Batasan wilayah pesisir Kebijakan pemerintah otonomi daerah

11

2.2.1 Batasan wilayah pesisir

Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem laut dan daratan, di mana segenap faktor yang bekerja di ekosistem laut dan daratan bertemu serta membentuk ekosistem yang unik. Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang batas kearah darat dan kearah laut dari suatu wilayah pesisir Adiati, 1996 . Definisi pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran Dahuri, 2003. Pembatasan wilayah pesisir demikian menggambarkan bahwa potensi dan kekayaan wilayah pesisir yang besar. Maka perlu adanya sebuah manajemen pembangunan di bidang perikanan dan kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat pesisir, dalam hal ini nelayan.

2.2.2 Kebijakan pemerintah otonomi daerah

UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di adendum menjadi UU No. 32 tahun 2006 memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya, disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan. Pemberian wewenang ini tidak menghapuskan komitmen Pemerintah Pusat dengan pelbagai konvensi internasional terkait, termasuk dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya. Kondisi tersebut di atas menunjukkan perlunya konsep terpadu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir ini, agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat yang dilandasi oleh kepentingan bersama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan serta pembangunan yang berkelanjutan. Realitas yang terjadi sejak pemberlakukan Otonomi Daerah 1 Januari 2001, menunjukkan terjadinya peralihan kebijakan yang bersifat terpusat ke daerah, dimana menimbulkan konsekuensi bagi dunia usaha, terutama di bidang kelautan yang akan 12 dijadikan peluang yang menjanjikan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD. Hal ini pula yang kemudian menjadikan banyak pertanyaan dari pihak daerah tentang masalah-masalah yang menyangkut batas penyelenggaraan usaha kelautan, penentuan kebijakan faktor legal yang harus dilibatkan, komposisi pembagian keuntungan yang harus seimbang, dan menyangkut masalah pengembangan masyarakat pesisir sebagai tujuan pokok Satria, 2002. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus diimbangi oleh strategi yang dapat mengantisipasi permasalahan di atas, antara lain adalah dengan persiapan yang matang, kepercayaan publik, difasilitasi pemerintah pusat dan daerah, kejelasan visi pengembangan, dan kesiapan sumberdaya yang mampu beradaptasi. Hal ini hanya dapat dilaksanakan dengan demokratis, partisipasi masyarakat, kreativitas dan aspirasi masyarakat tidak saja lebih terjamin, tetapi yang lebih penting lagi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dudle Seers dengan definisi perkembangan ekonomi yang mencakup peningkatan output per kapita, penurunan kemiskinan absolut, perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan penyerapan tenaga kerja mengemukakan pemikiran strukturalis bahwa jika pertumbuhan yang berkesinambungan terjadi disektor modern yang diiringi dengan terjadinya diversifikasi struktural dalam ekonomi, maka situasi ini akan menimbulkan penyerapan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor-sektor yang berproduktivitas tinggi dengan tingkat upah yang juga tinggi Satria, 2002. Tumbuhnya kesadaran bahwa nilai lokal dan keswadayaan masyarakat merupakan faktor penting bagi berlangsungnya pembangunan kelautan. Jika dalam model pembangunan kelautan konvensional menempatkan negarapemerintahan sebagai aktor penting pembangunan dan bersifat top-down, maka dalam model gerakan baru aktor pembanguan tersebut didesentralisasikan kepada masyarakat pada tingkat yang paling kecil bottom-up. Hal ini dapat diartikan bahwa kita harus menyediakan ruang yang lebih besar kepada inisiatif-inisiatif lokal yang berkembang di masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Pada titik ini, pengembangan daerah harus memiliki keberpihakan untuk mengikutsertakan masyarakat sebagai partisipan gerakan. Konsekuensinya, lembaga-lembaga seperti LSM Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Non Pemerintah lainnya harus diberi tempat untuk berkiprah dalam proses pengembangan, 13 sekaligus diperlakukan sebagai alternatif atau prototip gerakan yang akan ikut berperan aktif dalam mensukseskan pembangunan kelautan Satria, 2002.

2.2.3 Pemanfaatan sumberdaya pesisir