Uji In Vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

(1)

UJI

IN VITRO

AKTIVITAS ANTELMINTIK

EKSTRAK ETANOL DAUN PUGUN TANOH

[

Curanga fel-terrae

(Lour.) Merr.]

SKRIPSI

OLEH:

GRACE ANASTASIA BR GINTING

NIM 101501150

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

UJI

IN VITRO

AKTIVITAS ANTELMINTIK

EKSTRAK ETANOL DAUN PUGUN TANOH

[

Curanga fel-terrae

(Lour.) Merr.]

SKRIPSI

OLEH:

GRACE ANASTASIA BR GINTING

NIM 101501150

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI

IN VITRO

AKTIVITAS ANTELMINTIK

EKSTRAK ETANOL DAUN PUGUN TANOH

[

Curanga fel-terrae

(Lour.) Merr.]

OLEH:

GRACE ANASTASIA BR GINTING NIM 101501150

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 11 November 2015 Pembimbing I,

Popi Patilaya, S.Si., M. Sc., Apt. NIP 197812052010121004

Panitia Penguji,

Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001

Pembimbing II,

Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt. NIP 195310301980031002

Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197812052010121004

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001 Medan, Januari 2016

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,

Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Uji In Vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku Pejabat Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Popi Patilaya, S.Si., M. Sc., Apt., dan Bapak Dr. Panal Sitorus, M.Si., Apt. yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai. Ibu Kepala Laboratorium Farmakognosi yang telah memberikan fasilitas selama penelitian.


(5)

kepada keluarga tercinta, Bapak Ir, Suara Ginting dan Mamak Dra. Mariani Barus, adik tercinta Brianta Petra Ginting, Karina Kalvari Br Ginting, Hanna Jesika Br Ginting, dan Vania Elisha Br Ginting atas limpahan kasih sayang, doa dan dukungan yang tak ternilai dengan apapun. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Januari 2016

Penulis,

Grace Anastasia Br Ginting NIM 101501150


(6)

SURAT PENYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Grace Anastasia Br Ginting

NIM : 101501150

Departemen : Biologi Fakultas : Farmasi

Judul skripsi : Uji In Vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 11 November 2015

Grace Anastasia Br Ginting NIM 101501150


(7)

UJI IN VITRO AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL DAUN PUGUNTANOH

[Curangafel-terrae(Lour.) Merr.]

ABSTRAK

Latarbelakang: Ekstrak etanol daun puguntanoh yang diperoleh secara maserasi

memiliki aktivitas antelmintik terhadap Pheretima Posthuma. Namun aktivitas antelmintik dapat dipengaruhi oleh metode ekstraksi. Sokletasi mampu mengekstraksi komponen kimia tumbuhan lebih banyak dibandingkan metode maserasi.

Tujuan: Untuk mengujiak tivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh

yang diperoleh dengan metode sokletasi secara in vitro terhadap P heretima Posthuma.

Metode: Serbuk simplisia daun pugun tanoh diekstraksi dalam etanol 96%

dengan metode sokletasi. Kemudian dilakukan skrining fitokimia dan dikarakterisasi. Aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh ditentukan dengan memaparkan larutan salin (control negatif), etanol 0,5% (control pelarut), suspensi albendazole 20 mg/ml (control positif), ekstrak etanol daun pugun tanoh 5, 10, 20, dan 30 mg/ml masing-masing terhadap Pheretima Posthuma. Aktivitas antelmintik ekstrak daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan kematian melalui pengamatan terhadap motilitas dan perubahan morfologi cacing

Pheretima posthuma selama 5 jam. Data dianalisis secara statistika dengan perangkat lunak SPSS versi 22.0 menggunakan anava satu arah dan dilanjutkan uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol daun pugun tanoh (EEDPT)

mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, tanin, glikosida, saponin, dan steroid/triterpenoid. Kadar air, kadar sari larut dalam air dan etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam EEDPT adalah 3,99%, 58,67%, 7,98%, 1,77%, 0,32%. EEDPT pada konsentrasi uji menyebabkan paralisis Pheretima posthuma. Analisis statistika menunjukkan bahwa efek paralisis terhadap

Pheretima posthuma dipengaruhi oleh konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi EEDPT, waktu paralisis semakin cepat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa EEDPT menyebabkan kematian Pheretima posthuma. Efek kematian EEDPT tergantung pada konsentrasi. Analisis statistika menunjukkan bahwa efek kematian EEDPT dan albendazole 20 mg/ml berbeda secara signifikan (p < 0,05).

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang diperoleh dengan metode sokletasi memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma.

Kata kunci: Puguntanoh, Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.,antelmintik, Pheretima posthuma, sokletasi.


(8)

INVITRO STUDY ON THE ANTHELMINTIC ACTIVITY OF THE LEAF ETHANOLIC EXTRACT OF PUGUNTANOH

[Curangafel-terrae(Lour.) Merr.]

ABSTRACT

Background: Ethanolic extract of Curanga fel-terrae (Lour.) Merr. leaves obtained by maceration has anthelmintic activity against Pheretima posthuma. However the anthelmintic activity is affected by extraction method. Soxhletation can extract more chemical compounds of plant than maceration.

Objective: Aim of this study was to evaluate the in vitro anthelmintic activity of leaf ethanolic extract of C. fel-terrae obtained by soxhletation against P. posthuma.

Methods: Dried material of C. fel-terrae leaves were extracted in ethanol 96% by soxhletation. Anthelmintic activity of the leaf ethanolic extract of C. fel-terrae

was determined by exposing saline solution (negative control), ethanol 0.5% (solvent control), albendazole suspension 20 mg/ml (positive control), the ethanolic extract of plant at 5, 10, 20, and 30 mg/ml to P. posthuma, respectively. Determination of the anthelmintic activity of plant extract was based on paralysis and death times by observing motility and morphological changes of P. posthuma

for 5 hours. Data were statistically analyzed using SPSS software 22.0 with one way anova and followed by Tukey test at 95% of confidence level.

Results: The results showed that the leaf ethanolic extract of C. fel-terrae

(EEDPT) were contained alkaloids, flavonoids, glycosides, saponins, tannins, and terpenoids/steroids. The results showed that water, water-soluble extractive, ethanol-soluble extractive, total ash, and acid-insoluble ash contents of EEDPT were 3.99%, 58.67%, 7.98%, 1.77%, 0.32%. EEDPT at the concentration tested caused P. posthuma paralysis. The paralysis effects of EEDPT against P. posthuma were affected by the extract concentration. The higher concentration of EEDPT produced the faster paralysis time of P. posthuma. The results demonstrated that EEDPT also caused P. posthuma death. The death effects of EEDPT were produced in a concentration dependent manner. Statistical analysis indicated that the death effects of EEDPT and albendazole 20 mg/ml significantly different (p < 0.05).

Conclusion: The leaf ethanolic extract of C. fel-terrae obtained by soxhletation has anthelmintic activity against P. posthuma.

Keywords:Pugun Tanoh, Curanga fel-terrae, anthelmintic, Pheretima posthuma, soxhletation


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Epidemiologi Kecacingan ... 6

2.2 Penyebab Kecacingan ... ... 6

2.2.1 Infeksi nematoda ... 8


(10)

2.2.3 Infeksi cestoda ... 11

2.3 Pengobatan Kecacingan ... 13

2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda ... 13

2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda ... 14

2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda ... 14

2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik ... 16

2.5 Golongan Senyawa Kimia Yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmitik ... 17

2.6 Pugun Tanoh ... 17

2.6.1 Nama daerah ... 18

2.6.2 Nama asing ... 18

2.6.3 Sinonim ... 18

2.6.4 Sistematika dan morfologi tumbuhan ... 18

2.6.5 Habitat tumbuhan ... 19

2.6.6 Khasiat tumbuhan ... 19

2.6.7 Kandungan kimia ... 20

2.7 Simplisia ... 20

2.8 Ekstraksi ... 21

2.8.1 Ekstraksi cara dingin ... 22

2.8.2 Ekstraksi cara panas ... 22

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik ... 23

2.9.1 Uji in vitro ... 23

2.9.2 Uji in vivo ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25


(11)

3.1.1 Alat-alat ... 25

3.1.2 Bahan-bahan ... 25

3.2 Penyiapan Sampel ... 26

3.2.1 Pengambilan bahan ... 26

3.2.2 Identifikasi sampel ... 26

3.3 Pembuatan Simplisia Daun Pugun Tanoh ... 26

3.4 Pembuatan Pereaksi ... 27

3.4.1 Pereaksi Mayer ... 27

3.4.2 Pereaksi Dragendorff ... 27

3.4.3 Pereaksi Bouchardat ... 27

3.4.4 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 27

3.4.5 Pereaksi Molisch ... 28

3.4.6 Pereaksi asam klorida 2N ... 28

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2N ... 28

3.4.8 Pereaksi natrium hidroksida 2N ... 28

3.4.9 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 28

3.4.10 Pereaksi besi (III) klorida 1 % ... 28

3.5 Karakterisasi Simplisia Daun Pugun Tanoh ... 28

3.5.1 Pemeriksaan organoleptik ... 29

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 29

3.5.3 Penetapan kadar air ... 29

3.5.4 Penetapan kadar abu total ... 30

3.5.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 30

3.5.6 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 30


(12)

3.6 Skrining Fitokimia Simplisia ... 31

3.6.1 Pemeriksaan alkaloid ... 31

3.6.2 Pemeriksaan flavonoid ... 31

3.6.3 Pemeriksaan tanin ... 32

3.6.4 Pemeriksaan glikosida ... 32

3.6.5 Pemeriksaan saponin ... 33

3.6.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 33

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh ... 33

3.8 Karakterisasi dan Skrining Fitokimia Ekstrak ... 34

3.9 Uji Aktivitas Antelmintik EEDPT ... 34

3.9.1 Hewan percobaan ... 34

3.9.2 Uji pengaruh etanol terhadap P. posthuma ... 34

3.9.3 Penyiapan sampel uji ... 34

3.9.4 Uji aktivitas antelmintik ... 35

3.10 Analisis Statistika ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Identifikasi Sampel ... 37

4.2 Karakteristik Simplisia Daun Pugun Tanoh ... 37

4.3 Karakteristik EEDPT ... 39

4.4 Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak ... 40

4.5 Aktivitas Antelmintik EEDPT ... 41

4.5.1 Hewan percobaan ... 41

4.5.2 Pengaruh etanol terhadap Pheretima posthuma ... 41

4.5.3 Aktivitas antelmintik ... 42


(13)

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Perlakuan uji antelmintik EEDPT ... 35

4.1 Kadar air, kadar sari larut dalam air dan etanol serta kadar abu total dan tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh ... 38

4.2 Kadar air, kadar sari larut dalam air dan etanol serta kadar abu total dan tidak larut asam EEDPT ... 40

4.3 Kandungan metabolit sekunder dari simplisia dan EEDPT ... 41

4.4 Pengaruh etanol terhadap Pheretima posthuma ... 42


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 55

2 Hasil identifikasi hewan ... 56

3 Surat albendazole ... 57

4 Tanaman pugun tanoh dan simplisia daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.)Merr] . ... 59

5 Simplisia daun pugun tanoh dan serbuk simplisia daun pugun tanoh ... 60

6 Hasil pemeriksaan mikroskopik daun pugun tanoh ... 61

7 Gambar seperangkat alat sokslet ... 62

8 Ekstrak etanol daun pugun tanoh ... 63

9 Pheretima posthuma ... 63

10 Uji pengaruh etanol terhadap Pheretima posthuma ... 64

11 Uji aktivitas antelmintik terhadap Pheretima posthuma ... 65

12 Larutan uji aktivitas antelmintik terhadap P. posthuma ... 66

13 Perhitungan kadar air simplisia daun pugun tanoh ... 67

14 Perhitungan kadar sari larut air simplisia daun pugun tanoh ... 68

15 Perhitungan kadar sari larut etanol simplisia daun pugun tanoh ... 69

16 Perhitungan kadar abu total simplisia daun pugun tanoh ... 70

17 Perhitungan kadar abu tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh ... 71

18 Perhitungan kadar air EEDPT ... 72

19 Perhitungan kadar sari larut air EEDPT ... 73

20 Perhitungan kadar sari larut etanol EEDPT ... 74


(17)

22 Perhitungan kadar abu tidak larut asam EEDPT ... 76

23 Perhitungan pengenceran etanol ... 77

24 Uji aktivitas antelmintik EEDPT ... 78

25 Perhitungan penyiapan ekstrak ... 79

26 Uji Statistik paralisis Pheretima posthuma ... 80


(18)

UJI IN VITRO AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL DAUN PUGUNTANOH

[Curangafel-terrae(Lour.) Merr.]

ABSTRAK

Latarbelakang: Ekstrak etanol daun puguntanoh yang diperoleh secara maserasi

memiliki aktivitas antelmintik terhadap Pheretima Posthuma. Namun aktivitas antelmintik dapat dipengaruhi oleh metode ekstraksi. Sokletasi mampu mengekstraksi komponen kimia tumbuhan lebih banyak dibandingkan metode maserasi.

Tujuan: Untuk mengujiak tivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh

yang diperoleh dengan metode sokletasi secara in vitro terhadap P heretima Posthuma.

Metode: Serbuk simplisia daun pugun tanoh diekstraksi dalam etanol 96%

dengan metode sokletasi. Kemudian dilakukan skrining fitokimia dan dikarakterisasi. Aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh ditentukan dengan memaparkan larutan salin (control negatif), etanol 0,5% (control pelarut), suspensi albendazole 20 mg/ml (control positif), ekstrak etanol daun pugun tanoh 5, 10, 20, dan 30 mg/ml masing-masing terhadap Pheretima Posthuma. Aktivitas antelmintik ekstrak daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan kematian melalui pengamatan terhadap motilitas dan perubahan morfologi cacing

Pheretima posthuma selama 5 jam. Data dianalisis secara statistika dengan perangkat lunak SPSS versi 22.0 menggunakan anava satu arah dan dilanjutkan uji Tukey pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol daun pugun tanoh (EEDPT)

mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, tanin, glikosida, saponin, dan steroid/triterpenoid. Kadar air, kadar sari larut dalam air dan etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam EEDPT adalah 3,99%, 58,67%, 7,98%, 1,77%, 0,32%. EEDPT pada konsentrasi uji menyebabkan paralisis Pheretima posthuma. Analisis statistika menunjukkan bahwa efek paralisis terhadap

Pheretima posthuma dipengaruhi oleh konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi EEDPT, waktu paralisis semakin cepat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa EEDPT menyebabkan kematian Pheretima posthuma. Efek kematian EEDPT tergantung pada konsentrasi. Analisis statistika menunjukkan bahwa efek kematian EEDPT dan albendazole 20 mg/ml berbeda secara signifikan (p < 0,05).

Kesimpulan: Ekstrak etanol daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang diperoleh dengan metode sokletasi memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma.

Kata kunci: Puguntanoh, Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.,antelmintik, Pheretima posthuma, sokletasi.


(19)

INVITRO STUDY ON THE ANTHELMINTIC ACTIVITY OF THE LEAF ETHANOLIC EXTRACT OF PUGUNTANOH

[Curangafel-terrae(Lour.) Merr.]

ABSTRACT

Background: Ethanolic extract of Curanga fel-terrae (Lour.) Merr. leaves obtained by maceration has anthelmintic activity against Pheretima posthuma. However the anthelmintic activity is affected by extraction method. Soxhletation can extract more chemical compounds of plant than maceration.

Objective: Aim of this study was to evaluate the in vitro anthelmintic activity of leaf ethanolic extract of C. fel-terrae obtained by soxhletation against P. posthuma.

Methods: Dried material of C. fel-terrae leaves were extracted in ethanol 96% by soxhletation. Anthelmintic activity of the leaf ethanolic extract of C. fel-terrae

was determined by exposing saline solution (negative control), ethanol 0.5% (solvent control), albendazole suspension 20 mg/ml (positive control), the ethanolic extract of plant at 5, 10, 20, and 30 mg/ml to P. posthuma, respectively. Determination of the anthelmintic activity of plant extract was based on paralysis and death times by observing motility and morphological changes of P. posthuma

for 5 hours. Data were statistically analyzed using SPSS software 22.0 with one way anova and followed by Tukey test at 95% of confidence level.

Results: The results showed that the leaf ethanolic extract of C. fel-terrae

(EEDPT) were contained alkaloids, flavonoids, glycosides, saponins, tannins, and terpenoids/steroids. The results showed that water, water-soluble extractive, ethanol-soluble extractive, total ash, and acid-insoluble ash contents of EEDPT were 3.99%, 58.67%, 7.98%, 1.77%, 0.32%. EEDPT at the concentration tested caused P. posthuma paralysis. The paralysis effects of EEDPT against P. posthuma were affected by the extract concentration. The higher concentration of EEDPT produced the faster paralysis time of P. posthuma. The results demonstrated that EEDPT also caused P. posthuma death. The death effects of EEDPT were produced in a concentration dependent manner. Statistical analysis indicated that the death effects of EEDPT and albendazole 20 mg/ml significantly different (p < 0.05).

Conclusion: The leaf ethanolic extract of C. fel-terrae obtained by soxhletation has anthelmintic activity against P. posthuma.

Keywords:Pugun Tanoh, Curanga fel-terrae, anthelmintic, Pheretima posthuma, soxhletation


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit umum di dunia. Tidak hanya terbatas di negara tropis dan subtropis tetapi juga terdapat di berbagai daerah yang tingkat kebersihan lingkungannya rendah (Pagariya, et al., 2013). Badan kesehatan dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina dan Asia Tenggara (WHO., 2015). Angka kecacingan sebesar 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak menderita infeksi cacing di Indonesia (Tjay dan Rahardja, 2002).

Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan, walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi cacing menyebabkan penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi, kemunduran pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual (Tiwow, dkk., 2013). Pada orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Dalam jangka panjang, kecacingan mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia (Zulkoni, 2010).

Antelmentik dapat menimbulkan efek samping seperti rasa mual, hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996). Resistensi cacing parasit pada ternak juga telah banyak dilaporkan seperti pada obat antelmintik golongan benzimidazol, imidotiazol-tetrahidropirimidin dan lakton makrosiklik yang digunakan lebih dari periode yang ditentukan dan diberikan dengan dosis rendah


(21)

oleh para petani sehingga menyebabkan resistensi, infeksi cacing dari hewan ternak dapat berlanjut terjadi pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada manusia (Vercruysse, et al., 2011; Sutherland dan Leathwick, 2011; Wolstenholme, et al., 2004). Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan efektivitas obat antelmintik dosis tunggal seperti pirantel terhadap cacing tambang Ancylostoma duodenale yang telah mengalami kegagalan (Reynoldson, et al., 1997), pada mebendazol dan levamisol telah terjado penurunan efikasi terhadap cacing tambang dan nematoda pada saluran pencernaan (Flohr, et al., 2007; Albonico, et al., 2003), menurunnya efikasi albendazol terhadap cacing tambang (Humphries, et al., 2011) dan terjadinya kegagalan tiabendazol terhadap Haemochus contortus (Kotze, et al., 2009). Kegagalan dan penurunan efektivitas obat-obat antelmintik tersebut merupakan petanda telah terjadinya resistensi pada manusia (Lalchhandama, K., 2010; Prichard, R.K., 2007). Menggunakan dosis berganda atau dosis berulang merupakan solusi terbaik, tetapi hal tersebut sulit diaplikasikan oleh masyarakat karena bermasalah pada ketersediaan masyarakat untuk melakukan pengobatan kembali dan tidak terpantaunya pengobatan tersebut setiap harinya sehingga dapat menyebabkan resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan (Vercruysse, et al., 2011), oleh karena itu pengembangan antelmintik baru dari tumbuh-tumbuhan perlu dilakukan (Borah, et al., 2013).

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat adalah [Curanga fel-terrae

(Lour.) Merr.] yang dikenal dengan sebutan pugun tanoh, pugun tana, kukurang, tamah raheut, papaita dan empedu taneh yang merupakan famili Scrophulariacea

(Patilaya dan Husori, 2015). Studi in vitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi


(22)

pada saluran pencernaan dan jaringan tertentu pada manusia (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013). Pugun tanoh telah digunakan sebagai obat cacing secara tradisional oleh masyarakat (Agung dan Tinton, 2008), di Maluku dan di Filipina tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak (Prohati, 2015).

Tanaman ini mengandung zat pahit (Agung dan Tinton, 2008), flavonoid, saponin, tanin, glikosida serta steroid/terpenoid (Harahap, dkk., 2013). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya senyawa-senyawa aktif seperti flavonoid, saponin, tanin, glikosida serta steroid/terpenoida mempunyai aktivitas antelmintik (Asih, 2014; Nitave, et al., 2014; Tiwow, dkk., 2013). Kandungan metabolit sekunder dalam daun pugun tanoh diperkirakan dapat menjadi antelmintik.

Menurut Patilaya dan Husori (2015), ekstrak etanol daun pugun tanoh yang diekstraksi dengan cara maserasi memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing tanah (Pheretima posthuma). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kandungan senyawa hasil ekstraksi dalam proses ekstraksi suatu bahan tanaman, diantaranya: jenis pelarut, konsentrasi pelarut, metode ekstraksi dan suhu yang digunakan untuk ekstraksi (Senja et al., 2014). Pada penelitian ini metode ekstraksi yang dilakukan adalah sokletasi, karena pemanasan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang tidak larut dalam suhu kamar, sehingga aktivitas penarikan senyawa lebih maksimal dengan waktu ekstraksi yang lebih singkat dibandingkan dengan beberapa metode ekstraksi lainnya (Mokoginta, dkk., 2013).

Uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan uji aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh yang diekstraksi dengan metode sokletasi terhadap Pheretima posthuma secara in vitro.


(23)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah penelitian ini adalah: a. Apakah hasil karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun tanaman pugun

tanoh?

b. Apa sajakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun tanaman pugun tanoh?

c. Apakah ekstrak etanol daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap Pheretima posthuma secara in vitro?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. Karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pugun tanoh sesuai dengan persyaratan umum simplisia dan ekstrak.

b. Golongan senyawa kimia smplisia dan ekstrak etanol daun pugun tanoh adalah flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap

Pheretima posthuma secara in vitro.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui karakteristik simplisia dan ekstrak etanol daun pugun tanoh. b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia dan


(24)

c. Menguji aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh secara in vitro

terhadap Pheretima posthuma.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Memberikan informasi tentang aktivitas antelmintik ekstrak etanol pugun tanoh.

b. Memberikan informasi tentang karakteristik dan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun tanaman pugun tanoh.

1.6Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. : Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1. Kerangka pikir penelitian

Karakterisasi simplisia

- Organoleptik - Mikroskopik

- Penetapan kadar air - Kadar sari larut dalam air - Kadar sari larut dalam etanol

- Kadar abu total

- Kadar abu tidak larut dalam asam

Serbuk simplisia daun pugun tanoh

Ekstrak etanol

daun pugun tanoh Skrining fitokimia -Alkaloida -Flavonoida -Glikosida -Saponin -Tanin -Steroida/triterpenoida Aktivitas antelmintik

- Waktu paralisis - Waktu kematian Konsentrasi 5, 10,


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan oleh cacing parasit (Zulkoni, 2009). Infeksi cacing tidak hanya terjadi di negara tropis dan subtropis tetapi juga di berbagai daerah yang tingkat kebersihan lingkungannya rendah (Pagariya, et al., 2013). Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina dan Asia Tenggara (WHO., 2015). Angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit di Indonesia (Tjay dan Rahardja, 2002).

Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan, walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi cacing menyebabkan penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi, kemunduran pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual (Tiwow, dkk., 2013), pada orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang (Zulkoni, 2010).

2.2 Penyebab Kecacingan

Filum utama cacing yang mempengaruhi kesehatan manusia yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Filum Platyhelminthes terdapat 2 kelas penting, yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes


(26)

yang penting adalah kelas Nematoda (Soedarto, 2008). Nematoda atau cacing bundar berbentuk bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh dengan saluran pencernaan dan kelamin terpisah (Zulkoni, 2010). Nematoda menyebabkan infeksi pada usus, darah dan jaringan. Trematoda atau cacing pipih berbentuk seperti daun dan bersifat hermaphrodit kecuali cacing hati (Zulkoni, 2010). Cestoda atau cacing pita secara khas berbentuk pita yang besegmen, bersifat

hermaphrodit, tidak memiliki saluran pencernaan (Zulkoni, 2010) dan menempel pada usus (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat telur (kista) atau larvanya yang ada di atas tanah dan pembuangan kotoran yang dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Zulkoni, 2010; Tjay dan Rahardja, 2002). Kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah. Persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran yang tidak dicuci bersih, kebiasaan makan masyarakat mengkonsumsi makanan mentah atau setengah matang sepeti ikan, kerang, daging atau sayuran akan meningkatkan penderita kecacingan, bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia (Entjang, 2003).

Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau berpenetrasi ke jaringan. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh manusia yang ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit, dalam saluran pencernaan jika terdapat 20 ekor cacing dewasa, cacing-cacing tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari (Zulkoni, 2009; Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang


(27)

penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan darah akibat terinfeksi sejumlah cacing yang menghisap darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.1 Infeksi nematoda

Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah: a. Onkoserkiasis (river blindness)

Penyakit ini disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditandai dengan adanya benjolan dibawah kulit, ruam kulit yang terasa gatal dan lesi okular yang sering menyebabkan kebutaan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Enterobiasis (penyakit cacing kremi)

Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari Enterobius vermicularis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Cacing kremi biasanya menimbulkan gatal di sekitar dubur (anus) dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini dapat menyebabkan radang umbai-usus buntu akut (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing kremi yaitu gatal disekitar dubur terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur (Irianto, 2013).

c. Askariasis (penyakit cacing gelang)

Penyebab penyakit ini adalah Ascaris lumbricoides. Panjangnya 10-15 cm dan biasanya bermukim pada usus halus. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam (Irianto, 2013).


(28)

d. Trikuriasis (penyakit cacing cambuk)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Umumnya terdapat di negara beriklim panas dan lembab. Cacing cambuk bermukim di mukosa usus halus dan usus besar dalam tubuh manusia, biasanya dengan menimbulkan kerusakan dan peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia (Irianto, 2013).

e. Ankilostomiasis (penyakit cacing tambang)

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh larva yang memasuki kulit kaki yang terluka. Setelah memasuki vena, larva menuju ke paru-paru dan bronki, akhirnya masuk ke saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). Cacing menempel pada mukosa usus dan menyebabkan anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang menyebabkan anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan gatal di daerah masuknya cacing (Irianto, 2013).

f. Trikinosis (cacing rambut)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichinella spiralis, biasanya disebabkan oleh konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

g. Strongiloidiasis (penyakit cacing benang)

Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penularannya lewat larva yang berbentuk benang yang menembus kulit.


(29)

Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus, ditempat ini cacing merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.2 Infeksi trematoda

Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah: a. Skistosomiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum

yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis keong sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia (Tjay dan Rahardja, 2002). Lokasi infeksi utama adalah traktus gastrointestinal. Kerusakan pada dinding usus disebabkan oleh respons inflamasi terhadap telur-telur yang disimpan dalam daerah tersebut. Telur-telur tersebut juga mensekresikan enzim proteolitik yang menambah kerusakan jaringan. Gambaran klinis berupa pendarahan GI, diare dan kerusakan hati (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh Schistosoma haematobium, lokasi infeksi utama adalah vena kandung kemih. Penyakit ini ditularkan melalui penetrasi pada kulit secara langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas dalam urin atau dinding kantung kemih (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Paragonimiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Paragonisum westermani (trematoda paru). Organisme berpindah dari saluran pencernaan ke paru, yang merupakan tempat


(30)

kerusakan utama. Infeksi dapat menimbulkan batuk yang menghasilkan sputum dengan darah. Penyakit ini ditularkan dengan memakan daging kepiting yang mentah. Parogonimiasis didiagnosa dengan menemukan telur dalam sputum dan feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

c. Klonorkiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Clonorchis sinensis. Lokasi infeksi utama adalah saluran empedu, responnya berupa inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia. Penyakit ini ditularkan dengan memakan ikan air tawar yang mentah. Klonorkiasis didiagnosis dengan menemukan telur dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.2.3 Infeksi cestoda

Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: a. Ekinokokkosis

Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh

Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid yang besar di dalam hati, paru dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Taeniasis

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare, walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit


(31)

ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian

scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan Rahardja, 2002).

c. Sistiserkosis

Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

d. Difilobotriasis

Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).


(32)

2.3 Pengobatan Kecacingan

Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh (Gunawan dan Sulistia, 2011).

2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda

a. Tiabendazol

Tiabendazol merupakan benzimidazol sintetik berspektrum luas terhadap nematoda. Obat ini efektif mengobati strongiloidiasis yang disebabkan oleh cacing benang, larva migran kutaneus dan stadium awal trikinosis. Thiabendazol bekerja dengan mempengaruhi agregasi mikrotubulus (Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).

b. Ivermektin

Ivermektin merupakan hasil fementasi dari jamur Streptomyces avermitilis (Tjay dan Rahardja, 2002). Ivermektin adalah antelmintik pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus, larva migran kutaneus dan strongiloidosis. Ivermektin membidik reseptor kanal Cl- yang bergerbang glutamat pada parasit. Aliran masuk klorida meningkat dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing (Tjahyanto dan Salim, 2013).

c. Mebendazol

Mebendazol merupakan senyawa benzimidazol sintetik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan infeksi cacing tunggal maupun infeksi campuran dengan dua atau lebih cacing (Tjay dan Rahardja, 2002). Mebendazol merupakan obat pilihan pada terapi infeksi oleh cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang dan cacing gelang. Mebendazol bekerja dengan mengikat dan mengganggu pembentukan


(33)

mikrotubulus parasit serta menurunkan ambilan glukosa (Tjahyanto dan Salim, 2013; Tjay dan Rahardja, 2002).

d. Pirantel pamoat

Pirantel pamoat bersama dengan mebendazol, efektif pada pengobatan infeksi cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Obat ini bekerja sebagai agen penghambat neuromuskular dan depolarisasi, menyebabkan aktivasi permanen pada reseptor nikotinik parasit. Cacing yang terparalisis kemudian dikeluarkan dari saluran cerna (Tjahyanto dan Salim, 2013).

e. Dietilkarbamasin

Dietilkarbamasin digunakan pada pengobatan filiarisis karena kemampuannya melumpuhkan mikrofilaria dan membuat mikrofilaria rentan terhadap mekanisme pertahanan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda

Infeksi trematoda, secara umum diobati dengan praziquantel. Obat ini adalah agen pilihan untuk pengobatan seluruh bentuk skistosomiasis dan infeksi trematoda lainnya, serta infeksi cestoda seperti sistiserkosis. Permeabilitas membran sel terhadap kalsium meningkat, meyebabkan kontraktur dan paralisis parasit (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda

a. Albendazol

Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum lebar yang dapat diberikan peroral (Gunawan dan Sulistia, 2011). Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat sintesis mikrotubulus dan ambilan glukosa pada larva atau nematoda dewasa sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati. Aplikasi


(34)

terapeutik utamanya adalah pengobatan infeksi cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, penyakit neuro-sistiserkosis dan penyakit hidatid (Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).

b. Niklosamid

Niklosamid adalah obat pilihan untuk sebagian besar infeksi cestoda (cacing pita). Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat mitokondria parasit, yang menghasilkan energi yang dapat digunakan dalam bentuk adenosin trifosfat dan metabolisme anaerobik juga dapat dihambat (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, hanya beberapa obat yang memiliki khasiat terhadap lebih jenis cacing (broad spectrum), misalnya mebendazol. Diagnosis tepat diperlukan sebelum menggunakan obat cacing. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama obat pencahar seperti praziquantel dan niklosamid. Posmedikasi banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya (Gunawan dan Sulistia, 2011; Tjay dan Rahardja, 2002).

Antelmentik dapat menimbulkan efek samping seperti rasa mual, hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996). Resistensi cacing parasit pada ternak juga telah banyak dilaporkan seperti pada golongan benzimidazol, imidotiazol-tetrahidropirimidin dan lakton makrosiklik yang digunakan lebih dari periode yang ditentukan dan diberikan dengan dosis rendah oleh para petani sehingga menyebabkan resistensi, infeksi cacing dari hewan ternak dapat berlanjut terjadi pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada


(35)

manusia (Vercruysse, et al., 2011; Sutherland dan Leathwick, 2011; Wolstenholme, et al., 2004). Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan efektivitas obat antelmintik dosis tunggal seperti kegagalan pirantel terhadap cacing tambang Ancylostoma duodenale (Reynoldson, et al., 1997), menurunnya efikasi mebendazol dan levamisol terhadap cacing tambang dan nematoda pada saluran pencernaan (Flohr, et al., 2007; Albonico, et al., 2003), menurunnya efikasi albendazol terhadap cacing tambang (Humphries, et al., 2011) dan terjadinya kegagalan tiabendazol terhadap Haemochus contortus (Kotze, et al., 2009). Kegagalan dan penurunan efektivitas obat-obat antelmintik tersebut merupakan petanda telah terjadinya resistensi pada manusia (Lalchhandama, K., 2010; Prichard, R.K., 2007). Menggunakan dosis berganda atau dosis berulang merupakan solusi terbaik, tetapi hal tersebut sulit diaplikasikan oleh masyarakat karena bermasalah pada waktu penggunaan sehingga dapat menyebabkan resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan (Vercruysse, et al., 2011).

2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik

Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian, pengujian dan penemuan obat-obat baru, termasuk budidaya tanaman yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan (Syukur dan Hernani, 2002). Pengobatan dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk memperkecil adanya efek samping karena pemberian obat sintetis.


(36)

Telah banyak diketahui tanaman obat yang berkhasiat sebagai antelmintik yang pernah dan masih digunakan hingga saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh tanaman yang mempunyai khasiat antelmintik diantaranya daun pepaya, pare, temu giring, temu hitam, biji pinang (Tiwow, dkk., 2013), putri malu (Ratnawati, 2013) dan andong (Asih, 2014).

Studi in vitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili

Amaranthaceae, Arecaceae, Asteraceae, Crassulaceae, Dryopteridaceae,

Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,

Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae (Wink, 2012), Ranunculaceae, Cucurbitaceae, Dryopteridaceae, Araliaceae, Junglandaceae, Valeria naceae

(Urban, et al., 2015), Lythraceae (Bairagi, et al., 2011), Moraceae (Mughal, et al., 2013) dan Schropulariaceae (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013) mampu membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi pada manusia.

2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmintik

Senyawa kimia tumbuhan yang mempunyai aktivitas antelmintik adalah tanin, flavonoid, terpenoid (Vincent, et al., 2011), alkaloid, saponin (Bidkar, et al., 2011), glikosida (Bhawan, et al., 2011), leutin, kaempherol, kumarin, steroid (Tekeshwar, et al., 2011), di-terpenoid (Daked, et al., 2011), geraniol (Katikia, et al., 2011), ketodiol dan karpenoil ester (Shri, et al., 2011).

2.6 Pugun Tanoh

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat adalah pugun tanoh. Studi in vitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu


(37)

membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013).

2.6.1 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah empedu taneh (Karo), pugun tanoh, pugun tana, pagon tanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), kukurang (Maluku) dan papaita (Ternate) (Prohati, 2015).

2.6.2 Nama asing

Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos) dan thanh

(Vietnam) (Globinmed, 2015).

2.6.3 Sinonim

Curanga amara, Curanga amara Juss. dan Picria fel-terrae (Lansdown, R.V., 2011)

2.6.4 Sistematika dan morfologi tumbuhan

Menurut Lansdown, R.V. (2011) Sistematika tumbuhan pugun tanoh adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Scrophulariales Famili : Scrophulariaceae Genus : Curanga


(38)

Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah dan berbaring (Agung dan Tinton, 2008). Pugun tanoh tumbuh merambat. Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 sampai 60 cm. Batangnya dengan cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku dan berbulu halus (Prohati, 2015). Tangkai daun tumbuh berhadapan, permukaan tidak berbulu, rata dan tipis. Tandan bunga bewarna merah (Agung dan Tinton, 2008), bunga berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, mahkota bunga bentuk tabung dan berbibir rangkap. Daunnya berbulu halus, berbentuk bundar telur dengan panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak melancip dan tepi daun beringgit (Prohati, 2015).

2.6.5 Habitat tumbuhan

Pugun Tanoh terdapat di lereng hutan atau pinggiran hutan (Prohati, 2015), ladang, daerah lembab dan daerah dataran rendah (Lansdown, R.V., 2011).

2.6.6 Khasiat tumbuhan

Masyarakat menggunakan pugun tanoh sebagai obat cacing, obat sakit perut, serta mengatasi kudis, memar, bengkak, batuk rejan dan sesak napas (Agung dan Tinton, 2008). Tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, mengobati kolik dan malaria di Maluku dan Filipina, di Indonesia, daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya (Prohati, 2015). Pugun tanoh digunakan sebagai obat malaria, diuretik, demam dan gangguan pada kulit (Perry, 1980). Pugun tanoh digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes, kanker dan inflamasi di Cina Selatan (Zhong, et al., 1979). Daun pugun tanoh di Sumatera Utara umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus (Harfina, et al., 2012; Sitorus, et al., 2014). Pugun tanoh memiliki aktivitas sebagai antidiuretik (Lewis, 2003), sebagai obat panas (Data, 2003), antidiabetik


(39)

(Harahap, dkk., 2013), obat luka bakar ( Fithra, 2013), antiasma (Ramadhani, 2014) dan antiinflamasi (Juwita, 2009).

2.6.7 Kandungan kimia

Pugun tanoh mengandung curangin dan zat pahit (Agung dan Tinton, 2008), flavonoid (Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), tanin, glikosida (Jie, et al., 2005; Zou, et al., 2005; Zou, et al., 2004; Huang, et al., 1998) serta steroid/terpenoid (Wang, et al., 2006).

2.7 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan pelikan yang belum diolah dengan cara sederhana atau belum berupa zat kimia murni (Depkes RI., 2000).

Simplisia sebagai produk hasil petanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil


(40)

panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes RI., 2000):

a. Genetik (bibit)

b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)

c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh) d. Panen (waktu dan pasca panen)

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI., 2000).

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI., 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI., 2000).

Faktor yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran,


(41)

kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida) (Depkes RI., 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI., 2000).

2.8.1 Ekstraksi cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2.8.2 Ekstraksi cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).


(42)

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik

Secara umum, uji aktivitas antelmintik dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode in vitro dan metode invivo. Penelitian secara in vitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti dari luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium (Djatmiko, 2009). Uji invivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012).

2.9.1 Uji in vitro

Uji in vitro dapat dilakukan dengan metode perendaman. Pengujian ini dilakukan dengan cara merendam cacing ke dalam ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antelmintik dengan berbagai konsentrasi dengan parameter yang diperhatikan yaitu waktu paralisis dan waktu kematian. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).

Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dapat menggunakan cacing parasit pada manusia seperti Ascaris lumbricoides (Tjokopranoto, dkk., 2011), atau cacing parasit pada hewan seperti Fasciola gigantic (Jeyathilakan, et al., 2010), Ascaris


(43)

suum (Budiyanti, 2010) dan dapat menggunakan cacing tanah (Pheretima posthuma). Pheretima posthuma dapat digunakan karena memiliki kemiripan struktur anatomi dan fisiologis dengan cacing yang menginfeksi saluran cerna manusia (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al, 2014; Borah, et al., 2013; Subash, et al., 2012; Sharma, et al., 2011; Sharma, 2010).

2.9.2 Uji in vivo

Uji in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan hewan sebagai percobaan dengan menginfeksi hewan dengan cacing parasit, lalu setelah mencapai masa prepaten, diberi perlakuan. Pemberian dilakukan peroral selama beberapa hari yang dibagi dalam beberapa kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antelmintik dengan berbagai konsentrasi dan kontrol positif yaitu antelmintik sintetik, kemudian sampel tinja dikumpulkan untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Parameter pengamatan adalah jumlah telur, jumlah larva, daya tetas telur pada tinja hewan dan sisa telur cacing yang terdapat pada hewan percobaan. Hewan percobaan dapat berupa kambing, ayam, domba dan mencit (Fitri dan Sri, 2005; Sanbayu, 2005).


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengamati efek ekstrak etanol daun pugun tanoh dalam berbagai konsentrasi terhadap waktu paralisis dan waktu kematian cacing Pheretima posthuma. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penyiapan sampel, penyiapan hewan percobaan, pembuatan simplisia dan ekstrak etanol daun pugun tanoh beserta karakterisasi dan skrining fitokimia, uji aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh dan analisis data.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi blender (Panasonik), timbangan (Vibra AJ), mikroskop (Olympus), cawan datar (Coors), erlenmeyer, beaker glass, corong, alat destil, alat soklet, labu tentukur (Pyrex), tabung reaksi, pipet ukur (Iwaki Pyrex), oven (Dynamica), heating mentle (Boeco), labu alas bulat 500 ml (Duran), rotary evaporator (Stuart), cawan petri (CMSI), stopwatch (Croos), desikator (Iaswerk werti), bola karet (D&N), lumpang dan alu, lemari pengering, penangas air, krus porselin, spatula dan cawan alas bulat.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daun pugun tanoh, etanol 96% (Rudang Jaya) berkualitas teknis, bahan kimia lainnya berkualitas pro analisis seperti raksa (II) klorida, bismut (III) nitrat, asam nitrat pekat, asam nitran


(45)

0,5 N, kalium iodida, α-naftol, asam sulfat pekat (Merck), kristal natrium hidroksida (Univar), timbal (II) asetat, besi (III) klorida, asam asetat anhidrida, toluen, kloroform, asam klorida 2 N, asam klorida pekat, asam klorida encer, serbuk magnesium, serbuk seng, iodium, metanol, etil asetat, kloroform, isopropanol, eter, kloralhidrat, air suling, Tween 80, natrium klorida 0,9% (Widatarabakti) dan baku albendazole (PT. Indofarma).

3.2 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel dan identifikasi sampel.

3.2.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan bahan yang sama dari daerah lain. Tumbuhan pugun tanoh diambil dari Pajak Pancur Batu, Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Hewan percobaan (cacing tanah) diambil dari Taman Obat Tradisional, Fakultas Farmasi, Jl. Tri Dharma, Pintu 4 Kampus USU, Medan, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi sampel

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor (Ramadhani, 2014). Spesimen hewan percobaan diidentifikasi oleh Laboratorium Taksonomi Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU.

3.3 Pembuatan Simplisia Daun Pugun Tanoh

Daun pugun tanoh dipetik dan disortir kemudian dicuci hingga bersih, ditiriskan dan ditimbang. Daun pugun tanoh dikeringkan dalam lemari pengering


(46)

pada suhu 30-35ºC untuk memperoleh simplisia. Simplisia yang telah kering ditimbang kemudian diblender menjadi serbuk hingga agak halus lalu dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan disimpan pada suhu kamar.

3.4 Pembuatan Pereaksi

3.4.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10lml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain, sebanyak 27,2 g kalium iodida dilarutkan dalam 50 ml air suling. Kedua larutan kemudian dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume larutan 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga larutan 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.4 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50 bagian volume etanol 96%. Kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan dinginkan (Ditjen POM., 1995).


(47)

3.4.5 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N dan dicukupkan hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.6 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.7 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.8 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling sebanyak 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.9 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.4.10 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air secukupnya dan diencerkan hingga 100 ml (Ditjen POM., 1995).

3.5 Karakterisasi Simplisia Daun Pugun Tanoh

Karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan organoleptik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam.


(48)

3.5.1 Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan mengamati bentuk luar dari simplisia dan ekstrak etanol daun pugun tanoh, yaitu warna, bau, bentuk dan rasa.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun pugun tanoh. Serbuk simplisia daun pugun tanoh ditaburkan diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.5.3 Penetapan kadar air

Sebanyak 200 ml toluen dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu ditambahkan 2 ml air suling, setelah alat dipasang, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit kemudian setelah toluen mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik. Air terdestilasi seluruhnya, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO., 2011).


(49)

3.5.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselin dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilakukan pada suhu 500-600°C selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO., 2011).

3.5.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25lml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (WHO., 2011).

3.5.6 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia daun pugun tanoh, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1 L air suling) dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI., 1995).

3.5.7 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali


(50)

selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM., 1995).

3.6 Skrining Fitokimia Simplisia Daun Pugun Tanoh

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan

9oml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit. Setelah dingin lalu disaring dan filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning menunjukkan reaksi positif; b. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan

terbentuk endapan berwarna coklat-hitam menunjukkan reaksi positif;

c. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga menunjukkan reaksi positif.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Ditjen POM., 1995).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat,


(51)

filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan :

a. 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoida (glikosida-3-flavonol).

b. 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1lml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Ditjen POM., 1995).

3.6.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring. Filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Ke dalam 2 ml filtrat ditambahkan 1-2 tetes larutan besi (III) klorida. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.6.4 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling. Selanjutnya ditambahkan 10lml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume


(52)

isopropanol. Lapisan air diambil kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat. Jika terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM., 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Timbulnya busa yang mantap setinggi 1-10 cm tidak kurang dari 10 menit yang tidak hilang dengan penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM., 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroida/ triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbulnya warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987).

3.7 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh

Serbuk simplisia diekstraksi secara sokletasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Alat sokletasi dipasang, kemudian sebanyak 40 g serbuk simplisia daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] dibungkus dengan kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam alat soklet. Pelarut etanol 96% sebanyak 400 ml dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan dipanaskan pada suhu 80°C sampai tetesan siklus mendekati tidak berwarna/ tersari sempurna selama 18 jam. Filtrat kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 50°C dan


(53)

diuapkan dengan penangas air kemudian dimasukkan ke dalam pendingin sehingga diperoleh ekstrak etanol daun pugun tanoh.

3.8 Karakterisasi dan Skrining Fitokimia Ekstrak

Karakterisasi dan skrining fitokimia ekstrak dilakukan dengan prosedur yang sama dengan karakterisasi dan skrining fitokimia pada simplisia daun pugun tanoh.

3.9 Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh

3.9.1 Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah dewasa (Pheretima posthuma) dengan ukuran seragam (panjang 14 – 14,5 cm dan lebar 0,1 – 0,2 cm). Pheretima posthuma dikumpulkan dari tanah yang lembab, dicuci dengan air suling untuk menghilangkan pengotor dan diaklimasi dalam larutan salin selama 60 menit (Joseph, et al., 2013).

3.9.2 Uji pengaruh etanol terhadap Pheretima posthuma

Larutan etanol 96% diencerkan dengan salin hingga 20 ml untuk memperoleh larutan etanol 0,5; 1; 2; 4; 6; 8 dan 10%. Perhitungan pengenceran larutan etanol dapat dilihat pada Lampiran 20 halaman 59. Pheretima posthuma

dimasukkan secara terpisah ke dalam cawan petri yang masing-masing berisi larutan etanol dengan konsentrasi berbeda tersebut. Efek etanol terhadap

Pheretima posthuma diamati selama 5 jam.

3.9.3 Penyiapan sampel uji

Ditimbang 100, 200, 400 dan 600 mg ekstrak etanol daun pugun tanoh, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam vial yang sudah dikalibrasi 20


(54)

ml. Ekstrak dilarutkan dengan etanol 0,5% dan diencerkan sampai garis tanda. Albendazole disiapkan dengan mensuspensikan 1200 mg serbuk albendazole dalam lumpang yang berisi sejumlah larutan salin, lalu digerus. Sebanyak 0,3 ml Tween 80 ditambahkan ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai terbentuk suspensi merata. Suspensi dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer yang sudah ditara, kemudian dicukupkan dengan larutan salin sampai 60 ml sehingga diperoleh suspensi albendazole dengan konsentrasi 20 mg/ml. Perhitungan penyiapan suspensi ekstrak dan albendazole dapat dilihat pada Lampiran 22 halaman 61.

3.9.4 Uji aktivitas antelmintik

Uji aktivitas antelmintik dilakukan berdasarkan prosedur Patilaya dan Husori (2015). Hewan percobaan dibagi menjadi 7 kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 ekor cacing Pheretima posthuma dengan perlakuan seperti pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perlakuan uji antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh terhadap

Pheretima posthuma

Keterangan: EEDPT = ekstrak etanol daun pugun tanoh

Seluruh perlakuan dilakukan dalam cawan petri steril pada suhu kamar. Aktivitas antelmintik ekstrak daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan kematian melalui pengamatan terhadap motilitas dan morfologi cacing Pheretima posthuma selama 5 jam. Cacing Pheretima posthuma

Kelompok Perlakuan

I Pemaparan dalam 20 ml larutan salin steril (kontrol negatif) II Pemaparan dalam 20 ml larutan etanol 0,5% (kontrol pelarut) III Pemaparan dalam 20 ml suspensi albendazole 20 mg/ml (kontrol

positif)

IV Pemaparan dalam 20 ml larutan EEDPT 5 mg/ml V Pemaparan dalam 20 ml larutan EEDPT 10 mg/ml VI Pemaparan dalam 20 ml larutan EEDPT 20 mg/ml VII Pemaparan dalam 20 ml larutan EEDPT 30 mg/ml


(1)

Konsentrasi

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. waktu_paralisis_uji_a

ktivitas_antelmintik

ekstrak 5 mg/ml ,219 3 . ,987 3 ,780

ekstrak 10 mg/ml ,187 3 . ,998 3 ,915

ekstrak 20 mg/ml ,292 3 . ,923 3 ,463

ekstrak 30 mg/ml ,292 3 . ,923 3 ,463

albendazole 20 mg/ml ,253 3 . ,964 3 ,637 a. Lilliefors Significance Correction

Perbandingan

Tukey HSD (I)

Konsentrasi (J) Konsentrasi

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound

Deskriptif

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min Max Lower

Bound

Upper Bound

ekstrak 5 mg/ml 3 157,3333 5,03322 2,90593 144,8301 169,8366 152,00 162,00 ekstrak 10 mg/ml 3 88,3333 6,50641 3,75648 72,1705 104,4961 82,00 95,00 ekstrak 20 mg/ml 3 47,3333 2,08167 1,20185 42,1622 52,5045 45,00 49,00 ekstrak 30 mg/ml 3 49,3333 2,08167 1,20185 44,1622 54,5045 47,00 51,00

albendazole 20

mg/ml 3 77,3333 3,05505 1,76383 69,7442 84,9225 74,00 80,00 Total 1

5 83,9333 41,51844 10,72002 60,9412 106,9255 45,00 162,00

ANOVA

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 23961,600 4 5990,400 349,634 ,000 Within Groups 171,333 10 17,133

Total 24132,933 14

Uji Homogenitas

Levene

Statistic df1 df2 Sig. 1,107 4 10 ,405


(2)

ekstrak 5 mg/ml

ekstrak 10 mg/ml 69,00000* 3,37968 ,000 57,8772 80,1228 ekstrak 20 mg/ml 110,00000* 3,37968 ,000 98,8772 121,1228 ekstrak 30 mg/ml 108,00000* 3,37968 ,000 96,8772 119,1228 albendazole 20 mg/ml 80,00000* 3,37968 ,000 68,8772 91,1228 ekstrak 10

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -69,00000* 3,37968 ,000 -80,1228 -57,8772 ekstrak 20 mg/ml 41,00000* 3,37968 ,000 29,8772 52,1228 ekstrak 30 mg/ml 39,00000* 3,37968 ,000 27,8772 50,1228 albendazole 20 mg/ml 11,00000 3,37968 ,053 -,1228 22,1228 ekstrak 20

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -110,00000* 3,37968 ,000 -121,1228 -98,8772 ekstrak 10 mg/ml -41,00000* 3,37968 ,000 -52,1228 -29,8772 ekstrak 30 mg/ml -2,00000 3,37968 ,973 -13,1228 9,1228 albendazole 20 mg/ml -30,00000* 3,37968 ,000 -41,1228 -18,8772 ekstrak 30

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -108,00000* 3,37968 ,000 -119,1228 -96,8772 ekstrak 10 mg/ml -39,00000* 3,37968 ,000 -50,1228 -27,8772 ekstrak 20 mg/ml 2,00000 3,37968 ,973 -9,1228 13,1228 albendazole 20 mg/ml -28,00000* 3,37968 ,000 -39,1228 -16,8772 albendazole

20 mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -80,00000* 3,37968 ,000 -91,1228 -68,8772 ekstrak 10 mg/ml -11,00000 3,37968 ,053 -22,1228 ,1228 ekstrak 20 mg/ml 30,00000* 3,37968 ,000 18,8772 41,1228 ekstrak 30 mg/ml 28,00000* 3,37968 ,000 16,8772 39,1228

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Tukey HSDa

Konsentrasi N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

ekstrak 20 mg/ml 3 47,3333 ekstrak 30 mg/ml 3 49,3333

albendazole 20 mg/ml 3 77,3333

ekstrak 10 mg/ml 3 88,3333

ekstrak 5 mg/ml 3 157,3333

Sig. ,973 ,053 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.


(3)

Lampiran 27. Data statistik kematian

Pheretima posthuma

Ringkasan Jumlah Sampel

konsentrasi

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent Waktu_kematian_uji_

aktivitas_antelmintik

ekstrak 5 mg/ml 3 100,0% 0 0,0% 3 100,0% ekstrak 10 mg/ml 3 100,0% 0 0,0% 3 100,0% ekstrak 20 mg/ml 3 100,0% 0 0,0% 3 100,0% ekstrak 30 mg/ml 3 100,0% 0 0,0% 3 100,0% albendazole 20 mg/ml 3 100,0% 0 0,0% 3 100,0%

Deskriptif

Konsentrasi Statistic

Std. Error Waktu_kem

atian_uji_a ktivitas_ant elmintik

ekstrak 5 mg/ml Mean 238,3333 3,75648

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound 222,1705 Upper

Bound 254,4961

5% Trimmed Mean .

Median 238,0000

Variance 42,333

Std. Deviation 6,50641

Minimum 232,00

Maximum 245,00

Range 13,00

Interquartile Range .

Skewness ,230 1,225

Kurtosis . .

ekstrak 10 mg/ml Mean 158,0000 3,05505

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound 144,8552 Upper

Bound 171,1448

5% Trimmed Mean .

Median 160,0000

Variance 28,000

Std. Deviation 5,29150

Minimum 152,00

Maximum 162,00

Range 10,00

Interquartile Range .

Skewness -1,458 1,225

Kurtosis . .


(4)

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound 74,1634 Upper

Bound 99,1699

5% Trimmed Mean .

Median 86,0000

Variance 25,333

Std. Deviation 5,03322

Minimum 82,00

Maximum 92,00

Range 10,00

Interquartile Range .

Skewness ,586 1,225

Kurtosis . .

ekstrak 30 mg/ml Mean 55,0000 2,08167

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound 46,0433 Upper

Bound 63,9567

5% Trimmed Mean .

Median 56,0000

Variance 13,000

Std. Deviation 3,60555

Minimum 51,00

Maximum 58,00

Range 7,00

Interquartile Range .

Skewness -1,152 1,225

Kurtosis . .

albendazole 20 mg/ml

Mean 205,0000 5,50757

95% Confidence Interval for Mean

Lower

Bound 181,3028 Upper

Bound 228,6972

5% Trimmed Mean .

Median 204,0000

Variance 91,000

Std. Deviation 9,53939

Minimum 196,00

Maximum 215,00

Range 19,00

Interquartile Range .

Skewness ,467 1,225

Kurtosis . .


(5)

Konsentrasi

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df

Sig

. Statistic df Sig. Waktu_kematian_uji_aktivitas

_antelmintik

ekstrak 5 mg/ml ,187 3 . ,998 3 ,915 ekstrak 10 mg/ml ,314 3 . ,893 3 ,363 ekstrak 20 mg/ml ,219 3 . ,987 3 ,780 ekstrak 30 mg/ml ,276 3 . ,942 3 ,537

albendazole 20

mg/ml ,208 3 . ,992 3 ,826

a. Lilliefors Significance Correction

Sig >0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data kematian berdistribusi normal

Deskriptif

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min Max Lower

Bound

Upper Bound

ekstrak 5 mg/ml 3 238,3333 6,50641 3,75648 222,1705 254,4961 232,00 245,00 ekstrak 10 mg/ml 3 158,0000 5,29150 3,05505 144,8552 171,1448 152,00 162,00 ekstrak 20 mg/ml 3 86,6667 5,03322 2,90593 74,1634 99,1699 82,00 92,00 ekstrak 30 mg/ml 3 55,0000 3,60555 2,08167 46,0433 63,9567 51,00 58,00 albendazole 20 mg/ml 3 205,0000 9,53939 5,50757 181,3028 228,6972 196,00 215,00 Total 15 148,6000 71,79017 18,53614 108,8439 188,3561 51,00 245,00

Perbandingan ANOVA

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. Between Groups 71754,267 4 17938,567 449,213 ,000

Within Groups 399,333 10 39,933 Total 72153,600 14

Uji Homogenitas

Levene

Statistic df1 df2 Sig. ,673 4 10 ,626


(6)

Tukey HSD (I)

konsentrasi (J) konsentrasi

Mean Difference

(I-J)

Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound ekstrak 5

mg/ml

ekstrak 10 mg/ml 80,33333* 5,15967 ,000 63,3524 97,3142 ekstrak 20 mg/ml 151,66667* 5,15967 ,000 134,6858 168,6476 ekstrak 30 mg/ml 183,33333* 5,15967 ,000 166,3524 200,3142 albendazole 20 mg/ml 33,33333* 5,15967 ,001 16,3524 50,3142 ekstrak 10

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -80,33333* 5,15967 ,000 -97,3142 -63,3524 ekstrak 20 mg/ml 71,33333* 5,15967 ,000 54,3524 88,3142 ekstrak 30 mg/ml 103,00000* 5,15967 ,000 86,0191 119,9809 albendazole 20 mg/ml -47,00000* 5,15967 ,000 -63,9809 -30,0191 ekstrak 20

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml

-151,66667* 5,15967 ,000 -168,6476 -134,6858 ekstrak 10 mg/ml -71,33333* 5,15967 ,000 -88,3142 -54,3524 ekstrak 30 mg/ml 31,66667* 5,15967 ,001 14,6858 48,6476

albendazole 20 mg/ml

-118,33333* 5,15967 ,000 -135,3142 -101,3524 ekstrak 30

mg/ml

ekstrak 5 mg/ml

-183,33333* 5,15967 ,000 -200,3142 -166,3524

ekstrak 10 mg/ml

-103,00000* 5,15967 ,000 -119,9809 -86,0191 ekstrak 20 mg/ml -31,66667* 5,15967 ,001 -48,6476 -14,6858

albendazole 20 mg/ml

-150,00000* 5,15967 ,000 -166,9809 -133,0191 albendazole

20 mg/ml

ekstrak 5 mg/ml -33,33333* 5,15967 ,001 -50,3142 -16,3524 ekstrak 10 mg/ml 47,00000* 5,15967 ,000 30,0191 63,9809 ekstrak 20 mg/ml 118,33333* 5,15967 ,000 101,3524 135,3142 ekstrak 30 mg/ml 150,00000* 5,15967 ,000 133,0191 166,9809

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Tukey HSDa

Konsentrasi N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

ekstrak 30 mg/ml 3 55,0000

ekstrak 20 mg/ml 3 86,6667

ekstrak 10 mg/ml 3 158,0000

albendazole 20

mg/ml 3 205,0000

ekstrak 5 mg/ml 3 238,3333

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000


Dokumen yang terkait

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

8 98 122

Efek Penyembuhan Luka Bakar Dari Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Puguh Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.).

3 59 119

Uji In Vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

8 91 106

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.)

6 64 51

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Potensi Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) pada Cacing Ascaridia galli dan Raillietina tetragona secara In Vitro

0 15 9

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 45

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

0 0 16

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

1 3 16

Efek Penyembuhan Luka Bakar Dari Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Puguh Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.).

0 0 15