11. Pengukuran pertumbuhan bakteri Todar, 2007
Pengukuran pertumbuhan bakteri dilakukan dalam periode waktu tertentu. Perhitungan tersebut menggunakan metode pour plate metode
tuang. Pertumbuhan Clostridium butyricum ditandai dengan koloni putih pada media agar RCM. Pertumbuhan bakteri digambarkan pada kurva
hubungan jumlah sel dan waktu inkubasi. Kecepatan pertumbuhan spesifik bakteri pada masing-masing media saat fase log diukur menggunakan
persamaan berikut: = ln X
t
– ln X
o
t-t
o
. Sementara pengukuran jumlah generasi dan waktu generasi dinyatakan
dalam persamaan berikut: Dimana: = kecepatan pertumbuhan spesifik
Keterangan : X
t
= jumlah sel pada waktu t X
o
= jumlah sel pada waktu t
o
t-t
o
= selang waktu fase log pertumbuhan jam G = Waktu generasi jam
12. Metode analisis SCFA Jensen
et al. 1995 modifikasi
Sampel dianalisis dengan kromatografi gas GC. Kondisi kromatografi gas disajikan pada lampiran 7. Cairan sampel hasil
fermentasi disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 15 menit, kemudian di filtrasi dengan mikrofilter 0.45 m. Sebanyak 96 l filtrat di campur
dengan standar butirat dan asetat masing-masing 2 l. Larutan sampel diinjeksikan sebanyak 1 l ke port GC. Kurva standar dibuat dengan
menginjeksikan 1 l campuran standar asam asetat dan butirat
berkonsentrasi 10, 20, 30, 40 lml. Besar konsentrasi asetat dan butirat pada sampel dihitung berdasarkan kurva standar dan dikonversi menjadi
satuan mM. •
Waktu generasi G = Ln 2 •
Jumlah Generasi n = t – t G
13. Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah uji Univariete yang dilanjutkan uji Duncan untuk menguji perbedaan antar variabel uji pada
taraf signifikansi 5. Variabel uji meliputi kadar amilosa, pati resistan, dan luas zona bening agar plate. Uji paired t-test digunakan untuk
mengetahui korelasi produksi asetat dan butirat. Analisa statistik dilakukan menggunakan aplikasi SPSS 15.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Karakteristik kimiawi pati resistan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik kimiawi pati resistan terhadap kemampuan fermentasinya sebagai substrat bagi
pertumbuhan bakteri kolon, yakni Clostridium butyricum BCC B2571. Karakteristik kimiawi yang memiliki pengaruh terhadap sifat fermentatif pati
dan kadar pati resistan adalah rasio amilosa : amilopektin. Kadar amilosa pati native beras dan sagu disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar amilosa Hi Maize, pati beras, sagu, standar pati beras Lusi dan Ciherang CHR.
Hasil pengujian kadar amilosa menunjukkan Hi maize sebagai kontrol mengandung amilosa tertinggi yakni 63.36, sementara pati native sagu
mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan pati native beras. Kadar amilosa pati sagu 45.3, sedangkan pati beras 38.93. Hasil uji duncan
menunjukkan ketiga jenis pati uji memiliki kadar amilosa yang berbeda nyata pada taraf 5 Lampiran 3.
Pengukuran amilosa pada penelitian ini juga menggunakan standar beras beramilosa rendah dan sedang, yakni Lusi dan Ciherang CHR. Standar beras
tersebut digunakan sebagai pembanding untuk menentukan klasifikasi beras sampel berdasarkan kadar amilosanya. Berdasarkan klasifikasi beras oleh
Winarno 1997 dapat disimpulkan bahwa pati beras Cisokan yang digunakan sebagai substrat termasuk dalam klasifikasi beras beramilosa tinggi yakni
dengan kadar amilosa 38.93. Pengujian amilosa juga dilakukan terhadap pati beras dan sagu yang telah
diproses menjadi RS tipe 3. Hasil pengujian menunjukkan kadar amilosa beras dalam bentuk pati resistan bernilai lebih rendah dibandingkan pati native-nya.
Kadar amilosa RS beras adalah 31.83 Lampiran 3. Hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat aktivitas pemotongan rantai polisakarida oleh enzim pullulanase
yang diaplikasikan pada saat pembuatan pati resistan. Enzim pullulanase merupakan debranching enzim yang mampu memotong ikatan α-1.6 glikosidik
pada pullulan, amilopektin dan polisakarida lain. Pemotongan rantai pati oleh pullulanase akan menghasilkan rantai linier dan komponen berbobot rendah
Pongjanta et al. 2009. Salah satu komponen pati yakni amilopektin dapat diklasifikasikan
berdasarkan distribusi panjang rantainya, yakni amilopektin berantai panjang long-chain dan rantai pendek short chain. Keduanya berbeda dalam hal
derajat polimerisasi DP. Sasaki et al 2009 mengklasifikasikan amilopektin dengan DP ≤ 13 ke dalam rantai pendek, sedangkan DP ≥ 13 termasuk rantai
panjang. Dengan demikian, rendahnya kadar amilosa pada pati resistan beras yang terukur kemungkinan disebabkan oleh distribusi rantai amilopektin yang
pendek pada pati native-nya, sehingga proses hidrolisis enzim pullulanase menghasilkan rantai-rantai polisakarida pendek yang tidak mampu menjerat
iodine pada saat pengukuran amilosa. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, rasio amilosa-amilopektin
berpengaruh terhadap kadar pati resistan yang diproses dengan gelatinisasi- retrogradasi. Pati resistan yang terbentuk akibat gelanitinisasi-retrogradasi
diklasifikasikan sebagai pati resistan tipe 3. Sajilata et al. 2005 menyebutkan pembentukan pati resistan tipe 3 akan lebih optimal jika menggunakan bahan
yang mengandung amilosa tinggi. Hal ini dikarenakan komponen amilosa akan membentuk kristal pada saat retrogradasi, sehingga bersifat resistan. Secara
komersial, pati resistan tipe 3 dibuat dari pati tergelatinisasi yang mengandung lebih dari 40 amilosa.
Berdasarkan hasil uji amilosa, maka dapat disimpulkan bahwa bahan baku pembuatan pati resistan pada penelitian ini termasuk kategori pati
beramilosa tinggi. Dengan demikian diharapkan proses retrogradasi saat pembuatan RS tipe 3 akan menghasilkan pati resistan berkadar tinggi. Hasil
pengukuran pati resistan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kadar pati resistan Hi maize, RS beras dan RS sagu.
Pengujian statistik pada taraf signifikansi 5 menunjukkan kadar pati resistan Hi maize tidak berbeda nyata dengan RS sagu, namun berbeda nyata
dengan RS beras Lampiran 4. RS sagu memiliki kadar pati resistan 31.65, sedangkan RS beras hanya 25.23. Hasil pengujian menunjukkan adanya
kecenderungan yang sama antara kadar amilosa pati native dengan kadar pati resistan yang dihasilkan. Pati native sagu memiliki kadar pati amilosa lebih
tinggi dibandingkan dengan pati native beras, sehingga pati resistan yang terbentuk pada RS sagu bernilai lebih besar dibandingkan RS beras. Pati
resistan yang terbentuk merupakan hasil proses retrogradasi amilosa.
Menurut Wasserman et al. 2007 proses pembuatan pati resistan tipe 3 melalui dua tahap, yakni 1 gelatinisasi menyebabkan struktur granula
mengembang akibat penyerapan air yang berlebih selama pemanasan, 2 retrogradasi pati yang mengakibatkan rekristalisasi rantai amilosa dan
amilopektin. Proses gelatinisasi menyebabkan pati lebih mudah tercerna dibandingkan dalam bentuk mentahnya. Namun gel pati tersebut tidak stabil
dan membentuk kristal saat pendinginan. Peristiwa tersebut dinamakan retrogradasi. Retrogradasi pati akan menghasilkan polimer linier berrantai
pendek yang tidak larut dan bersifat resistan terhadap enzim pencernaan. Oleh karena itu, sumber pati beramilosa tinggi akan memiliki kadar RS yang tinggi
pula. Salah satu syarat pembentukan RS adalah rantai glukosa dengan panjang rantai minimum 30-40 residu, namun adanya kompleksitas rantai tersebut
dengan lipid dapat menghambat pembentukan RS Mangala et al. 1999. Proses kristalisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar
amilosa dan panjang rantai, suhu autoclave, waktu penyimpanan dan suhu gelatinisasi Ozturk et al. 2009. Penelitian Escarpa et al. 1996 membuktikan
bahwa proses kristalisasi tidak hanya terjadi pada rantai amilosa, tapi juga pada rantai amilopektin, namun kecepatannya lebih rendah dibandingkan
retrogradasi amilosa. Walaupun begitu, proses retrogradasi amilopektin tidak dapat diabaikan karena turut berkontribusi dalam pembentukan pati resistan.
Kadar RS pada bahan pangan juga dipengaruhi oleh proses termal. Oleh karena itu pengaruh autoclaving terhadap pati resistan yang akan digunakan
sebagai bagian dari medium tumbuh bakteri pada penelitian ini pun diuji. Autoclaving dilakukan pada 121
C selama 20 menit dengan tujuan sterilisasi. Hasil pengujian stabilitas RS disajikan pada Gambar 5. Kadar pati resistan
pada ketiga sampel setelah autoclave mengalami penurunan. Kadar RS Hi maize menurun dari 16.66 mg10ml menjadi 15.76 mg10ml. Sementara pada
RS sagu dan RS beras terjadi penurunan kadar RS yang drastis. Kadar RS sagu menurun dari 15.86 mg10ml menjadi 8.42 mg10ml, sedangkan RS beras
menurun dari 12.74 mg10ml menjadi 5.02 mg10ml.
Gambar 5. Kadar pati resistan sebelum dan sesudah autoclave.
Stabilitas panas pati selama proses autoclave terkait dengan suhu leleh komponen pati. Wasserman et al. 2007 menyatakan terdapat kecenderungan
bahwa sumber beramilosa tinggi memiliki suhu leleh yang tinggi pula. Suhu leleh amilosa mencapai 140
C, sementara amilopektin dapat meleleh pada suhu 60-70
C. Pada saat suhu leleh tersebut struktur kristal amilosa dan amilopektin rusak.
Kadar pati resistan pada ketiga substrat uji memiliki penurunan dengan kecenderungan yang sama seperti kadar pati resistan sebelum autoclave.
Walaupun mengalami penurunan, kadar pati resistan Hi maize setelah autoclave masih tertinggi, yakni 15.76 mg10ml, sedangkan RS sagu 8.42
mg10ml dan RS beras 5.02 mg10ml. Penurunan kadar RS setelah autoclave kemungkinan terjadi akibat rusaknya struktur kristalin pati, sehingga pati tidak
lagi bersifat resistan. Penurunan kadar RS pada kontrol Hi Maize tidak terlalu drastis. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh stabilnya struktur granula yang dimiliki, sehingga dapat stabil pada suhu autoclave. Hi maize yang digunakan
merupakan RS tipe 2. Strukturnya yang kompak membatasi akses enzim pencernaan untuk menghidrolisis ikatannya.
Pati resistan tipe 3 dari sampel RS beras dan RS sagu mengalami penurunan kadar RS yang drastis setelah diautoclave. Pada proses pembuatan
pati resistan tipe 3 ini Lampiran 8 pati di autoclave dan disimpan pada suhu 4
C. Pada proses ini pati mengalami kristalisasi. Proses kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatik dengan debranching enzim pullulanase. Jika
struktur amilopektin yang dimiliki oleh kedua pati adalah amilopektin bercabang banyak dan pendek, maka diperkirakan produk yang terbentuk dari
hidrolisis adalah rantai pendek yang bercabang pula. Penyimpanan pati selama beberapa lama akan memberi peluang bagi rantai amilopektin untuk
membentuk kristalin. Retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat refersibel bila diberi
panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi amilosa. Karena itulah, berdasarkan data yang diperoleh, kemungkinan pati resistan yang terbentuk
pada RS sagu dan RS beras adalah hasil dari retrogradasi amilopektin. Lehman et al. 2002 menyebutkan panjang rantai linier pun mempengaruhi
retrogradasi. Untuk pembuatan RS tipe 3 sangat optimal menggunakan α- poliglukan dengan derajat polimerisasi 20.
B. Pertumbuhan