III METODE PENELITIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan objek dan peubah yang akan digunakan dalam
penelitian serta tahapan analisis yang dilakukan pada pembahasan.
3.1 Sumber Data
Data yang
digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik BPS dan Pusat
Statistik Pendidikan tahun 1994 s.d. tahun 2010. Data lengkap tahun 2010 diberikan
pada Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4.
3.2 Peubah dan Objek Penelitian
Peubah pendidikan yang digunakan pada penelitian ini :
1. Angka partisipasi sekolah APS
2. Angka partisispasi kasar APK
3. Angka mengulang AM
4. Angka putus sekolah APtS
5. Angka buta huruf ABH
6. Rata-rata lama sekolah RLS
Objek penelitian ini terdiri dari seluruh provinsi di Indonesia yang diberikan
pada Tabel 1.
3.3 Analisis
Eksplorasi data dilakukan dengan menggunakan grafik Microsoft Excel dan
fitting model
menggunakan software
Mathematica 8. Pemetaan
provinsi berdasarkan
peubah-peubah pendidikan
dilakukan dengan analisis biplot menggunakan paket
Biplot versi
4.1.0 dengan
software Mathematica 8 Ardana 2011.
Tabel 1 Objek Penelitian Kode
Provinsi 1
Aceh 2
Sumatera Utara 3
Sumatera Barat 4
R i a u 5
Kepulauan Riau 6
Jambi 7
Sumatera Selatan 8
Kep Bangka Belitung 9
Bengkulu 10
Lampung 11
DKI Jakarta 12
Jawa Barat 13
Banten 14
Jawa Tengah 15
Yogyakarta 16
Jawa Timur 17
B a l i 18
Nusa Tenggara Barat 19
Nusa Tenggara Timur 20
Kalimantan Barat 21
Kalimantan Tengah 22
Kalimantan Selatan 23
Kalimantan Timur 24
Sulawesi Utara 25
Gorontalo 26
Sulawesi Tengah 27
Sulawesi Selatan 28
Sulawesi Barat 29
Sulawesi Tenggara 30
Maluku 31
Maluku Utara 32
Papua 33
Papua Barat
IV PEMBAHASAN
4.1 Eksplorasi Data
Indonesia menetapkan
program pendidikan dasar sembilan tahun: enam
tahun di sekolah dasar anak usia 7 –12
tahun dan tiga tahun di SMP anak usia 13 –
15 tahun. Dengan demikian, sasaran untuk Indonesia lebih tinggi dari pada standar
internasional untuk pendidikan dasar. Angka partisipasi kasar dapat menjadi indikator
keberhasilan pencapaian target wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan pemerintah.
Gambar 2 menyajikan eksplorasi umum data angka partisipasi kasar secara nasional.
Sumber: BPS 2011 Gambar 2 Angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia.
Gambar 2 juga menunjukkan angka partisipasi kasar APK SD bernilai lebih
dari 100 setiap tahunnya. Hal ini disebabkan begitu banyak anak di bawah
usia 7 tahun yang sudah mengikuti pendidikan di SDMI. Di sisi lain, anak di
atas 12 tahun ada juga yang masih di SDMI. Hal ini karena ada dua kemungkinan.
Pertama, anak-anak yang masuk SD berusia lebih dari 7 tahun. Kedua, adanya anak-anak
yang mengulang kelas sehingga baru dapat menyelesaikan SD pada usia di atas 12
tahun.
Tren APK SMA mengalami kenaikan setiap tahunnya. APK SMA mencapai
62.53 pada tahun 2010. Nilai tersebut masih
tergolong rendah
dibandingkan dengan APK SD sebesar 111.63 dan APK
SMP sebesar 80.35. APK SD cenderung lebih tinggi daripada yang lain karena SD
merupakan pendidikan dasar formal pertama yang harus dilalui oleh anak sekolah.
Selain angka partisipasi kasar, angka partisipasi murni juga dapat menjadi
indikator keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun. Pada Gambar 3 telah
disajikan angka partisipasi murni pada setiap jenjang pendidikan.
Data BPS menunjukkan bahwa angka partisipasi murni APM SDMI meningkat
setiap tahunnya. Tren APM SD mendekati 100. Pada Gambar 3 juga terlihat bahwa
APM SMP mengalami peningkatan menjadi 67.02 pada tahun 2010. APM SD dan
APM SMP mengalami peningkatan setiap tahunnya karena adanya program wajib
belajar
sembilan tahun
yang telah
dicanangkan pemerintah sejak 1994 oleh pemerintah.
Pemerintah mendukung
program tersebut
dengan memberikan
bantuan operasional sekolah BOS berupa biaya sekolah gratis dan buku gratis. Begitu
juga dengan APM SMA yang menunjukkan tren naik meskipun masih tergolong rendah.
20 40
60 80
100 120
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
Per sen
tase
Tahun
SDMI SMPMTs
SMMA
Sumber: BPS 2011 Gambar 3 Angka partisipasi murni pendidikan di Indonesia.
Target penuntasan
wajib belajar
sembilan tahun yang pada awalnya sampai tahun 2004 harus mundur sampai tahun 2009
karena krisis moneter. Selain krisis moneter, kondisi geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan yang sangat sulit dijangkau oleh layanan pendidikan juga menjadi penyebab
pencapaian target program belajar menjadi tertunda. Hal ini yang menyebabkan masih
tingginya angka buta huruf di Indonesia BPPN 2007.
Pada awal program wajib belajar sembilan tahun angka buta huruf mencapai
12.74 untuk usia 10 tahun ke atas dan 36.06 untuk usia di atas 45 tahun. Pada
tahun 2010, angka buta huruf mengalami penurunan sebesar 0.25 untuk usia di atas
10 tahun menjadi 6.34. Angka buta huruf untuk usia 45 tahun ke atas turun hingga
18.25 pada tahun 2010. Penurunan angka buta huruf lebih jelas disajikan pada
Gambar 4. Angka penurunan tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar
sembilan tahun berhasil meskipun angka buta huruf untuk usia di atas 45 tahun masih
relatif tinggi.
Sumber: BPS 2011 Gambar 4 Angka buta huruf di Indonesia.
Pencapaian target
wajib belajar
sembilan tahun juga dapat dilihat dari banyaknya penduduk berusia 15 tahun ke
atas yang tamat di setiap jenjang pendidikan. Dapat dilihat juga bahwa masih ada
beberapa persen penduduk yang tidak sekolah.
Gambar 5
menunjukkan bahwa
persentase penduduk yang tidakbelum sekolah mengalami penurunan. Tren
penurunan juga terjadi pada penduduk yang tidak tamat SD. Penurunan persentase
penduduk yang tidakbelum sekolah dan penduduk yang tidak tamat SD setiap
tahunnya dapat dilihat pada Gambar 5. 20
40 60
80 100
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
Per sen
tase
Tahun
SDMI SMPMTs
SMMA
10 20
30 40
50 60
70 80
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
Per sen
tase
Tahun
usia 45 th + usia 15-44 th
usia 15 th + usia 10 th +
Sumber: BPS 2011 Gambar 5 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah atau tidak tamat SD.
Persentase penduduk yang hanya tamat SMP dan SMA mengalami kenaikan setiap
tahunnya. Kenaikan ini disebabkan pada tahun 2007 pemerintah mencanangkan
program pendidikan nonformal berupa paket A setara SD, paket B setara SMP, dan
paket C setara SMA untuk penduduk yang ingin sekolah meskipun usianya sudah
melebihi usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Akan tetapi, penduduk
yang hanya tamat pendidikan SDsederajat mengalami
penurunan meskipun
tidak terlalu signifikan. Untuk lebih jelasnya
mengenai eksplorasi
setiap jenjang
pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk yang berusia di atas 15 tahun dapat dilihat
pada Gambar 6.
Sumber: BPS 2011 Gambar 6 Penduduk usia 15 tahun ke atas yang hanya tamat SD, SMP dan SMA.
Berdasarkan data lama waktu sekolah rata-rata seluruh provinsi dari tahun 1994
sampai dengan tahun 2010 diperoleh fitting model logistik berikut Lampiran 5
=
. 97 � .
+ . 97 �
. Plot data beserta fitting model tersebut
diberikan pada Gambar 7. Rata-rata lama sekolah menunjukkan bahwa pada tahun
tertentu peserta didik mampu menyelesaikan pendidikannya. Rata-rata lama sekolah
memiliki model berupa fungsi logistik dengan koefisien determinasi R
2
sebesar 98.5. Hasil ini menunjukkan bahwa model
logistik dapat
menjelaskan keragaman
dinamika rata-rata lama sekolah. 5
10 15
20 25
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
Per sen
tase
Tahun
Tidakbelum sekolah
Tidak tamat SD
5 10
15 20
25 30
35 40
19 94
19 95
19 96
19 97
19 98
19 99
20 00
20 01
20 02
20 03
20 04
20 05
20 06
20 07
20 08
20 09
20 10
Per sen
tase
Tahun
hanya tamat SDsederajat
hanya tamat SMPsederajat
hanya tamat SM +sederajat
Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa laju peningkatan rata-rata lama sekolah dapat
mencapai maksimum setelah 100 tahun kemudian.
Gambar 7 Fitting model rata-rata lama sekolah.
4.2 Korelasi