Pertumbuhan bakteri secara umum dipengaruhi oleh struktur, ukuran, dan komposisi biokimia substrat serta ketahanannya terhadap serum
bakterisidal Casciato et al., 1974. Sementara itu, Tovar et al. 1992
mengindikasikan perbedaan fraksi RS memiliki perbedaan kemampuannya untuk difermentasi. Beras dan sagu merupakan bahan pangan sumber
karbohidrat yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dan memiliki perbedaan sifat baik secara fisik maupun kimia. Salah satu sifat kimiawi
substrat yang berpengaruh terhadap fermentasi kolon dan pertumbuhan bakteri kolon adalah rasio amilosa : amilopektin pati. Oleh karena itu, penelitian
mengenai pertumbuhan salah satu bakteri kolon yakni Clostridium butyricum terhadap pati resistan perlu dilakukan. Bakteri ini menghasilkan metabolit
dominan berupa asam butirat dibandingkan dengan bakteri kolon lainnya. Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan memanfaatkan substrat berupa
pati resistan beras Cisokan dan sagu asal Sukabumi. Profil SCFA yang dihasilkan dianalisis dengan kromatografi gas.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan Clostridium butyricum pada substrat pati resistan beras Cisokan dan sagu asal
Sukabumi serta menganalisis profil SCFA yang dihasilkannya.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah untuk menghasilkan data dasar bagi pengembangan produk pangan fungsional berbasis pati resistan dalam bentuk
prebiotik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI RESISTAN
Pati merupakan komponen yang banyak ditemukan pada bahan pangan dan berperan sebagai penyedia energi lebih dari 50 dari total diet pada
masyarakat agrarian. Komponen pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah rantai lurus glukosa berikatan α-D-1,4 glikosidik, sedangkan
amilopektin berupa rantai dengan cabang yang berikatan α-D-1-6 glikosidik. Pada beras rasio kandungan amilosa : amilopektin akan berpengaruh terhadap
tekstur Amelsvoort et al. 1996. Di dalam saluran pencernaan, pati akan dihidrolisis oleh saliva dan
enzim pankreatik kemudian diserap di usus halus, namun hidrolisis tersebut tidak selalu terjadi sempurna. Beberapa komponen pati yang tidak terhidrolisis
akan mencapai kolon dan disebut sebagai pati tidak tercerna non digestible starch. Goni dan Alonso 2000 menyebutkan bahwa salah satu bentuk pati
yang mampu melewati usus halus sehingga dapat mencapai kolon adalah pati resistan. Di kolon, pati resistan berperan sebagai substrat fermentasi bagi
bakteri dan dapat memberi manfaat fisiologis bagi kesehatan karena perannya sebagai prebiotik Croghan, 1992. Secara alami beberapa bahan pangan
mengandung sejumlah pati resistan, namun proses pengolahan yang melibatkan gelatinisasi dan retrogradasi dapat mempengaruhi kadar pati resistan pada
produk pangan Sajilata et al. 2006. Goni et al. 1996 mengklasifikasikan bahan pangan berdasarkan kandungan pati resistan sebagaimana disajikan pada
Tabel 1. Berdasarkan sumbernya, pati resistan RS digolongkan menjadi 4 tipe;
RS
1
merupakan pati yang secara fisik tidak dapat dihirolisis, RS
2
pati resistan berbentuk granular, RS
3
berupa pati retrogradasi, dan RS
4
adalah pati termodifikasi secara kimia. Salah satu tipe pati resistan yang paling banyak
diteliti adalah RS
3
. RS
3
terbentuk akibat proses retrogradasi yang mengakibatkan struktur kristalin amilosa terbentuk kembali melalui ikatan
hidrogen pada double helix-nya Fen, 2007. RS
3
banyak terbentuk akibat
proses pengolahan pangan sehari-hari dan bersifat mudah dikooperasikan ke dalam struktur bahan pangan. Karena itulah, RS
3
sangat luas diaplikasikan dalam produk pangan seperti pada produk pemanggangan, sereal, pasta dan
snack Brouns et al. 2002.
Tabel 1. Klasifikasi Kadar Pati Resistan pada Bahan Pangan Goni et al. 1996
Kelas Kadar Pati Resistan
bobot kering Bahan Pangan
Diabaikan ≤
1 Kentang rebus
Pasta Sereal yang mengandung dedak tinggi
Tepung gandum Rendah
1-2.5 Sereal sarapan
Biskuit Roti
Kentang dan
Beras Rebus
didinginkan Sedang
2.5-5.0 Sereal sarapan Cornflakes, Rice
Crispies Kentang goreng
Kacang ekstrusi Tinggi
5.0-15 Kacang yang dimasak
Pati retrogradasi Cooked Frozen starchy food
Sangat Tinggi 15
Kentang dan kacang mentah Amylo-maize
Pisang belum matang Amilosa teretrogradasi
Beras dan sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat. Beras bahkan telah menjadi panganan pokok bagi sebagian besar penduduk di dunia karena
kandungan karbohidratnya yang mencapai lebih dari 80 Mangala et al. 1999. Setiap varietas beras memiliki sifat unik tertentu yang dipengaruhi
oleh iklim, sifat tanah dan cara budidaya. Varietas-varietas tersebut menghasilkan sifat pati beras yang bervariasi pula, meliputi derajat
gelatinisasi, tekstur, stabilitas proses dan viskositas Childs, 2004. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras digolongkan menjadi empat
klasifikasi ; beras beramilosa tinggi mengandung amilosa 25-33, beras beramilosa menengah mengandung 20-25, beras beramilosa rendah
mengandung 9-20 dan beras beramilosa sangat rendah mengandung kurang dari 9 amilosa Winarno, 1997. Kandungan amilosa tersebut
mempengaruhi tekstur beras. Beras beramilosa tinggi memiliki tekstur pera dan keras, sedangkan beras beramilosa rendah bertekstur pulen dan lengket.
Kandungan pati sagu tergolong tinggi yakni 82.13, sehingga berpotensi dikembangkan menjadi produk turunan pati ataupun diaplikasikan
sebagai produk di industri. Selama ini pemanfaatan pati sagu di Indonesia hanya sekitar 10 dari potensi yang ada. Umumnya pati sagu digunakan
sebagai bahan campuran pembuatan kue kering atau biskuit yang bertujuan agar kue lebih renyah.
B. BAKTERI
Clostridium butyricum
Kolon merupakan habitat mikroflora, baik yang bermanfaat maupun patogen. Kolonisasi mikroflora di kolon dapat mencapai 10
10
sampai 10
12
CFUml dan didominasi oleh genus Bifidobacteria. Keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan mempengaruhi status kesehatan seseorang dan
dipengaruhi oleh jenis pangan yang dikonsumsi. Beberapa penelitian membuktikan konsumsi pangan prebiotik mampu mendukung pertumbuhan
mikroflora baik karena berperan sebagai penyedia makanan bagi pertumbuhannya.
Salah satu bakteri kolon adalah Clostridium butyricum yang memiliki karakteristik berupa gram positif pembentuk spora, bersifat anaerob obligat
dan hidup di usus besar manusia dan hewan, serta tanah. Sebagai salah satu mikroflora
dalam tubuh,
Clostridium butyricum
berperan dalam
menghasilkan asam lemak rantai pendek SCFA, terutama asam butirat, asetat dan propionat serta sejumlah asam format dan laktat Miwatani, 1990.
Clostridium butyricum berperan biologis untuk mendukung pertumbuhan bakteri menguntungkan lain dalam saluran pencernaan seperti Bacillus
bifidus, Acidophilous bacterium acidi lactici dan Streptococcus faecium. Pada beberapa penelitian, Clostridium butyricum lebih sering digunakan
sebagai bakteri fermentasi guna menghasilkan asam butirat dibandingkan
dengan bakteri lain. Hal ini dikarenakan fermentasi menggunakan Clostridium butyricum membutuhkan medium pertumbuhan yang sederhana,
dapat menghasilkan metabolit yang tinggi, dan mudah diisolasi. Penelitian sebelumnya
membuktikan bakteri
dari genus
Clostridium dan
Bifidobacterium di dalam usus mampu memfermentasi pati beramilosa tinggi, namun kemampuan fermentasi Clostridium lebih tinggi Wang et al. 1999.
Pada kondisi optimumnya, setiap mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan sangat baik. Beberapa faktor yang memperngaruhi
pertumbuhan mikroorganisme adalah suhu, keberadaan oksigen dan nutrisi. Kondisi optimum pertumbuhan Clostridium butyricum adalah pada suhu 35-
37 C. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan sebagai nutrisi bakteri
berasal dari laktosa whey, sukrosa dari molases, pati selulosa, tepung gandum dan limbah kentang.
Pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase, yakni fase lag adaptasi, fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian sebagaimana yang digambarkan
pada Gambar 1. Selama fase lag, bakteri beradaptasi dan mempersiapkan substansi untuk pertumbuhannya seperti RNA, enzim dan molekul lain. Pada
fase lag belum terjadi pembelahan sel sehingga jumlah bakteri mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Sementara fase logaritmik merupakan fase
pertumbuhan secara logaritmik yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan media pertumbuhan. Selanjutnya fase stasioner terjadi akibat menurunnya
nutrisi pada media pertumbuhan dan adanya akumulasi zat racun atau metabolit yang diproduksi bakteri. Pada fase ini jumlah sel yang tumbuh
sama dengan jumlah sel yang mati sehingga tidak terjadi pertumbuhan. Fase akhir bakteri adalah fase kematian yang mengakibatkan kematian bakteri
akibat kekurangan nutrisi Todar, 2007. Pertumbuhan bakteri bersifat spesifik begitu pula kecepatan tumbuhnya.
Kecepatan tumbuh mikroorganisme tergantung pada tipe mikroorganisme, spesies dan lingkungan tumbuhnya. Kecepatan tumbuh mikroorganisme
dapat diketahui dari persamaan matematis sebagai berikut: = ln X
t
– ln X
o
t-t
o
. dimana X
t
dan X
o
adalah jumlah mikroorganisme pada akhir dan awal selama waktu t dan t
o.
Gambar 1. Kurva pertumbuhan bakteri Todar, 2007
C. ASAM LEMAK RANTAI PENDEK SCFA
Short Chain Fatty Acids SCFAs merupakan asam lemak rantai pendek yang terdiri dari asetat, propionat dan n-butirat. Asam lemak ini diproduksi
dari proses fermentasi polisakarida, oligosakarida, protein, peptide, prekursor glikoprotein, turunan serat pangan dan pati resistan secara anaerobik di usus
besar Andoh et al. 2003. Hasil fermentasi lain selain SCFA adalah gas CO
2
, H
2
dan CH
4
serta produk lain seperti laktat, etanol dan suksinat yang dibentuk oleh tipe bakteri yang berbeda Drochner et al. 2004.
Pada manusia, umumnya sebaran SCFA adalah asetat propionate butirat. Konsentrasi total SCFA biasanya antara 70-140 mM pada proximal
colon dan 20-70 mM pada distal colon Nugent, 2005. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbedaan struktur polisakarida dan serat
menghasilkan asam lemak dengan rasio komposisi C
2
– C
4
yang berbeda Casterline et al. 1997, misalnya fermentasi pektin menghasilkan rasio
asetat:propionat:butirat sebesar 80:12:8, polisakarida non pati 63:22:8, sedangkan pati resistan 62:15:23 Cummings, 1997 dan Drochner et al.
2004. Estimasi produksi SCFA di kolon dapat dilakukan dengan fermentasi
Waktu Ju
m la
h b
ak te
ri
in vitro. Hal ini dikarenakan absorbsi SCFA di dalam tubuh terjadi sangat cepat, sehingga sulit dilakukan secara in vivo. Selain itu, dengan fermentasi
in vitro pola pertumbuhan bakteri dalam menggunakan substrat secara individu dapat diketahui.
Produksi asam lemak rantai pendek terbukti bermanfaat bagi kesehatan karena terkait dengan metabolisme kolesterol, glukosa dan pencegahan
kanker kolon Casterline et al. 1997. Asam butirat, salah satu asam lemak dengan empat karbon terbukti dapat mereduksi terjadinya kanker kolon
melalui proses apoptosis, menghambat invasi sel kanker dan berperan sebagai antimikroba patogen usus seperti Escherichia coli, Salmonella spp. dan
Clostridium spp. Brouns et al. 2002 dan Montagne et al. 2003. Selain itu, asam butirat berperan sebagai bahan bakar untuk respirasi sel-sel kolon
colonocytes. Sebuah penelitian menunjukkan oksidasi asam butirat dapat menghasilkan lebih dari 70 oksigen untuk kebutuhan jaringan kolon
manusia. Oleh karena itu, asam butirat berperan sebagai sumber energi utama
untuk proses pertumbuhan sel Schwiertz et al. 2002. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pati resistan berkadar lebih dari 50 total pati
menghasilkan butirat terbanyak Kettlitz et al. 1997. Anabolisme butirat dan asetat hasil fermentasi mikroba anaerobik
disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan jalur tersebut produksi asetat dan butirat dibantu oleh enzim asetat kinase dan butirat kinase. Pada awalnya
glukosa diubah menjadi piruvat melalui jalur glikolisis, selanjutnya piruvat diubah menjadi acetyl-CoA oleh piruvat dehidrogenase. Selanjutnya, acetyl-
CoA berperan sebagai substrat yang dapat diubah menjadi asetat ataupun butirat, tergantung pada jenis enzim yang bekerja padanya. Jika enzim
phosphotransasetilase yang bekerja maka akan menghasilkan produk acetyl- phospate yang kemudian akan diubah menjadi asetat oleh asetat kinase,
sedangkan jika acetyl-CoA berubah menjadi acetoacetyl-CoA melalui proses pelepasan HS-CoA, maka akan terbentuk butyryl-CoA yang pada akhirnya
akan diubah menjadi butirat oleh butyrate kinase. Selain diubah menjadi acetyl-CoA, piruvat juga digunakan bakteri untuk menghasilkan laktat
Amans et al. 2001. Asetat dan laktat merupakan produk dominan pada jalur
bakteri Bifidus, sementara butirat diproduksi oleh bakteri genus Clostridium dan Eubacterium Sanz et al. 2005
Gambar 2. Jalur Metabolisme Anaerob Clostridium butyricum.
1. Hidrogenase; 2 Ferredoxin-NADP
+
reductase; 3. NADPH-ferredoxin reductase; 4. Gliserol dehidrogenase; 5. DHA kinase; 6. 1,3-propanediol dehidrogenase;
7. Gliserol dehidratase; 8. Phospotransasetilase; 9. Asetat kinase; 10. Phospotransbutirilase;
11. Butirat
kinase; 12.
Piruvat-ferredoxin oxidoreductase; 13. Gliseraldehid-3-pospat dehidrogenase Amans et al.
2001.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Sampel pati resistan yang digunakan pada penelitian ini adalah pati resistan beras Cisokan dan pati sagu asal Sukabumi yang diperoleh dari Balai
Besar Penelitian Pasca Panen. Pati resistan yang digunakan merupakan RS tipe 3 hasil retrogradasi dan hidrolisis enzimatik dengan enzim pullulanase 160
NPUNg substrat. Kontrol yang digunakan adalah pati resistan komersial High Maize dengan merek dagang Novelose 260 National Starch. Bakteri
fermentatif yang digunakan adalah Clostridium butyricum BCC B2571 yang berasal dari kultur Balai Besar Veteriner.
Bahan yang digunakan adalah yeast extract, beef extract, peptone, glukosa, soluble starch, sodium klorida, sodium asetat, cystein hidrocloride,
bacto agar, indikator potensial redox resazurin, gas CO
2
, K
2
SO
4
, HgO, H
2
SO
4
pekat, NaOH, H
2
BO
3
, HCl, KOH 2 M, amilosa murni, etanol 95, asam asetat 1 N, larutan iod, KI, buffer KCl-HCl pH 1.5, buffer Trismaleate 0.1 M pH 6.9,
akuades, larutan α-amilase, larutan amiloglukosidase, pepsin, buffer sodium asetat 0.4 M pH 4.75, fenol 5, standar butirat Fluka dan standar asetat
Fluka. Alat yang digunakan adalah kromatografi gas Agilent technologies 7890
A, anoxomat, spektofotometer, inkubator, mikropipet, tabung reaksi, syringe 1 ml, cawan petri, pipet, timbangan analitik, sentrifus, tabung sentrifus, cawan
aluminium, oven, desikator, cawan porselen, labu kjedahl 100 ml, alat destilasi, labu lemak, kertas saring, soxhlet, water-bath bergoyang, dan autoclave.
B. METODE PENELITIAN
1. Pembuatan medium RCM
Reinforced Clostridial Medium
Medium pertumbuhan Clostridium yang digunakan adalah RCM Reinforced Clostridial Medium yang mengandung substansi seperti yang
disajikan pada Tabel 2. Medium ini selanjutnya disebut sebagai medium
basal. Seluruh bahan tersebut, kecuali cystein hidrocloride, dicampur, kemudian pH medium di atur menjadi 6.8 dan ditambahkan indikator
potensial redoks resazurin sebesar 0.1 ml100 ml. Penambahan resazurin akan menyebabkan warna medium menjadi merah muda saat dipanaskan.
Campuran medium tersebut dididihkan hingga indikator resazurin berubah warna dari merah muda menjadi tidak berwarna, kemudian didinginkan
dengan dihembus gas CO
2.
Setelah dingin, cystein hidroclorida ditambahkan dan diaduk rata. Medium dimasukkan ke dalam tabung
reaksi bertutup butyl rubber, kemudian disterilisasi pada 121 C selama 20
menit. Media dapat disimpan pada suhu beku frezeer sebelum digunakan.
Tabel 2. Komposisi medium basal Reinforced Clostridial Medium RCM
Bahan Jumlah
gL
Yeast Extract 3,0
Beef Extract powder 10,0
Pepton 5,0
Glucose 1,0
Soluble Starch 2,0
Sodium Chlorida 5,0
Sodium Acetate 3,0
Cystein hidrocloride 0,5
pH medium 6,8 ± 0,2
2. Aktivasi dan fermentasi in vitro
Clostridium butyricum BCC B2571 Teknik Hungate
Kultur bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 diaktivasi dengan cara menginokulasi 5 ml strain ke dalam tabung berisi 5 ml
medium basal RCM dengan menggunakan syringe. Tabung tersebut diinkubasi secara anaerob pada suhu 37
C selama 24 jam. Kultur bakteri diawetkan dengan menyimpannya pada suhu dingin 5
C. Bakteri disegarkan setiap sebulan sekali atau setiap akan digunakan sebagai kultur
fermentasi.
Fermentasi in vitro dilakukan untuk mengamati pertumbuhan bakteri pada substrat uji Hi maize, pati resistan sagu dan pati resistan
beras. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan teknik hungate untuk menjaga kondisi anaerob berdasarkan metode Sanz et al. 2005. Substrat
berupa Hi maize, RS beras dan RS sagu masing-masing sebanyak 2 ditambahkan ke medium basal sebagai pengganti soluble starch. Medium
fermentasi dimasukkan ke dalam tabung fermentasi sebanyak 4.5 ml, disterilisasi 121
C selama 20 menit kemudian diinokulasikan dengan 0.5 ml kultur bakteri segar berumur 24 jam. Fermentasi dilakukan selama 48
jam dan diamati pertumbuhannya pada jam ke- 3, 24, 30, 38, 42 dan 48. Perhitungan dilakukan dengan metode Total Plate Count TPC yakni
koloni di antara 25-250 Harrigan, 1998 . Perhitungan sebagai berikut:
Keterangan: n
1
= jumlah cawan pengenceran pertama yang dihitung n
2
= jumlah cawan pengenceran kedua yang dihitung FP = Faktor pengenceran
TPC = jumlah koloni 1n
1
+ 0.1 n
2
x FP
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Kadar Air, Metode Oven AOAC, 1995
Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105 C
selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 g di dalam cawan tersebut,
kemudian dikeringkan di dalam oven sampai beratnya konstan perubahan berat tidak lebih dari 0.003 g. Setelah itu cawan didinginkan di dalam
desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan berikut :
Kadar air bb = x-y x 100 x-a
Keterangan : x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan g
y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan g a = berat cawan kosong g
2. Analisis Kadar Abu, Metode Oven AOAC, 1995
Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin cawan kosong ditimbang
dan sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih yang beratnya tetap.
Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama pada suhu 400 C
lalu dilanjutkan pada suhu 550 C, kemudian didinginkan di dalam
desikator lalu ditimbang. Perhitungan : Kadar abu bb = W
2
x 100 W
1
Keterangan : W
1
= berat sampel g W
2
= berat abu g
3. Analisis Kadar Protein, Metode Kjeldahl AOAC, 1995
Sampel sebanyak 0.1 – 0.2 g dimasukkan ke dalam labu kjedahl 100 ml, lalu ditambahkan 2 g K
2
SO
4
, 40 mg HgO, dan 2.5 ml H
2
SO
4
pekat. Setelah itu, didestruksi selama 30 menit sampai cairan berwarna jernih dan
dibiarkan sampai dingin. Selanjutnya ditambahkan air suling secukupnya dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman dan didestilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H
2
BO
3
dan indikator, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N. Larutan blanko juga
dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus : Nitrogen = HCl – Blanko ml x N HCl x 14,007 x 100
mg contoh Kadar protein = Nitrogen x faktor konversi
4. Kadar Lemak, Metode Soxhlet AOAC, 1995
Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g dibungkus
dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang kondensor
dan labu pada ujung-ujungnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu, pelarut didestilasi dan
ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105
C sampai diperoleh berat tetap, kemudian labu lemak dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang.
Perhitungan : Kadar lemak bb = W
2
x 100 W
1
Keterangan : W
1
= Berat sampel g W
2
= Berat lemak g
5. Analisis Karbohidrat,
By Difference AOAC, 1995
Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference yakni dengan rumus :
Kadar karbohidrat = 100 - kadar protein + kadar lemak + kadar abu bk
6. Analisis kadar pati metode luff schoorl SNI 01-2892-1992
Sebanyak 0.1 g sampel ditambah 20 ml aquades dan 5 ml HCl 25 dalam erlenmenyer diinkubasi pada waterbath 100
C selama 2.5 jam. setelah itu didinginkan. indikator PP ditambahkan, lalu larutan dinetralkan
dengan NaOH 45 hingga berwarna merah muda. Larutan ditera hingga 100 ml, kemudian disaring. Sebanyak 5 ml filtrat diambil, ditambah 5 ml
larutan luff school dan 5 ml aquades. Larutan didinginkan balik dan dipanaskan dalam keadaan mendidih selama 10 menit. Setelah itu
didinginkan dengan cepat. Larutan ditambah 3 ml KI 20 dan 5 ml H
2
SO
4
26.5, kemudian dititrasi dengan Na
2
SO
4
0.1 N hingga berwarna kuning kunyit, kemudian ditambahkan indikator pati 3 tetes. Titrasi dilanjutkan
hingga larutan berwarna putih susu. Blanko dibuat tanpa larutan sampel. Kadar pati dihitung berdasarkan perbandingan volume titran sampel
dengan blanko. Tabel interpolasi jumlah glukosa pada perhitungan ini dilampirkan pada Lampiran 2.
7. Analisis amilosa dan amilopektin Apriyantono
et al. 1989
Pengukuran larutan standar amilosa dengan melarutkan 40 mg amilosa murni ke dalam tabung reaksi dan tambahkan 1 ml etanol 95 dan 9 ml
NaOH 1N. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit hingga seluruh bahan membentuk gel, kemudian didinginkan dan dipindahkan ke
dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan asam asetat 1N masing- masing 0.2 ; 0.4 ; 0.6 ; 0.8 dan 1 ml dan larutan iod 2 ml 0.2 g iod dan 2 g
KI dilarutkan dalam 100 ml akuades. Larutan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 625 nm. Plotkan absorbansi pada kurva standar. Pengukuran amilosa sampel dilakukan dengan cara sebanyak 100 mg
sampel pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian di tambahkan 1 ml etanol 95 dan 9 ml NaOH 1N dan dipanaskan pada water bath 99
C selama 10 menit. Setelah itu larutan dikocok dan ditepatkan sampai tanda
tera. Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod dan ditera
dengan akuades. Larutan didiamkan selama 20 menit hingga terbentuk warna biru. Ukur absorbansi larutan pada panjang gelombang 620 nm.
Kadar amilosa diperoleh dengan cara memplotkan absorbansi pada kurva standar. Standar beras Lusi dan Ciherang digunakan sebagai pembanding
untuk menentukan klasifikasi amilosa sampel. Kadar amilopektin diperoleh dengan rumus:
Kadar amilopektin = kadar pati – kadar amilosa
8. Persiapan sampel analisis kadar pati resistan Goni
et al. 1996
Sampel bebas lemak sebanyak 50 mg dimasukkan ke tabung sentrifus, kemudian ditambahkan 5 ml KCl-HCl buffer pH 1.5. Larutan
dihomogenisasi. Setelah itu ditambahkan 0.1 ml larutan pepsin 1 g pepsin10 ml buffer KCl-HCl dan dihomogenkan. Larutan diinkubasi
bergoyang pada 40 C selama 60 menit, kemudian didinginkan. Setelah
dingin larutan ditambahkan 4.5 ml buffer trismaleate 0.1 M pH 6.0 dan larutan α-amilase 0.5 ml 40 mg α-amilaseml buffer trismaleate. Larutan
diaduk rata dan diinkubasi bergoyang pada 37 C selama 16 jam. Setelah itu,
disentrifus pada 3000g, 15 menit. Larutan dicuci dengan 5 ml akuades, disentrifuse dan dibuang supernatannya. Sampel pelet pada tabung sentrifus
ditambahkan 1.5 ml KOH 4M, dicampur rata dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dengan pengadukan konstan. Setelah itu
ditambahkan 2.25 ml HCl 2 M ; 1.5 ml buffer sodium asetat 0.4 M pH 4.75, dan larutan amiloglukosidase 50 l lalu dicampur rata dan diinkubasi 45
menit pada water bath 60 C dengan pengadukan konstan. Setelah itu larutan
disentrifus 3000g, 15 menit lalu diambil supernatannya dan simpan pada labu takar. Residu dicuci residu dengan 3 ml akuades dan disentrifus.
Supernatan yang terbentuk dicampur dengan supernatan yang telah disimpan sebelumnya. Filtrat tersebut kemudian ditera hingga 10 ml dan
diuji total gula dengan metode fenol sulfuric acids AOAC, 1990. Uji stabilitas panas kadar RS sampel terhadap sterilisasi dilakukan
dengan melarutkan 50 mg sampel dalam 10 ml akuades, kemudian
disterilisasi 121 C selama 20 menit. Sampel tersebut kemudian disentrifus
3000g, 15 menit. Residu yang terbentuk kemudian diperlakukan sesuai prosedur yang dijelaskan diatas.
9. Analisis total gula metode fenol-sulfuric acids AOAC, 1990
Sebanyak 1 ml sampel yang sudah diencerkan dipindahkan ke tabung reaksi, kemudian ditambah 0.5 ml fenol 5 dan 2.5 ml H
2
SO
4
pekat. Larutan didiamkan 20 menit, lalu diukur absorbansi pada 490 nm. Kurva
standar glukosa dibuat dengan menggunakan larutan glukosa berkonsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm. Konsentrasi glukosa pada sampel dihitung
berdasarkan kurva standar, sedangkan kadar pati resitan diperoleh dari rumus jumlah mg glukosa x 0.9 x faktor pengenceran.
10. Uji degradasi pati metode
agar plate Wang et al. 1999
Medium fermentasi yang mengandung substrat Hi maize, RS sagu dan
RS beras masing-masing sebanyak 2 dan bacto agar 2 disterilisasi
pada suhu 121 C selama 20 menit. Medium tersebut dituang ke cawan
steril masing-masing 30 ml dan dibiarkan memadat. Setelah menjadi padat, dibuat sumur dengan diameter 0.625 mm pada masing-masing
cawan. Inokulasikan 0.03 ml kultur Clostridium butyricum berumur 24 jam ke dalam sumur, kemudian cawan diinkubasi dalam anoxomat jar
dengan kondisi anaerob obligat pada inkubator 37 C. Komposisi udara
dalam jar yang tercatat adalah 9.9 H
2
; 80 N
2
; 0.2 O
2
dan 9.9 CO
2.
Luas zona bening yang terbentuk diukur setelah inkubasi selama 30 jam dan 48 jam. Penentuan luas zona bening dibantu dengan meneteskan
larutan I
2
KI 0.15 I
2
dan 1.5 KI. Untuk memudahkan pengukuran luasan, zona bening pada cawan diduplikasi pada kertas. Setelah itu,
luasan diukur dengan plannimeter. Zona bening yang terbentuk akibat aktivitas enzim pendegradasi pati diukur dengan cara mengurangi luas
zona bening terluar dengan luas sumur. Luasan zona bening dinyatakan dalam satuan cm
2
.
11. Pengukuran pertumbuhan bakteri Todar, 2007
Pengukuran pertumbuhan bakteri dilakukan dalam periode waktu tertentu. Perhitungan tersebut menggunakan metode pour plate metode
tuang. Pertumbuhan Clostridium butyricum ditandai dengan koloni putih pada media agar RCM. Pertumbuhan bakteri digambarkan pada kurva
hubungan jumlah sel dan waktu inkubasi. Kecepatan pertumbuhan spesifik bakteri pada masing-masing media saat fase log diukur menggunakan
persamaan berikut: = ln X
t
– ln X
o
t-t
o
. Sementara pengukuran jumlah generasi dan waktu generasi dinyatakan
dalam persamaan berikut: Dimana: = kecepatan pertumbuhan spesifik
Keterangan : X
t
= jumlah sel pada waktu t X
o
= jumlah sel pada waktu t
o
t-t
o
= selang waktu fase log pertumbuhan jam G = Waktu generasi jam
12. Metode analisis SCFA Jensen
et al. 1995 modifikasi
Sampel dianalisis dengan kromatografi gas GC. Kondisi kromatografi gas disajikan pada lampiran 7. Cairan sampel hasil
fermentasi disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 15 menit, kemudian di filtrasi dengan mikrofilter 0.45 m. Sebanyak 96 l filtrat di campur
dengan standar butirat dan asetat masing-masing 2 l. Larutan sampel diinjeksikan sebanyak 1 l ke port GC. Kurva standar dibuat dengan
menginjeksikan 1 l campuran standar asam asetat dan butirat
berkonsentrasi 10, 20, 30, 40 lml. Besar konsentrasi asetat dan butirat pada sampel dihitung berdasarkan kurva standar dan dikonversi menjadi
satuan mM. •
Waktu generasi G = Ln 2 •
Jumlah Generasi n = t – t G
13. Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan adalah uji Univariete yang dilanjutkan uji Duncan untuk menguji perbedaan antar variabel uji pada
taraf signifikansi 5. Variabel uji meliputi kadar amilosa, pati resistan, dan luas zona bening agar plate. Uji paired t-test digunakan untuk
mengetahui korelasi produksi asetat dan butirat. Analisa statistik dilakukan menggunakan aplikasi SPSS 15.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Karakteristik kimiawi pati resistan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik kimiawi pati resistan terhadap kemampuan fermentasinya sebagai substrat bagi
pertumbuhan bakteri kolon, yakni Clostridium butyricum BCC B2571. Karakteristik kimiawi yang memiliki pengaruh terhadap sifat fermentatif pati
dan kadar pati resistan adalah rasio amilosa : amilopektin. Kadar amilosa pati native beras dan sagu disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kadar amilosa Hi Maize, pati beras, sagu, standar pati beras Lusi dan Ciherang CHR.
Hasil pengujian kadar amilosa menunjukkan Hi maize sebagai kontrol mengandung amilosa tertinggi yakni 63.36, sementara pati native sagu
mengandung amilosa lebih tinggi dibandingkan pati native beras. Kadar amilosa pati sagu 45.3, sedangkan pati beras 38.93. Hasil uji duncan
menunjukkan ketiga jenis pati uji memiliki kadar amilosa yang berbeda nyata pada taraf 5 Lampiran 3.
Pengukuran amilosa pada penelitian ini juga menggunakan standar beras beramilosa rendah dan sedang, yakni Lusi dan Ciherang CHR. Standar beras
tersebut digunakan sebagai pembanding untuk menentukan klasifikasi beras sampel berdasarkan kadar amilosanya. Berdasarkan klasifikasi beras oleh
Winarno 1997 dapat disimpulkan bahwa pati beras Cisokan yang digunakan sebagai substrat termasuk dalam klasifikasi beras beramilosa tinggi yakni
dengan kadar amilosa 38.93. Pengujian amilosa juga dilakukan terhadap pati beras dan sagu yang telah
diproses menjadi RS tipe 3. Hasil pengujian menunjukkan kadar amilosa beras dalam bentuk pati resistan bernilai lebih rendah dibandingkan pati native-nya.
Kadar amilosa RS beras adalah 31.83 Lampiran 3. Hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat aktivitas pemotongan rantai polisakarida oleh enzim pullulanase
yang diaplikasikan pada saat pembuatan pati resistan. Enzim pullulanase merupakan debranching enzim yang mampu memotong ikatan α-1.6 glikosidik
pada pullulan, amilopektin dan polisakarida lain. Pemotongan rantai pati oleh pullulanase akan menghasilkan rantai linier dan komponen berbobot rendah
Pongjanta et al. 2009. Salah satu komponen pati yakni amilopektin dapat diklasifikasikan
berdasarkan distribusi panjang rantainya, yakni amilopektin berantai panjang long-chain dan rantai pendek short chain. Keduanya berbeda dalam hal
derajat polimerisasi DP. Sasaki et al 2009 mengklasifikasikan amilopektin dengan DP ≤ 13 ke dalam rantai pendek, sedangkan DP ≥ 13 termasuk rantai
panjang. Dengan demikian, rendahnya kadar amilosa pada pati resistan beras yang terukur kemungkinan disebabkan oleh distribusi rantai amilopektin yang
pendek pada pati native-nya, sehingga proses hidrolisis enzim pullulanase menghasilkan rantai-rantai polisakarida pendek yang tidak mampu menjerat
iodine pada saat pengukuran amilosa. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, rasio amilosa-amilopektin
berpengaruh terhadap kadar pati resistan yang diproses dengan gelatinisasi- retrogradasi. Pati resistan yang terbentuk akibat gelanitinisasi-retrogradasi
diklasifikasikan sebagai pati resistan tipe 3. Sajilata et al. 2005 menyebutkan pembentukan pati resistan tipe 3 akan lebih optimal jika menggunakan bahan
yang mengandung amilosa tinggi. Hal ini dikarenakan komponen amilosa akan membentuk kristal pada saat retrogradasi, sehingga bersifat resistan. Secara
komersial, pati resistan tipe 3 dibuat dari pati tergelatinisasi yang mengandung lebih dari 40 amilosa.
Berdasarkan hasil uji amilosa, maka dapat disimpulkan bahwa bahan baku pembuatan pati resistan pada penelitian ini termasuk kategori pati
beramilosa tinggi. Dengan demikian diharapkan proses retrogradasi saat pembuatan RS tipe 3 akan menghasilkan pati resistan berkadar tinggi. Hasil
pengukuran pati resistan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kadar pati resistan Hi maize, RS beras dan RS sagu.
Pengujian statistik pada taraf signifikansi 5 menunjukkan kadar pati resistan Hi maize tidak berbeda nyata dengan RS sagu, namun berbeda nyata
dengan RS beras Lampiran 4. RS sagu memiliki kadar pati resistan 31.65, sedangkan RS beras hanya 25.23. Hasil pengujian menunjukkan adanya
kecenderungan yang sama antara kadar amilosa pati native dengan kadar pati resistan yang dihasilkan. Pati native sagu memiliki kadar pati amilosa lebih
tinggi dibandingkan dengan pati native beras, sehingga pati resistan yang terbentuk pada RS sagu bernilai lebih besar dibandingkan RS beras. Pati
resistan yang terbentuk merupakan hasil proses retrogradasi amilosa.
Menurut Wasserman et al. 2007 proses pembuatan pati resistan tipe 3 melalui dua tahap, yakni 1 gelatinisasi menyebabkan struktur granula
mengembang akibat penyerapan air yang berlebih selama pemanasan, 2 retrogradasi pati yang mengakibatkan rekristalisasi rantai amilosa dan
amilopektin. Proses gelatinisasi menyebabkan pati lebih mudah tercerna dibandingkan dalam bentuk mentahnya. Namun gel pati tersebut tidak stabil
dan membentuk kristal saat pendinginan. Peristiwa tersebut dinamakan retrogradasi. Retrogradasi pati akan menghasilkan polimer linier berrantai
pendek yang tidak larut dan bersifat resistan terhadap enzim pencernaan. Oleh karena itu, sumber pati beramilosa tinggi akan memiliki kadar RS yang tinggi
pula. Salah satu syarat pembentukan RS adalah rantai glukosa dengan panjang rantai minimum 30-40 residu, namun adanya kompleksitas rantai tersebut
dengan lipid dapat menghambat pembentukan RS Mangala et al. 1999. Proses kristalisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar
amilosa dan panjang rantai, suhu autoclave, waktu penyimpanan dan suhu gelatinisasi Ozturk et al. 2009. Penelitian Escarpa et al. 1996 membuktikan
bahwa proses kristalisasi tidak hanya terjadi pada rantai amilosa, tapi juga pada rantai amilopektin, namun kecepatannya lebih rendah dibandingkan
retrogradasi amilosa. Walaupun begitu, proses retrogradasi amilopektin tidak dapat diabaikan karena turut berkontribusi dalam pembentukan pati resistan.
Kadar RS pada bahan pangan juga dipengaruhi oleh proses termal. Oleh karena itu pengaruh autoclaving terhadap pati resistan yang akan digunakan
sebagai bagian dari medium tumbuh bakteri pada penelitian ini pun diuji. Autoclaving dilakukan pada 121
C selama 20 menit dengan tujuan sterilisasi. Hasil pengujian stabilitas RS disajikan pada Gambar 5. Kadar pati resistan
pada ketiga sampel setelah autoclave mengalami penurunan. Kadar RS Hi maize menurun dari 16.66 mg10ml menjadi 15.76 mg10ml. Sementara pada
RS sagu dan RS beras terjadi penurunan kadar RS yang drastis. Kadar RS sagu menurun dari 15.86 mg10ml menjadi 8.42 mg10ml, sedangkan RS beras
menurun dari 12.74 mg10ml menjadi 5.02 mg10ml.
Gambar 5. Kadar pati resistan sebelum dan sesudah autoclave.
Stabilitas panas pati selama proses autoclave terkait dengan suhu leleh komponen pati. Wasserman et al. 2007 menyatakan terdapat kecenderungan
bahwa sumber beramilosa tinggi memiliki suhu leleh yang tinggi pula. Suhu leleh amilosa mencapai 140
C, sementara amilopektin dapat meleleh pada suhu 60-70
C. Pada saat suhu leleh tersebut struktur kristal amilosa dan amilopektin rusak.
Kadar pati resistan pada ketiga substrat uji memiliki penurunan dengan kecenderungan yang sama seperti kadar pati resistan sebelum autoclave.
Walaupun mengalami penurunan, kadar pati resistan Hi maize setelah autoclave masih tertinggi, yakni 15.76 mg10ml, sedangkan RS sagu 8.42
mg10ml dan RS beras 5.02 mg10ml. Penurunan kadar RS setelah autoclave kemungkinan terjadi akibat rusaknya struktur kristalin pati, sehingga pati tidak
lagi bersifat resistan. Penurunan kadar RS pada kontrol Hi Maize tidak terlalu drastis. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh stabilnya struktur granula yang dimiliki, sehingga dapat stabil pada suhu autoclave. Hi maize yang digunakan
merupakan RS tipe 2. Strukturnya yang kompak membatasi akses enzim pencernaan untuk menghidrolisis ikatannya.
Pati resistan tipe 3 dari sampel RS beras dan RS sagu mengalami penurunan kadar RS yang drastis setelah diautoclave. Pada proses pembuatan
pati resistan tipe 3 ini Lampiran 8 pati di autoclave dan disimpan pada suhu 4
C. Pada proses ini pati mengalami kristalisasi. Proses kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatik dengan debranching enzim pullulanase. Jika
struktur amilopektin yang dimiliki oleh kedua pati adalah amilopektin bercabang banyak dan pendek, maka diperkirakan produk yang terbentuk dari
hidrolisis adalah rantai pendek yang bercabang pula. Penyimpanan pati selama beberapa lama akan memberi peluang bagi rantai amilopektin untuk
membentuk kristalin. Retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat refersibel bila diberi
panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi amilosa. Karena itulah, berdasarkan data yang diperoleh, kemungkinan pati resistan yang terbentuk
pada RS sagu dan RS beras adalah hasil dari retrogradasi amilopektin. Lehman et al. 2002 menyebutkan panjang rantai linier pun mempengaruhi
retrogradasi. Untuk pembuatan RS tipe 3 sangat optimal menggunakan α- poliglukan dengan derajat polimerisasi 20.
B. Pertumbuhan
Clostridium butyricum BCC B2571 pada pati resistan
Komponen karbohirat yang tidak terserap oleh tubuh saat metabolisme di usus halus akan diteruskan ke usus besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pencernaan karbohidrat dalam usus halus antara lain daya cerna pati, bentuk fisik bahan pangan, perlakuan bahan, rasio komponen pati amilosa :
amilopektin, keberadaan antinutrien α-amilase inhibitor, waktu transit, keberadaan lemak dan protein. Sesampainya di usus besar, karbohidrat menjadi
substrat bagi pertumbuhan koloni bakteri. Beberapa genus bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, terutama di
usus besar antara lain adalah Lactobacillus, Clostridium sp., Eubacterium, Bifidobacterium, dan Bacteroidaceae Roberfroid, 2001. Keseimbangan
jumlah bakteri baik dan patogen dalam saluran pencernaan mempengaruhi
status kesehatan seseorang. Oleh karena itu konsumsi pangan yang bersifat prebiotik sangat baik bagi kesehatan karena dapat mendorong pertumbuhan
bakteri baik menguntungkan dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Clostridium butyricum merupakan salah satu bakteri kolon yang mampu
memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber karbon bagi kehidupannya. Bakteri ini dapat diisolasi dan ditumbuhkan pada medium RCM Reinforced
Clostridial Medium. Sebagai sumber karbon, substrat pati terlarut soluble starch pada medium basal disubtitusi dengan sampel pati resistan uji.
Substitusi ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 untuk tumbuh pada tiga sumber karbon yang berbeda,
yakni Hi-maize, RS beras dan RS sagu. Pertumbuhan Clostridium butyricum BCC B2571 selama 48 jam diamati
pada rentang waktu tertentu dan dihitung secara Total Plate Count. Pertumbuhan bakteri pada substrat Hi maize, RS sagu dan RS beras diplotkan
pada kurva pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurva pertumbuhan Clostridium butyricum BCC B2571 pada substrat Hi maize, RS sagu dan RS beras.
Berdasarkan kurva pertumbuhan bakteri di atas fase lag, fase logaritmik, fase stationer dan fase kematian bakteri Clostridium butyricum BCC B2571
dapat diketahui. Pada 3 jam pertama, bakteri pada substrat Hi maize dan RS beras langsung mengalami pertumbuhan. Hal ini menunjukkan kondisi
lingkungan tumbuh sesuai dengan kebutuhan bakteri. Sedangkan pada RS sagu terjadi penurunan jumlah mikroba yang mengindikasikan adanya proses
adaptasi organisme terhadap lingkungan tumbuhnya yang baru Sarles et al. 1956. Lamanya fase lag tergantung pada kondisi lingkungan tumbuh dan
jumlah inokulum yang digunakan. Setelah fase lag, organisme mengalami pertumbuhan atau dapat disebut telah memasuki fase logaritmik.
Fase logaritmik diindikasikan dengan peningkatan jumlah bakteri akibat pembelahan sel yang polanya mengikuti kurva logaritmik. Berdasarkan kurva
pertumbuhan diatas, fase logaritmik Clostridium butyricum BCC B2571 pada substrat Hi maize dan RS sagu terjadi hingga jam ke- 24, sedangkan pada RS
beras pertumbuhan berlanjut hingga jam ke-30. Perbedaan pertumbuhan ini disebabkan akibat adanya perbedaan jumlah nutrisi yang tersedia pada medium
untuk pertumbuhan bakteri Sarles et al. 1956. Melihat pola pertumbuhan kurva diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada substrat RS beras masih
mengandung nutrisi sehingga masih dapat menunjang pertumbuhan bakteri hingga jam ke-30 inkubasi.
Pada substrat Hi maize penurunan jumlah bakteri terjadi sangat drastis setelah jam ke- 36. Kemungkinan pada jam tersebut nutrisi pada media tidak
lagi tersedia bagi bakteri. Pelczar dan Chan 2005 menyatakan bahwa saat memasuki fase kematian, terjadi penurunan populasi jasad renik yang
diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain berkurangnya ketersediaan nutrien pada medium serta energi cadangan di dalam sel, akumulasi racun, dan
perubahan pH medium Frobisher, 1962. Fase ini dapat juga dikatakan sebagai fase pertumbuhan negatif. Setelah nutrisi yang tersedia pada medium telah
berkurang, pertumbuhan bakteri akan terhambat, akibatnya jumlah sel yang tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sel yang mati.
Penurunan populasi atau fase pertumbuhan negatif terjadi setelah jam ke- 36 dan berlanjut hingga akhir inkubasi pada jam ke-48. Pada fase ini bakteri
sudah memasuki fase kematian. Pada substrat Hi maize, fase ini terlihat dari penurunan jumlah bakteri yang sangat drastis pada jam ke-48, sementara pada
substrat RS sagu dan RS beras jumlah bakteri pada jam ke-48 belum menurun secara drastis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masih terdapat
kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri pada kedua substrat tersebut jika inkubasi dilanjutkan lebih dari 48 jam.
Berdasarkan kurva pertumbuhan diatas, maka disimpulkan bahwa akhir fase logaritmik berada pada jam ke-30. Pada jam tersebut diperkirakan bakteri
mulai memproduksi metabolit SCFA. Sementara itu, sebagai pembanding untuk mempelajari jalur produksi SCFA selama fermentasi dipilih waktu
inkubasi selama 48 jam untuk mengetahui profil SCFA yang diproduksi bakteri.
Fase pertumbuhan logaritmik jasad renik memiliki kecepatan pertumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi medium tempat tumbuhnya, seperti pH,
kandungan nutrien, suhu dan kelembaban udara. Pada penelitian ini pertumbuhan Clostridium butyricum BCC B2571 diamati pada tiga medium
fermentasi yang berbeda sumber karbonnya. Penggunaan pati sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan bakteri
Clostridium butyricum BCC B2571 diuji dengan melihat aktivitas degradasi pati oleh enzim amilase bakteri. Metode yang digunakan adalah metode
pencawanan dengan mengamati terbentuknya zona bening disekitar sumur lubang yang ditanam kultur bakteri. Zona bening tersebut menunjukkan
luasan aktivitas hidrolisis pati menjadi glukosa oleh bakteri. Perubahan warna yang terjadi zona bening yang terbentuk sejalan dengan penurunan ukuran
molekular pati. Metode ini sangat sensitif dan mampu mengukur aktivitas pemecahan ikatan α 1
4 glikosidik secara kualitatif. Pengamatan zona bening dibantu dengan meneteskan larutan I
2
KI yang tidak dapat bereaksi dengan glukosa sehingga zona bening yang terbentuk akan
lebih jelas terlihat Gambar 7. Pengamatan zona bening dilakukan pada jam ke-30 dan jam ke-48 yang didasarkan pada penentuan waktu akhir fase
logaritmik dan akhir inkubasi pada kurva pertumbuhan sebelumnya.
Gambar 7. Zona bening yang terbentuk pada agar plate
Luas zona bening yang terbentuk pada ketiga substrat uji disajikan pada Gambar 8. Diagram zona bening tersebut menunjukkan aktivitas tertinggi
degradasi pati oleh enzim amilase pada jam ke-30 akhir fase logaritmik terjadi pada substrat RS sagu. Hal tersebut diindikasikan dari luasnya zona
bening yang terbentuk, namun uji statistik menunjukkan luas zona bening pada RS sagu tidak berbeda nyata dengan RS beras dan Hi maize Lampiran 6.
Gambar 8. Luas zona bening pada substrat Hi maize, RS beras dan RS sagu. Zona Bening
Pada fermentasi 48 jam, luas zona bening yang dihasilkan pada ketiga pati lebih besar dibandingkan dengan fermentasi 30 jam. Hal ini karena semakin
banyak pati yang didegradasi oleh enzim amilase bakteri untuk memenuhi nutrisi selama pertumbuhannya. Gambar 8 menunjukkan aktivitas degradasi
setelah 48 jam bernilai tertinggi adalah pada RS beras, namun secara statistik luas tersebut tidak berbeda nyata dengan luas zona bening pada RS sagu. Luas
zona bening pada RS beras adalah 5.27 cm
2
dan RS sagu 4.86 cm
2
. Sementara luas zona bening pada Hi maize pada jam ke-48 hanya sebesar 3.42 cm
2
. Luasan pada Hi maize ini tidak berbeda nyata dengan yang terbentuk pada jam
ke-30. Hidrolisis pati oleh Clostridium butyricum BCC B2571 disebabkan oleh
aktivitas enzim ekstraselular α-amylase yang diproduksi bakteri Whelan dan Nasr, 1950. Enzim tersebut menghidrolisis polisakarida menjadi dekstrin yang
terdiri dari 6-9 unit glukosa. Aktivitas enzim secara umum dipengaruhi oleh suhu, substrat, pH dan keberadaan inhibitor. Aktivitas degradasi pati oleh α-
amilase juga dipengaruhi oleh proporsi rantai unit amilopektin. Disebutkan bahwa ikatan dengan rantai cabang yang banyak dan pendek DP 6-12
memiliki tingkat susceptibility yang tinggi terhadap hidrolisis enzim Wong et al. 1997. Atas dasar teori tersebut maka diprediksi terdapat pengaruh
perbedaan distribusi unit rantai amilopektin pada ketiga substrat terhadap aktivitas hidrolisis pati oleh α-amylase bakteri. Sementara itu, proses autoclave
yang menyebabkan rusaknya struktur kristal pati juga mengakibatkan pati dapat lebih mudah diakses oleh enzim amilase. Kedua hal inilah yang
kemungkinan menjadi dasar tingginya aktivitas degradasi pati pada substrat RS sagu dan RS beras.
Rendahnya luas zona yang terbentuk pada Hi maize pada jam ke-30 menunjukkan pati ini bersifat resistan terhadap aktivitas enzim amilase bakteri.
Hal ini dapat dibuktikan dari data sebelumnya yang menunjukkan tingginya kadar RS Hi maize dan stabilnya kadar RS tersebut selama proses autoclave
sterilisasi dibandingkan dengan kedua RS lainnya. Selain itu kurva pertumbuhan bakteri dengan substrat Hi maize menunjukkan pada jam ke-48
bakteri sudah memasuki fase kematian Gambar 6, sehingga rendahnya
aktivitas enzim degradasi pati pada jam ke-48 kemungkinan juga disebabkan oleh sudah berhentinya metabolisme bakteri.
Sebuah penelitian mengenai degradasi amilopektin dan amilosa oleh bakteri kolon menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
aktivitas degradasi tersebut antara lain derajat gelatinisasi, sumber pati, rasio amilosa-amilopektin, interaksi pati-protein, interaksi pati-lemak, persentase
pati teretrogradasi dan keberadaan amilase inhibitor. Konformasi granula dan rasio amilosa-amilopektin juga berpengaruh terhadap degradasi pati.
Koloni bakteri kolon menggunakan amilopektin dan amilosa pada pati dengan level yang berbeda Wang et al. 1999. Pada penelitian tersebut
dibuktikan bahwa granula pati beramilopektin tinggi lebih mudah didegradasi oleh berbagai spesies bakteri, sedangkan granula pati amilosa hanya dapat
didegradasi oleh strain Bifidobacterium dan Clostridium. Hal ini pun diperkuat oleh penelitian Lehmann et al. 2002 yang menyatakan granula pati
beramilopektin tinggi adalah substrat yang baik untuk fermentasi dibandingkan dengan pati beramilosa tinggi. Selain itu, karena degradasi pati terjadi akibat
adanya aktivitas enzim maka konformasi substrat juga mempengaruhi suspectibility enzim terhadap substrat.
Aktivitas degradasi pati oleh Clostridium butyricum pada Gambar 8 menunjukkan bahwa setelah 48 jam fermentasi, RS beras didegradasi lebih
besar dibandingkan RS sagu, walaupun nilainya tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil uji kimiawi, kadar pati resistan RS beras lebih rendah
dibandingkan dengan RS sagu. Sehingga RS beras memiliki struktur pati yang lebih mudah didegradasi oleh bakteri. Dengan demikian pada penelitian ini,
struktur kristalin pati memiliki pengaruh terhadap aktivitas enzim amilase. Fermentasi karbohidrat pada kolon mengakibatkan terjadinya penurunan
pH pada kolon, cecum dan feses. Penurunan pH ini berperan dalam penyerapan mineral kalsium dan magnesium, menurunkan kelarutan secondary bile acids
dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen Sayar et al. 2007. Berdasarkan Gambar 9, menurunnya pH medium secara tak langsung
mengindikasikan adanya produksi asam lemak rantai pendek selama pertumbuhan bakteri Roberfroid, 2001.
Penelitian Sayar et al. 2007 pada fermentasi in vitro dengan substrat oats menunjukkan adanya penurunan pH medium secara signifikan setelah 4 jam
fermentasi. Sementara pada penelitian ini, penurunan pH terjadi setelah 3 jam fermentasi hingga jam ke-36, setelah itu terjadi kenaikan pH.
Gambar 9. Penurunan pH medium selama fermentasi pati resistan.
C. Profil pertumbuhan bakteri