Timur maupun Barat. Kepada dunia Barat ia menawarkan Islam, sedangkan kepada dunia Timur ia memberitahukan bahwa Barat sedang mengalami krisis spiritual.
47
Keberanian Nasr tersebut ternyata tidak dapat diterima secara arif oleh ulama tradisional Sy
i’ah pada masa itu. Selain karena perbedaan ideologi berpikir, Nasr juga diposisikan sebagai pemikir yang memiliki ideologi politik yang berbeda. Kedekatannya
dengan penguasa menyebabkan ia terdaftar sebagai pendukung Shah. Setelah peristiwa tersebut Nasr kemudian meninggalkan Husayniyah al-Irsyad, merupakan lembaga yang
dipimpin Ali Syariati.
Selepas itu, Nasr diangkat menjadi presiden Aga Khan dalam bidang Islamic Studies di American University di Beirut. Nasr adalah orang Muslim pertama yang menduduki jabatan
tersebut. Posisi terhormat ini menghantarkannya menjadi juru bicara Islam yang bertugas menjelaskan Islam dari sudut Islam itu sendiri. Tidak hanya itu, Nasr juga berupaya memberikan
alat kepada dunia Islam untuk memberi jawaban terhadap pelbagai tuduhan dan tekanan yang dimunculkan pemikiran modern semiasal materialisme, eksistensialisme, saintisme terhadap
Islam. Lebih jauh, pada saat itu Nasr telah berupaya merumuskan pelbagai jalan untuk dapat berdialog dengan penganut agama lain khusunya Kristen.
48
B. Perjalanan Intelektual Seyyed Hossein Nasr
Penelitian tentang pemikiran seorang tokoh, tanpa mengkaji latar belakang kebidupannya, boleh jadi akan menghasilkan kesimpulan yang tidak utuh. Karena ide-ide
pemikiran yang dimunculkannya tidak terlepas dari respon terhadap kondisi zamannya. Untuk itu, dalam penelitian pemikian Nasr ini, panting untuk dilacak latar belakang
pemikirannya. Bab ini akan menelusuri kehidupan intelektual Nasr, perkembangan pemikirannya, dan metode berpikirnya.
1. Belajar di Iran
Hossein Nasr lahir di kota Teheran Iran, negara tempat lahirnya para sufi, filosof, ilmuwan, dan penyair Muslim terkemuka. Nasr dapat dikatakan sebagai sosok tipikal
cendekiawan Muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi; Islam tradisi onal” dan Barat
“modern”, seperti diakuinya sendiri. Ia sebenarnya hidup dalam tension ketegangan yang berkelanjutan. Ia berasal dari
keluarga ulama, dan dibesarkan dalam tradisi dan lokus ulama Syiah tradisional yang mencakup nama-nama besar seperti Thabathabai, Hazbini, dan Muthahhari. Selanjutnya ia
memperoleh pendidikan Barat modern, melalui dua lembaga pendidikan tinggi yang termasuk terkemuka di Amerika Serikat; Massachusetts Institut of Technology MIT dan
Harvard University.
47
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 266.
48
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, London, George Alien Unwin LTD, 1968, h. 7-9.
Pendidikan dasarnya, di samping diperoleh secara informal dari keluarga, Nasr juga mendapat pendidikan tradisional secara formal di Teheran. Kemudian ayahnya mengirimnya
belajar kepada sejumlah ulama besar Iran di Qum, terma suk Thabathaba’i, penulis tafsir
untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, dan, tasawuf. Di lembaga ini, ia juga mendapat pelajaran menghafal al-Quran dan menghafal syair-syair Persia klasik. Pelajaran ini sangat
membekas dalam jiwa dan pikiran Nasr.
49
Di dalam tradisi pemikiran keagamaan Syiah terdapat tiga metode yang terkait dalam memahami agama: Metode formal agama; metode intelektual dan penalaran intelektual; serta
metode intuisi atau penyingkapan spiritual.
50
Metode pertama digunakan untuk mempelajari aspek-aspek formal agama, seperti al-Quran, al-Hadis, dan tradisi shahabat. Metode kedua
digunakan untuk mempelajari filsafat, ilmu Kalam, dan ilmu-lmu Aqliah. Sedangkan metode ketiga digunakan untuk mempelajari Tasawuf dan ilmu Marifat.
Pada masa awal pendidikan Nasr di Iran, telah diwarnai ketegangan antara Barat dan Timur. Peradaban Barat yang sekuler dan kebobrokan moralnya, telah mulai mempengaruhi
negeri-negeri Muslim. Ayahnya, Valiullah Nasr, sekalipun tidak pernah berkunjung ke dunia Barat, namun ia cukup paham tentang kemerosotan moral yang dibawa oleh peradaban mod-
ern, yang dalam banyak hal bertentangan dengan peradaban Islam tradisional. Itu sebabnya, ia sangat keras dalam mendidik Nasr untuk membekalinya dengan doktrin-doktrin Islam
secara kuat sejak masa kecil.
51
Bagi ayahnya, tidak cukup sampai di sini, untuk dapat melawan pemikiran sekuler, orang harus menguasai peradaban dan pemikiran Barat. Makanya untuk dapat melakukan hal
itu, seseorang harus belajar ke sarangnya. Hal ini barangkali yang mendorongnya untuk mengirim Nasr belajar di Barat. Maka selesai mendapat didikan dari Qum, pada usia 13
tahun, Nasr sudah dikirim ke Amerika untuk masuk sekolah menengah tingkat atas. Namun Baru beberapa bulan Nasr berada di Amerika, ayahnya menginggal dunia. Sehingga ia tidak
sempat menyaksikan kesuksesan putranya sebagaimana yang ia citakan.
2. Belajar di Amerika