Apa visi dan misi SOLOPOS dan bagaimana implementasinya di
Aturan baku saya kurang tahu yach. Di tempat saya berada itu ada. Di SOLOPOS ada berita kronik, hanya butuh sekitar 1.000 karakter. Berita biasa
baik berupa straight atau soft news butuh 2.000-an. Pertimbangannya berupa porsi halaman yang tersedia, layak dan mutu berita. “Kalau cuma acara suatu
lembaga menggelar donor darah, cukup lah kronik saja.” Untuk hal ini tidak ada yang baku, namun fleksibel.
8. Apa larangan yang diberikan Solopos saat di lapangan?
Hemm, untuk hal ini saya patut berbangga. Reporter SOLOPOS dilarang keras menerima amplop dari narasumber dalam hal kepentingan pekerjaan.
Sangsinya tegas, pemecatan. Kita patut berbangga, karena hingga kini, saya dan rekan-rekan SOLOPOS memegang prinsip itu. “Wartawan terhormat,
tidak bisa disuap.” Tidak semua media menerapkannya dengan tegas. Larangan lainnya, meminta berita lengkap. Jadi, dari wartawan lain tanpa
melakukan peliputan sendiri, kami menyebutnya wartawan bandeman. Diizinkan meminta info sekedarnya dari reporter media lain terkait peristiwa
di lokasi.
9. Pernah nggak tulisan Anda diubah total oleh redaktur? judul maupun
isinya Diubah total maksudnya hingga pada substansi berita atau hanya tata bahasa?
Kalau substansi berita itu tidak mungkin. Redaktur tidak di TKP, mereka tahu dari kita reporter. Kalau diubah tata bahasa, tentu pernah, tapi tidak total.
Terkait kasus Museum Radya Pustaka 10. Siapa yang pertama kali memunculkan isu Museum Radya Pustaka?
SOLOPOS pernah pada 2009 memberitakan adanya dugaan wayang yang dipajang tidak dari HB X. Untuk konteks yang sedang menjadi perhatian
akhir-akhir ini, yang memunculkan yaitu liputan khusus Joglosemar kalau tidak salah oleh reporter Tommy. Bisa dikonfirmasi ke Tommy. Punya rekan
di JS kan, ada Krisna, Harno. Hehe.
11. Bagaimana proses produksi berita tentang kasus Museum Radya Pustaka? proses dari munculnya isu sampai penulisan
Saat itu saya bertugas di Laweyan dan Serengan, maka tugas saya Museum tersebut berada di wilayah Kecamatan Laweyan untuk menindaklanjuti hal
itu. Dalam laporan khusus Tommy itu isinya seputar dugaan wayang palsu. Maka yang saya lakukan yaitu mendatangi museum dan mencari informasi
serta tanggapan pihak museum. Ibarat bola salju, makin hari makin berkembang. Banyak pihak yang perkompeten dalam masalah ini, mulai
menyampaikan pendapat, mulai dari pihak Keraton Solo, pengamat dan mecinta budaya Solo, hingga Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta
Walikota Jokowi turun tangan.
Di lingkungan reporter ada istilah FU, atau follow up. Itu yang kami lakukan. Hari ini Tommy mengeluarkan laporan itu, harus di FU dari pihak museum,
tanggapan mereka terkait tuduhan itu? Di hari berikutnya bisa dimintai pendapat dari kalangan budayawan, Jokowi, dan Keraton Solo.