Di lingkungan reporter ada istilah FU, atau follow up. Itu yang kami lakukan. Hari ini Tommy mengeluarkan laporan itu, harus di FU dari pihak museum,
tanggapan mereka terkait tuduhan itu? Di hari berikutnya bisa dimintai pendapat dari kalangan budayawan, Jokowi, dan Keraton Solo.
12. Menurut pemikiran pribadi Anda apakah kasus itu cenderung benar
dipalsukan atau tidak dipalsukan? Indikasinya apa?Apakah dari pemikiran Anda itu berpengaruh pada pemberitaan?
Saya reporter yang tidak terlalu paham tentang dunia pewayangan, Nakula dan Sadewa saja saya tidak tahu bedanya. Apalagi tentang kualitas fisik
wayang yang dibuat pada era PBX dan sesudahnya. Tidak semua orang dapat memahami ini dengan mudah, karena butuh keahlian tentang wayang, proses
pemahatan, proses perwarnaan, kualitas dan bahan pewarna di zaman PB X dan sekarang. Banyak hal yang harus dipelajari lagi. Jadi, masuk pada
kesimpulannya, saya tidak tahu, saya juga tidak peduli ini benar dipalsukan, atau tidak. Saya peduli jika benar dipalsukan, harus ada titik terang: siapa
pelakunya tersangkanya. Apa langkah kongkrit yang mesti dilakukan, baik itu Pemkot, Keraton dan para pecinta budaya Jawa.
Perspektif wartawan terhadap suatu kasus yang ia beritakan, tidak dipungkiri akan mempengaruhi kualitas berita, entah sedikit banyak. Ada seorang istri
yang suaminya masuk penjara karena narkoba, kemudian dia dimintai sejumlah uang oknum polisi untuk pembebasan suaminya. Kita geli melihat
kasus ini. Melihat kondisi demikian, kita tidak bisa menulis flat. Kita harus mendesak, agar oknum itu segera diketahui dan ditangkap. Jika polisi
menjawab: akan kita tangani, harus dikejar terus. Bahkan di hari atau pekan berikutnya siapa oknum itu meski wartawan lain mungkin tidak konsen ke
kasus itu lagi.
13. Bagaimana penentuan narasumber yang anda gunakan? Apakah ada pengaruh dengan kebijakan redaksi?
Penentuan narasumber tentu yang paling berkompeten di bidang tersebut, istilahnya harus A1 a satu. Ini yang menentukan obyektifitas berita.
Misalnya maaf ya, banyak mencontohkan, hehe ada peristiwa banjir di Solo. Kita tanya Kepala Kesbangpolinmas, tentang data berapa rumah, di mana
saja, kondisi pengungsi, dll. Reporter juga tidak bisa mengangguk begitu saja. Kita bisa kroscek cari data di lapangan. Narasumber bisa siapa saja, pak
RT, lurah atau warga korban banjir. Dari sini bisa ditanya, adakah tempat banjir yang tidak terkover Pemda. Adakah warga yang belum tertangani,
benarkan uang makan pengungsi benar-benar ada dan sebagainya. Penentuan narasumber bisa dari reporter juga ada kebijakan redaksi. Dunia
penuh kemungkinan. 50:50. Reporter bisa mencari sendiri, bisa juga diarahkan.
14. Bagaimana penentuan urutan narasumber yang anda tulis dalam berita?
Ada urutannya juga ya ternyata, hmm, selama ini saya tidak terlalu memikirkan soal itu. Menurut saya, bisa dari yang paling berkompeten, A1,
dilanjutkan dengan narasumber yang levelnya di bawahnya. Misal kasus Radya Pustaka, kita bisa wawancara ke seniman yang pertama kali bicara ke
media, bahwa wayang itu ternyata palsu. Apa buktinya, ciri-ciri fisiknya, indikasi ke mana yang asli. Kemudian bisa dilanjutkan ke pihak museum,
tanggapannya dengan tuduhan itu. Bisa ke pemkot, rencana ke depan, apakah perlu diinventarisasi kah, dibiarkan saja kah.
15. Bagaimana kedekatan wartawan dengan narasumber?
Ada yang sudah dekat, malah jadi langganan narasumber. Ada pula yang baru kenal saat itu. Kenal dekat dengan narsum banyak manfaatnya, tentu jaringan
lebih luas. apakah ada pernah ditelpon malam-malam oleh warga yang anda sudah lupa bahwa dulu pernah anda wawancarai, bahwa tetangganya ada
yang meninggal dibunuh? Ini karena kita menjalin hubungan yang baik dan respek dengan narsum. Bentuk kedekatan lainnya, terkadang saat dilakukan
wawancara jumpa pers sering dilakukan di atas meja makan. Sambil ngobrol, sambil makan, saling melempar canda, namun ada sebuah perbincangan yang
serius tentang sebuah kasus. Kita dekat, tapi berjarak. Dekat karena kita butuh mereka. Berjarak, karena
merek butuh kita. Kita butuh narasumber karena tanpa mereka, kita tidak dapat informasi. Dibutuhkan jarak, untuk menjaga nilai berita tetap obyektif.
Pihak tertentu memanfaatkan hubungannya dengan wartawan karena ada kepentingan pribadi. Wartawan sedikit banyak tahu itu, maka harus dipilih
data yang benar berkualitas.
16. Siapa yang membuat judul dan subjudul? Jika Anda Adakah perubahan di meja redaktur? Berapa persen perubahannya?
Berita, mulai dari judul hingga paragraf terakhir total yang membuat adalah wartawan. Karena itu yang ada di TKP, tahu kondisi nyata, bahkan dari segi
emosional yang barangkali tidak mampu tertuang dalam kata-kata. Tentu ada perubahan di meja redaktur, karena memang tugasnya seperti itu.
Mereka berpengalaman, lebih jeli dalam merangkai kata-kata tanpa mengubah substansinya. Berapa persennya, tergantung dari judul subjudul
yang kita buat. Makin bagus dan sesuai dengan isi, makin kecil pula yang diganti, dan sebaliknya.
17. Bagaimana sifat judul yang biasa Anda buat?
Pada intinya sesuai dengan isi di bawahnya. Dengan kata yang singkat, bisa menjelaskan isi. “Walikota: usut kasus Radya Pustaka” tidak perlu dijelaskan
dalam judul “Walikota Solo”, atau “Walikota Solo Joko Widodo.”