Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Karena Suami Nusyuz (Analisis Putusan Nomor : 3074/Pdt.G/2012/Pajt)

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DINNY AULIA HANDAYANI NIM: 1110044200019

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

(Analisis Putusan Perkara Nomor: 3074/Pdt.G/2012/PAJT)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

DINNY AULIA HANDAYANI NIM: 1110044200019

Di Bawah Bimbingan

M. Yasir, SH, MH NIP: 194407091966041003

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

ii

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 09 Mei 2014 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Phil. JM. Muslimin, MA. NIP: 196808121999031014 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (...) NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : H. Rosdiana, MA. (...) NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : M. Yasir, SH, MH. (...) NIP. 194407091966041003

4. Penguji I : Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH. (...) NIP. 195510151979031002

5. Penguji II :Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi. (………) NIP. 194008051962021001


(4)

iii

1110044200019

Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Karena Suami Nusyuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor: 3074/Pdt.G/2012/PAJT)

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dan khususnya pada nusyuz yang dilakukan oleh suami. Pada dasarnya suami merupakan kepala rumah tangga yang menjadi panutan bagi anak-anaknya kelak.

Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif yakni dengan mengumpulkan data, dimana penulis mencari data-data primer ke Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai objek utamanya dengan menganalisis putusan Perkara Nomor: 3074/Pdt.G/2012/PAJT, dan melakukan wawancara dengan hakim yang menangani kasus tersebut.

Hasil analisis putusan ini menjelaskan bahwa perceraian tidak hanya terjadi atas hak suami, melainkan seorang istri juga bisa mengajukan gugatan perceraian bila sang suami tidak berlaku layaknya seorang suami, tidak bertanggung jawab serta lalai akan kewajibannya. Atas dasar alasan inilah seorang istri bisa mengajukan gugatannnya ke Pengadilan Agama.

Kata kunci: Perceraian, Cerai Gugat, Nusyuz, Putusan PA Jakarta Timur Nomor: 3074/Pdt.G/2012/PAJT.

Pembimbing : M. Yasir, SH, MH Daftar Pustaka : 1982 - 2012


(5)

iv

Segala Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kekuatan lahir batin kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Skripsi ini merupakan syarat memperoleh gelar strata 1 (S1), dalam menyelesaian skripsi ini, tidaklah luput dari berbagai rintangan yang harus dihadapi, namun penulis telah berusaha seoptimal mungkin untuk memberikan hasil yang baik, sehingga penulis berfikir bahwa untuk mencapai sesuatu yang diinginkan tidaklah mudah.

Atas tersusunya skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dari keluarga, sahabat, teman, civitas akademika kampus, hingga pihak-pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1 Dr. Phil. JM Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

v

dan Hj. Rosdiana, MA. Sebagai Sekertaris Program Studi.

3 M. Yasir, SH, MH., selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memeriksa, memberikan arahan dan motivasi kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini.

4 Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 5 Serta Staf Perpustakan Fakultas syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama

yang telah memberikan fasilitas untuk studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6 Para narasumber dan Staf Pengadilan Agama Jakarta Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan observasi dan wawancara untuk skripsi ini.

7 Ayahanda H. Syukra dan Ibunda Hj. Azizah Abdul-Haq tersayang, yang telah menjadi orang tua yang bijak bagi anak-anaknya. Berkat do’a, semangat dan kesabaran yang luar biasa serta dukungan moril dan materil yang tak terhingga yang telah diberikan dengan tulus, dengan segala kerendahan hati dan rasa terima kasih yang tak terhingga, skripsi ini ananda persembahkan untuk kalian tersayang. “The Most Beautiful Bone I Ever Have”

8 Adik-adik tercinta “Rizka, Beril, Nanda dan Albi” serta keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Berkat do’a dan dukungan dari merekalah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(7)

vi

merefresh hati dan fikiran bersama, kalian luar biasa.

10Sahabat t-sos, kawan kosn, teman-teman KKN Soccers dan teman-teman sepermainan yang selalu mensupport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 11Run when you can, walk when you have to, crawl if you must just never give up!!

Rasa syukur, ucapan terimakasih, dan permohonan maaf yang dapat penulissampaikan jika selama inibanyak terjadi kesalahanserta kekhilafan yang pernah penulis lakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak tanpa terkecuali.

Ciputat, 1 April 2014


(8)

vii

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1 Skripsi ini merupakan hasil karya aslisaya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1(S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2 Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3 Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 09 Mei 2014


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ……….ii

ABSTRAK……….iii

KATA PENGANTAR………..iv

LEMBAR PERNYATAAN……….vi

DAFTAR ISI………...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………..6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………7

D. Review Studi Terdahulu………...8

E. Metode Penelitian……….9

F. Sistematika Penulisan……….10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DAN NUSYUZ A. Perceraian………...12

B. Dasar Hukum Perceraian………29

C. Nusyuz Dalam Perspektif Fiqih………...33

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Timur………43


(10)

ix

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur...51 BAB IV LANDASAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM DAN ANALISIS

A. Duduk Perkara………56

B. Faktor Penyebab Nusyuz Suami……….62 C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Perkara Cerai Gugat

Karena Suami Nusyuz………62 D. Landasan Yuridis Putusan Hakim………...62

E. Analisis………...67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………72

B. Saran-saran………73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Sholawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan di dalam membangun kehidupan rumah tangga. Pernikahan merupakan pintu untuk memasuki jenjang kehidupan berumah tangga dalam konstruksi keluarga baru.1 Dalam keluarga sesama pasangan harus saling berbagi baik suka maupun duka, saling memberi dan menerima, saling mngasihi dan saling mencintai, karena pada dasarnya cinta itu sederhana.

Landasan utama sebuah pernikahan, dimana tujuannya adalah menciptakan rasa tentram di antara suami-istri atas dasar kasih sayang. Namun kenyataannya, jarang sekali sebuah kehidupan rumah tangga berjalan mulus tanpa hantaman badai perselisihan dan terpaan angin pertengkaran di antara suami dan istri.2

Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam yaitu ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

1

Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender,(Malang: UIN Malang Press,

2008), h.135 2

Butsanah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian,( Jakarta: Dar Thuwaiq, 1996), h.7


(12)

adalah ibadah,3 karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan. Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. Untuk berpuasa. Orang berpuasa memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela yang sangat keji, yaitu perzinaan.4

Islam telah mewajibkan kepada segenap pasangan suami istri supaya menunaikan kewajiban masing-masing. Di antara kemaslahatan yang dikehendaki fitrah, dikuatkan syara’ dan dibenarkan akal adalah bahwa masing-masing pihak dari keduanya harus mengerahkan segenap usaha dan upayanya untuk menciptakan dan mewujudkan rasa cinta, kasih sayang, saling membantu, saling toleran dan ikhlas dalam menghadapi pasangannya. Kebahagiaan masing-masing dari keduanya tergadai oleh kebahagiaan pasangannya. Hal ini sesuai dalam pasal 77 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Jika usia perkawinan telah berlangsung lama, maka akan terjadi titik temu dalam sejumlah hal dan banyak hal-hal yang dapat dilakukan secara bersama-sama. Masing-masing dari pasangan suami istri akan mempengaruhi pasangannya baik jalan

3

Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia, (Jakarta: Humaniora Utama

Press, 2001), h. 14 4


(13)

pikirannya atau tingkat perwujudannya dalam kehidupan, sehingga masing-masing dapat merealisasikan kehidupannya dengan kehadiran pasangannya.5 Pada dasarnya perkawinan dilakukan untuk selamanya sampai matinya seorang dari suami istri tersebut. Inilah yang dikehendaki agama Islam. Namun, dalam keadaan tertentu ada hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bilamana hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka kemudharatan akan terjadi, dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.

Islam merupakan agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti adanya ketidak cocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqh disebut Thalaq (perceraian). Agama Islam membolehkan suami istri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci Allah SWT.6

Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.7Adapun kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian salah satunya adalah perkara Nusyuz.

5

Butsanah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian,( Jakarta: Dar Thuwaiq, 1996), h.11

6

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002), cet. Ke-2, h.102 7

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.339


(14)

Perkataan Nusyuz begitu sinonim dengan sikap istri yang ingkar atau tidak bertanggung jawab terhadap suaminya. Namun hakikatnya Nusyuz juga berkemungkinan berlaku pada suami yaitu suami yang tidak melaksanakan tanggungjawab, tidak menunaikan hak-hak istri. Nusyuz di kalangan lelaki lebih tinggi berbanding dengan perempuan.8

Dalam pergaulan antara suami istri ada kalanya terjadi hubungan yang tidak harmonis. Akibatnya terjadi apa yang ada pada Al-Quran dengan istilah Nusyuz

(pembangkangan). Pembangkangan dalam arti salah satu pihak melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sebagaimana mestinya. Perbuatan

Nusyuz bisa terjadi, baik dari pihak istri maupun dari pihak perempuan.9 Hal ini sebagai mana tersirat dalam Al-Quran Qs. An-Nisa ayat 128 bahwa jika seorang wanita khawatir akan Nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam Nusyuz hanya berlaku bagi istri dan tidak bagi suami, begitupula dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pun sama sekali tidak menyinggung akan Nusyuz yang dilakukan suami.

Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan menurut UU Perkawinan (pasal 39 ayat 2 ) ialah:

8

Norzulaili Mohid Ghazali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Shiqaq dan Ahkam

Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-undang Keluarga Islam,(Malaysia: Kolej Universiti Islam Malaysia (KUIM),2007), xi

9

Hasanuddin, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran, (nikah,talak,cerai,rujuk),(Jakarta:


(15)

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak menjalankan kewajiban sebagai suami istri.

Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak akan ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.10 Mahkamah Agung RI dalam putusannya Nomor 38/K/AG/1980 tanggal 5 Oktober 1981 juga sudah mengikuti ketentuan bahwa perceraian dapat dilaksanakan apabila perkawinan sudah pecah dan sukar untuk dirukunkan kembali, tanpa melihat siapa yang bersalah dari perselisihan itu.11

Bertolak dari uraian tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk menelaah tentang perceraian, khususnya mengenai putusnya perkawinan karena cerai gugat

10

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),h. 41

11


(16)

ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN PERKARA CERAI GUGAT KARENA SUAMI NUSYUZ (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor : 3074/Pdt.G/2012/PAJT).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Masalah apa sajakah yang terkait dalam perceraian, berikut di bawah ini uraiannya:

a. Bagaimanakah Tata Cara Perceraian?

b. Faktor Apa Saja Yang Menyebabkan Perceraian? c. Bagaiaman Pelaksanaan Cerai Gugat dan Cerai Talak? d. Bagaimanakah Cerai Gugat Karena Nusyuz ?

e. Dan Bagaimana Cerai Gugat Menurut Hukum Positif? 2. Pembatasan Masalah

Pokok dalam masalah penelitian ini ialah mengenai perceraian, namun di sini penulis membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada cerai gugat karena nusyuz yang dilakukan oleh suami. Saat ini masyarakat hanya mengetahui nusyuz hanya dilakukan oleh istri, bahkan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan itu sendiri hanya mengatur nusyuz yang dilakukan oleh istri. Namun dalam realita kehidupan di masyarakat nusyuz lebih banyak dilakukan oleh suami.


(17)

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis juga telah merinci rumusan masalah ke dalam beberapa pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa saja faktor penyebab dari Nusyuz suami?

b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perkara cerai gugat karena Nusyuz yang dilakukan oleh suami?

c. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara Nomor: 3074/Pdt.G/2012/PAJT?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar penulis mendapatkan jawaban yang konkrit dan pasti dari permasalahan yang selama ini mengganjal dalam hati penulis, disamping itu penulis juga ingin menambah pengetahuan dan mendapatkan ilmu baru dari permasalahan Nusyuz dalam perkawinan. Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Untuk memberikan gambaran hal-hal apa saja yang menyebabkan Nusyuz

yang dilakukan oleh suami.

b. Untuk memberikan gambaran kejelasan pandangan hukum terhadap cerai gugat akibat suami Nusyuz


(18)

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi mahasiswa khususnya studi hukum Islam dibidang Ahwal Al-Syaksiyah.

b. Hasil penelitian ini berguna bagi akademisi serta masyarakat secara umum dalam persoalan hukum Islam di Indonesia terutama seputar perceraian.

c. Selain bermanfaat bagi beberapa pihak, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah jumlah koleksi perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan umum.

D. Review Studi Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang ada di perpustakaan Syariah dan Hukum, penulis mengambilnya untuk dijadikan sebuah perbandingan cerai gugat akibat suami Nuyuz, yaitu:

1) Nur Shollah, “kekerasan karena istri Nusyuz (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana arti sebuah pernikahan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman terhadap pasangan terutama istri. Suami tidak berhak melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun meskipun istrinya nusyuz. Dan terdapat saran agar suami senantiasa menjadi kepala rumah tangga yang dapat membina dan membimbing keluarganya tanpa menggunakan kekerasan dan istri sudah


(19)

seharusnya mentaati semua apa yang diperintahkan suami dalam kebaikan berumah tangga.

2) Umu Salamah 105044101434 “ Istri Nusyuz Karena Selingkuh Sebagai

Pemicu Terjadinya Perceraian” Membahas tentang kelalaian istri terhadap suaminya, kriterianya sampai pada kategori istri Nusyuz terhadap suami. Menganalisa putusan Perkara Nomor. 1236/Pdt.G/2008/PAJT.

E. Metode Penelitian I. Jenis Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati. Sedangkan yang dimaksud penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analitis adalah metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan.

II. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Studi lapangan dengan cara, wawancara dengan Hakim, serta menganalisa terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 3074/Pdt.G/2012/PAJT.


(20)

b. Studi kepustakaan, yakni studi yang dilakukan dengan cara mengkaji beberapa buku dan literatur-literatur lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi yang penulis tulis.

III. Teknik Analisa Data

Penulis menggunakan Content Analysis, yang merupakan analisa data secara kualitatif. Kemudian menginterprestasikannya dengan bahasa penulis sendiri dengan melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan berbagai macam metode yang telah dipilih.

IV. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab bahasan agar lebih terarah dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab sebagai berikut:

Bab pertama, yang membahas tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi, Pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(21)

Bab kedua, yang berisi Pengertian Perceraian, Dasar Hukum perceraian, Nusyuz dalam Perspektif Fiqh, yang mencakup pengertian dan bentuk-bentuk perilaku Nusyuz.

Bab ketiga, membahas tentang Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Timur, Visi, Misi, Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Timur serta Wilayah Yuridiksi

Bab keempat, berisi Analisis yang mencakup Landasan Yuridis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Putusan Nomor 3072/Pdt.G/2012/PAJT Bab kelima, merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran-saran.


(22)

12

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DAN NUSYUZ A. Perceraian

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Sebagaimana telah pernah disebut bahwa perceraian ada karena adanya perkawinan; tidak ada perkawinan tentu tidak ada perceraian. Karena itu perkawinan awal hidup bersama sebagai suami istri dan perceraian akhir hidup bersama suami istri, atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu.1

Pada semua bangsa-bangsa zaman purbakala, hak cerai dipandang sebagai akibat yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perkawinan, tetapi hak ini dengan beberapa pengecualian semata-mata memberikan kepada kaum laki-laki, sedang istri sama sekali tidak berhak minta cerai. Perkembangan peradaban dan kemajuan berfikir, sedikit membawa perbaikan pada keadaan wanita yang mendapat hak untuk minta cerai. Muhammad saw sama sekali tidak menyetujui kebiasaan perceraian itu dan menganggap orang-orang yang mempraktikannya itu telah meruntuhkan sendi-sendi masyarakat.2

1

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), h. 27

2


(23)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.3 Dibawah ini ada beberapa pengertian tentang perceraian yaitu:

Kata perceraian dalam hukum Islam berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam hukum Islam perceraian atau talak berasal dari bahasa arab yaitu “thalaq” artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.4 Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT.5

Perceraian didefinisikan sebagai melepas tali perkawinan dengan kata talak atau kata yang sepadan artinya dengan talak. Perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melaului putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan.6

3

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), cet ke-1, h. 17

4

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,(Jakarta: Rajawali Press,2009), h.229 5

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika,2006),h.73 6

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional,(Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2011),h.174


(24)

Perceraian adalah ism mashdar (bentuk infinitif) dari kata “thallaqa”, dan mashdar “thallaqa” adalah tathliiq. Talak menurut bahasa adalah kebalikan dari pengikatan. Talak menurut syariat adalah pelepasan ikatan pernikahan atau sebagainya.7 Talak menurut bahasa Arab, maksudnya melepaskan ikatan. Yang dimaksud di sini adalah melepaskan ikatan perkawinan.8

Menurut Al-Jaziri, talak ialah “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengna menggunakan kata tertentu”. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak ialah “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”. Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.9

Secara harfiyah Thalaq itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama.10 Putusnya

7

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita,(Jakarta:

AKBARMEDIA,2009),h.348 8

Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam

Mulia,1998),h.23 9

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,(Jakarta: Rajawali Press,2009), h.230 10

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h.198


(25)

perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Istilah yang paling netral memang adalah “perceraian”, namun sulit pula digunakan istilah tersebut sebagai pengganti “putusnya perkawinan”, karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan.

Asas perceraian yang diuraikan di dalam Qur’an, yang besar kecilnya mencakup segala macam sebab, adalah keputusan suami istri untuk memustus ikatan perkawinan karena mereka tak sanggup lagi hidup bersama sebagai suami istri. Sebenarnya, perkawinan itu tiada lain hanyalah suatu perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami istri, dan apabila masing-masing pihak tak setuju dan tak cocok lagi untuk hidup bersama, maka perceraian tak dapat ditunda lagi. Tak adanya kesanggupan untuk hidup bersama itu menurut Qur’an suci disebut syiqaq (berasal dari kata syaqaqa yang artinya pecah menjadi dua).11

Prof. Subekti, SH., mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.12Jadi, dari beberapa pengertian tentang perceraian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian (talak) adalah pemutus hubungan suami istri

11

Kama Rusdiana, Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata,(Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press,2007),h.27 12


(26)

serta hilangnya hak dan kewajiban suami istri. Walaupun dalam pengucapan lafaz talak menggunakan lafaz-lafaz tertentu, namun ditekankan pada tujuannya yang sama yaitu untuk berpisah antara suami istri yang diartikan dengan putusnya perkawinan.

Terjadinya perceraian atau tidak, biasanya setelah diputuskan oleh Pengadilan Agama. Pengadilan Agamalah yang akan memberikan kata akhir terjadi atau tidaknya suatu perceraian. Berbagai data di Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama tahun 1996, teridentifikasi ada 13 faktor yang menjadi penyebab utama sebuah perceraian. Faktor-faktor itu adalah:

a. Poligami yang tidak sehat b. Krisis akhlak

c. Kecemburuan d. Kawin paksa e. Krisis ekonomi

f. Tidak bertanggung jawab g. Kawin di bawah umur h. Penganiayaan

i. Terkena kasus kriminal (dihukum) j. Cacat biologis

k. Faktor politis


(27)

m.Tidak ada kecocokan lagi (tidak harmonis).

Merujuk pada data-data di atas, maka kasus yang paling menonjol dalam sebuah perceraian adalah “tidak ada keharmonisan, suami tidak bertanggung jawab, krisis ekonomi, dan krisis akhlak.13Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan antara cerai talak dengan cerai gugat.

1) Cerai Talak

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam bagian-bagian sendiri dengan sebutan “cerai talak”. Dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikemukakan bahwa suami yang bermaksud menceraikan istrinya berdasarkan perkawinan menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di tempat tinggalnya.14

13

Hasbi Indra, dkk , Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: PENAMADANI, 2005), cet ke-3, h.222

14

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), cet ke- 1, h.18


(28)

Talak adalah pemutusan tali perkawinan.15Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 117 talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama.16

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 66 ayat (1) seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.17Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut,karena itu Allah Swt memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangant dimurkai-Nya.18

Adapun rukun seseorang yang akan menalak istrinya ialah adanya suami, istri dan shighat thalaq dan disyaratkan dengan hal-hal sebagai berikut:

15

Syaikh Hasan Ayyub,Fikih Keluarga,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006),cet ke-5, h.207 16

Inpres No. 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Departemen Agama, Pasal 2

17

Abdul Manan, M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,(

Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002),h.28 18

Hasanuddin AF, Perkawinan dalam Persepkitf Al-Quran (Nikah,Talak,Cerai,Rujuk),(Jakarta: Nusantara Damai Press,2011),h.57


(29)

Pertama, bukan anak kecil. Para ulama madzhab sepakat bahwa talak yang dilakukan oleh anak kecil tidak sah sekalipun dia telah pandai. Berbeda dengan madzhab Hambali yang menyatakan bahwa talak yang dijatuhkan oleh anak kecil hukumnya sah.

Kedua, berakal sehat. Talak yang dilakukan oleh orang gila baik gilanya itu akut atau insidental hukumnya tidak sah. Tetapi para ulama madzhab sempat sepakat terhadap jatuhnya talak dari orang yang mabuk minuman haram atas dasar kemauannya sendiri. Namun bila minuman itu mubah atau ia dipaksa maka talaknya tidak jatuh. Para ulama juga sepakat bahwa talaknya orang yang sedang marah dianggap sah.

Ketiga, atas kehendak sendiri. Ini berdasarkan pada hadist nabi yang mengatakan bahwa ketentuan hukum dicabut dari orang yang terpaksa. Rasulullah bersabda yang dalamartinya: “Ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.19

Keempat, Thalaq orang yang dipaksa. Mengingat sabda Nabi: tidak sah thalaq dan tidak sah memerdekakan budak yang dilakukan dalam keadaan dipaksa orang.

19

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: PENAMADANI, 2005), cet ke-3, h. 227


(30)

Kelima, thalaq orang yang sedang marah karena kemarahan yang sangat, tidak jatuh, berdasar hadist Nabi: “tidak sah thalaq dan tidak sah memerdekakan budak yang dilakukan dalam kemarahan yang sangat.”

Keenam, thalaq orang yang bersenda gurau. Berdasarkan firman Allah jelaslah bahwa thalaq itu harus dilakukan dengan azam (bertetap hati) bukan dengan bersenda gurau atau main-main.

Ketujuh, thalaq orang yang tersalah atau lupa. Berdasarkan hadist Nabi: diangkat (dibebaskan hukum) atas orang-orang yang tersalah, lupa dan dipaksa orang, tentu thalaq ini sia-sia, artinya tidak jatuh, seperti tidak jatuhnya thalaq orang yang dipaksa.20

Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak Raj’i

Talak raj’i adalah thalaq si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah. Thalaq Raj’i itu adalah thalaq satu atau thalaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri.

Status hukum perempuan yang dalam masa thalaq raj’i itu sama dengan istri dalam masa pernikahan dalam semua keadaannya, kecuali

20

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 44


(31)

dalam satu hal, menurut sebagian ulama, yaitu tidak boleh bergaul dengan mantan suaminya. Bila dia berkehendak untuk kembali kepada mantan istrinya dalam bentuk thalaq ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan istrinya itu. Dengan demikian, cerai dalam bentuk thalaq raj’i itu tidak dapat dikatakan putus perkawinan dalam arti sebenarnya. Dalam pandangan hukum barat inilah yang disebut “pisah meja dan ranjang”.

b. Talak Bain

Talak bain, yaitu thalaq yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru, thalaq bain inilah yang tepat untuk disebut putusnya perkawinan. Thalaq bain ini terbagi pula menjadi dua macam:

Bain sughra, ialah thalaq yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui

muhallil.21Makna dari muhallil itu sendiri ialah seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan tujuan agar suami pertama dapat kembali ke pangkuan istrinya.22Yang termasuk bain sughra itu sebagai berikut:

21

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h. 221

22

Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadist Secara


(32)

Pertama,thalaq yang dilakukan istri sebelum istri digauli oleh suami. Thalaq dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ahzab (33) ayat 49:23

                                       / ۲ازحأا( ٣٣ : ٩٤ ) Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu

kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah

mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(Q:S. Al-Ahzab/4: 49) Kedua, thalaq yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’. Hal ini dapat dipahami dari isyarat firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 229:

                                                                                        /۶رق۵لا( ::::٤ ) 23

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h.221


(33)

Artinya::

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Q:S. Al-Baqarah/2: 229)

Ketiga, perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.

Bain Kubra, yaitu thalaq yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin lagi dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Sebagaimana yang dikatakan Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 230:

                                                   / ۶رق۵لا( :::٣٢ ) Artinya:

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah


(34)

yang Diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

(Q:S. Al-Baqarah/2: 230)

At-Tirmidzi. Al-Hakin, dan yang lainnya meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata:”dulu orang laki-laki bebas mencerai istrinya, dan menjadi suaminya kembali jika merujukinya, walaupun setelah mencerainya seratus kali. Hingga pada suatu ketika ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, “demi Allah, aku tidak akan menceraikanmu sehingga engkau berpisah denganku,dan aku tidak akan menaungimu selamanya”. Dengan heran sang istri bertanya, “bagaimana hal itu bisa terjadi?” sang suami menjawab,”aku akan menceraimu. dan setiap kali iddahmu akan habis, aku merujukmu kembali". Maka sang istri menghadap Rasulullah dan mengadu perihal suaminya. Dalam beberapa saat Rasulullah terdiam, hingga turunlah firman Allah “ Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.24

c. Talak Sunni Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

d. Talak Bid’i Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan

24


(35)

haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.25

Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa thalaq itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya ia saja yang boleh menthalaq istrinya, orang lain biarpun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan thalaq hak laki-laki atau suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah istri, anak-anak dan kewajiban lain atau merupakan akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai, dan yang dimaksud dengan kewajiban-kewajiban lain itu ialah:

1) membayar atau melunasi maskawin yang belum dibayar atau dilunasi, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Berikanlah maskawin kepada

wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib.

2) Memberi mut’ah, sebagaimana firman Allah; “kepada wanita yang dithalaq (hendaklah diberikan oleh suami) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai kewajiban bagi orang-orang yang takwa.

3) Memberi nafkah ‘iddah

4) Menyediakan rumah atau tempat kediaman 5) Memberikan pakaian.

25

Abdul Manan, M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan


(36)

Berkenaan dengan hal-hal yang diutarakan di atas, maka seorang suami hendaklah melihat jauh ke muka, memikirkan dalam-dalam sebelum menggunakan hak thalaq yang ada di tangannya. Mengambil istri dengan baik maka melepaskannya harus dengan baik pula, bukan melemparkannya begitu saja, sebagaimana firman Allah: “atau lepaskanlah mereka dengan baik”.26 Ketentuan tersebut merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 236 yang berbunyi:

                                            /۶رق۵ل( :::٣٢ ) Artinya:

Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentui maharnya. Dan hendaklah

kamu beri mereka mut’ah menurut kemampuannya dan bagi yang tidak

mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q:S. Al-Baqarah/2: 236)

2). Cerai Gugat

Pada UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara khusus diatur hal yang berkenaan dengan pemeriksaan sengketa perkawinan terutama perceraian. Pada dasarnya hal tersebut telah diatur pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan telah dilengkapi dengan aturan

26

Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal. 40


(37)

pelaksanaan PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang. Sebagai gantinya, dituangkan dalam Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Pengulangan tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika tata cara pemeriksaan perkara perkawinan ke arah menjembatani tuntutan praktek dan kesadaran masyarakat. Terutama untuk melindungi pihak istri dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan perceraian, seperti yang diungkapkan penjelasan Pasal 73 Ayat (1).27Dalam sebuah perkawinan, keputusan untuk bercerai tidak hanya bergantung pada suami, istri juga bisa mengajukan gugatan perceraian apabila sudah tidak merasa cocok dan tidak tahan lagi oleh tingkah laku suaminya.

Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh seorang istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.28

Cerai gugat dalam syari’at Islam disebut khuluk, makna aslinya adalah menanggalkan atau membuka sesuatu jika yang meminta cerai itu pihak istri dengan pembayaran.29 Dalam masalah cerai gugat ataupun khuluk ini

27

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), h. 214

28

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet ke-1, h. 19

29

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata,(Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press,2007), h.29


(38)

sudah diatur dalam perundang-undangan negara kita secara jelas dan teratur, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hukum perdata maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 ayat (1) dikatakan Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.30 Berdasarkan penjelasan di atas, maka sudah jelas bahwa istri diperbolehkan untu melakukan gugatan perceraian dengan catatan harus memiliki alasan yang kuat.

Di dalam sejarah Islam pun pernah terjadi hal yang berkenaan dengan kebolehan istri yang meminta cerai kepada suaminya, hal ini tergambar dalam Hadist berikut ini:

ا تتا س با تباث ا ا ا : ا ع ها ضر ا ع با ع ص

: ت ا ف س ع ها

ا ف ، اساا ف ا كا ، دا خ ف ع بتعاا س با تباث ،ها سرا ها سر ص

: س ع ها ها سر ا ف ، ع :ت ا ف ؟ ت ح ع د تا

ص ع ها

طتا ط ح ا ا : س

Artinya: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Rasulullah SAW. Sambil berkata: Hai Rasulullah! Saya tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasulullah SAW: maukah kamu mengembalikan kebunnya (Tsabit,

30


(39)

suaminya)? Jawabnya: mau. Maka Rasulullah SAW, bersabda:”terimalah (Tsabit) kebun itu dan thalaqlah ia satu kali” (H.R Bukhari dan Nasai).31

Akan tetapi akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2) Ayah;

3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadanah dari ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula;

31

Ibnu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih al Bukhari,(Kairo: Jumhuriyah


(40)

d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b),(c) dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan.32

B. Dasar Hukum Perceraian

Keutuhan dan kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang digariskan Islam. Akad nikah merupakan suatu perjanjian untuk selamanya dan langgeng hingga meninggal dunia, agar suami istri bisa hidup bersama-sama dalam mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, tempat bersemai kasih dan sayang, dan untuk memelihara dan mendidik anak yang saleh. Oleh karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan antara suami istri dengan ikatan yang paling suci dan paling kokoh. Istilah ikatan suci dan kokoh antara suami istri oleh Alquran disebut dengan misaqan galidzan.

Allah swt berfirman:

32

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata,(Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press,2007), h.43


(41)

 ...       /ء۱سنلا( ٩ : :٢ )

Artinya: “.... dan mereka (istri-istri telah mengambil dari kamu

sekalian perjanjian yang kuat.” (Q:S. An-Nisa/4: 21)

tidak sepatutnya ada pihak-pihak yang mau merusaknya dan menghancurkannya. Karena itu, setiap usaha untuk merusak perkawinan itu adalah dibenci oleh Islam, sebab ia telah merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri dan anak-anak.

Rasulullah saw bersabda:

ص ها سر ا ع با ع : ا س ع ها

ع ها ا اح ا ضغبا ج

ا ر(

ححص ك اح ا د اد با )

Artinya :”Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah swt ialah talak.” (H.R. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya)

Karenanya siapa saja yang sengaja mau merusak hubungan antara suami istri, oleh Islam dipandang telah keluar dari Islam dan tidak pula punya tempat terhormat di dalam Islam. Simpulan ini diungkapkan oleh Nabi saw dalam sabdanya:33

ص ها س ا : س ع ها

)د اد با ا ر( ا ج ع ا ا ب خ ا س

Artinya:”Rasulullah saw bersabda,” Bukan dari golongan kami

seseorang yang merusak hubungan seorang perempuan dari

suaminya”. (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

Jika seorang istri minta cerai tanpa sebab dan alasan yang benar Allah swt mengharamkan baginya bau surga. Ketentuan ini juga berlaku sebaliknya,

33


(42)

yaitu jika suami menceraikan istrinya tanpa alasan yang benar dan sebab yang dibenarkan syar’i, juga akan diharamkan bau surga.

Mengenai hukum perceraian ini, para ahli hukum Islam berbeda pendapat. Pendapat yang paling bisa diterima akal dan konsisten dengan tujuan syariat yaitu pendapat yang menyatakan bahwa perceraian hukumnya terlarang, kecuali dengan alasan yang benar. Pendapat ini ditopang oleh golongan Hanafi dan Hanbali. Salah satu dalil yang digunakannya, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

ص ها سر ا : س ع ها

اط ا ك ها ع

Artinya:”Rasulullah saw bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang

yang suka merasai (senggama) dan bercerai.”

Secara esensial bercerai itu berarti kufur terhadap nikmat Allah, sedang kawin adalah nikmat, dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi tidak halal bercerai, kecuali karena keadaan darurat. Tetapi jika tidak ada alasan, perceraian yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah, berlaku jahat kepada istri. Karena itu perbuatan tersebut dibenci dan dilarang Islam.34

Golongan Hambali, menjelaskan secara terperinci tentang hukum perceraian ini, sebagai berikut:

a. Talak itu menjadi wajib, jika pihak hakam (juru damai) tidak berhasil menyelesaikan perpecahan antara suami dan istri dan tidak bisa

34


(43)

diperbaiki kembali hubungan mereka serta hakam (juru damai) berkeyakinan bahwa talak merupakan salah satu-satunya jalan yang dapat menyelesaikan perpecahan. Begitu pula talak wanita yang di ila’ (suami bersumpah tidak akan mencampurinya lagi), sesudah berlalu masa tenggang waktu menunggu empat bulan. Allah swt berfirman:

                                        /۶رقپلا( : : ::٢ – ::٢ )

Artinya: “Orang-orang yang mengila’ istrinya, diberi tanggunh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q:S. Al-Baqarah/2: 226-227)35

b. Talak itu menjadi haram, jika talak tersebut dijatuhkan tanpa alasan. Talak tersebut, diharamkan karena merugikan suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang akan dicapai dengan perbuatan talak itu.

Rasulullah saw bersabda:

ص ها سر ا س ع ها

: ر ض ا ر ض ا

Artinya:” Tidak (boleh) berbuat membahayakan dan tidak (boleh) membalas dengan cara yang membahayakan.”

Talak semacam inilah yang dibenci Allah swt.

35


(44)

Rasulullah saw bersabda:

ص ها سر ا : س ع ها

ط ا ها ا اح ا ضغبا ا

Artinya:”Rasulullah saw bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”

c. Talak itu menjadi sunnah, jika istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti mengabaikan shalat, puasa, dan sebagainya. Suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut, atau istri kurang rasa malunya. Imam Ahmad berkata,”Tidak patut memegang istri semacam ini”.

Karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian.36

C. Nusyuz dalam Perspektif Fiqih 1) Pengertian Nusyuz

Arti kata Nusyuz ialah membangkang. Maksudnya, seorang istri melakukan perbuatan yang menantang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat tidur.

Secara terminologi, kata nusyuz diartikan pembangkangan dalam kewajiban terhadap pasangan, baik itu dilakukan istri maupun suami. Namun, masyarakat umumnya memahami bahwa nusyuz adalah pembangkangan istri

36


(45)

terhadap suaminya, padahal suamipun berpeluang untuk melakukan pembangkangan terhadap istrinya. Oleh karena itu, nusyuz adalah pembangkangan terhadap pasangan suami atau istri terhadap pasangannya karena itu tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami atau istri atau melanggar hak-hak pasangannya.37

Nusyuz merupakan perbuatan suami atau istri yang melanggar komitmen pernikahan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami istri, tidak memberikan hak, melakukan kekerasan, tidak menjaga kehormatan, dan melanggar kewajiban agama.38

Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti meninggi atau terangkat. Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui Al-Quran dan Hadist Nabi.

Dalam surat An-Nisa ayat 34 dikatakan:



































37

Muhammad Zain, Mukhtar Al-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha

Cipta, 2005), h.55 38

Kementrian Agama RI, Modul Keluarga Sakinah berspektif kesetaraan bagi BP4, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h.110


(46)

                                     /ء۱سنلا( ٩:٣٩ ) Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita, karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu wanita yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)....” (Q:S. An-Nisa/4 : 34)39

Walaupun suami itu memiliki status dan kedudukan setingkat lebih tinggi dari istri namun masih ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi lagi yaitu Allah SWT, karena pada hakikatnya tanggung jawab suami itu kepada Allah SWT sesuai dengan ikatan pernikahan yang merupakan ibadah dan melakukan ijab qabul dengan prosesi keagamaan dihadapan Allah sebagai amanah yang akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.

2) Nusyuz dari Pihak Istri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.40

39

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,(Jakarta: Gema Insani, 1999),h.

702 40


(47)

Setiap pria memang menginginkan pasangan hidupnya yang ideal. Minimal pasangannya memiliki daya tarik yang kuat. Tidak ada satupun yang paling membahagiakan seorang pria melainkan bisa hidup berkeluarga bersama istri yang shalehah. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw yang artinya:

“Tidak ada persoalan yang lebih baik bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah selain istri yang shalehah. Bila ia menyuruhnya, ia mentaatinya, bila ia memandangnya, membuat hatinya senang, bila ia bersumpah padanya, ia mendukungnya, bila ia pergi, ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya” (HR Ibnu Majah).41

Setiap istri hendaknya menghias diri dengan akhlak yang baik,karena dengan akhlak yang baiklah, kehidupan rumah tangga akan dapat mendatangkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, baik lahir maupun batin.42

Istri nusyuz terhadap suaminya berarti ia merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya”.

Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istriterhadap suaminya, seperti berkata

41

Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah,(Jakarta: PENAMADANI, 2005), cet ke-3, h.11 42


(48)

lemah lembut dan tidak mengeras dihadapan suami, melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan apa yang dicegah suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi norma agama; meminta izin kepada suami waktu akan bepergian keluar rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya; dan lain-lain kewajiban yang ditetapkan agama.43

Adapun beberapa perbuatan yang diakukan istri, yang termasuk Nusyuz, antara lain sebagai berikut:

1. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa izin suami.

2. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan suami.

3. Istri menolak ajakan suaminya menetap di rumah yang disediakannya tanpa alasan yang pantas.

4. Apabila istri bepergian tanpa suami atau mahramnya walaupun perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.

43

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h. 191


(49)

Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu, maka ia harus memberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih berbuat durhaka hendaklah suami berpisah ranjang. Kalau istri masih berbuat semacam itu, dan meneruskan kedurhakannya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak melukai badannya.

Kedurhakaan seorang istri (Nusyuz) ada tiga tingkatan:

1. Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak memberi nasihat kepadanya.

2. Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah tidur dengannya.

3. Kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya.44 Namun suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti sebagaimana Hadist Nabi dari Abdullah bin Zar’ah menurut riwayat Al-Bukhori yang atinya:

Rasul Allah SAW. Bersabda: Seseorang tidak boleh memukul istrinya sebagaimana memukul budak kemudian ditidurinya.

Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat diselesaikan. Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan baru

44


(50)

dibolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. Dalam firman Allah yang artinya:

Jika dia sudah taat kepadamu janganlah kamu mencari-cari jalan untuknya.

Dalam artian suami tidak boleh menempuh cara apapun selain dari itu termasuk menceraikannya. Dari pemahaman terhadap ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki adanya perceraian kecuali setelah tidak menemukan cara lain untuk mencegahnya.45

Allah SWT. Menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuznya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat an-Nisa ayat 34: . ...                                       /ء۱سنلا( ٩:٣٩ ) Artinya:

Istri-istri yang kamu khawatirkan akan berlaku nusyuz, maka beri pengajaranlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah mentaatimu janganlah kamu cari-cari jalan atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu Lagi Maha Besar. (Q:S.

An-Nisa’/4 : 34).

45

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h.192


(51)

3) Nusyuz dari Pihak Suami

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf

atau menggauli istrinya dengan baik. Dalam artian yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. Adapun tindakan istri yang menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 128:                                                     /ء۱ىسنلا( ٤ : ٨٢١ ) Artinya:

“Jika istri khawatir suaminya akan berlaku nusyuz dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yang menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yang paling baik. Hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertakwa maka sesungguhnya Allah Maha Tahu atas apa yang kamu perbuat....(Q:S an-Nisa/4 : 128)


(52)

ا عفار ع ت اك س ب ح ت ب ا ،ب س ا با ع ، ا ع ، ع با ا خ ب

ا س ا ، س أ ، طتا : ت ا ف ا اط دارأف ، غ أا ك ا إ ،ا أ ا ف ج خ إ ( : ج ع ها أف ،ك ا ب اا )ا ش ا عب تفاخ أ ا

Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Ibnu Al Musayyab: bahwa anak perempuan Muhammad bin Muslamah menjadi istri Rafi’ bin Khadij, dan Rafi’ tidak menyukai suatu hal yang ada pada diri istrinya itu, barangkali karena sudah tua istrinya berkata, “Janganlah engkau menceraikan aku, peganglah aku menjadi istrimu, dan gilirlah aku menurut kehendakmu.”46

Ada dua hal yang mendorong suami dan istri mengadakannegosiasi dan perdamaian dalam ayat tersebut. Pertama, suami nusyuz sebagaiaman dijelaskan dalam sifat-sifat tersebut di atas. Kedua, I’radh, yaitu suami

berpaling dari istrinya karena sebab-sebab tertentu.47

Banyak cara yang dapat ditempuh isteri, seperti bersikap manis dan simpatik, berhias dan berdandan, bermuka jernih, senyum simpatik, diharapkan mempunyai pengaruh posistif dalam menghilangkan amarah suami, sebagai air conditioning bagi panasnya hati suami. Apabila masih belum berhasil, hendaknya isteri melakukan sulh. Dimaksud dengan sulh

46

Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam Syafi’i/Abu Abdullah

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet ke- 1, h. 379 47

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: PRENADA MEDIA,2006),h. 193


(53)

sebagai suatu solusi sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 128 di atas yaitu perundingan yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak menceraikan isterinya.

Di antara bentuk sulh tersebut antara lain, kesediaan isteri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafkah, atau dikurangi hak nonmateri, seperti isteri bersedia dikurangi giliran malam dan diberikan kepada isteri yang lain (dalam perkawinan poligami). Cara ini termasuk salah satu langkah untuk menghindari terjadinya perceraian.48

Mengadakan usaha perdamaian yang dilakukan istri bukan berarti bahwa istri harus bersedia merelakan sebagian haknya yang tidak dipenuhi oleh suaminya, tetapi untuk memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya, sehingga dengan demikian suami ingat lagi kepada kewajibannya yang telah ditentukan allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

                                                                                / ۶رق۵لا( ٨ : ٢٢ ) 48


(54)

Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka

(menunggu) tigakali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hakseimbang dengankewajibannyamenurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa,Maha Bijaksana.(Q:S. Al-Baqarah/2:228)

Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya kepada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadist Rasulullah SAW, dinyatakan diantaranya kewajiban suami terhadap istri, ialah:

1) Memberi sandang dan pangan

2) Tidak memukul wajah jika terjadi nusyuz

3) Tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang dibencinya. 4) Tidak menjauhi istri atau menghindari istri kecuali dalam rumah.49

Nusyuz suami dapat dijadikan alasan bagi seorang istri untuk mengajukan gugatan perceraian yang lazim pada prakteknya disebut dengan cerai gugat kepada Pengadilan Agama untuk memutuskan ikatan perkawinannya.” Cerai gugat yaitu, seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui Pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan

49

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata di Indonesia Studi Kritis


(55)

mengabulkan gugatan yang dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) dari perkawinan.50

50


(56)

45

PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Lahirnya Peradilan Agama Jakarta Timur

Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur sangat erat terkait antara mata rantainya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada umumnya diseluruh kepulauan yang ada di Indonesia, terutama di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur diaplikasi oleh Menteri Agama RI sebagaimana dalam keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967. Adapun secara detailnya, lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai berikut:

a. Pada saat itu Pengadilan Agama Jakarta di tanah tumpah darah si pitung ini hanya memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu 2 (dua) kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian semakin bertambahnya warga Ibukota sehingga terlahirnya keputusan Menteri Agama Nomor 67 Tahun 1963 yang berisi “Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

b. Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk


(57)

Ibukota negara ini menjadi 5 (lima) wilayah dengan sebutan kota Administratif.

Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan putusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 (dua) kantor cabang menjadi 4 (empat) kantor cabang, antara lain:

1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat 2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur 3. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat 4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Pengadilan Agama Jakarta Timur dibentuk dan berdiri berdasarkan keputusan Menteri Agama RI No. 4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967. Pada saat munculnya sebutan Pengadilan Agama Jakarta Timur di wilayah hukum DKI Jakarta, bermula dari sebuah proses. Ketika Lembaga Pengadilan Agama di wilayah hukum DKI Jakarta diberi nama dengan sebutan “Pengadilan Agama Jakarta Timur” lalu pada saat yang bersamaan melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor I b. 3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 februari 1967 lahir dan diresmikan pula Pengadilan Agama lain yang berkedudukan di 4 (empat) wilayah hukum DKI Jakarta dalam lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur, yaitu:


(58)

1. Pengadilan Agama Jakarta Selatan 2. Pengadilan Agama Jakarta Barat 3. Pengadilan Agama Jakarta Utara dan 4. Pengadilan Agama Jakarta Pusat

Untuk sebutan “Pengadilan Agama Jakarta Timur” adalah tercermin di dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 tahun 1967 tanggal 7 Januari 1967 tentang Perubahan Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

Pengadilan Agama dulu sebelum lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Menteri Agama.51

Akan tetapi, dalam amandemen ketiga UUD 1945 bab IX pasal 24 ayat (2) tentang kekuasaan kehakiman yang disahkan MPR pada 09 November 2001, disebutkan bahwa:”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi:. Pasal inilah yang membawa pada sistem satu atap (one roof system) dibawah naungan Mahkama Agung RI. Dengan demikian seluruh lembaga peradilan adalah

51


(59)

sederajat, setara dan sejajar dengan lingkungan peradilan lain dalam pembinaan organisasi, administrasi dan finansial serta pembinaan teknis yustisial.

Dan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Implementasi one roof system ini tertuang dalam UU tersebut yakni terdapat pada Pasal 21 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah

kekuasaan Mahkama Agung”. Dan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama semua pembinaan dibawah Mahkamah Agung.52

Pengadilan Agama Jakarta Timur berkedudukan di Kelapa Dua Wetan jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 Kode pos 13730. Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan dana APBD Pemda DKI Jakarta. Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur sekarang sangat representatif dan cukup memadai untuk melakukan pelayanan yang prima kepada masyarakat, areal tanah dan bangunan yang cukup besar, sehingga bisa memiliki lapangan tenis, lapangan parkir yang nyaman dan areal taman. Dengan keadaan gedung kantor yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat, begitupula dengan karyawan yang berjumlah 75

52


(1)

(2)

72 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya Nusyuz pada suami yaitu kurangnya pendidikan agama, tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, berpoligami, selingkuh, cemburu buta, bosan terhadap istri karena sudah tidak menarik lagi, kesal terhadap istri, mempunyai kebiasaan yang buruk karena pengaruh pergaulan di luar rumah tangga dan lain sebagainya. 2. Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari

pihak suami untuk memenuhi kewajibannya kepada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Dan yang berkenaan dengan tugas suami, dalam pandangan hukum Islam sudah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 128. 3. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Nomor

3074/Pdt.G/2012/PAJT, yakni mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dimana dalam pasal ini memberikan keterangan mengenai dasar dan tujuan perkawinan. Jadi, demi kemaslahatan bersama maka gugatan perceraianpun dikabulkan oleh Majelis Hakim.


(3)

73

B. Saran

Berdasarkan pada kenyataan di atas, sebagai catatan akhir yang bisa penulis sarankan adalah:

1. Bagi calon pasangan suami istri sebelum melangsungkan pernikahan diharapkan agar lebih intensif berkomunikasi dengan BP4.

2. Bagi pasangan suami istri hendaknya mengutamakan dasar dan tujuan dari pernikahan untuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

3. Diharapkan bagi pemerintah supaya memasukkan alasan dalam perceraian karena nusyuz istri atau suami, sehingga akibat hukum yang ditimbulkan jelas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. “HukumPerdata Islam Di Indonesia”.Jakarta :SinarGrafika 2006. Ali, Daud Muhammad.Hukum Islam danPeradilan Agama.Jakarta: PT. Raja

GrafindoPersada, 2002.

AF,Hasanuddin. Perkawinan dalam Persepkitf Al-Quran (Nikah,Talak,Cerai,Rujuk). Jakarta: Nusantara Damai Press.2011.

Abd al-‘Adzim dan Ahmad al-Ghundur, Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadist Secara Etimologi, Sosial dan Syari’at. Jakarta: Pustaka Firdaus 2003. As-Suyuthi, Jalaludin.Sebab Turunnya Al-Qu’ran. Jakarta: Gema Insani. 2009. Butsanah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian. Jakarta: Dar Thuwaiq,

1996.

Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1995 Ghazali, Mohid Norzulailidan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz,

ShiqaqdanAhkamMenurut Al-Quran, SunahdanUndang-undangKeluarga Islam. Malaysia: KolejUniversiti Islam Malaysia (KUIM),2007.

Hasanuddin, PerkawinandalamPerspektif Al-Quran, (nikah,talak,cerai,rujuk). Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011.

Harahap, M Yahya.KedudukanKewenangandanAcaraPeradilan Agama.Jakarta: Sinar Grafika,2003.

http://www.pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=37&Item id=135

https://www.google.com/search?q=nusyuz+suami

Indra,Hasbi dkk , Potret Wanita Shalehah. Jakarta: PENAMADANI, 2005.

InstruksiPresiden RI Nomor 1 tahun 1991, KHI di Indonesia.Jakarta: HumanioraUtama Press, 2001.


(5)

Latif,Djamil .Aneka HukumPerceraian di Indonesia.Jakarta :Ghalia Indonesia, 1982.

Mufidah, PsikologiKeluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Manan, Abdul, Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia.jakarta: kencana, 2008.

Ramulyo, Mohd Idris. Tinjauan beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam- Ed.Rev.- Jakarta: Ind-Hill-Co, 1990

Rusdiana, KamadanJaenalAripin, PerbandinganHukumPerdata,.Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.

Sopyan,Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Subekti.Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:PT. Intermasa,1995.

Syarifuddin,Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, ShahihFiqihWanita.Jakarta: AKBARMEDIA,2009.

Syaikh Hasan Ayyub.Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2006.

Selamat,Kasmuri.Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.

Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007,


(6)

HASIL WAWANCARA

1. Apakah di Pengadilan Agama Jakarta Timur banyak yang mengajukan gugatan perceraian?

Tentu banyak, namun setiap tahunnya kita merekapitulasi akan setiap perkaranya 2. Apa yang menjadi alasan dalam perkara cerai gugat?

Banyak yang menjadi alasan dalam perkara cerai gugat, namun terkadang sering kali pertengkaran yang terus menerus menjadi dasarnya.

3. Apakah proses persidangan Cerai Gugatsama dengan Cerai Talak?

Sebenarnya sama saja, namun cerai gugat itu persidangannya lebih singkat karena tidak memakai sidang ikrar talak.

4. Apa yang anda ketahui tentang Nusyuz? Nusyuz itu pembangkangan

5. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Nusyuz (suami)?

Banyak faktor ya, tapi terkadang suami nusyuz bisa disebabkan karena ulah dari istri, seperti istri jarang di rumah atau tidak patut pada suami.

6. Dan apa pertimbangan Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara Noomor 3074/Pdt.G/2012/PAJT?

Kita sebagai hakim untuk memutuskan sebuah perkara harus berdasarkan KHI dan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.