6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan oleh cacing parasit Zulkoni, 2009. Infeksi cacing tidak hanya terjadi di negara
tropis dan subtropis tetapi juga di berbagai daerah yang tingkat kebersihan lingkungannya rendah Pagariya, et al., 2013. Badan Kesehatan Dunia
memperkirakan lebih dari 1,5 miliar 24 dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina dan Asia
Tenggara WHO., 2015. Angka kecacingan mencapai 28 Kemenkes., 2015 dan diperkirakan lebih dari 60 anak-anak terinfeksi cacing parasit di Indonesia
Tjay dan Rahardja, 2002. Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan,
walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi cacing menyebabkan penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi, kemunduran
pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual Tiwow, dkk., 2013, pada orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Kecacingan dapat
mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang Zulkoni, 2010.
2.2 Penyebab Kecacingan
Filum utama cacing yang mempengaruhi kesehatan manusia yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Filum Platyhelminthes terdapat 2
kelas penting, yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes
Universitas Sumatera Utara
7 yang penting adalah kelas Nematoda Soedarto, 2008. Nematoda atau cacing
bundar berbentuk bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh dengan saluran pencernaan dan kelamin terpisah Zulkoni, 2010. Nematoda menyebabkan
infeksi pada usus, darah dan jaringan. Trematoda atau cacing pipih berbentuk seperti daun dan bersifat hermaphrodit kecuali cacing hati Zulkoni, 2010.
Cestoda atau cacing pita secara khas berbentuk pita yang besegmen, bersifat hermaphrodit
, tidak memiliki saluran pencernaan Zulkoni, 2010 dan menempel pada usus Tjahyanto dan Salim, 2013.
Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat telur kista atau larvanya yang ada di atas tanah dan pembuangan kotoran yang
dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan Zulkoni, 2010; Tjay dan Rahardja, 2002.
Kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah. Persediaan air rumah
tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran yang tidak dicuci bersih, kebiasaan makan masyarakat mengkonsumsi makanan mentah atau setengah
matang sepeti ikan, kerang, daging atau sayuran akan meningkatkan penderita kecacingan, bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka
dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia Entjang, 2003. Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau
berpenetrasi ke jaringan. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh manusia yang ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit,
dalam saluran pencernaan jika terdapat 20 ekor cacing dewasa, cacing-cacing tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari Zulkoni,
2009; Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang
Universitas Sumatera Utara
8 penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa
gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan
darah akibat terinfeksi sejumlah cacing yang menghisap darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk Tjay dan Rahardja, 2002.
2.2.1 Infeksi nematoda Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah:
a. Onkoserkiasis river blindness Penyakit ini disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditandai dengan adanya
benjolan dibawah kulit, ruam kulit yang terasa gatal dan lesi okular yang sering menyebabkan kebutaan Tjahyanto dan Salim, 2013.
b. Enterobiasis penyakit cacing kremi Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari Enterobius vermicularis Tjahyanto dan
Salim, 2013. Cacing kremi biasanya menimbulkan gatal di sekitar dubur anus dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini dapat menyebabkan radang umbai-
usus buntu akut Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala penyakit cacing kremi yaitu gatal disekitar dubur terutama pada malam hari pada saat cacing betina
meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur Irianto, 2013. c. Askariasis penyakit cacing gelang
Penyebab penyakit ini adalah Ascaris lumbricoides. Panjangnya 10-15 cm dan biasanya bermukim pada usus halus. Cacing betina mengeluarkan telur dalam
jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa
tidak enak pada perut gangguan lambung, kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam Irianto, 2013.
Universitas Sumatera Utara
9 d. Trikuriasis penyakit cacing cambuk
Agen penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Umumnya terdapat di negara beriklim panas dan lembab. Cacing cambuk bermukim di mukosa usus
halus dan usus besar dalam tubuh manusia, biasanya dengan menimbulkan kerusakan dan peradangan Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala penyakit cacing
cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia Irianto, 2013.
e. Ankilostomiasis penyakit cacing tambang Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus . Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena
terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh larva yang memasuki kulit kaki yang terluka. Setelah memasuki vena, larva
menuju ke paru-paru dan bronki, akhirnya masuk ke saluran cerna Tjay dan Rahardja, 2002. Cacing menempel pada mukosa usus dan menyebabkan
anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang menyebabkan anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah gangguan pencernaan
berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan gatal di daerah masuknya cacing Irianto, 2013.
f. Trikinosis cacing rambut Agen penyebab penyakit ini adalah Trichinella spiralis, biasanya disebabkan oleh
konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi Tjahyanto dan Salim, 2013.
g. Strongiloidiasis penyakit cacing benang Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis Tjahyanto dan Salim,
2013. Penularannya lewat larva yang berbentuk benang yang menembus kulit.
Universitas Sumatera Utara
10 Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus,
ditempat ini cacing merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang Tjay dan Rahardja, 2002.
2.2.2 Infeksi trematoda
Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah: a. Skistosomiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis keong
sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia Tjay dan Rahardja, 2002. Lokasi infeksi utama adalah traktus gastrointestinal. Kerusakan
pada dinding usus disebabkan oleh respons inflamasi terhadap telur-telur yang disimpan dalam daerah tersebut. Telur-telur tersebut juga mensekresikan enzim
proteolitik yang menambah kerusakan jaringan. Gambaran klinis berupa pendarahan GI, diare dan kerusakan hati Tjahyanto dan Salim, 2013. Penyakit
ini juga disebabkan oleh Schistosoma haematobium, lokasi infeksi utama adalah vena kandung kemih. Penyakit ini ditularkan melalui penetrasi pada kulit secara
langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas dalam urin atau dinding kantung kemih Tjahyanto dan Salim, 2013.
b. Paragonimiasis Penyakit ini disebabkan oleh Paragonisum westermani trematoda paru.
Organisme berpindah dari saluran pencernaan ke paru, yang merupakan tempat
Universitas Sumatera Utara
11 kerusakan utama. Infeksi dapat menimbulkan batuk yang menghasilkan sputum
dengan darah. Penyakit ini ditularkan dengan memakan daging kepiting yang mentah. Parogonimiasis didiagnosa dengan menemukan telur dalam sputum dan
feses Tjahyanto dan Salim, 2013. c. Klonorkiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Clonorchis sinensis. Lokasi infeksi utama adalah saluran empedu, responnya berupa inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis
dan hiperplasia. Penyakit ini ditularkan dengan memakan ikan air tawar yang mentah. Klonorkiasis didiagnosis dengan menemukan telur dalam feses
Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.2.3 Infeksi cestoda
Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: a. Ekinokokkosis
Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus granulosis
cacing pita anjing. Infeksi menyebabkan kista hidatid yang besar di dalam hati, paru dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen
cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis
didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan Tjahyanto dan Salim, 2013.
b. Taeniasis Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa cacing pita babi.
Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare, walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit
Universitas Sumatera Utara
12 ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui
penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses Tjahyanto dan Salim, 2013. Penyakit ini juga disebabkan oleh larva
dari Taenia saginata cacing pita sapi. Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau
mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses Tjahyanto dan Salim, 2013.
Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya scolex yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat.
Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian scolex
dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru Tjay dan Rahardja, 2002.
c. Sistiserkosis Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki
dalam otak menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa
melalui CT-scan atau biopsi Tjahyanto dan Salim, 2013. d. Difilobotriasis
Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum cacing pita ikan. Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini ditularkan
oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses Tjahyanto dan Salim, 2013.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3 Pengobatan Kecacingan
Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh Gunawan dan Sulistia,
2011.
2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda
a. Tiabendazol Tiabendazol merupakan benzimidazol sintetik berspektrum luas terhadap
nematoda. Obat ini efektif mengobati strongiloidiasis yang disebabkan oleh cacing benang, larva migran kutaneus dan stadium awal trikinosis. Thiabendazol
bekerja dengan mempengaruhi agregasi mikrotubulus Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011.
b. Ivermektin Ivermektin merupakan hasil fementasi dari jamur Streptomyces avermitilis Tjay
dan Rahardja, 2002. Ivermektin adalah antelmintik pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus, larva migran kutaneus
dan strongiloidosis. Ivermektin membidik reseptor kanal Cl
-
yang bergerbang glutamat pada parasit. Aliran masuk klorida meningkat dan terjadi hiperpolarisasi,
menyebabkan paralisis cacing Tjahyanto dan Salim, 2013. c. Mebendazol
Mebendazol merupakan senyawa benzimidazol sintetik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk
penanganan infeksi cacing tunggal maupun infeksi campuran dengan dua atau lebih cacing Tjay dan Rahardja, 2002. Mebendazol merupakan obat pilihan pada
terapi infeksi oleh cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang dan cacing gelang. Mebendazol bekerja dengan mengikat dan mengganggu pembentukan
Universitas Sumatera Utara
14 mikrotubulus parasit serta menurunkan ambilan glukosa Tjahyanto dan Salim,
2013; Tjay dan Rahardja, 2002. d. Pirantel pamoat
Pirantel pamoat bersama dengan mebendazol, efektif pada pengobatan infeksi cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Obat ini bekerja sebagai agen
penghambat neuromuskular dan depolarisasi, menyebabkan aktivasi permanen pada reseptor nikotinik parasit. Cacing yang terparalisis kemudian dikeluarkan
dari saluran cerna Tjahyanto dan Salim, 2013. e. Dietilkarbamasin
Dietilkarbamasin digunakan pada pengobatan filiarisis karena kemampuannya melumpuhkan mikrofilaria dan membuat mikrofilaria rentan terhadap mekanisme
pertahanan Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda
Infeksi trematoda, secara umum diobati dengan praziquantel. Obat ini adalah agen pilihan untuk pengobatan seluruh bentuk skistosomiasis dan infeksi
trematoda lainnya, serta infeksi cestoda seperti sistiserkosis. Permeabilitas membran sel terhadap kalsium meningkat, meyebabkan kontraktur dan paralisis
parasit Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda
a. Albendazol Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum lebar yang dapat diberikan
peroral Gunawan dan Sulistia, 2011. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat sintesis mikrotubulus dan ambilan
glukosa pada larva atau nematoda dewasa sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati. Aplikasi
Universitas Sumatera Utara
15 terapeutik utamanya adalah pengobatan infeksi cacing kremi, cacing tambang,
cacing gelang, penyakit neuro-sistiserkosis dan penyakit hidatid Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011.
b. Niklosamid Niklosamid adalah obat pilihan untuk sebagian besar infeksi cestoda cacing
pita. Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat mitokondria parasit, yang menghasilkan energi yang dapat digunakan dalam bentuk adenosin
trifosfat dan metabolisme anaerobik juga dapat dihambat Tjahyanto dan Salim, 2013.
Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, hanya beberapa obat yang memiliki khasiat terhadap lebih jenis cacing broad
spectrum , misalnya mebendazol. Diagnosis tepat diperlukan sebelum
menggunakan obat cacing. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama
obat pencahar seperti praziquantel dan niklosamid. Posmedikasi banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak
mematikannya Gunawan dan Sulistia, 2011; Tjay dan Rahardja, 2002. Antelmentik dapat menimbulkan efek samping seperti rasa mual,
hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare Vennila, et al., 2015; Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996. Resistensi cacing parasit pada ternak
juga telah banyak dilaporkan seperti pada golongan benzimidazol, imidotiazol- tetrahidropirimidin dan lakton makrosiklik yang digunakan lebih dari periode
yang ditentukan dan diberikan dengan dosis rendah oleh para petani sehingga menyebabkan resistensi, infeksi cacing dari hewan ternak dapat berlanjut terjadi
pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
16 manusia Vercruysse, et al., 2011;
Sutherland dan Leathwick, 2011; Wolstenholme, et al., 2004. Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan
efektivitas obat antelmintik dosis tunggal seperti kegagalan pirantel terhadap cacing tambang Ancylostoma duodenale Reynoldson, et al., 1997, menurunnya
efikasi mebendazol dan levamisol terhadap cacing tambang dan nematoda pada saluran pencernaan Flohr, et al., 2007; Albonico, et al., 2003, menurunnya
efikasi albendazol terhadap cacing tambang Humphries, et al., 2011 dan terjadinya kegagalan tiabendazol terhadap Haemochus contortus Kotze, et al.,
2009. Kegagalan dan penurunan efektivitas obat-obat antelmintik tersebut merupakan petanda telah terjadinya resistensi pada manusia Lalchhandama, K.,
2010; Prichard, R.K., 2007. Menggunakan dosis berganda atau dosis berulang
merupakan solusi terbaik, tetapi hal tersebut sulit diaplikasikan oleh masyarakat karena bermasalah pada waktu penggunaan sehingga dapat menyebabkan
resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan Vercruysse, et al., 2011.
2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik
Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam
penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus
ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian, pengujian dan penemuan obat-obat baru, termasuk budidaya tanaman yang secara medis dapat
dipertanggungjawabkan Syukur dan Hernani, 2002. Pengobatan dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat merupakan salah satu alternatif yang
dipilih untuk memperkecil adanya efek samping karena pemberian obat sintetis.
Universitas Sumatera Utara
17 Telah banyak diketahui tanaman obat yang berkhasiat sebagai antelmintik yang
pernah dan masih digunakan hingga saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh tanaman yang mempunyai khasiat antelmintik diantaranya
daun pepaya, pare, temu giring, temu hitam, biji pinang Tiwow, dkk., 2013, putri malu Ratnawati, 2013 dan andong Asih, 2014.
Studi in vitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili Amaranthaceae,
Arecaceae, Asteraceae, Crassulaceae, Dryopteridaceae,
Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae, Rutaceae,
Zingiberaceae, Apiaceae
Wink, 2012,
Ranunculaceae, Cucurbitaceae, Dryopteridaceae, Araliaceae, Junglandaceae, Valerianaceae
Urban, et al., 2015, Lythraceae Bairagi, et al., 2011, Moraceae Mughal, et al., 2013 dan Schropulariaceae Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013 mampu
membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi pada manusia .
2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmintik