57 sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65
ha dan abrasi mencapai 202,05 ha KPH Bogor, 2004. Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat,
sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini,
kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor
andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani
difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas
lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak
dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani.
Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha Suhaeri,
2005. 3. Teluk Naga
Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin
tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir laut yang dimaksudkan untuk membangun prasarana tambak ternyata
menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi
Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004.
4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Hasil analisis vegetasi
Hutan mangrove di Teluk Jakarta saat ini dalam kondisi yang rusak dan luasnya makin berkurang. Hasil kajian pada tiga lokasi penelitian Muara Angke,
Muara Gembong, dan Teluk Naga menggambarkan variasi jenis mangrove mulai berkurang setiap tahun. Di wilayah Teluk Naga tidak ditemukan ekosistem
58 hutan mangrove, karena lahan hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan
tambak, aktifitas penambangan pasir laut, dan pariwisata. Hasil analisis sistem informasi geografis menunjukkan perubahan tutupan
lahan mangrove pada tahun 1997, 2002, dan 2006 yang signifikan. Kawasan pesisir Teluk Jakarta selama 10 tahun telah mengalami perubahan tutupan lahan
yang relatif tinggi. Laju perubahan luas hutan mangrove pada tiga wilayah berbeda-beda. Hasil analisis sistem informasi geografis tentang perubahan luas
hutan mangrove disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian
Lokasi Luas hutan mangrove ha
Persentase perubahan
1997 2002 2006 Muara
Angke 122,04 102,37 117,60 3,63
Muara Gembong
174,49 121,27 108,19 37,99
Teluk Naga 44,37
12,62 6,25
85,91 Total
340,90 236,26 232,04 42,52
Sumber: Hasil analisis SIG 2007 Hutan mangrove di lokasi penelitian mengalami perubahan luasan. Dalam
waktu 10 tahun mencapai 42,52. Perubahan luas hutan mangrove berbeda- beda antar lokasi sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial masyarakat.
Hutan mangrove di Muara Angke relatif tidak berubah selama 10 tahun. Hal ini karena adanya perhatian pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam
melestarikan hutan mangrove. Penetapan status kawasan lindung Muara Angke mendorong pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan mangrove.
Lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat telah melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi kawasan dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat untuk
menjaga hutan mangrove di Muara Angke. Fakor ini merupakan hal positif yang dapat dijadikan model pengelolaan kawasan mangrove.
Hutan mangrove di Muara Gembong mengalami degradasi fisik. Alih fungsi lahan menjadi tambak dan kerusakan habitat akibat abrasi dan
sedimentasi menyebabkan kerusakan mangrove terus berlanjut. Selain itu terjadi konflik pemanfaatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan Pemda
sehingga para pemangku kepentingan kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan mangrove.
59 Hutan mangrove di Teluk Naga mengalami perubahan yang sangat
signifikan selama 10 tahun, yakni mencapai 85,91. Luas kawasan mangrove yang tersisa adalah 6,25 ha. Perubahan luas hutan mangrove ini disebabkan
oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan kawasan industri. Tidak jelasnya sistem pengelolaan dan penatagunaan lahan di kawasan pesisir mendorong
pemanfaatan kawasan yang berlebih. Selain faktor pengelolaan, kerusakan ekosistem mangrove juga disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir laut di
sekitar pantai sehingga ekosistem mangrove menjadi terdegradasi. Secara visual kondisi tutupan lahan di Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan
Gambar 6. Selain perubahan luas tutupan lahan, hutan mangrove Teluk Jakarta juga
mengalami penurunan kualitas habitat berupa pengurangan kerapatan vegetasi Gambar 7. Hal ini terlihat rendahnya persentase tutupan lahan yang masih
tergolong hijau. Laju perubahan kerapatan vegetasi pada Teluk Jakarta semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan mangrove.
Hasil pengamatan vegetasi mangrove di Teluk Jakarta menunjukkan bahwa jenis mangrove yang tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah dan air.
Selain itu juga dipengaruhi kebijakan penanaman mangrove oleh instansi pemerintah dan lembaga swadaya. Jenis vegetasi mangrove di Teluk Jakarta
secara rinci disajikan berdasarkan tiga wilayah studi. Jenis mangrove di Muara Angke yang ditemukan adalah jenis api-api,
bakau, dan pidada. Berdasarkan kawasan, jenis mangrove di Muara Angke adalah: 1 hutan lindung Angke-Kapuk didominasi oleh api-api dan bakau; 2
suaka margasatwa Muara Angke didominasi oleh pidada; 3 taman wisata alam ditanami dengan jenis bakau; dan 4 Lahan dengan tujuan istimewa LDTI
mencakup: kebun pembibitan kehutanan yang didominasi oleh jenis api-api dan bakau, Cengkareng drain ditanami dengan jenis ketapang, jalur transmisi PLN
didominasi jenis api-api, dan jalur hijau tol Sedyatmo didominasi oleh jenis api- api, bakau, dan pidada.
Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan di Muara Angke semakin berkurang. Hal ini terlihat dari kondisi tahun sebelumnya, seperti terlihat
dari hasil penelitian Kusmana 1983 yang menyatakan bahwa di Muara Angke terdapat 11 spesies dan penelitian Sukardjo 1981 yang menyatakan bahwa
vegetasi mangrove yang terdapat di Muara Angke di dominasi oleh Avicennia
60 mariana, A. alba, A. officinalis, Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera
parviflora, Someratia alba, dan Excoecasia aglocha. Berkurangnya spesies mangrove dari tahun-tahun sebelumnya
disebabkan oleh adanya perubahan lahan sekitar kawasan Muara Angke yang dialihkan menjadi pertokoan dan perindustrian, perumahan dan beberapa fungsi
lainnya yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan aliran air di muara sungai semakin melambat karena jalur yang ditempuh semakin panjang,
sehingga laju sedimentasi di muara semakin meningkat. Jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis api-api,
bakau, dan pidada. Berdasarkan wilayah adminisitrasi, jenis mangrove yang dominan di setiap desa adalah: 1 Desa Pantai Sederhana didominasi oleh
bakau dan terdapat pula tanaman sela yaitu jeruju dan piai; 2 Desa Pantai Mekar didominasi oleh bakau dan api-api; 3 Desa Pantai Harapan Jaya
didominasi oleh pidada dan bakau; 4 Desa Bakti didominasi oleh didominasi oleh bakau; 5 Desa Pantai Bahagia didominasi oleh bakau; dan 6 Desa
Jayasakti didominasi oleh bakau dan api-api. Kegiatan usaha pertambakan telah menyebabkan berkurangnya jenis
mangrove. Selain itu faktor alam di beberapa lokasi berupa pantai terbuka menyebabkan anakan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di wilayah
tersebut. Kondisi ini mendorong perlunya kegiatan rehabilitasi mangrove sehingga jenis mangrove yang ditemukan lebih homogen.
Pada tahun 1998 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi jalur hijau dengan luasan 5 ha. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh LPP Mangrove survey
lapang pada Juli 2000, diketahui bahwa kondisi terakhir areal hasil penanaman pada kegiatan rehabilitasi pada tahun 1998 cukup baik LPP Mangrove, 2000.
Komposisi jenis pohon yang terdapat di areal jalur hijau hasil penanaman tahun 1998 terdiri dari jenis
Avicennia sp. permudaan alam, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza hasil penanaman. Jenis
pohon yang mendominasi areal ini adalah jenis Avicennia sp.
Hutan mangrove di Teluk Naga yang seluas 6,25 ha terletak di Desa Teluk Naga. Jenis mangrove yang ditemukan adalah bakau dan nipa. Saat ini
berkembang usaha pembibitan bakau di beberapa lokasi. Hal ini karena masih sesuainya lahan untuk pembibitan bakau
61
Gambar 4. Luas hutan mangrove di Muara Angke
62
Gambar 5. Luas hutan mangrove di Muara Gembong
63
Gambar 6. Luas hutan mangrove di Teluk Naga
64
Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta
Kerapatan rendah Kerapatan sedang
Kerapatan tinggi
65 Hasil penelitian Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia 2002
menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masih alami. Jenis-jenis vegetasi yang ada sebanyak 13 jenis, yaitu
Avicenna alba, Avicenna officinalis, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Excocaria agallocha,
Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Derris trifoliate, Chromolaena odorate, Cyperus maritime, Nypa fruticans, Sesuvum portulacastum dan Wedelia biflora.
Komposisi jenis tumbuhan dan komponen utama penyusun kawasan hutan mangrove adalah api-api
Avicennia spp, bakau Rhizophora mucronata dan pidada
Sonneratia alba. Tumbuhan yang mendominasi adalah Avicenna officinalis dan Rhizophora mucronata. Hasil analisis vegetasi menunjukkan
bahwa Avicenna officinalis memiliki kerapatan relatif KR sebesar 30,5 dengan
frekuensi relatifnya FR sebesar 49,5, sedangkan Rhizophora mucronata
memiliki kerapatan relatif KR sebesar 44,2 dan frekuensi relatif FR 12,3 PSK-UI, 2002.
Berkurangnya spesies mangrove ini diduga sebagai akibat dari meningkatnya limbah rumah tangga dan industri yang mengakibatkan
menurunnya kualitas air yang akhirnya mengganggu pertumbuhan dan kehidupan berbagai spesies mangrove dan berbagai tingkatan pada setiap
spesies mangrove. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar logam berat dan amonia yang melebihi standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI
Jakarta 1995, yakni melebihi standar baku mutu lingkungan perairan. Vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong berbeda
berdasarkan tingkatan vegetasi. Vegetasi hutan mangrove pada tingkat semai didominasi oleh mangrove dari jenis piyae
Acrostichum aureum dan jenis nipa Nypa fructicans, dan bakau Rhizophora mucronata. Vegetasi hutan mangrove
tingkat pancang dijumpai didominasi oleh Rhizophora mucronata, Acrostichum
auereum dan Acanthus Illicifolius. Vegetasi hutan mangrove tingkat pohon didominasi oleh
Rhizophora mucronata dan Avicennia marina.
Kondisi vegetasi mangrove tersebut menggambarkan bahwa hutan mangrove di Teluk Jakarta masih baik dan layak untuk dilestarikan. Masih
terdapat variasi sejumlah spesies mangrove di lokasi penelitian. Namun jika pertumbuhan hutan mangrove yang ada tidak dijaga dengan baik, maka akan
terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas hutan mangrove itu. Secara umum jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Teluk Jakarta disajikan pada
Tabel 10.
66 Tabel
10. Spesies mangrove yang ditemukan di Muara Angke, Muara
Gembong, Teluk Naga
Spesies Mangrove Muara
Angke Muara
Gembong Teluk
Naga
Jeruju putih Acanthus ebracteatus
√ Jeruju hitam
Acanthus ilicifolius √
Piai raya Acrostichum aureum
√ √
Piai lasa Acrostichum speciosum
√ Teruntun
Aegiceras corniculatum √
√ Api-api
Avicennia alba √
√ Api-api putih
Avicennia marina √
√ √
Lenggadai Bruguiera cylindrical
√ Tancang merah
Bruguiera gymnorrhiza √
√ Buta-buta
Excoecaria agallocha √
√ Nipah
Nypa fructicans √
√ Bakau minyak
Rhizopora apiculata √
√ Bakau merah
Rhizopora mucronata √
√ √
Bakau Rhizopora stylosa
√ Pidada
Sonneratia alba √
Pidada Sonneratia caseolaris
√ √
√
Sumber: LPP-Mangrove 2004
2. Hasil analisis kualitas air
Kajian mengenai kualitas air difokuskan pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan kualitas air untuk perairan
umum dan perikanan. Parameter yang digunakan adalah paramater fisika dan kimia. Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Kualitas air di Teluk Jakarta
Parameter Satuan
Muara Angke Muara Gembong
Teluk Naga Baku Mutu
Suhu °C
26,44 – 27,41 28,15 – 28,23
26,10 – 26,49 21,0 – 32,0
Salinitas ‰
26,34 – 26,67 24,73 – 26,00
24,43 – 26,56 0,0 – 35,0
pH -
7,39 – 7,83 6,78 – 7,70
7,06 – 7,23 6,5 – 8,5
DHL μmhoscm
1162 – 2300 79 – 1524
1000 – 3022 -
CO
2
bebas mgliter
0,43 – 0,85 0,60 – 0,94
0,50 – 0,110 ≤ 6,00
DO mgliter
0,21 – 0,13 3,34 – 7,60
3,00 – 4,11 ≤ 25,00
BOD mgliter
446,10 – 329,12 20,00 – 28,45
25,23 – 39,00 40 – 80
COD mgliter
45,22 – 789,0 93,00 – 193,00
56,67 – 180,00 -
Amonia mgliter
7,11 – 3,32 0,15 – 0,30
1,98 – 4,23 ≤ 0,16
Merkuri mgliter - 0,0004
– 0,0009 -
≤ 0,32 Kadmium
mgliter 0,001
0,005 – 0,04 0,008 – 0,015
≤ 0,001 Timbal
mgliter 0,021 – 0,034
0,02 – 0,09 0,07 – 1,00
≤ 0,03
Sumber: Hasil analisis 2005
67 Stasiun pengamatan di Kecamatan Penjaringan, tepatnya di Desa Muara
Angke terdapat di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Kawasan hutan mangrove yang masih tersisa di wilayah Muara Angke dan merupakan lahan
basah wet land yang lebih dipengaruhi luapan Sungai Angke pada saat pasang
surut air laut. Rata-rata suhu di Sungai Angke maupun lahan mangrove adalah 27,4
o
C pada saat pasang dan 26,4
o
C pada saat surut. Rata-rata salinitas air adalah 26,3‰ saat surut dan saat pasang mencapai 26,7‰. pH air saat surut adalah 7,4
dan saat pasang adalah 8,3 dengan rata-rata 7,8. Jika dibandingkan dengan baku mutu kualitas air sesuai PP No. 48 tahun 1990 parameter suhu, salinitas
dan pH masih dalam batas yang ditolerir namun BOD, COD, amonia, dan logam berat telah melampaui ambang batas. Rendahnya kualitas air tersebut diduga
menjadi penyebab langkanya kehidupan biota perairan di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Rusaknya hutan mangrove di kawasan Muara Angke ini
juga menyebabkan langkanya air tawar di daratan, karena mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke daratan Penjaringan dan sekitarnya.
Muara Gembong merupakan salah satu wilayah yang berada di Teluk Jakarta, yang merupakan daerah yang cukup terlindung dari hempasan ombak
dan gelombang pantai Teluk Jakarta. Hal ini menyebabkan kawasan hutan mangrove yang berada di wilayah tersebut masih cukup baik, namun kerusakan
terjadi karena perubahan fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi daerah pertambakan. Rendahnya salinitas air ini karena ke lokasi ini banyak masuk air
tawar. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya BOD dan COD
yang telah melebihi batas ambang untuk air minum baku lebih dari 6 mgl. Demikian pula untuk perikanan laut yaitu 20 mgl SK Gubernur DKI Jakarta,
1995. Nilai BOD
5
relatif tinggi yaitu di muara sungai Citarum yang disebabkan karena buangan rumah tangga dari pemukiman nelayan di perairan estuaria
tersebut, serta adanya penimbunan bahan organik yang tidak terbawa arus pada saat pasang. Kadar amonia dan logam berat juga menyebabkan terjadinya
hambatan pada pertumbuhan hutan mangrove. Tipe pasut di Kecamatan Muara Gembong sama dengan di Muara Angke
yakni tipe pasut tunggal. Sifat fisik tanah pada hutan mangrove Muara Gembong secara umum adalah tipe liat berlempung, permiabilitas lambat, dan drainae
68 terhambat. Kondisi perairan terganggu akibat aktivitas manusia mengubah hutan
mangrove menjadi tambak. Kecamatan Teluk Naga dulunya merupakan lokasi hutan mangrove,
namun pada tahun 1986 dikembangkan menjadi daerah pertambakan seluas 4.740,8 ha. Akibat konversi lahan tersebut, selain mengakibatkan terjadinya
abrasi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Namun kondisi wilayah yang ada masih
memungkinkan untuk menyelamatkan hutan mangrove guna menghindari terjadinya abrasi pantai yang lebih luas.
Suhu perairan di hutan mangrove Teluk Naga pada saat pasang yaitu 26,5
o
C dan terendah 26,1
o
C. pH pada saat pasang 7,2 dan pada saat surut 7,1 dengan pH rata-rata 7,2. Parameter BOD, COD, amonia, sangat tinggi sehingga
menimbulkan pencemaran perairan. Di lokasi penelitian juga terdapat logam berat kadmium dan timbal yang kadarnya sudah tinggi. Kandungan Cd di
perairan berkisar 0,0009 – 0,104 mgl dengan rata-rata 0,022 mgl pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,008 – 0,013 mgl dengan rata-rata 0,010 mgl.
Nilai rata-rata ini telah melebihi baku mutu air untuk air minum Saeni, 2004. Selain logam berat Cd, Logam berat timbal Pb juga telah melebihi baku mutu.
Kandungan Pb berkisar 0,08 – 1,00 mgl dengan rata-rata 0,49 mgl pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,07 – 1,00 mgl dengan rata-rata 0,18 mgl.
Kadar logam berat Pb telah melewati ambang batas sehingga perairan tidak layak untuk air minum, kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan.
Kondisi perairan Teluk Naga tersebut memerlukan perhatian terhadap masalah kualitas air guna penyelamatan hutan mangrove yang telah rusak. Terjadinya
peningkatan kadar orto-fosfat di perairan disebabkan oleh meningkatnya
buangan limbah industri dan rumah tangga, begitu pula halnya dengan parameter logam berat seperti kadmium dan timbal yang meningkat sebagai
akibat adanya aktivitas kegiatan industri, gedung tinggi, jalan sempit, dan kemacetan lalu lintas Saeni, 2004. Selain hal tersebut suhu perairan juga
terindikasi meningkat sehingga bisa mengganggu proses fisiologis metabolisme
tumbuhan mangrove. Pertumbuhan dan perkembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan. Kusmana 2005 menyatakan bahwa berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan penyebaran jenis mangrove sangat
berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan frekuensi penggenangan.
69 Supriharyono 2000 menyatakan bahwa walaupun tumbuhan mangrove dapat
berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri
terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Dinyatakan bahwa ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus
pasang, salinitas tanah, air tanah, dan suhu air. Berdasarkan nilai-nilai kisaran parameter lingkungan tersebut diketahui
bahwa mangrove masih dapat tumbuh dengan baik. Dengan nilai kisaran suhu yang diperoleh memungkinkan semua jenis tumbuhan mangrove dapat tumbuh,
sehingga memungkinkan untuk menjumpai jenis-jenis mangrove antara lain: Rhizophora apiculata, Xylocarpus ganatum, Sonneratia alba, Limnitzera
racemosa, Bruguera rymnorhiza, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora mucronata. Walsh 1974 menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas
kehidupan mangrove, dengan suhu yang baik tidak kurang dari 20 C sedangkan
kisaran suhu musiman tidak melebihi 5 C. Namun demikian suhu yang tinggi
40 C, cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan
mangrove. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
mangrove adalah salinitas. Kusmana 2000 menyatakan bahwa salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya
tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Nilai salinitas memungkinkan
tumbuhan mangrove dengan beberapa jenis dapat tumbuh dengan baik. Faktor lingkungan lain yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan
mangrove adalah kadar oksigen rendah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kisaran kadar oksigen terlarut DO yaitu 0,21 – 7,26 mgl. Nilai tersebut
tergolong ideal untuk kebutuhan pertumbuhan mangrove. Apabila kandungan oksigen terlarut rendah maka mangrove memiliki tingkat adaptasi dengan sistem
perakaran khas yang dimiliki. Sistem perakaran mangrove dua tipe yakni: tipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora dan tipe tongkat yang mempunyai lentisel. Tingkat kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan bagi
tumbuhan mangrove untuk tumbuh dengan baik, dan apabila habitat mengalami kandungan oksigen terlarut yang rendah, maka sistem perakaran tersebut
berfungsi untuk mengambil dan mengikat oksigen dari udara.
70 Hasil pengukuran pH diperoleh bahwa rata-rata nilai pH yaitu 6,7 – 7,8.
Nilai tersebut merupakan pH netral. Kisaran pH tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove, hal tersebut disebabkan karena
pH yang terukur merupakan pH netral dan masih mampu ditolerir atau masih dalam batas toleransi.
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat