/7 ( lebih kecil dari sepertiga 1/3), maka ketentuan pada poin kedua di atas diberlakukan.

- Bagian B = 1/7 tirkah - Bagian I = 1/7 tirkah - Bagian L = 2/7 tirkah - Bagian K = 2/7 tirkah - Bagian P = 1/7 tirkah


(53)

BAB IV

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA No. 339/Pdt. G/2000/PA. JB DAN ANALISA HUKUM

A. Kronologi Kasus 1. Para Pihak

a. Penggugat, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta, alamat Jakarta Barat. Anak almarhumah. Dalam hal ini telah memberikan kuasa khusus kepada yang berinisia ERY, SH, pada surat kuasa khusus tanggal 20 juni 2000.

b. Tergugat I, umur 56 tahun, agam Kristen, pekerjaan pensiunan karyawan PT PLN, alamat Tangerang. Suami almarhumah.

c. Tergugat II, umur 29 tahun, agama Kristen, pekerjaan karyawati swasta, alamat Tangerang. Anak almarhumah. Dalam hal ini Tergugat I dan II sudah memberi kuasa khusus kepada yang berinisial LL, SH, LLM. Sebagaimana surat kuasa khusus tanggal 30 juli 2000.

1. Tentang Duduk Perkara

Menimbang bahawa gugatan pengugat sebagaimana diuraikan dalam surat gugatannya tertanggal 10 juli 2000 terdaftar kepada Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.


(54)

339/Pdt.G/2000/PA.JB, tanggal 10 juli 2000, yang berbunyi sebagai berikut :

a. Bahwa penggugat dan tergugat II adalah seorang anak kandung dari almarhumah, lahir di Bogor tanggal 20 september 1945, agama islam, pekerjaan eks Karyawati Bank Indonesia, terakhir beralamat di Taman Meruya Ilir Blok G. 7 No. 8 Meruya Utara Jakarta Barat.

b. Bahwa almarhumah telah meninggal dunia pada tanggal 3 maret 1999 dikediamannya karena sakit dalam usia 54 tahun.

c. Bahwa kedua orang tua almarhumah telah meninggal dunia lebih dahulu.

d. Bahwa semasa hidupnya, almarhumah tersebut menikah satu kali dengan Tergugat I pada tanggal 29 maret 1968 sebagaimana ternyata dalam buku nikah No. 275/1968 yang dikeluarkan oleh KAU kec. Kebayoran baru Jakarta Selatan.

1. Bahwa hasil dari pernikahan tersebut di atas dikaruniai dua orang anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

e. Bahwa sejak tahun 1981 sampai akhir hayatnya (3 maret 1999). Almarhumah tidak lagi tinggal serumah dengan Tergugat I, namun juga tidak pernah mengajukan cerai secara formal di hadapan Pengadilan Agama.


(55)

f. Bahwa sebab almarhumah tidak lagi tinggal dengan tergugat I, adalah karena terjadi perselisihan terus-menerus dalam rumah tangga. Pangkal masalahnya adalah perbedaan keyakinan (agama).

g. Bahwa sebelum menikah dengan almarhumah. Tergugat I beragama Kristen Protestan. Ketika menikah Tergugat I memeluk agama Islam. Kemudian sekian lama menikah, Tergugat I kembali lagi pada agamanya semula.

h. Bahwa adalah diantara anak-anak almarhumah, yaitu Tergugat II telah keluar dari agama Islam (murtad) dan memeluk agama katolik.

i. Bahwa tergugat I dan tergugat II telah keluar dari agama Islam (murtad), maka menurut hukum Islam tergugat I dan II tidak berhak mewarisi dari almarhumah, sesuai dengan hadits yang berbunyi ; ― Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi seorang kafir‖ (H.R. Bukhari dan Muslim).

j. Bahwa semasa hidupnya sejak almarhumah tidak tinggal lagi bersama Tergugat I, almarhumah membeli/ memiliki harta benda berupa ; 1. Sebidang tanah darat sertifikat HGB No. 2142 selua 120 M2

(seratus dua puluh meter persegi), serta bangunan rumah di atas tanah tersebut, yang terletak di Taman Meruya Ilir Blok G. 7 No. 8 Meruya Jakarta barat.

2. Sebuah mobil merek Suzuki ―Forza‖ tahun 1987 dengan No. Pol. B 2941 HS (telah dijual oleh penggugat


(56)

B. Tuntutan Penggugat

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.

2. Menyatakan harta benda tanah beserta bangunan rumah yang berada di atasnya yang terletak di Taman Meruya Ilir Blok G. 7 No. 8 Meruya Utara Jakarta Barat, adalah harta benda almarhumah.

3. Menyatakan penggugat sebagai ahli waris yang sah dari almarhumah.

4. Menolak kedudukan Tergugat I dan II sebagai ahli waris karena keluar dari agama Islam.

5. Menetapkan pembagian waris sesuai hukum Islam, yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam.

C. Putusan

Dalam Konvensi ;

1. Mengabulkan gugatan penggugat Rekonvensi (anak laki-laki almarhumah) sebagian dan menolak selebihnya.

2. Menyatakan harta warisan berupa tanah beserta bangunan rumah di atasnya yang terletak di Taman Meruya Utara, Jakarta Barat, adalah harta warisan yang harus dibagi kepada yang berhak menerimanya.

3. Menetapkan penggugat (anak laki-laki) sebagai ahli waris yang sah dari Almarhumah(ibu kandungnya).


(57)

4. Menetapkan bagian ahli waris penggugat (anak laki-laki almarhumah) dari yang separo bagian mendapat bagian 6/12 bagian dan Tergugat I ( suami ) mendapat 3/12 bagian dan Tergugat II (anak perempuan almarhumah) anak perempuan mendapat 3/12 bagian melalui wasiat wajibah karena tergugat I dan tergugat II bukan ahli waris.

Dalam Rekonvensi :

1. Mengabulkan gugatan penggugat Rekonvensi (suami almarhumah) / tergugat konvensi sebagian dan menolak selebihnya.

2. Menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan berupa tanah dan bangunan rumah yang terletak di Taman Mruya Ilir Blok G. 7 No. 8 Meruya Utara Jakarta Barat dan mobil Suzuki Forza 1987 No.Pol B 2941 HS adalah harta bersama anatara pewaris almarhumah dengan suami almarhumah ( Tergugat I ).

3. Menolak Petitum Penggugat Rekonvensi (suami dan anak perempuan almarhumah) / Tergugat Konvensi No. 4 (empat).

4. Menetapkan bagian harta bersama ½ (separo) bagian menjadi milik pewaris ( almarhumah ) dan ½ (separo) menjadi milik Tergugat I (suami almarhumah). 5. Menetapkan ahli waris Penggugat ( anak laki-laki almarhumah ) dan yang ½

(separo) bagian (milik pewaris) mendapat bagian 6/12 bagian, dan Tergugat I ( suami almarhumah ) mendapat bagian 3/12 serta Tergugat II (anak perempuan almarhumah) mendapat`3/12 bagian melalui wasiat wajibah.


(58)

6. Menghukum kepada Penggugat Rekonvensi ( suami dan anak perempuan almarhumah ) / Tergugat Konvensi dan Tergugat Konvensi / penggugat Rekonvensi untuk melaksanakan pembagian harta warisan tersebut, apabila tidak dapat dibagi dalam bentuk barang maka harta warisan terebut dilelang melalui kantor lelang. Hasil penjualan lelang tersebut dibagi sesuai bagian masing-masing.

Dalam Konvensi dan Rekonvensi :

1. Menghukum Tergugat Rekonvensi / Pengguat Konvensi untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 145.500,- ( seratus empat puluh lima ribu rupiah ). D.Alasan Majlis Hakim

1. Majlis hakim beralasan bahwa Tergugat I masih dalam ikatan perkawinan (belum pernah bercerai) oleh karena itu harta waris pewaris menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 35 merupakan harta bersama antara pewaris almarhumah (istri) dan Tergugat I (suami), masing-masing mendapat separo bagian. Dan tidak ada larangan dalam Kompilasi Hukum Islam walaupun beragama Kristen.

2. Adapun ½ (separo) bagian dibagi kepada ahli waris yang ada yaitu, Penggugat (Islam) mendapatkan 6/12 sedangkan Tergugat I dan II yang beragama Kristen masing-masing mendapatkan 3/12 bagian melalui jalan wasiat wajibah. Hal ini berdasarkan surat An-Nisa ayat 8 yang artinya berbunyi :


(59)

س ل ىم يل ىب ل ل س ل ضح

ل ق ه م مه ق ف ي

ف عم ا ق م ل

Artinya:“Apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (yang tidak mempunyai warisan atau pusaka), anak yatim dan orang-orang miskin, maka

berilah mereka perkataan yang baik” (QS. An-Nisa: 8)

3. Petitum No. 2 majlis hakim berpendapat dapat mengabulkan karena harta warisan pada saat pewaris /almarhumah meninggal dunia masih terikat perkawinan.

E.Analisa Penulis 1. Perkawinan

Petitum No. 5 (lima) penulis menggaris bawahi terhadap pendapat Majlis Hakim yang berbunyi ―pada saat pewaris / almarhumah meninggal dunia, Tergugat I dengan pewaris masih dalam ikatan perkawinan yang sah ( belum pernah bercerai) oleh karena itu harta pewaris menurut UU perkawinan No 1 tahun 1974 pada pasal 35 merupakan harta bersama antara pewaris dengan Tergugat I, masing-masing mendapat separo bagian. Penerimaan dalam ½ bagian tidak ada larangan dalam Kompilasi Hukum Islam, walaupun Tergugat I beragama Kristen. Harta yang diperoleh pasca perkawinan itu adalah harta bersama atau harta suami dan istri, dan memang tidak ada larangan dalam Kompilasi Hukum Islam, sesuai dalam pasal 96 ayat (1) yang berbunyi ―apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama‖. Akan tetapi dalam UUP tahun 1974 pasal 36 ayat (1) ―1. Mengenai harta bersama suami atau istri


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)