Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y

“Al-Qur’an itu diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, jika tidak diperbolehkan menafsirkannya maka tidak dapat dijadikan petunjuk. Jika demikian maka diperbolehkan bagi seseorang untuk mengetahui bahasa Arab dan keadaan diturunkannya al-Qur’an untuk menafsirkannya. Dan bagi orang yang tidak mengetahui beberapa sudut pandang menafsirkan, maka hendaknya ia menafsirkan sebatas apa yang ia dengar menukil.” 87 Mereka juga berargumen bahwa Nabi Saw. pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan: allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘a11imhu al-ta’wî1a Ya Allah limpahkanlah pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan, sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr nash hadis Nabi Saw., maka apalah gunanya do’a tersebut. 88 Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi al- ra’y berikut argumen masing-masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

B. Pemahaman Tekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y

Hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y yang telah dipaparkan sebelumnya, bila dipilah-pilah berdasarkan penggalan kata yang syarat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut : Pertama, َلﺎَﻗ ْﻦَﻣ dalam riwayat lain َبَﺬَﻛ ْﻦَﻣ; Kedua, ِنآْﺮُﻘْﻟا ﻲِﻓ atau ِنآْﺮُﻘْﻟا ﻰَﻠَﻋ, 87 Muhammad bin’Abdullah al-Zarkâsyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al- Fikr, 1988, Juz 2, h. 180. 88 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263. dalam riwayat lain ِﮫﱠﻠﻟا ِبﺎَﺘِﻛ ﻲِﻓ ; Ketiga, ِﮫِﯾْأَﺮِﺑ, dalam riwayat lain ٍﻢْﻠِﻋ ِﺮْﯿَﻐِﺑ; Keempat, ﺄَﻄْﺧَأ ﺪَﻘَﻓ َبﺎَﺻَﺄَﻓ , dan Kelima, َﻌْﻘَﻣ ْأﱠﻮَﺒَﺘَﯿْﻠَﻓ رﺎﱠﻨﻟا َﻦِﻣ ُهَﺪ . Adapun penjelasan secara rinci penggalan-penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut: Pertama, hadis di atas diawali statement Nabi Saw. َلﺎَﻗ ْﻦَﻣ siapa yang menyatakan, mengandung pengertian siapa saja yakni umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya dan siapa saja tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan, untuk tidak menyatakan baik secara lisan maupun tertulis, dalam syarah ‘Aun al-Ma’bûd mencakup pula makna memperbincangkan takallama 89 sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata َبَﺬَﻛ berbohong atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran qaulan yu’lamu anna al-haqqa gairuhu, demikian pernyataan al-Qarî maupun al-Manâwî sebagaimana dikutip al-Sa‘âtî. 90 Al-Manâwî juga memberikan pengertian lain dalam kitab al-Musykîl yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti. 91 Kedua, sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an نآْﺮُﻘْﻟا ﻲِﻓ atau dalam riwayat lain ﮫﱠﻠﻟا ِبﺎَﺘِﻛ ﻲِﻓ sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur’an itu sendiri. Sudah barang tentu 89 Abû al-Tayyib Muhammad Syâm al-Haq al-‘Azîm Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415, juz 10, h. 61. 90 Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Banna al-Sa‘âtî, al-Fath al-Rabbânî, Beirut: Dâr Ihyâ’ al- Turas al-‘Arabi, tt, Juz 18, h. 62. 91 Abû al-‘Ulâ Muhammad ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, juz 8, h. 223. yang diperbincangkan bukan al-Qur’an-nya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya. 92 Maksud hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih-lebih berbohong mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya dari apa-apa yang ada di dalam al- Qur’an baik lafaz wilayah qira’at maupun maknanya wilayah takwil dan tafsir. Ketiga, keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al-Qur’an lafaz maupun makna tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra’y atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata ٍﻢْﻠِﻋ ِﺮْﯿَﻐِﺑ tanpa pengetahuan. Al-ra’y mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nash, sebagaimana kalangan Muh additsîn menyebut para ulama yang menggunakan qiyâs sebagai ahl al-ra’y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal-hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen di dalamnya dengan hadis atau atsâr. 93 Lebih jauh para syârih al-hadîts memahami kata ﮫِﯾْأَﺮِﺑ sebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah-kaedah syar‘iyyah. 94 Artinya mengungkapkan makna al-Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj ‘al-syar‘iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra’yih. Lebih-lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term ٍﻢْﻠِﻋﺮْﯿَﻐِﺑِ yang dimaknai oleh para syârih sebagai 92 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225. 93 Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Ifriqî al-Misrî Abû al-Fadl, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Sadîr, 1990, juz 14, h. 300. 94 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224. ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqinî maupun dalil zannî baik naql nash al-Qur’an maupun hadis maupun ‘aql logika-logika, mantiq, qiyâs dan sejenisnya yang masih selaras dengan syariat. 95 Sehingga hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair ‘ilm selama menggunakan kaedah-kaedah atau selaras dengan prinsip-prinsip syar‘î. Lebih-lebih Nabi Saw. sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al- Qur’an maupun hadis bahkan Nabi Saw. sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyâs untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya. Keempat, hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan ﺄَﻄْﺧَأﺪَﻘَﻓ َبﺎَﺻَﺄَﻓ sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan, artinya hasil dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah-kaedah atau tidak selaras dengan prinsip-prinsip syar‘î, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangkan salahnya karena faktor prosedurnya. Sebagaimana ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalamullâh satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu, saraf, balagah, dan lainnya akan membawa konsekuensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis sabâb al-nuzul, nasâkh mansûkh dan lain sebagainya. 96 Al-Turbutsî yang dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa yang 95 Al-Mubârakfûrî, Tuh fah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 223. 96 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 225. dimaksudkan dengan bi al-ra’y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah, di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu ilmu asbâb al-nuzul, al-nasîkh wa al-mansûkh, ‘am dan khâs, mujmal dan sebagainya, akan tetapi pernyataan yang muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahid dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar. 97 Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur manhaj. Abû al-Tayyib Âbâdî menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al-ra’y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok-pokok serta cabang-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji. 98 Kelima, sebagai konsekuensi mereka yang mengungkapkan isi al-Qur’an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu-ilmu yang terkait, lebih lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu رﺎﱠﻨﻟا َﻦِﻣ ُهَﺪَﻌْﻘَﻣ ْأﱠﻮَﺒَﺘَﯿْﻠَﻓ maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api, umumnya ulama menerjemahkan kata رﺎﱠﻨﻟا dengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman-ancaman agama. Bentuk perintah di dalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al- Qur’an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal-nya semata akan 97 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 226. 98 Abû al-Tayyib Âbâdî, ‘Aun al-Ma’bûd, juz 10, h. 61. ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al-‘Asqalânî sebagaimana yang dikutip al-Mubârakfûrî menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid‘ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur’an untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nashnya. 99 Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafaznya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur’an dengan akal semata lebih-lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al-Qur’an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islam atau siapa saja yang akan mendalami al-Qur’an memiliki bekal ilmu khususnya terhadap sunnah Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau sebagai mubayyin al-Qur’an guna memahami al-Qur’an secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akalnya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi Saw., karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi Saw. tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis yang sedang diteliti ini yaitu: ﻢُﺘْﻤِﻠَﻋ ﺎَﻣ ﺎﱠﻟِإ ﻲﱢﻨَﻋ َﺚﯾِﺪَﺤْﻟا ْاﻮُﻘﱠﺗا takutlah kalianhati-hatilah terhadap hadis-hadis dariku kecuali yang benar-benar telah aku ajarkan kepada kalian, makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu 99 Al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224. menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar-benar hal itu telah diajarkan Nabi Saw. disimak dan dipelajari sahabatnya. Lebih-lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi Saw., atau bersumber dari Nabi Saw. Dan apabila diterapkan berbagai tolak ukur penelitian matan, maka kandungan matan-matan hadis yang tersebut dapat dinyatakan sebagai maqbûl dapat diterima dengan alasan: 1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y tidak bertentangan dengan al-Qur’an seperti pada ayat-ayat berikut:           Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. QS. Sâd : 29         Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci? QS. Muhammad : 24 Namun ada juga ayat al-Qur’an yang lain yang mempunyai makna secara eksplisit bertentangan dengan hadis tersebut, namun secara insplisit tidak bertentangan dan dapat di-jam’u dikompromikan, yaitu:             Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. QS. Al- Baqarah : 169                   Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. QS. Al-Isrâ’ : 36 Ayat-ayat tersebut memerintahkan agar tidak berbicara tentang sesuatu yang belum kita ketahui hanya didasarkan pada akalnya semata atau dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah-kaedah syar‘iyyah. 100 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. Nabi Saw. pernah secara khusus mendo’akan Ibn ‘Abbâs dengan ucapan: allâhumma faqqihhu fî al-Dîn wa ‘a11imhu al-ta’wî1a Ya Allah limpahkanlah pemahaman dalam agama kepadanya dan berilah pengetahuan kepadanya tentang penakwilan, sekiranya takwil hanya kembali kepada yang ma’tsûr nash hadis Nabi Saw., maka apalah gunanya do’a tersebut. 101 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan juga sejarah. Larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y pada hadis tersebut adalah ra’y yang di dalamnya mengandung unsur dorongan nafsu atau mereka yang hanya mendasarkan zahir nash tanpa memperhatikan sunnah Nabi Saw. ataupun atsâr sahabat yang memahami betul situasi dan kondisi saat suatu ayat turun. Lebih dari itu ulama memandang bahwa makna al-ra’y dalam hadis tersebut adalah upaya menafsirkan ayat-ayat yang musykil dipahami dengan akalnya semata, al-ra’y dipahami pula sebagai al-hawâ hawa nafsu tanpa dalil atau 100 Al-Mubârakfûrî, Tuh fah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, juz 8, h. 224. 101 Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid 1, h. 263. bukti-bukti, atau dipahami pula sebagai fanatisme yang timbul dalam dirinya sehingga ia cenderung mernahami sesuai pendapat yang diikutinya padahal ia sadar bahwa kebanaran ada pada pihak lain. Al-ra’y tersebut juga dimaksudkan adalah kebodohan sebagaimana di dalam riwayat lain menggunakan istilah bi gair ‘ilm, dan terakhir pemaknaan al-ra’y dalam hadis tersebut dipahami sebagai cara melihat dan memahami al-Qur’an sebatas zahirnya tanpa memperhatikan riwayat yang terkait dengannya. 102 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan akal, indera dan juga sejarah. 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Pada matan-matan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y memiliki susunan pernyataan yang menunjukkan ciri-ciri sabda nabi seperti tarhîb hal yang memberikan ancaman dengan maksud mendorong umatnya untuk menjauhi apa yang dilarang oleh agama yang pada matan tersebut dijelaskan dengan ancaman neraka bagi orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan hanya mengunakan ra’y semata tanpa menggunakan ilmu yang mendukung untuk menafsirkan.

C. Pemahaman Kontekstual Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ra’y