Pemberian nafkah IDDAH dalam cerai gugat (analisis putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)

(1)

i

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

M. ULIL AZMI

NIM.1110044100026

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

v

1445/Pdt.G/2010/PA.JS)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang hak nafkah iddah bagi istri dalam cerai gugat dan analisis pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkann putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam, pemberian nafkah iddah dan mut’ah pada talak ba’in ini didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita tersebut berhak nafkah dan tempat tinggal secara bersama, kecuali jika wanita tersebut ber-iddah karena perpisahan disebabkan pelanggaran istri. Pendapat ini dikuatkan oleh Umar bin Khattab ra, Umar bin Abdul Aziz dan Sufyan Ats Tsauri.

Sedangkan menurut Hukum Positif, pemberian nafkah iddah dan mut’ah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri”.

Dalam putusan PA Jakarta Selatan Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September 2007. Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 pemberian nafkah iddah didasarkan pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI.

Kata kunci: Nafkah Iddah, Cerai Gugat, Penetapan Pengadilan Agama.

Pembimbing : Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d. 2014


(6)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat, pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Pemberian Nafkah Iddah Dalam Cerai Gugat (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS).”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon M.A., Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

M.Ag., selaku Penguji II yang telah memberikan saran dan masukannya kepada penulis dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini.

5. Dr. Mohammad Ali Wafa, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan.

8. Segenap Hakim dan Staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan.

Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.

Ciputat, 12 Oktober 2015 M. 28 Dzulhijjah 1436 H.

Penulis


(8)

viii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN A. Pengertian Gender ... 16

B. Gender Menurut Hukum Islam ... 19

C. Nafkah Iddah Dalam Undang-undang. ... 28

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT DAN

NAFKAH IDDAH


(9)

ix

BAB IV ANALISIS HUKUM PENETAPAN PEMBERIAN

NAFKAH IDDAH

A. Duduk Perkara Kasus Penetapan Masa Iddah ... 55

B. Pertimbangan Putusan ... 57

C. Analisis Putusan ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah swt sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang baik, dan melestarikan hidupnya.1 Dan juga merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang berkeinginan melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berpuasa. Orang berpuasa dapat memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.2

Perkawinan merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur dan melindungi hak-hak pribadi. Hal tersebut bertitik tolak dari prinsip bahwa kedudukan manusia dilindungi oleh hukum, yang secara keperdataan artinya dilindungi hak-hak pribadinya, sehingga kebebasan hidup manusia untuk memiliki dan menggantikan kepemilikannya tidak merugikan orang lain atau secara pribadi dirinya tidak mengalami kerugian. Sebagaimana dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan yang berakibat adanya hak-hak dan kewajiban

1

Slamet Abidin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.9. 2

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.7.


(11)

suami istri, harta, perwalian, hubungan anak, harta bersama, hak asuh anak, kewarisan, dan sebagainya.3

Karena manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi kelangsungan hidupnya, timbul satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur kehidupan itu yang dinamakan dengan “Hukum Perdata”. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhannya, terutama berkaitan dengan kepentingan perseorangan.4

Hukum Perdata materiil yang ketentuan-ketentuannya mengatur kepentingan perseorangan terdiri atas: Hukum Pribadi, yaitu ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum; Hukum Keluarga, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hubungan lahir batin antara dua orang yang berlainan kelamin dan akibat hukumnya; Hukum Kekayaan, yaitu ketentuan hukum yang mengatur hak-hak perolehan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain yang mempunyai nilai uang; Hukum Waris, yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara pemindahan hak milik seseorang yang meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya.5

Kaitannya dengan hukum keluarga ialah bahwa ketentuan dalam hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Salah satu bagian yang amat penting dalam hukum kekeluargaan

3

Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), h.88.

4

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.1. 5


(12)

adalah hukum perkawinan, yang kemudian dibagi dua yaitu hukum perkawinan dan hukum kekayaan perkawinan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan, sedangkan hukum kekayaan perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.6

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.7 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah

“Akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan

melaksanakannya merupakan ibadah.”

Akad nikah yang diucapkan oleh pasangan laki-laki dan perempuan diharapkan akan bertahan selama-lamanya hingga ajal menjemput keduanya, sehingga suami dan istri dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Karenanya ikatan perkawinan antara suami dan istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh.8 Akan tetapi dalam menjalankan bahtera rumah tangga tentu saja jalannya tidak semulus yang diharapkan dari awal pernikahan, akan ada cobaan dan ujian yang melanda kedua pasangan. Dalam

6

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 2. 7

Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

8


(13)

Islam, hal yang paling dicintai Allah tentu saja kedamaian antara pasangan suami dan istri.9

Namun, jika masalah tersebut menjadi sebuah perselisihan yang tidak dapat lagi dipersatukan, maka Islam juga tidak menutup rapat-rapat pintu perpisahan bagi kedua pasangan sebagaimana agama Nasrani menutup pintu perceraian bagi pemeluknya. Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, antara lain karena terjadinya talaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi diantara keduanya, atau karena sebab-sebab yang lainnya.

Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan jalan damai yakni dengan jalan musyawarah, jika masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik. Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan isteri yang berniat bercerai tadi dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada Pengadilan Agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri.10

Secara umum alasan perceraian dalam masyarakat adalah sudah tidak ada lagi kecocokan di antara suami dan isteri yang disebabkan oleh berbagai hal.

9

Amiur Nuruddin dan Azhari A.T, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2006). h. 207-208.

10

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008). h. 8-9.


(14)

Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan membawa pula akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri, perceraian tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim di depan sidang Pengadilan Agama (Pasal 115 KHI).

Dilihat dari cara mengajukannya, perceraian di pengadilan agama terbagi menjadi dua bentuk yakni cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah talak yang diajukan oleh suami ke pengadilan. Dalam prosedur dan prinsip pengajuan cerai talak, masih kental sekali doktrin fiqh yaitu cerai itu merupakan hak mutlak suami. Cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan di ajukan oleh pihak suami. Cerai talak adalah istilah yang khusus digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan cerai. Dalam perkara talak pihak yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.” Tidak seperti dalam doktrin fiqh setiap permohonan cerai yang diajukan oleh istri itu tidak harus dalam bentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran iwadh. Cerai gugat diajukan dengan alasan-alasan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama mewajibkan seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya. Sedangkan untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah


(15)

iddah bagi mantan istri karena istri dianggap nuzyuz. Namun dalam putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai kasus cerai gugat hakim memberikan putusan menjatuhkan talak ba’in kepada suami dan mengabulkan gugatan cerai gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada suami.

Ada sisi menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang nafkah iddah dalam perkara gugat cerai, khususnya dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Istri yang menuntut cerai dari suaminya seharusnya dapat menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti hak nafkah selama iddah, mut’ah (pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya) dan mahar yang belum sempat terbayar. Namun dalam prakteknya terdapat kasus bahwa istri yang mengajukan cerai gugat kepada suaminya mendapatkan hak nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suaminya. Dari latar belakang tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul, “PEMBERIAN

NAFKAH IDDAH DALAM CERAI GUGAT (Analisis Putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS).

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, tergambar banyak masalah yang dapat dikaji dan diteliti terkait dengan pemberian nafkah iddah. Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ?


(16)

2. Bagaimana ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ? 3. Apakah terdapat kontradiktif antara ketentuan Hukum Islam dan ketentuan UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat ?

4. Bagaimana isi putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ?

5. Apakah pertimbangan hakim yang memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat pada putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS) ?

6. Bagaimana analisis pertimbangan dan putusan hakim yang memerintahkan tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada penggugat berdasarkan putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ?

C.Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang akan dikaji sebagai berikut:

a. Putusan tentang cerai gugat. b. Pemberian nafkah iddah

c. Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. dalam pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat.


(17)

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Nafkah iddah identik dengan cerai thalak. Tetapi mengapa dalam putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. nafkah iddah dibebankan pada cerai gugat ?

b. Apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. ?

c. Atas dasar teori apa hakim memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat ?

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahaui dasar putusan Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS. yang membebankan nafkah iddah pada cerai gugat.

d. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus Perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS.

e. Untuk mengatahui dasar teori yang digunakan oleh hakim yang memerintahkan kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat.


(18)

b. Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, hasil studi ini diharapkan bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya, yaitu:

a. Secara Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi acuan mengenai pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat dalam putusan pengadilan, sekaligus diharapkan dapat memberikan implikasi kepada masyarakat luas yang bermaksud mengetahui seluk beluk pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat.

b. Secara Lembaga Pustaka

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisis yurisprudensi khususnya terkait dengan nafkah iddah.

E.Metode Penelitian

Metode penelitian yang ditempuh oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penulisan, sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dan analisis yurisprudensi. Dalam skripsi ini secara khusus penulis menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai


(19)

gugat, sekaligus pengkajian dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini yang dianalisis data-datanya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 2. Jenis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. diperoleh melalui wawancara yang dilakukan dengan Bapak Drs. Muh. Rusydi Thahir, S.H., M.H., hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan, buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, dan nafkah iddah. Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah:

1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 2) Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

3) Kompilasi Hukum Islam 3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(20)

a. Studi dokumentasi untuk memperoleh putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS terkait tentang pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat.

b. Studi kepustakaan (library reseach), yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya dengan judul penulis bahas, di mana penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, makalah, artikel maupun website.

c. Wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan penulis dengan jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yang telah dipilih sebelumnya yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Data hasil wawancara tersebut selanjutnya ditranskrip untuk dinarasikan dalam bentuk tulisan.

4. Teknik Pengolahan Data

Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan disusun berdasarkan kategorisasi serta diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara deduktif. Dari data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif. a. Teknik Analisis Data

Bahan yang telah diperoleh, lalu diuraikan dan dihubungkan dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data-data tersebut lalu dianalisis, sehingga membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna.


(21)

b. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu dengan cara menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2012.

Penulisan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits ditulis satu spasi, termasuk terjemahan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis diawal

F. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain:

1. Penulis yang bernama Hani Nurhanipah tahun 2013, dengan judul skripsi, “Hak Nafkah Iddah Istri Dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz.” Tujuan skripsi ini menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana pertimbangan majelis hakim yang telah memberikan hak nafkah iddah kepada istri dalam cerai talak akibat istri nusyuz.

2. Penulis yang bernama Rohmad Heri Tri Cahyo tahun 2013, dengan judul skripsi, “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah Yang Diakibatkan


(22)

Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013).” Tujuan skripsi ini menguraikan tentang pelaksanaan nafkah masa iddah di Pengadilan Agama Cikarang berdasarkan putusan tahun 2013.

3. Penulis yang bernama Edi Sutra Ritonga tahun 2013, dengan judul skripsi, “Efektivitas Pasal 149 Ayat B Kompilasi Hukum Islam Tentang Ketentuan Nafkah Iddah Talak Bain atau Nusyuz (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1228/Pdt.G/2010/PA.JB).” Tujuan skripsi ini menguraikan tentang nafkah masa iddah menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat. 4. Penulis yang bernama Muhammad Fazrul Lizan tahun 2008, dengan judul

skripsi, “Nafkah Iddah Bagi Mantan Istri Korban Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (Analisis Putusan Perkara Nomor:

1038/Pdt.G/2008/PA.JT).” Tujuan skripsi ini menerangkan tentang nafkah iddah menurut KHI, syariat dan juga pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan hak nafkah iddah istri dikarenakan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga.

Dari review yang saya lakukan, terlihat bahwa para peneliti memang sudah banyak yang membahas mengenai masalah pembagian nafkah iddah baik itu dalam perkara cerai talak ataupun cerai gugat. Perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah bahwa dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada putusan hakim yang kontradiktif dengan ketentuan Hukum Islam, dimana dalam ketentuan Hukum Islam, seorang istri yang melakukan cerai gugat tidak ada hak baginya untuk mendapatkan nafkah ‘iddah, sedangkan putusan hakim


(23)

pada perkara Nomor : 1445/Pdt.G/2010/PA.JS membebankan kepada pihak Tergugat untuk memberikan nafkah iddah kepada Penggugat.

Ketentuan yang mengatur hak-hak istri dalam masa iddah hanya bisa diperoleh ketika suami yang mengajukan cerai, namun dalam kasus ini majelis hakim rupanya mempunyai pertimbangan lain dikarenakan istri yang mengajukan cerai terhadap suaminya masih berhak mendapatkan hak-haknya dalam masa iddah, ini menarik sekali bagi penulis untuk membahasnya, dikarenakan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum pembahasan skripsi ini memberikan inspirasi pada penulis untuk mengkaji lebih lanjut ditinjau dari segi mana dan apa yang menjadi dasar seorang majelis hakim memutuskan hak-hak istri dalam masa iddah di perkara cerai gugat.

Penulis juga fokus dengan analisis putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar pembahasan skripsi ini tidak melebar. Dengan demikian penulis menggarisbawahi bahwasannya bahasan ini tidak ada kesamaan isi dan pertimbangan majelis hakim karena berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu sabagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian tinjauan terdahulu, dan sistematika penulisan.


(24)

Bab kedua mengenai kajian tentang tinjauan umum tentang gender, memuat pembahasan tentang: pengertian gender, dan gender menurut Hukum Islam.

Bab ketiga mengenai tinjauan umum tentang cerai gugat dan nafkah iddah, yang memuat pembahasan tentang: pengertian cerai gugat, nafkah iddah dalam fiqh, dan nafkah iddah dalam undang-undang.

Bab ketiga mengenai kajian tentang teori kepastian hukum dan teori keadilan dalam cerai gugat, memuat pembahasan tentang: teori kepastian hukum, teori keadilan hukum dan teori penegakan hukum.

Bab keempat mengenai analisis hukum penetapan pemberian nafkah iddah yang memuat pembahasan tentang: duduk perkara kasus penetapan masa iddah, pertimbangan putusan dan analisis putusan.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.


(25)

BAB II

HUKUM DAN PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN

A.Pengertian Gender

Kata “gender” telah digunakan di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Hal ini sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama untuk menyuarakan eksistensi perempuan dimana hal tersebut melahirkan kesetaraan gender.1 Namun pada mulanya gender adalah suatu klasifikasi gramatikal untuk benda-benda menurut jenis kelaminya terutama dalam bahasa-bahasa Eropa, kemudian Ivan Illich sebagimana dikutip oleh Ruhainah menggunakanya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat vernacular seperti bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang dan waktu, harta milik, tahu, alat-alat produksi, dan lain-lainya.2

Istilah gender di Indonesia lazim digunakan dengan memakai ejaan “jender”, diartikan dengan interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan.3 Walaupun kata “gender” telah digunakan sejak tahun 1960, namun pengertian yang tepat mengenai kata “gender” tidak ada dalam bahasa Indonesia. Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris gender yang diberi arti “jenis kelamin”.4

1

Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h. 11.

2

Siti Ruhainah Dzuhayatin “Gender dalam Perspektif Islam” dalam Mansour Fakih (ed),

Membincang Feminisme Diskursus Gender perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 231.

3

Tim Penyusun, Buku III: Pengantar Tehnik Analisa Gender, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Perempuan, 2002), h. 2.

4

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003,), h. 265.


(26)

Senada dengan definisi di atas adalah definisi yang mengatakan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan didasari pada faktor biologis dan jenis kelamin sebagai kodrat tuhan yang secara permanen memang berbeda. Gender adalah behavorial differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.5

Istilah gender juga sering diartikan dengan seks, yang secara biologis didefinisikan dalam kategori pria dan perempuan. Gender secara harfiah bisa juga berarti perbedaan antara maskulin dan feminine. Secara umum keduanya dapat dietrjemahkan sebagai “jenis kelamin”. Namun konotasi keduanya berbeda. Seks lebih merujuk pada pengertian biologis. Sedangkan gender pada makna sosial.6

Menurut Nasaruddin Umar mengutip dari Webster’s New Word Dictionary, Gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai tingkah laku”.7 Wome’s Studies Encyclopedia, memberikan penjelasan tentang pengertian gender yang dikutip oleh Umar yaitu “suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.8

Tidak jauh dengan apa yang dikemukakan Umar, istilah gender yang dipakai dalam buku Tafsir, sang penulis mengatakan bahwa gender adalah sebuah

5

Rasyidah Dkk, Potret kesetaraan Gender di Kampus, (Aceh: PSW Ar-Raniry, 2008), h. 9 .

6

Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 391.

7

Nasaruddin Umar, Op Cit,. 33. 8

Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1,(New York: Green Wood Press), h. 153.


(27)

konsep yang mengacu pada sistem peran dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan kepada sosial budaya, lingkungan, agama dan sebagainya, bukan pada perbedaan biologis mereka.9

Sedangkan Lips sebagaimana yang dikutip Mufidah Ch, mengartikan gender dengan cultural expectation for women and man atau harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.10 Dari paparan pengertian gender di atas terdapat benang merah bahwa gender adalah perbedaan peran yang terjadi dalam masyarakat akibat disosialisasikan, diperkuat, dibentuk, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran agama maupun negara. Semisal, penyebutan bahwa perempuan itu lemah lembut, laki-laki kuat perkasa, ini merupakan nilai yang dibangun di masyarakat yang dapat dipertukarkan.

Makna gender lebih diperluas lagi dengan meninjau beberapa aspek seperti: gender sebagai istilah asing, gender sebagai fenomena sosial budaya, gender sebagi sebuah kesadaran sosial, gender sebagai persoalan sosial, gender sebagai prespektif.11

Eline Sholwater (1989) berpendapat bahwa wacana gender mulai berkembang pada tahun 1977, ketika kelompok feminis London meninggalkan isu-isu lama yang disebut dengan patriarchal kemudian menggantikanya dengan isu gender. Sejak saat itu konsep gender memasuki bahasan dalam berbagai

9

Mustabsyirah Dkk. Tafsir, (Aceh: Bandar Publishing, 2009), h. 259-260. 10

Mufidah CH,. Psikologi Keluarga Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h. 2.

11


(28)

seminar, diskusi maupun tulisan di seputar perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga.12

B.Gender Menurut Hukum Islam

Segala tindak tanduk seorang dalam suatu komunitas banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Baik nilai-nilai tersebut berupa kearifan local, atau budaya yang sudah lahir, maupun nilai itu lahir dari keyakinan yang mereka anut (agama), pada realitanya agama menempati urutan lebih tinggi dari pada nilai-nilai local yang mereka lestarikan.13

Indonesia sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam menempati urutan pertama negara yang pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Islam sebagai agama mayoritas di bumi pertiwi ini, telah menawarkan konsep gender dengan meletakan perempuan dan laki-laki dalam partnership da keberadaanya diakui sederajat dengan hak dan kewajibanya masing-masing. Hal ini terlihat jelas dalam ungkapan Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 35 sebagai berikut:

إ

ي س ا

ا س ا و

م ا و

ي

ا م ا و

ي ا ق ا و

ا ا ق ا و

يق ا ا و

ص ا و

ا ق ا

يربا ا و

ا ربا ا و

يعشا ا و

ا عشا ا و

يقد ا و

ا قد ا و

ي ئا ا و

ا ئا ا و

يظفا ح ا و

مھ جورف

ا و

ا ظفا ح

يركا ا و

َ ه

ا ًريث ك

ا ركا ا و

د ع أ

َّه

مھ

رفغ م

ا ًرج أ و

اً يظ ع

Artinya “Sesungghunya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatanya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki

12

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press, 2008), h.1.

13


(29)

dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang

besar,”14

.

Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan merupakan konsep hubungan yang meletakan laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang dapat saling mempengaruhi secara positif. Kemitrasejajaran juga dapat berarti persamaan status mereka dalam masyarakat yang tercemin dalam sikap saling menghargai, menghormati, mengisi, dan membantu, yang antara lain terwujud dalam pengambilan keputusan, penentuan kebijaksanaan dan dalam pelaksanaan serta pemanfaatan hasil pembangunan. Ini tercemin dalam Al-Qur‟an Surata At-Taubah ayat 71 sebegai berikut:

ا و

و

ا م ا و

مھ ع ب

ءا ي و أ

ع ب

ورمأ ي

فورع اب

و ھ ي و

ع

ر ا

و يقي و

ا ا

و ي و

ا ك ز ا

وعيطي و

َ ه

ھ وس ر و

ك وأ

مھ حر ي س

َّه

إ

َ ه

زيز ع

ح

ك

مي

Artinya: “Dan orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sehingga mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat pada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha

bijaksana”.

Kata ءا ي و أ dalam ayat di atas, dalam pandangan Qurais Shihab, mencakup

kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan “menyuruh mengerjakan yang

makruf” mencakup segala segi kebaikan termsuk memberi masukan dan kritik

terhadap penguasa.15Islam memberikan hak-hak yang luas kepada perempuan, dan

14

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta Proyek Pengadaan Kitab Suci AL-Qur‟an, Depag R.I., 2005) h.. 422.

15


(30)

sungguh teramat luas jika dibanding dengan hak-hak yang mereka peroleh pra Islam.

Pemberian hak-hak tersebut dapat dilihat pada hak-hak penting seperti dalam dunia politik, intlektual, perekonomian, dan lain-lain. Dalam Islam tidak ditemukan ayat atau hadis yang perempuan katif dalam dunia politik, perekonomian, menuntutt ilmu dan lain-lain. Sebaliknya Al-Qur‟an dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Pendapat ini tampak dalam kandugan ayat di atas. Disamping dua ayat di atas dalam Al-Qur‟an Surat Al-Nahl ayat 97 dijelaskan sebagai berikut:

م اًح ا ص ع م

ً بي ً ا ي ح ه ييح ف م م وه و ى ث أ و أ ر ك

و ع ي او ا ك ا م سح أب مه رج أ مھ يزج و

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa

yang telah mereka kerjakan”.16

.

Ayat ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal shaleh harus disertai Iman. Disamping itu ayat ini menegaskan bahwa Islam memperlakukan perempuan sebagaimana laki-laki. Satu-satunya yang membedakan adalah ketakwaan, atau nilai spiritual seseorang bukan dilihat dari jenis kelaminya.

Jika dasar suprioritas laki-laki atas perempuan dalam Al-Qur‟an dan masyarakat bersifat relatif, tergantung pada kualitas masing-masing individu dan sama sekali bukan bersifat gender, maka penafsiran Al-Qur‟an yang bias laki-laki selama ini harus dirumuskan kembali. Ini dilakukan untuk mengembalikan

16


(31)

pemahaman Al-Qur‟an tentang perempuan yang bias kepada imajinasi para penafsir serta sejarah dan zamanya kepada pemahaman Al-Qur‟an secara adil. Pemahaman Al-Qur‟an tidak boleh dijadikan alat religious untuk menghalangi pengharapan kaum perempuan. Sebaliknya, ia harus memberikan pencerahan harapan di masa kini maupun masa depan.17

Al-Qur‟an dengan secara tegas menjelaskan bahwa manusia diberi tugas

untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Sedangkan khalifat itu sendiri tidak tertuju pada jenis kelamin tertentu sebagaimana penjelasan Al-Qur‟an dalam Surata Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:

إ و

ا ق

كّب ر

ئ ا

ي إ

عا ج

يف

ر ْا

ً في خ

او ا ق

عج أ

ا ھيف

م

دسفي

ا ھيف

و

كفس ي

ءا مد ا

ح و

حب س

د حب

د ق و

ك

ا ق

ي إ

م ع أ

ا م

َ

و ع

Artinya: “Ingatlah ketika tuhanmu berkata pada malaikat, “Sesungguhnya Aku

hendak menjadikan khlaifah di muka bumi,. “mereka berkata: “Mengapa

engkau hendak menjadikan (khalifah)18 di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”

Tuhan berfirman, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu

ketahui”19

Menurut Quraish Shihab ayat tersebut menunjukan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah swt, mahluk yang diserahi tugas, yakni Adam, as. Dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini. Jika sedemikian kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan

17

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 139. 18

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I, h. 140. 19


(32)

kehendaknya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan20 Allah tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam statusnya sebagaimana hamba, hal ini tercemin dalam Al-Qur‟an Surat Ad- Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:

ا م و

ق خ

ج ا

س ْا و

َإ

ودبع ي

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi”21

Dalam Al-Qur‟an Allah juga memuliakan anak turunya nabi Adam, dalam memuliakan itu Allah tidak menyebutkan jenis kelamin yang pantas dimuliakan, namun semua anak turun nabi Adam, baik jenis kelamin laki-laki, maupun perempuan. Hal ini tergambar dalam penjelasan Al-Qur‟an Surat Al-Isra‟ ayat 70 sebagai berikut:

د ق و

ا م ر ك

ي ب

آ

مها ح و

يف

ر ب ا

رح ب ا و

مها ق ر و

م

ا بي ط ا

مها ف و

ى ع

ريث ك

م

ا ق خ

ًاي ف

Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di alautan kami beri mereka dengan kelebihan

yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan”22

Ayat yang secara jelas dan gamblang menjelaskan bahwa Allah menilai dari kualitas individu hamba bukan terletak pada jenis kelamin ialah terdapat pada Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

اوف را ع ئا ب ق و اًبوعش مكا ع ج و ى ث أ و ر ك م مكا ق خ ا إ ا ا ا ھّي أا ي

ريب خ مي ع َ إ مكا ق أ َ د ع م م رك أ إ

Artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah

20

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, V I ,. h. 140. 21

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 523. 22


(33)

yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui

lagi maha mengenal”23

Atas dasar ayat di atas prinsip Al-Qur‟an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. Semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil. Oleh karena itu subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang, yang tidak sesuai dengan semangat keadilan

Al-Qur‟an. Karena yang dianggap hamba yang mulia bukan jenis kelamin tertentu,

melainkan ihwal orang tesebut.

Salah satu visi Nabi Muhammad SAW, diutus dimuka bumi ini adalah untuk memperbaiki dan menunjukan manusia pada jalan yang semestinya mereka lakukan. Pasalnya kehidupan pra Muhammad diutus atau sebelum Islam lahir sebagai agama paripurna, kehidupan di jazirah yang tandus (Arab) sangat memprihatinkan. Semisal peraktik poligami tanpa batas, perbudakan,24 dan perempuan dianggap aib, sehingga mereka tidak mempuanyai kuasa apa-apa baik dalam persaksian maupun warisan, malah mereka dijadikan warisan.

Saat itu suami disebut dengan ba’al (tuan).25 Kata ini menyiratkan otoritas dan kekuasaan mahaluas yang dinikmati oleh seorang laki-laki di dalam keluarga bagi bangsa-bangsa pra Islam. Ini juga menjadikan spirit sistem paternalism yang dianut oleh suku-suku nomaden secara umum meniscayakan komposisi rumah tangga patriarki yang terdiri dari laki-laki sebagai poros, lalu sejumlah istri

23

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 517. 24

Khalil Abdul Karim, Syari’ah, Sejarah Perkelahian Makna, trj, Kamran As‟ad

(Yoyakarta: Lkiss, 2000), h. 89. 25


(34)

merdeka, ditambah budak-budak sarriyah (yang boleh disetubuhi secara bebas tanpa ikatan pernikahan).26

Tak ayal jika semenjak lahir perempuan dalam tradisi Arab Jahiliyyah sudah dianggap membebani bangsa, sumber fitnah, dan sumber kemiskinan. Sehingga membunuh anak perempuan dalam tradisi Jahiliyah bukanlah pekerjaan yang tabu.

Hadirnya Islam dari seorang yang bernama Muhammad bin Abdullah, laksana lentera dalam pekatnya malam, laksana tetes embun di padang sahara.

Dengan syaria‟at yang dibawanya banyak hukum-hukum dan budaya yang

merugikan kelompok tertentu didekonstruksi dan di rekonstruksi, sebut saja perbudakan dan hukum poligami tanpa batas. Tak hanya itu Muhammad juga menciptakan hukum-hukum baru yang humanis dan lebih inklusif, semisal adanya waqaf. Islam juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan.27

Dengan syariah yang seperti itu Islam tercatat sebagai agama yang paling sukses dalam menyebarkan ajaranya. Secara epistemologi, proses pembentukan kesetaraan yang dilakukan oleh Rasullah tidak hanya pada wilayah domestik tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Apakah perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek,dan anggota masyarakat, sekaligus memberikan jaminan keamanaan untuk perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan tuhan kepadanya. Dengan demikian Rasulullah telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan karena:

26

Khalil Abdul Karim, Syari’ah, SejarahPerkelahian Makna, h. 33. 27

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, Berwawasan Gender, (Malang: UIN Press. 2008) , h. 20-21.


(35)

Pertama : Beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang dunia (world view) masyarakat arab yang saat itu masih didominasi oleh

cara pandang masyarakat era Fir‟aun (QS. Al-Nahl:58-59), dimana latar historis

yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis. Rasulullah endiri dikaruniai anak laki-laki (Sayyid Ibrahim), meninggal ketika masih berumur 17 bulan. Hal itu menyimpan pelajaran berharga bahwa pengkultusan pada anak laki-laki tidak dilakukan beliau. Satu kebiasaan yang dipandang spektakuler, beliau sering menggendong putrinya (Fatimah) secara demonstrative di depan umum, yang dinilai tabu oleh masyarakat arab ketika itu. Apa yang beliau lakukan merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh dibedabedakan.

Kedua: Rasulullah memberikan teladan perlakuan yang baik (mu’asyarah

bil ma’ruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah

melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya, meskipun satu sama lain berpeluang untuk saling cemburu.28

Status perempuan pada zaman rasul bisa dlihat pada keterlibatan mereka dalam sejumlah peran-peran penting yang memilki makna historis monumental. Misalnya dalam proses periwayatan hadis dan pembentukan wacana Islam awal.

Sejumlah pendapat yang beredar di kalangan para penulis biografi sahabat mengatakan bahwa tidak diragukan lagi peranan perempuan sangat besar dalam hal ini. Ibnu Ishaq, penulis biografi awal menyebut tidak kurang dari 50

28


(36)

perempuan ikut sebagai perawi hadis. Dalam kitab Al-Muwatha‟ juga cukup banyak hadis yang diriwayatkan oleh perempuan.

Data historis menunjukkan bahwa kaum perempuan telah memberi kontribusi yang signifikan terhadap penulisan dan pembukuan Al-Qur‟an sebagaimana Hafsah binti Umar, istri beliau adalah seorang hafidzah (penghafal

Al-Qur‟an) dan pandai baca tulis. Perempuan juga dipercaya untuk menyimpan

rahasia vital berkenaan dengan komunitas muslim, misalnya kaum perempuan pertama kali belajar tentang wahyu, mereka memegang rahasia berupa tempat persembunyian Nabi menjelang hijrahnya ke Madinah. Menjelang Nabi Wafat beberapa perempuan terpilih dari komunitas muslim dimintai pendapatnya tentang siapa yang sebaiknya menggantikan nabi.

Tentang politik, Al-Qur‟an menunjuk pada kaum perempuan yang bersikap mandiri dari keluarga laki-lakinya memberi bai‟at (janji setia) kepada nabi (QS. Al-Mumtahanah). Sejumlah perempuan lebih dahulu masuk Islam sebelum suami-suami mereka. Fenomena ini membuktikan bahwa peran politik dalam Islam telah ada sejak masa nabi. Aisyah, istri beliau juga mengambil peran penting dalam politik hingga keterlibatannya dalam perang jamal.

Di bidang pendidikan, Rasulullah memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk mengkaji Islam secara khusus kepada beliau pada hari-hari tertentu. Aisyah tercatat sebagai perempuan yang banyak meriwayatkan hadis. Dan melakukan ijtihad sebanyak 200 fatwa secara mandiri dan 600 fatwa bersama dengan sahabat-sahabat lainnya. Sebagai seorang hadis terdepan, Aisyah telah meriwayatkan hadis pada kurun awal mencapai 2210 hadis. Imam Bukhari dan


(37)

Muslim yang dikenal sangat ketat menetapkan standar keshahihan hadis, keduanya memasukkan ke dalam koleksi hadis yang ditakhrijkan sebanyak 300 hadis.29

Terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan dalam reinterpretasi hukum Islam agar sesuai tujuan, yaitu; prinsip keadilan, kesetaraan, musyawarah

dan muasyarah bil ma’ruf (pergaulan yang baik), yang diuraikan sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan

Keadilan merupakan salah satu konsep sentral yang harus terwujud dalam hukum Islam, sebab di samping konsep tauhid keadilan menempati ruang penting dalam keberlangsungan hukum Islam. Fakta sejarah menunjukan bahwa Islam lebih dari sekedar agama formal. Islam adalah risalah agung yang bagi transformasi sosial, pembebasan dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi. Semua ajaran Islam pada dasarnya berpijak pada terwuju dan terlaksana suatu kondisi kehidupan yang adil.30

Secara realitas fiqih yang telah bertaburan dan dibukukan rentan dengan bias gender maskulinya. Ini adalah salah satu indikator adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang berkembangan dalam fiqih. Sejatinya prinsip keadilan dalam fiqih adalah adanya keseimbangan dalam memandang hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara proporsional, sesuai dengan hakikat asal kejadian kedua jenis manusia yang diciptakan secara sejajar dan seimbang oleh Allah.

29 Leila, Ahmed, “Women and Gender in Islam : Historical Roots of modern Debate”,

diterjemah MS Nasrullah, “Perempuan Dan Gender Dalam Islam” (Jakarta: Lentera, 2000), h. 89.

30

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan


(38)

Jika dikaji lebih mendalam lagi, ternyata keadilan merupakan tiang dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan keadilan dianggap oleh ahli ushul fiqih sebagai tujuan syariat. Wahbah Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Muhlis Usman menyatakan, bahwa Islam dibangun atas asas menghilangkan kesukaran dan kesulitan memelihara kemaslahatan manusia keseluruhan, dan yang terpenting adalah mewujudkan keadilan dan mencegah penganiyaan antar person.31 Firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 143 dijelaskan sebagai berikut:

ك ك و

مكا ع ج

ً مأ

اًط س و

او و

ءا د ھش

ى ع

ا ا

و ي و

ر ا

و

م ي ع

اًديھ ش

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.32

Muhammad Abu Zahrah sebagaimana dikutip Masfuk Zuhdi menyebutkan tiga kriteria keadilan, yaitu: Pertama; keadilan hukum, system hukum yang berlaku harus unifikasi (seragam) untuk seluruh warga Negara tanpa adanya diskriminasi. Kedua; keadilan sosial, memberi kesempatan yang sama untuk bekerja menurut kemampuan dan keahlian yang dimiliki. Jika ia masih lemah maka perlu dibantu. Ketiga; keadilan pemerintahan, semua warga Negara mempunyai kedudukan sama dalam pemerintah tanpa memperdulikan suku, bangsa, bahasa, dan budaya.33

2. Prinsip musawah (kesetaraan)

31

Muhlis Ustman, Filsafat Hukum Islam, (Malang, Lbb Yan,s Press, 2002), h. 40. 32

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 22. 33


(39)

Kedatangan Islam di muka bumi ini merupakan solusi yang solutif terhadap beberapa praktek hukum, budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang diskrimnitatif. Hukum Islam ditetapkan untuk tidak mendiskriminasikan antar suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya, serta tidak membedakan status sosial masyarakat. Sebagaimana kandungan Al-Qur‟an Surat Al-Hujarat ayat 13 sebagai berikut:

ا ي أ

ا َّهي َ

ا ا

ا إ

مكا ق خ

م

ر َ

ى ث أ و

مكا ع ج و

اًبوعش

ئا ب ق و

اوف را ع

إ

م م رك أ

د ع

َ

مكا ق أ

إ

َ

مي ع

ريب خ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.34

Islam tidak membedakan warna kulit, status sosial, dan jenis kelamin. Di sini kesetaran yang akhir-akhir ini menjadi kajian hangat adalah kesetaraan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan structural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Kesetaraan mengindetifikasi adanya kehidupan umat manusia yang menghargai kesamaan asal muasalnya sebagai manusia dan kesamaan pembebanan, dimana setiap manusia dikarunia akal untuk berfikir. Perbedaan

34


(40)

secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang perlu dipersoalkan. Hal ini karena kodratnya, perempuan harus melahirkan dan menyusui serta hal lain yang berhubungan dengan reproduksi. Problem baru muncul tatkala perbedaan jenis kelamin melahirkan ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.

Melihat dari sudut gender, relasi antara laki-laki dan perempuan mesti diletakan dalam konteks kesetaraan dan keadilan, sebab ketidakadilan gender disamping bertentangan dengan sprit Islam juga hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan. Islam dengan sangat tegas mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.35 Al-Qur‟an tidak menekankan superioritas dan inferiorias atas dasar jenis kelamin, namun yang membedakan di anatara mereka hanyalah kadar ketaqwaan (al-Hujurat: 13). 3. Musyawarah

Prinsip yang menghendaki pembinaan hukum Islam melalui konsensus yang kolektif antar ulama, sehingga keputusan hukum berlaku untuk totalitas masyarakat tanpa adanya diskriminasi sekte dan jenis kelamin. Meskipun demikian Islam membenarkan adanya perbedaan hasil ijtihad selama masalah itu dalam lingkup masalah ijtihadiyah. Dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan sebagai berikut:

مهروا ش و

ف

ي

رم ْا

ا إ ف

م ز ع

ك و ف

ى ع

َ

Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakallah kepada Allah” .36

35

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,

h. 132. 36


(41)

Konsep musyawarah tidak hanya berguna untuk hal-hal yang bersifat makro (kehidupan publik) saja, namun ia juga untuk hal-hal yang bersifat mikro (kehidupan privat), misalnya urusan kehidupan keluarga.

4. Muasyarah bil Ma’ruf (Pergaulan yang baik).

Muayarah bil ma’ruf merupakan tindakan yang memanusiakan manusia

karena ini menganggap semua manusia harus diperlakukan dengan baik, terutama dalam hubungan suami istri. Ma’ruf tidak hanya memliki makna kebaikan, tetapi juga berisi kebaikan yang memperhatikan partikularitas dan lokalitas pemberlakuan prinsip mu’asyrah bil ma’ruf ini, sekaligus menjadikan partikularitas yang berkaitan dengan karakter perempuan sedikitnya bisa dipahami.37

37

Laily Hanifah, Kesetaraan Gender dalam Islam (http://situs kesrepro,info/: diakses tanggal 24 Oktober, 2015).


(42)

(43)

BAB III

CERAI GUGAT DAN NAFKAH IDDAH

A.Cerai Gugat 1. Pengertian

Cerai Gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permahonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.1

Menurut Subekti istilah Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan oleh salah satu pihak dalam perkawinan itu.2

Kemudian dalam kamus Hukum Talak (Thalaq) adalah perceraian dalam Hukum Islam atau kehendak si suami.3 Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 114 bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena Talak atau Gugatan Perceraian.4

Menurut UUPA Nomor 7 Tahun 1989 telah mengubahnya dengan istilah baru. Istilah yang dipergunakan untuk permohonan Talak disebut

Cerai Talak”, sedang untuk Gugat Cerai istilahnya dibalik menjadi “Cerai

1

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 81.

2

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), h. 42. 3

Simorangkir dkk, Kamus Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, , 2008), h. 165. 4

Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Fokusmedia, 2005). h. 38.


(44)

Gugat”.5Dengan istilah baru ini, dipertegas bentuk pemecahan perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Agama sesuai dengan Hukum Islam.

Ahrum Hoerudin juga menambahkan pengertian Cerai Gugat secara luas ialah suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak isteri) kepada Pengadilan Agama, agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.6

Dijelaskan pula dalam KHI Pasal 132 Ayat 1 menyebutkan bahwa:

“Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan

Agama yang daerah Hukumnya mewilayahi tempat tinggal Penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.”7

Dalam hukum islam pun menjelaskan bahwa orang (istri) yang meminta kepada suaminya untuk memutuskan atau menceraikannya itu dinamakan Khuluk. Dengan demikian Khuluk mempuyai pengertian sebagai berikut:

Khuluk yang terdiri dari lafaz ( ع خ ) yang berasal dari bahasa secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Lepasnya hubungan perkawinan suami atau istri diserupakan dengan lepasnya pakaian

5

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). Cetakan ke-2, h. 207.

6

Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama). (Bandung: PT. Aditya Bakti, 1999), h. 20.

7

Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji. (Surabaya: Kesindo Utama, 2012). h. 235.


(45)

sebagaimana al-Quran menyatakan bahwa istri merupakan pakaian suami begitupun juga sebaliknya suami menjadi pakaian istri.8

Sebagaimana firman Allah:

ھ ا ب م أ و م ا ب ه

Artinya: “Mereka (para istri) merupakan pakaian bagi kalian, dan

kalianpun merupakan pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)9

Beberapa ulama berpendapat mengenai hal tersebut diantaranya: a. Secara istilah menurut Madzab Hanafiyah

ع ا

وه

إ

ا

ك م

ا ا

فقو ا

ى ع

وبق

أر ا

ظف ب

ع ا

,

وأ

ىفام

ا عم

.

Artinya: “Khuluk adalah hilangnya kepemilikan nikah yang berpijak pada qabul dari istri dengan menggunakan lafaz khuluk atau yang semakna”.10

Menurut mereka perceraian dengan harta tanpa lafaz khuluk dan mubaraah tidak bisa dikaitkan khuluk akan tetapi disebut talak atas harta

(al thalaq ‘ala mal).

b. Menurut Madzab Malikiyah

ع ا

وه

اط ا

وعب

.

Artinya: “Khuluk adalah talak dengan tebusan atau harta pengganti

(‘iwadh).”11

Dari definisi tersebut menurut mereka tidak ada perbedaan antara khuluk dengan talak atas harta (al thalaq ‘ala mal), dalam khuluk tidak

8

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Media, 2007), h. 231.

9

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h. 36 10

Ahmad Ghandur, al Thalaq fi al-syari’ah al-islamiyah wa al-qanun, (Mesir: Dar

al-Ma‟rif, 1967), h. 259.

11Khutab al Ra‟iniy,

Mawahib al-Jalil Juz II, (Beirut: Dar- al Kutub al Ilmiah, t.th), h. 268.


(46)

ada pengkhususan dengan lafaz tertentu seperti jatuhnya talak dengan sharih (jelas) dan kinayah (sindiran) dibarengi dengan niat.

c. Menurut Madzab Syafi‟iyah

ع ا

وه

قرف

وعب

ظف ب

ا

وا

ع خ

.

Artinya: “Khuluk adalah perceraian dengan tebusan menggunakan lafaz

talak atau khuluk.”12

Yang dimaksud dengan lafaz talak adalah lafaz dari beberapa lafaz talak baik berupa sharih (jelas) atau kinayah (sindiran) dan lafaz khuluk sebgaimana dengan talak.

d. Menurut Madzab Hanabilah

ع ا

وه

ارف

جوز ا

ه أرما

وعب

خأي

اھ م

موأ

اهريغ

ظف أب

صو

م

.

Artinya: “Putusnya perkawinan suami terhadap istri dengan menggunakan tebusan yang diambil suami dari istrinya atau selainnya, dengan menggunakan lafaz tertentu”.13

Faidah dari definisi tersebut pengkhususan istri dari suami dalam suatu pendapat bahwa tidak ada rujuk bagi suami terhadap istri kecuali dengan ridha atau kerelaan istri.

2. Landasan Hukum

12 Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah

, Juz III, (Beirut: Dar- al Fikr, 1995), h. 208.

13

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu Juz IX, (Beirut: Dar al Fikr, 2006), h. 7008.


(47)

Apabila istri ingin melepaskan diri dari hubungan perkawinan, maka istri dapat melakukan khuluk Yaitu dengan memberikan tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya.

Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT.

...

َ أ ا فا ي أ َإ اً ي ش هو ي ا ء ا م او خأ أ م ّ ح ي َ و

يقي َ أ م فخ إ ف َ ودح ا يقي

ا يف ا ھي ع ا ج ا ف َ ودح ا

هب د فا

...

Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk

menebus dirinya”... (al-Baqarah: 229).14

Khuluk yang terjadi pada awal Islam sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik (Al- Bukhori) dan mendaji dasar kebolehannya sebagaiberikut:

أ

أرما

باث

ب

سيق

أ

يب ا

ص

ه

هي ع

م سو

اقف

:

وسراي

ه

باث

ب

سيق

بيعأام

هي ع

ىف

خ

ي َو

ى و

ركأ

ىفرف ا

اسَا

اقف

وسر

ه

ى ص

ه

هي ع

م سو

:

ي ر أ

هي ع

؟ه قيدح

اقف

مع

اقف

وسر

ه

ى ص

ه

هي ع

م سو

:

بقا

قيدح ا

اھق و

قي ط

Artinya :“Istri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi SAW dan berkata; Ya Rasulullah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya, akan tetapi saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: maukah kamu mengembalikan”

14


(48)

kebunnya? Si Istri menjawab: Ya mau. Rasulullah SAW berkata pada Tsabit: ceraikanlah dia satu kali Cerai”.15

3. Prosedur Pengajuan Cerai Gugat

Adapun prosedur untuk mengajukan gugatan cerai oleh istri sebagai berikut:

a. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gagatan tersebut melalui Perwakilan RI setempat.

b. Gugatan Perceraian karena alasan:

1) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat diajukan setelah 2 tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

2) Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah

15

Bukhari, Shahih Bukhari bi Hasyiyah al Sindi, Juz III, (Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al


(49)

mendengar pihak keluarga serta orang-orang yagn dekat dengan suami istri tersebut.

3) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin dikabulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

d. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:

1) Menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami.

2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang26 barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.16

4. Pendapat Ulama Tentang Cerai Gugat

16


(1)

Bahwa Tergugat juga telah mengajukan 1 (satu) orang saksi, yaitu:

Saksi umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Komplek Bumi Serpong Damai (BSD), Anggrek Loka Blok 6/4, Sektor 2-I, RT: 002 RW: 010, Kelurahan Rawa Buntu, Kecamatan Serpong, Tangerang, di hadapan sidang saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpah secara agama Islam yang pada pokoknya sebagai berikut:

- Bahwa saksi adalah kakak kandung Tergugat; - Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan Tergugat;

- Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang menikah pada tahun 1996 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu: Sasa, Rizky, dan Zikry yang ketiganya kini diasuh oleh Penggugat;

- Bahwa anak-anak Penggugat dan Tergugat tersebut dalam keadaan baikbaik dan sehat;

- Bahwa Penggugat dengan Tergugat sering bertengkar sejak 2 (dua) tahun yang lalu disebabkan perbedaan visi dan misi antara Penggugat dan Tergugat dalam mendidik anak-anak serta adanya masalah keuangan; - Bahwa Saksi pernah melihat langsung pertengkaran antara Penggugat dan

Tergugat lebih dari 3 (tiga) kali baik yang terjadi di rumah Penggugat dan Tergugat maupun yang terjadi di rumah orang tua Tergugat;

- Bahwa Tergugat bekerja sebagai pegawai di Bank Agro;

- Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan yang lalu, Tergugat pindah ke rumah orang tuanya untuk menghindari pertengkaran dalam rumah tangganya;

- Bahwa pihak keluarga sudah berusaha menasehati Penggugat agar rukun membina rumah tangga kembali dengan Tergugat namun tidak berhasil;, Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut Penggugat menyatakan tidak keberatan dan tidak akan mengajukan sesuatu tanggapan apapun dan mohon putusan;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah tentang gugatan cerai diakumulasi dengan hak asuh anak, nafkah anak dan harta bersama sebagaimana telah diuraikan di atas;

Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 130 HIR, Majelis Hakim dalam setiap persidangan berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, namun usaha tersebut tidak berhasil;

Menimbang, bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 antara Penggugat dan Tergugat telah dilakukan upaya mediasi oleh Mediator Hakim Drs. H. A. Nawawi Ali, namun mediasi tersebut tidak berhasil (gagal) mendamaikan Penggugat dan Tergugat;


(2)

Menimbang bahwa berdasarkan bukti P.1 berupa Kartu Tanda Penduduk atas nama Penggugat dan Tergugat yang masing-masing dikeluarkan oleh Kecamatan Cilandak dan Kecamatan Kebayoran, Jakarta Selatan, maka sesuai dengan pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009 gugatan Penggugat benar menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;

Menimbang bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah berdasarkan Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat (bukti P.2.). Dan pernikahan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu Penggugat dan Tergugat adalah pihak-pihak yang berkepentingandalam perkara ini;

Menimbang bahwa pokok gugatan Penggugat adalah bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat rukun dan harmonis namun kurang lebih sejak kelahiran anak pertama antara suami istri tersebut terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang disebabkan adnya perbedaan-perbedaan pendapat yang berujung pada pertengkaran-pertengkaran yang tidak jarang pula terjadi di hadapan anak-anak Penggugat dengan Tergugat, pembantu, dan keluarga besar. Tergugat sering meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa alasan jelas. Dan bahwa pertengkaran-pertengkaran yang terjadi terus menerus tersebut telah berdampak pada terganggunya ketenteraman batin Penggugat hingga Penggugat merasa bahwa rumah tangganya adalah bagai neraka baginya;

Menimbang bahwa Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui seluruh dalil Penggugat dan tidak berkeberatan bercerai dengan Penggugat, maka dapat dikualifisir bahwa Pengakuan Tergugat tersebut merupakan pengakuan bulat murni (aven pur et simple) yang sesuai ketentuan hukum acara merupakan bukti yang mengikat dan menentukan sebagaimana maksud pasal 174 HIR;

Menimbang bahwa perkara ini in casu perceraian, pengakuan adalah bukti awal yang memerlukan bukti-bukti lainnya, sehingga Penggugat tetap dibebankan wajib bukti;

Menimbang, bahwa Penggugat selain mengajukan bukti surat juga mengajukan bukti saksi;

Menimbang, bahwa dari dua orang saksi Penggugat telah diperoleh keterangan yang bersesuaian satu sama lain yaitu bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat yang awalnya rukun dan harmonis namun saat ini sering terjadi perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat secara terus-menerus yang penyebabnya adalah adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan


(3)

keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam urusan rumah tangga lainnya juga karean Tergugat sering pulang malam dari bekerja. Antar Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak 3 (tiga) bulan lalu. Penggugat dan Tergugat sudah didamaikan namun tidak berhasil;

Menimbang bahwa keterangan dua orang Saksi Penggugat tersebut satu sama lain saling berkaitan dan tidak dibantah oleh Penggugat dan Tergugat karenanya keterangan Saksi-saksi tersebut patut diterima dan patut dipertimbangkan karena telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana maksud pasal 147, 171 dan 172 HIR. Dan oleh karena keterangan dua orang saksi tersebut telah menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka dalil-dalil Penggugat tersebut dinyatakan terbukti.

Menimbang, bahwa dari keterangan Penggugat serta pengakuan Tergugat dikuatkan dengan bukti-bukti surat keterangan dua orang saksi, ditemukan faktafakta

yaitu:

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 10 Maret 1996 dan hingga kini telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak;

2. Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;

3. Bahwa perselisihan sejak kelahiran anak pertama tersebut disebabkan perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan baik dalam urusan anak maupun dalam penyelenggaraan rumah tangga secara umum;

4. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak sekitar bulan April 2010;

5. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah didamaikan baik melalui nasehat maupun dengan jalan musyawarah namun tidak berhasil;

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut pengadilan berpendapat bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran, mengakibatkan keduanya sudah tidak rukun lagi, Penggugat dan Tergugat sudah tidak tinggal satu rumah, dan Penggugat telah menyatakan tidak dapat mempertahankan ikatan perkawinan dengan Tergugat.

Menimbang, bahwa upaya Majelis Hakim dan Saksi-saksi yang diajukan dalam perkara ini menasihati Penggugat agar tetap rukun kembali dengan Tergugat ternyata tidak berhasil, karena Penggugat telah menyatakan sikapnya dengan tetap berkukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga Majelis menilai bahwa dengan sebab perselisihan dan pertengkaran itu telah mencapai pada suatu keadaan yang mana dalam rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak dapat ditolerir lagi untuk hidup rukun dalam satu ikatan perkawinan;

Menimbang, bahwa jika salah satu pihak telah menyatakan tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk bercerai dengan pihak lainnya, maka tidak terdapat cukup alasan untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan tersebut,


(4)

karena itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah berada pada tingkat pecahnya perkawinan (broken marriage), keduanya sudah sangat sulit untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri, sehingga rumah tangga keduanya sangat sulit pula untuk dipertahankan, dalam mana jika tetap dipertahankan dapat menimbulkan mudarat yang lebih besar bagi keduanya. Terhadap kenyataan seperti itu Majelis Hakim perlu menyampaikan dalil syar‟i, yaitu berupa qoidah fiqh yang termuat di dalam Kitab Al-Asybah wan-Nadzhoir, yang kemudian diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim, yang artinya: “Menolak mafsadah (pengaruh yang bersifat merusak) harus didahulukan dari pada mengharapkan datangnya mashlahah (pengaruh yang membawa manfaat/kebaikan)”, maka alternatif penyelesaian sengketa perkawinan yang terbaik bagi Penggugat dan Tergugat adalah perceraian, karena itu peitum Penggugat pada angka 2 dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas gugatan Penggugat telah terbukti dan berdasar hukum untuk diterima dan dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f KHI dengan menjatuhkan talak bain shugro dari Tergugat, terhadap Penggugat,

Menimbang, bahwa bukti P.3, P.4, P.5, dan P.6 adalah akta-akta kelahiran atas nama 3 (tiga) orang anak Penggugat dengan Tergugat dan Kartu Keluarga WNI atas nama Tergugat sebagai Kepala Keluarga, maka berdasarkan bukti tersebut terbukti bahwa ketiga orang anak tersebut adalah anak yang sah dan lahir dari perkawinan penggugat dengan tergugat.

Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatan telah mengajukan tuntutan menyangkut hak pengasuhan anak, Penggugat memohon kepada pengadilan agar menetapkan anak-anak tersebut berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat.

Menimbang, bahwa oleh karena anak yang bernama Muhamad Rizky Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oktober 2003 dan Muhamad Zikry Firmansyah, lahir pada tanggal 19 Oklober 200, masih dibawah umur (belum mumayyiz), dimana anak tersebut masih sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari ibunya, berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, maka hak pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Penggugat;

Menimbang bahwa Penggugat juga meminta hak asuh (hadhonah) terhadap anak tertua Penggugat dan Tergugat yang bernama Ibtia Shabrina, lahir pada tanggal 26 Mei 1997 (berusia 13 tahun), hal mana terhadap hal ini Tergugat pun telah menyatakan persetujuannya (tidak keberatan dan tidak membantah) yakni terlihat dalam jawaban Tergugat dalam persidangan, maka Majelis berpendapat bahwa ibunya layak diberikan hak pengasuhan dan pemeliharaan karenanya hak pengasuhan dan pemeliharaan anak tertua dimaksud diserahkan pula kepada Penggugat;


(5)

Menimbang bahwa terhadap tuntutan Penggugat tentang asuransi anak, biaya sekolah anak sampai S2, dan nafkah anak, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut;

a. Bahwa tuntutan tentang nafkah anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa atau menikah telah sesuai dengan maksud Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d105 huruf c Kompilasi Hukum Islam, dan telah disesuaikan dengan kemampuan Tergugat sebagai Ayah yang bekerja sebagai Pegawai pada Bank Agro, Majelis Hakim berpendapat gugatan tentang nafkah anak dimaksud dapat dikabulkan;

b. Bahwa Tergugat telah dibebankan untuk menanggung biaya hadhonah anak sejumlah Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya hingga anak tersebut dewasa atau menikah, maka tuntutan tentang asuransi anak dan biaya sekolah anak hingga strata dua (S2) dikahawatirkan akan memberatkan Tergugat karenanya Majelis berpendapat bahwa tuntutan tentang hal tersebut dapat dinyatakan ditolak; (nafkah iddah dan nafkah selama proses persidangan)...???

Menimbang bahwa bukti P.7, P.8, dan P.9 masing-masing berupa Sertifikat Hak Milik, Akta Jual Beli, dan Perjanjian Kredit tidak dapat ditunjukkan aslinya karena dalam agunan sehingga tidak memenuhi syarat formil pembuktian sebagaimana maksud pasal 1888 BW yakni bahwa kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya, karenanya bukti-bukti tersebut dinyatakan dikesampingkan;

Menimbang bahwa dalam gugatannya, Penggugat juga menuntut agar harta bersama berupa Tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Jalan Permata Pamulang Blok G 16 No. 28 Rt.10/Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan, Provinsi Banten yang kini tercatat atas nama Penggugat ditetapkan sebagai milik anak-anak dan Penggugat menguasainya selama anak-anak tersebut belum dewasa;

Menimbang bahwa terhadap dalil gugat ini pun Tergugat telah mengakui dan tidak membantahnya sehingga dapat ditafsirkan bahwa atas hal ini telah dicapai sebuah kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat, karenanya dapat dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap harta bersama tersebut;

Menimbang, bahwa perkara ini adalah perkara perceraian yang berada dalam lingkup bidang perkawinan, maka biaya perkara dibebankan kepada penggugat sesuai Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 sebagaimana telah diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009


(6)

MENGADILI 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap Pengguga 3. Menetapkan 3 (tiga) orang anak Penggugat dan Tergugat :

3.1.anak lahir tanggal 26 Mei 1997; 3.2.anak , lahir tanggal 19 Oktober 2003;

3.3.anak lahir tanggal 19 Oktober 2003; di bawah pemeliharaan (hadhonah) Penggugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat biaya pemeliharaan anak sebanyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap bulan terhitung sejak putusan ini kekuatan hukum tetap sampai dengan anak-anak tersebut dewasa (berusia 21 tahun) di luar biaya pendidikan dan kesehatan 5. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat nafkah, maskan,

dan kiswah selama masa iddah (tiga bulan) sebanyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan;

6. Menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat telah melepaskan haknya terhadap Harta Bersama berupa tanah dan bangunan diatasnya yang terletak di Jl.Permata Pamulang Blok G 16 No.28 Rt.10 Rw.05, Desa Bakti Jaya, Kelurahan Setu, Kabupaten Tangerang Selatan;

7. Menyatakan gugatan Penggugat tentang Asuransi anak dan biaya sekolah sampai S2 dinyatakan tidak dapat diterima;

8. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga putusan ini sebanyak Rp356.000,00 (tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah).

Demikian diputuskan pada hari Senin tanggal 06 September 2010 Masehi bertepatan dengan tanggal 27 ramadhan 1431 Hijriah, oleh Hakim Pengadilan Agama di Jakarta Selatan yang terdiri dari Drs. Yasardin, SH., MH. sebagai Ketua Majelis dan Dra. Hj. Ai Zainab, SH. serta Dra. Muhayah, SH., sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan mana oleh Hakim-Hakim tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan didampingi oleh Ahlan, SH. Sebagai Panitera Sidang Pengadilan Agama tersebut dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat;

Ketua Majelis TTD

Drs. Yasardin, SH., MH.

Hakim Anggota, Hakim Anggota,

TTD TTD