Rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah

(1)

TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN

DI ERA OTONOMI DAERAH

TEGUH ADIPRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Teguh Adiprasetyo NRP P062050121


(3)

TEGUH ADIPRASETYO. Designing a Sustainable Management Policy of National Park in the Decentralized Era. Under the direction of ERIYATNO, ERLIZA NOOR, and CH. FADJAR SOFYAR.

National park plays an important role in conserving nature, biodiversity and life supporting system. However, sectoral policy set up intended to manage national park may hinder that crusial role for humankind. Therefore, there has to be alternative approach to create a sound and effective public policy to manage national park sustainably. Critical system thinking could provide practical framework on policy analysis. This study was intended to develop a sustainable management policy model of national park using soft and hard system methodology approach. The results revealed that the need of such system was to balance social, economic, environment and natural resources for supporting sustainable development. The goals of the system were to protect valuable national park ecosystem for human wellbeing, to increase wealth of local residents close to national park, and to secure the existence of culture. The park authority should pay more attention to local people since they might behave as supporter or destroyer. Conceptual policy model of sustainable national park management was developed, namely National Park Management System Based on Ecosystem and Community which consisted of 3 models which were Management Model, Institutional Model and Funding Model. The model was considered as Community Initiative Government Support. In order to overcome coordination problem, to enhance co-management and to increase benefit to local people, it is suggested that Working Group of National Park Planning Management and Village Owned Enterprise might be established. In addition, National Park Office should be enacted to General Service Agency of National Park as for efficiency and flexibility of financial management which are more transparent, accountable and professional.

Key words: sustainable management, model, national park, soft system methodology


(4)

TEGUH ADIPRASETYO. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Era Otonomi Daerah. Dibawah bimbingan ERIYATNO, ERLIZA NOOR, dan CH. FADJAR SOFYAR.

Di Indonesia pertumbuhan jumlah taman nasional cukup cepat, sampai tahun 2004 terdapat 50 unit taman nasional dengan total luasan 12.4 juta hektar. Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat dari kegiatan konservasi. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selama ini terfokus pada konservasi sumberdaya alam. Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumberdaya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas untuk merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Perubahan politik yang lebih demokratis dan otonomi daerah memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat tidak lagi menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal dapat mempunyai peran yang lebih besar dalam mendukung efektifitas pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat jika kebijakan pengelolaannya hanya terfokus pada sistem ekologi. Perubahan-perubahan ini tidak bisa dihindari. Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology. Studi kasus dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat dan desa sekitar di Kabupaten Kerinci dan Lebong. Responden rumah tangga masyarakat sekitar taman nasional dan pakar dilibatkan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder diolah menggunakan teknik analisis isi, statistik, strategic assumption surfacing and testing, pemodelan interpretasi struktural, danfuzzyanalisis hirarki proses.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia rendah dengan akses sumberdaya lahan pertanian yang terbatas. Kepemilikan lahan berkontribusi terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Pengetahuan tentang manfaat dan persepsi masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta koordinasi merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan taman nasional agar berkelanjutan. Tingkat pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi, asal etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, tingkat pendidikan, jarak domisili ke TNKS, ukuran keluarga, tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan pertanian.

Upaya pengelolaan diarahkan pada peningkatan pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan fungsi taman nasional dan peningkatan pendapatan serta tingkat kesejahteraan masyarakat lokal karena upaya-upaya ini sampai batas tertentu akan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya taman nasional. Petani yang bermukim dalam kawasan dan di sekitar taman nasional merupakan kelompok masyarakat yang paling terkena


(5)

lain yang dapat dilibatkan dan berperan penting dalam sistem pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan adalah Pemerintah Kabupaten dan satuan kerja perangkat daerah terkait, masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional, perguruan tinggi dan masyarakat adat. Keterlibatan berbagai pihak yang dapat berperan penting dalam mendukung keberlanjutan taman nasional menyebabkan koordinasi menjadi elemen kunci keberhasilan pengelolaan.

Sintesa asumsi strategis dengan metode SAST untuk pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional yang memiliki tingkat kepentingan dan kepastian tinggi adalah Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, pembangunan ekonomi berkeadilan dan kesepahaman masyarakat, serta kesadaran masyarakat, aparat Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting jasa lingkungan dan ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumberdaya alam dalam pembangunan juga merupakan asumsi yang penting dan pasti.

Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai manifestasi dari pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah dibangun dengan mengacu pada prinsip good decision making. Sistem TaNaBEM dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu Model Manajemen (Model MTN), Model Kelembagaan (Model KPTN) dan Model Pendanaan (Model PTN). Model MTN merupakan upaya integrasi perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah dan rencana pengelolaan lingkungan yang dilandasi asas komplementer. Model KPTN adalah perwujudan kelembagaan yang mampu menampung aspirasi masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk memperoleh konsensus pengelolaan taman nasional. Organisasi untuk merealisasikan kebijakan ini dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sedangkan Model PTN merupakan perwujudan dari asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang diwadahi melalui penetapan status Badan Layanan Umum Taman Nasional.

Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, masyarakat lokal dan swasta. Kelompok Kerja ini memiliki fungsi mengkoordinasikan upaya konservasi secara partisipatif, pengembangan kegiatan ekonomi alternatif yang terkait dengan sumberdaya taman nasional, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional, konsensus penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan tata nilai lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Keanggotaan Forum merupakan representasi dari unsur-unsur Pemda, dinas terkait, pengelola taman nasional, perguruan tinggi, LSM dan kelompok masyarakat pengguna yang didukung oleh tim ahli dan tim teknis. Keluaran dari Kelompok Kerja ini adalah masukan kebijakan operasional dan perencanaan pengelolaan taman nasional yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kelembagaan Balai Besar Taman Nasional diusulkan untuk menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional agar pendanaan dan pengelolaan keuangan dapat menjadi lebih fleksibel, transparan dan akuntabel.


(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN

DI ERA OTONOMI DAERAH

TEGUH ADIPRASETYO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Dr. Ir. Machfud, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman Js, MF Dr. Ir. Boen M. Purnama


(9)

(10)

Ucapan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Rancang Bangun Kebijakan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah” dapat diselesaikan dengan baik. Kebijakan pengelolaan taman nasional sangat penting untuk dikaji karena ekosistem ini harus terjaga sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Erliza Noor, dan Dr. Chairul Fadjar Sofyar, masing-masing sebagai anggota komisi, atas segala bimbingan dan pengarahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. sebagai Ketua Program Studi PSL IPB, Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim dan ujian terbuka, dan Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr.Ir. Machfud, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr.Ir. Boen M. Purnama yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi ujian terbuka. Kepada Dr.Ir. Samedi, Dr.Ir. Priyono, Dr.Ir. Nugroho, Dr.Ir. Wiryono, Dr. Ir. Agus Susatya, Ir. Soewartono, MM, Ir. Syamsu NM, MSc, Drs.Panji Suminar, MSc, dan Dr. Agus Trianto yang telah banyak memberikan pendapat, masukan mendasar dan dukungan pada proses penyusunan disertasi ini. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam rangka mengikuti program doktor di IPB, baik melalui beasiswa BPPS maupun Hibah Penelitian Program Doktor. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Rektor UNIB atas kesempatan tugas belajar yang diberikan, Ketua Bappeda Propinsi Bengkulu dan Jambi, Kabupaten Kerinci dan Lebong, Kepala Dinas Kehutanan, Pertanian, Koperasi dan UKM, Pariwisata dan Ketua Kadinda Prop. Bengkulu dan Jambi, serta Kab. Lebong dan Kerinci, atas dukungan moril dan informasinya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa PSL Pascasarjana IPB atas saran, masukan dan dukungan dalam penyelesaian disertasi ini. Untuk Rani dan Erni diucapkan terima kasih banyak atas pengorbanan, pengertian dan doanya.

Bogor, Agustus 2010 Teguh Adiprasetyo


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Oktober 1959 di Kendal, sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari Bapak Rochimam (alm) dan Ibu Roekaeniwati (alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Semarang. Pada tahun 1983, penulis menyelesaikan S1 di Jurusan Ilmu Tanah, Faperta IPB dan pada tahun 1991 menyelesaikan S2 di Agric. Mech. Kansas State University, USA. Tahun 2005 mulai menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama 4 tahun sejak lulus S1, penulis pernah bekerja di beberapa perusahaan konsultan pertanian. Sejak tahun 1987 meniti karir sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Penulis menikah dengan Ir. Agustina Erni, MSc yang bekerja pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan dikaruniai seorang anak, Rani Yanarastri yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Teknik Sipil ITB.

Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi ini telah di publikasikan pada Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 9 Nomor 2 tahun 2009, jurnal ini terakreditasi Dirjen Dikti Depdiknas No:108/DIKTI/Kep/2007. Judul artikel “Sikap Masyarakat Lokal Terhadap Konservasi dan Taman Nasional sebagai Pendukung Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat: studi kasus di Kabupaten Kerinci dan Lebong, Indonesia”


(12)

ix

Halaman DAFTAR TABEL ……… ………

DAFTAR GAMBAR ……….………... DAFTAR LAMPIRAN ……….……… DAFTAR SINGKATAN ………..

1 PENDAHULUAN ………...…….……….

1.1. Latar Belakang ………... 1.2. Tujuan Penelitian ……….. 1.3. Kerangka Pemikiran ………... 1.4. Manfaat ………... 1.5. Kebaruan ………...

2 TINJAUAN PUSTAKA………..…..……...

2.1. Taman Nasional ……….…... 2.2. Pengelolaan Taman Nasional ……… 2.3. Partisipasi Masyarakat .………... 2.4. Pembangunan Berkelanjutan ………... 2.5. Analisis Kebijakan ………..………….……… 2.6. Pendekatan Sistem danSoft System Methodology..…….……... 2.7. Strategic Assumption Surfacing and Testing..……….………... 2.8. Pemodelan Interpretasi Struktural ………... 2.9. Fuzzy Analytical Hierarchy Process………... 2.10. Validasi Model ……..………

3 METODOLOGI PENELITIAN ………....

3.1. Lokasi Penelitian …..………... 3.2. Tahapan Penelitian ………..………. 3.3. Teknik Pengambilan Data ……….……..………… 3.4. Metode Analisis Data ……….………. 3.5. Pemodelan Sistem ………..………. 3.6. Analisis Sistem Dinamik ………..………... 3.7. Validasi Model …….………..………..

4 ANALISIS SITUASIONAL ………..……..

4.1. Kebijakan Sektoral dan Daerah ………..……….. 4.2. Internal Manajemen ………... 4.3. Kondisi Fisik Kawasan ………. 4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ………..…. 4.5. Partisipasi Masyarakat ………..

5 ANALISIS KEBIJAKAN ……….

5.1. Asumsi Kebijakan ……… 5.2. Struktur Sistem Pengelolaan Taman Nasional ……….. 5.3. Sistem Dinamik …………..………..

xi xiii xv xvi 1 1 3 4 7 8 9 9 16 20 23 30 40 45 48 54 62 65 65 65 67 72 78 81 81 83 83 87 96 100 117 119 119 122 154


(13)

x

6.1. Sistem Pengelolaan Taman Nasional ……….. 6.2. Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan ... 6.3. Validasi Model ………..………... 6.4. Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan …………...……...

7 KESIMPULAN DAN SARAN ………

7.1. Kesimpulan ……..………..………. 7.2. Saran .……….. DAFTAR PUSTAKA ……….……… LAMPIRAN .………..

159 161 184 185 193 193 196 199 211


(14)

xi Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ... Skala penilaian perbandingan berpasangan ... Nilai Indeks Random (RI) ………. Peubah dan sumber data penelitian ……… Padanan variabel linguistik dengantriangular fuzzy number... Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional ……… Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif ………..… Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan Lebong/Rejang Lebong … Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS ……… Tutupan hutan dan perubahannya di kawasan TNKS ……… Luasan daerah aliran sungai di kawasan TNKS ... Distribusi PDRB Kabupaten Kerinci harga konstan tahun 2000 ……… Tingkat pendapatan dan kemiskinan di lokasi penelitian ………..…… Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang taman

nasional ……….. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat …… Pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap masyarakat ………

Alternatif asumsi dasar kebijakan pengelolaan taman nasional ………

Peubah kunci sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan. Elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan ………. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan ... Elemen kebutuhan ……….. Elemen tujuan ……… Elemen kendala utama ……….. Elemen perubahan yang dimungkinkan ……… Elemen kegiatan yang diperlukan ……….

53 55 57 68 77 84 88 94 97 98 100 102 105 107 110 117 120 123 124 131 135 139 145 149 153


(15)

xii


(16)

xiii Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Kerangka pemikiran penelitian ………. Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn 1994) ………. Siklus kebijakan (Dunn 1994) ……….. Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan

(Richardson & Pugh 1983) ...

Prosessoft system methodology(Checkland 1999) ...

Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000) ……… Lokasi penelitian ………... Tahapan penelitian ...

Diagram teknik ISM (Saxenaet al. 1992) ………

Struktur Organisasi Pengelola TNKS ……….. Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2005) ………. Proporsi belanja anggaran pengelolaan TNKS (TNKS 2007) .……… Tingkat kepentingan dan kepastian asumsi ……….. Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi …...

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen sektor

masyarakat yang terpengaruhi ……….. Struktur sistem elemen pelaku atau lembaga yang terlibat …………..

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen lembaga

yang terlibat ……… Struktur sistem elemen kebutuhan ………

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen

kebutuhan ………. Struktur sistem elemen tujuan ………...

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen tujuan ….

Struktur sistem elemen kendala utama ………..

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen kendala ..

Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan ………...

7 34 36 42 45 48 65 67 80 91 95 96 121 125 126 132 133 136 136 140 141 146 146 150


(17)

xiv 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41

perubahan yang dimungkinkan ………. Struktur sistem elemen kegiatan yang diperlukan ………

Matriksdriver power-dependencesub-elemen pada elemen

kegiatan yang diperlukan ………. Diagram simpal kausal sistem pengelolaan integratif ………. Proyeksi partisipasi, pendapatan masyarakat dan kesehatan ekosistem Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional ………... Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) ……… Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional ………. Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan

Masyarakat (TaNaBEM) ……… Model Manajemen (Model MTN) ………..………. Model Kelembagaan (Model KPTN) ……….. Model Pendanaan (Model PTN) ………. Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional …………. Proyeksi peningkatan pendapatan masyarakat setelah kebijakan …… Proyeksi peningkatan partisipasi setelah kebijakan ………. Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan ………… Usulan struktur organisasi BLU Badan Pengelola TNKS …………..

151 153 154 155 156 161 162 168 169 172 175 176 187 188 188 188 192


(18)

xv Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan, persepsi dan sikap …… Kebijakan terkait Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah ……….. Karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat lokal …….. Hasil ISM untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi ….... Hasil ISM untuk elemen pelaku yang terlibat ……….………... Hasil ISM untuk elemen kebutuhan ……….………….. Hasil ISM untuk elemen tujuan ……….………. Hasil ISM untuk elemen kendala utama ……….……… Hasil ISM untuk elemen perubahan yang dimungkinkan …….……. Hasil ISM untuk elemen kegiatan yang diperlukan ……….……….. Persamaan model sistem dinamik pengelolaan taman nasional …… Nilaifuzzyagregat pendapat pakar ……….……… Nilai eigen faktor, stakeholder, tujuan dan alternatif kebijakan ……. Bagan organisasi Lembaga Penjaminan Dana Bergulir KUMKM .… Bagan organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan ………….

212 213 219 220 221 222 223 224 225 226 227 231 241 243 244


(19)

xvi AHP AME APBD APBN AVE Bappenas BBTN BLU BPS BUMDes CAC DAS Dephut Digraph Ditjen PHKA DP DW FGD HSM ISM IUCN KF KPTN KTT LSM MGDs MTN PP Permenhut PDRB Pokja PTN RKP RM : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Analytical Hierarchy Process Average Mean Error

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Absolute Variation Error

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Besar Taman Nasional

Badan Layanan Umum Badan Pusat Statistik Badan Usaha Milik Desa Command and Control Daerah Aliran Sungai Departemen Kehutanan Directional Graph

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Driver Power Durbin Watson

Focus Group Discussion Hard System Methodology Interpretive Structural Modelling

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources

Kalman Filter

Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Konferensi Tingkat Tinggi

Lembaga Swadaya Masyarakat Millenium Development Goals Manajemen Taman Nasional Peraturan Pemerintah

Peraturan Menteri Kehutanan

Pendapatan Domestik Regional Bruto Kelompok Kerja

Pendanaan Taman Nasional Rencana Kerja Pemerintah Reachability Matrix


(20)

xvii

RPJMN RPJMD RTRW SAST SSIM SSM TaNaBEM TN

TNKS UNCED UNDESA UPT UU WCED

: : : : : : : : : : : : : :

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah

Strategic Assumption Surfacing and Testing Self Structural Interaction Matrix

Soft System Methodology

Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat Taman Nasional

Taman Nasional Kerinci Seblat

United Nations on Environment and Development

United Nations Departement of Economic and Social Affair Unit Pelaksana Teknis

Undang-Undang


(21)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep pembangunan berkelanjutan. Pemahaman dan penerimaan konsep ini berkembang dari yang awalnya hanya terfokus pada dimensi lingkungan sampai kepada pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengintegrasikan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian lingkungan. Di samping itu, juga disadari bahwa pencapaian pembangunan berkelanjutan memerlukan reformasi kelembagaan dan kebijakan yang melibatkan seluruh sektor pembangunan pada semua tingkatan. Pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (UNDESA 2002).

Sejak dicanangkannya otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, pembangunan di Indonesia mengalami perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar bagi Pemerintah Kota, Kabupaten dan Propinsi untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan sektoral, wilayah dan daerah secara otonom yang didasarkan pada potensi sumber daya di daerahnya masing-masing. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah daerah dalam menggali potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian kewenangan yang luas kepada daerah otonom diharapkan dapat meningkatkan percepatan pembangunan di daerah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki tanpa mengabaikan keberlanjutan pembangunan daerah (Kuncoro 2004).

Salah satu aset sumber daya alam yang berada di daerah otonom dan merupakan kawasan konservasi adalah taman nasional. Di Indonesia, sampai tahun 2007 terdapat taman nasional sejumlah 50 unit dengan luasan 16.4 juta


(22)

hektar (Dephut 2008). Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat yang berasal dari tujuan konservasi, menurut Dixon and Sherman (1990) antara lain:

1) terpeliharanya sumber daya alam, jasa lingkungan dan proses ekologis; 2) produksi material dari sumber daya alam, seperti tanaman obat dan satwa; 3) produksi jasa rekreasi dan wisata;

4) produk objek-objek wisata sejarah dan budaya; dan 5) penyediaan peluang untuk pendidikan dan penelitian.

Pelayanan jasa lingkungan dan manfaat lainnya dari taman nasional ini sangat potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat (Haeruman 1997). Untuk itu, taman nasional seharusnya dikelola agar nilai-nilai strategis tersebut dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang secara adil maupun generasi yang akan datang, baik lokal, nasional maupun internasional.

Namun, pengelola taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya di taman nasional, dimana. seringkali masyarakat lokal diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997). Pada awalnya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi hanya terfokus pada konservasi sumber daya alam, tetapi belakangan kebijakan ini dituntut untuk bergeser sejalan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi pada dasarnya saling terkait (Phillips 2002; Wilson 2003). Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhinya dan memberikan perhatian yang lebih kepada nilai-nilai budaya lokal (Phillips 2003; Borrini-Feyerabendet al. 2004).


(23)

Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumber daya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas, yaitu merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai mekanisme untuk mengantarkan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (Barker & Stockdale 2008). Tekanan dari faktor-faktor perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat (Shadie & Epps 2008) jika kebijakan pengelolaannya hanya fokus pada sistem ekologi. Perubahan-perubahan ini tidak bisa dihindari. Perubahan pendekatan ini memerlukan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi (Jeanrenaud 2002).

Mengingat kompleksitas dan adanya saling keterkaitan yang kuat antara aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi dalam pengelolaan taman nasional serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional, maka formulasi kebijakan pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan sistem (Eriyatno 2003). Jackson (2006) mengemukakan bahwa critical system thinking dapat memberikan arahan bagaimana menggunakan teori sistem, metodologi dan metode dalam menganalisis kebijakan. Checkland (1999) dan Christis (2005) menyebutkan bahwa perihal yang kompleks dan tidak terstruktur dapat ditangani dengan baik melalui penggunaan soft system methodology. Dengan demikian diharapkan pengelolaan taman nasional dapat mencapai tujuan konservasi, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah secara berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Tujuan umum penelitian adalah merancang bangun model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dan integratif dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology untuk harmonisasi


(24)

aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan kebijakan adalah:

1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan taman nasional.

2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang melandasi model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan.

3) Merumuskan struktur sistem pengelolaan taman nasional berkelanjutan dengan pendekatan sistem melalui sintesis aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.

4) Menentukan prioritas alternatif kebijakan untuk pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah.

1.3 Kerangka Pemikiran

Taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi dapat banyak berperan dalam perekonomian daerah maupun nasional melalui beragam manfaat jasa lingkungan yang disediakannya. Beberapa manfaat tersebut merupakan hasil dari pemanfaatan langsung sumber daya alam yang dapat memiliki nilai ekonomi sesuai dengan harga pasar. Sedangkan sebagian manfaat lainnya, seperti penggunaan rekreasi dan wisata, tergantung dari penggunaan taman nasional oleh masyarakat dan manfaatnya dapat diukur secara moneter. Namun, sebagian besar manfaat lain dari taman nasional, seperti perlindungan sistem hidrologi, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati sangat sulit untuk diukur secara moneter. Manfaat ini sering disebut sebagai manfaat sosial karena memberikan manfaat kepada individu-individu atau masyarakat secara luas, tetapi sering tidak disadari manfaatnya karena tidak terukur secara moneter dan selama ini manfaat tersebut diperoleh secara gratis (Haeruman 1997).

Terpeliharanya fungsi penyediaan jasa lingkungan dan manfaat taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik taman nasional dan interaksinya dengan perubahan kondisi lingkungan sosial ekonomi, kebijakan nasional dan daerah. Perubahan sosial ekonomi seperti dinamika dan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan konsumsi, kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan akan mempengaruhi taman nasional. Perubahan biofisik seperti konversi lahan dan kelembagaan pengelolaan juga akan mempengaruhi kinerja


(25)

dan efektifitas pengelolaan taman nasional (Barber 2004). Sebaliknya, Perubahan kondisi taman nasional, misalnya karena adanya konversi penggunaan lahan akan dapat mempengaruhi, baik positif maupun negatif, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Kelompok masyarakat yang mengkonversi lahan di taman nasional akan mendapatkan manfaat dan akan meningkatkan pendapatannya. Sedangkan biaya yang muncul akibat konversi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dan komunitas masyarakat secara keseluruhan (Dasgupta & Mäler 1994; Mink 1999).

Paradigma kebijakan pengelolaan taman nasional saat ini masih terfokus pada sistem ekologi dan kawasan (Phillips 2002; Wilson 2003). Sistem sosial dan ekonomi kawasan sekitar taman nasional belum mendapatkan pertimbangan yang besar dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu, otonomi daerah telah menyebabkan berbagai perubahan yang mendasar, terutama akibat pendelegasian sebagian besar kewenangan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Namun, kebijakan terhadap pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional masih sama. Kewenangan pengelolaan taman nasional masih tetap berada pada Pemerintah Pusat. Kebijakan ini menurut Resosudarmo (2002) tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional. Hal ini diindikasikan dengan sikap beberapa pemerintah daerah yang tidak bersedia membantu secara aktif mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola taman nasional. Sedikitnya manfaat langsung (tangible benefit) yang dapat dinikmati masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan taman nasional dan pemerintah daerah juga menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat dan Pemda terhadap eksistensi taman nasional (Soetarto et al. 2001). Akibat akhirnya adalah degradasi ekosistem karena pengelolaan taman nasional tidak efektif untuk mencapai tujuan penetapannya.

Degradasi ekosistem yang banyak terjadi di taman nasional memunculkan keperluan suatu sistem pengelolaan yang baru. Argumentasi tuntutan perubahan kebijakan pengelolaan didasari pemikiran bahwa pendekatan konservasi yang telah diharmonisasikan dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan agenda pembangunan diharapkan akan menyebabkan manfaat kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Kawasan konservasi seyogyanya dikelola dalam perspektif jangka


(26)

panjang dengan tujuan mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dalam proses pembangunan sosial ekonomi regional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Di samping itu, pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan seluruh stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaannya.

Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi memiliki dimensi yang sangat kompleks. Aspek ekologi yang tercermin dari kondisi fisik kawasan menuntut terlindunginya ekosistem taman nasional dan terjamin kelestariannya. Aspek sosial menghendaki adanya penerimaan secara sosial terhadap keberadaan taman nasional dan semua stakeholder dapat turut serta menjaga kelestariannya sesuai dengan peran masing-masing. Sedangkan dari aspek ekonomi, taman nasional diharapkan dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Di samping itu, kebijakan sektoral dan daerah juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional. Mengingat kompleksitas yang dihadapi maka pengembangan kebijakan pengelolaan akan dibangun menggunakan pendekatan soft dan hard system. Pendekatan sistem diyakini akan dapat menghasilkan kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan ini diharapkan akan mampu mendukung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.


(27)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Manfaat

Keluaran dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan taman nasional di masa mendatang. Secara terperinci manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang holistik akan pentingnya nilai taman nasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.


(28)

2) Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk memahami secara holistik dan mendapatkan peluang perbaikan pengelolaan taman nasional, menggali kesempatan usaha bagi masyarakat dari keberadaan taman nasional, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3) Penelitian akan menghasilkan suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif dan berkelanjutan yang melibatkan pemangku kepentingan secara menyeluruh. Model kebijakan ini selanjutnya diharapkan dapat diaplikasikan pada taman nasional lainnya di Indonesia.

1.5 Kebaruan

Kebaruan dari penelitian rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah adalah:

1) Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui penggabungan pendekatan soft dan hard system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.

2) Pengembangan konsep pengelolaan taman nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang dibangun didasarkan pada konsep pengelolaan yang holistik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan pengelolaan taman nasional dalam hal: a) Aspek Manajemen yang mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan dan lingkungan hidup, b) Aspek Kelembagaan untuk menampung aspirasi masyarakat dalam rangka pencapaian konsensus pengelolaan taman nasional melalui koordinasi yang efektif melalui saluran Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa yang mengakomodasi upaya pemanfaatan taman nasional untuk peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, dan c) Aspek Pendanaan yang fleksibel dan efisien serta dikelola secara transparan dan akuntabel melalui status Balai Besar/Balai Taman Nasional sebagai Badan Layanan Umum.


(29)

2.1 Taman Nasional

Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Sampai dengan tahun 2007 di Indonesia kawasan yang telah ditetapkan sebagai taman nasional darat sejumlah 50 unit dengan luas 12 298 216 hektar dan 7 unit taman nasional laut dengan luas 4 049 541 hektar (Dephut 2008). Kawasan taman nasional termasuk ke dalam kategori II pada klasifikasi yang dikembangkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola utamanya untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi (Dudley & Phillips 2006). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan alami baik di darat maupun laut yang ditetapkan untuk melindungi integritas satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, menghindarkan dari ekploitasi dan pendudukan kawasan tersebut, dan menyediakan landasan untuk keperluan spiritual, pendidikan, rekreasi dan peluang kunjungan yang keseluruhannya harus selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994).

Sedangkan tujuan pembangunan taman nasional meliputi:

1) melindungi kawasan alami yang memiliki nilai kepentingan pada tingkat nasional maupun internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi maupun wisata,

2) mempertahankan sealami mungkin representasi fisiografis kawasan, komunitas biotik, sumber daya genetik dan jenis untuk mempertahankan stabilitas dan keragaman ekologis,

3) mengelola pengunjung yang menggunakan kawasan untuk inspirasi, pendidikan, budaya dan rekreasi pada tingkat yang dapat menjamin terpeliharanya kawasan sealami mungkin atau mendekati alami,

4) mengeliminasi dan kemudian menghindarkan kegiatan eksploitasi atau pendudukan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan,

5) memelihara atribut ekologi, geomorfologi dan keindahan yang menjamin tujuan penetapannya,


(30)

6) mengakomodasikan kepentingan masyarakat lokal, termasuk untuk pemanfaatan secara subsisten sepanjang tidak mengabaikan tujuan penetapan kawasan.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional didefinisikan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Suatu kawasan dapat ditetapkan menjadi taman nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu:

1) kawasan yang akan ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami,

2) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami,

3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh,

4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam,

5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Sistem zonasi merupakan landasan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Masing-masing zona memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Zona inti merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak harus dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Penetapan zona ini didasarkan atas 6 kriteria. Pertama, memiliki keanekaragaman jenis


(31)

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kedua, mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. Ketiga, mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. Keempat, mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. Kelima, mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. Keenam, mempunyai komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Zona pemanfaatan merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dikhususkan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Penetapan zona ini didasarkan atas 3 kriteria. Pertama, mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik. Kedua, mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Ketiga, kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Di samping itu dapat ditetapkan zona lain, yaitu zona di luar zona inti dan pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, atau zona rehabilitasi. Zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang melindungi zona inti dimana pembangunan fisik yang bersifat permanen tidak diperbolehkan serta dapat dikunjungi secara terbatas. Zona ini mempunyai 3 kriteria. Pertama, kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang biakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi. Kedua, memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Ketiga, merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

Taman nasional yang merupakan kawasan pelestarian alam dan pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi memungkinkan kawasan tersebut memenuhi seluruh fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari sumber daya


(32)

alam hayati dan ekosistemnya. Pemeliharaan dan peningkatan fungsi ini dalam pengelolaan taman nasional akan dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan taman nasional dan sekaligus dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Jika hal ini dapat berlangsung dengan baik maka pengelolaan taman nasional dapat digunakan untuk menggambarkan pola hubungan timbal balik antara manusia dengan alam yang saling menguntungkan. Hal ini akan menunjukkan bahwa integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang dapat dilakukan. Namun, kenyataannya keberadaan taman nasional masih belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Pengelolaan taman nasional sampai saat ini menunjukkan masih dalam taraf upaya untuk mempertahankan dan melindungi eksistensi potensi dan kawasan taman nasional dari berbagai faktor penyebab kerusakan dan penyusutan luasan kawasan. Aspek pemanfaatan taman nasional untuk kesejahteraan masyarakat belum berkembang dengan baik dan belum mampu memberikan kontribusi direct use value yang berarti bagi daerah dimana kawasan tersebut berada.

IUCN (2005) menekankan bahwa sebenarnya taman nasional dapat memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan sekaligus dalam berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena taman nasional dapat menjadi faktor kunci dalam pencapaian Millennium Development Goals, khususnya yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan dan dapat menjadi kontributor penting terhadap salah satu target pembangunan berkelanjutan yang mempunyai tujuan mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati secara nyata. Namun, beberapa kalangan masyarakat masih melihat bahwa taman nasional merupakan pembatas aspirasi dan aktifitasnya. Di samping itu, dewasa ini taman nasional juga menghadapi berbagai tantangan yang semakin meningkat sebagai akibat adanya perubahan lokal maupun global, semisal perubahan iklim, demografi, ekonomi, politik/kepemerintahan, dan teknologi. Sistem pengelolaan taman nasional menjadi semakin kompleks, khususnya karena menyangkut pengaruh antara


(33)

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengelola taman nasional. Karenanya, aturan dan peran dari masing-masing pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional harus terdefinisikan dengan jelas dan dipahami bersama. Tantangan utama yang harus dihadapi bersama dalam pengelolaan taman nasional adalah rekonsiliasi antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal, kepentingan nasional dan global, dan antara kebutuhan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Evaluasi terhadap efektifitas pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan oleh WWF terhadap 600 kawasan konservasi di dunia mengindikasikan bahwa ancaman utama dari kawasan konservasi adalah perburuan satwa liar, pembalakan dan perambahan lahan untuk aktifitas pertanian. Sedangkan kelemahan pengelolaan kawasan konservasi yang paling utama adalah keterbatasan pendanaan dan staf, lemahnya penegakan hukum dan hubungan dengan masyarakat yang kurang bagus. Namun, meskipun kelemahan pengelolaan kawasan konservasi secara umum telah diketahui, upaya secara sistematis dan terkoordinasi yang ditujukan untuk mengatasi ancaman yang paling umum dan merusak masih belum banyak dilakukan (IUCN 2005). Kondisi ini seharusnya direspon dengan peningkatan efektifitas pengelolaan taman nasional melalui kebijakan yang tepat agar taman nasional dapat berperan secara optimal dalam mendukung keberkelanjutan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan.

Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sumber daya alam hayati yang sangat tinggi di dunia, dan sebagian bersifat endemik. Sampai saat ini telah teridentifikasi 515 jenis mamalia (12% dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 1 531 jenis burung (17% dari jenis burung dunia), 270 jenis amfibi, serta lebih dari 38 000 yang diantaranya 1 260 jenis bernilai medis (Dephut 2008). Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang bersama dengan unsur non hayati di lingkungannya secara keseluruhan membentuk sistem hubungan timbal balik, saling bergantung dan mempengaruhi. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi sumber pangan dan tanaman obat, daerah tujuan wisata maupun


(34)

penyerap karbon dunia. Sumber daya ini merupakan aset untuk pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pengelolaan terhadap aset ini bukan hal yang mudah. Sejauh ini, sumber daya alam hayati dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi dengan mudah tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya (Bappenas 2003). Peran pelestarian sumber daya alam yang terbarukan bagi pembangunan berkelanjutan menurut MacKinnon (2001) dapat dicapai melalui:

1) menjaga proses dan sistem pendukung kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan,

2) melestarikan keanekaragaman plasma nutfah bagi program budidaya agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. 3) menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh

manusia, yang mendukung kehidupan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri.

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang keberadaannya tidak dapat digantikan. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia maka upaya konservasi menjadi kewajiban bagi setiap generasi. Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui penetapan kawasan konservasi. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu kawasan daratan atau laut yang didedikasikan untuk proteksi dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang terkait dengan sosial budaya dan dikelola berdasarkan hukum atau cara lain yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi. Pada awalnya dalam sejarah peradaban manusia, motivasi untuk mengkonservasi kawasan alam ditujukan untuk keperluan rekreasi dan untuk melindungi spesies tertentu dalam kaitannya dengan aktifitas wisata berburu dan kepentingan lainnya. Pada waktu itu, sumber daya alam dipersepsikan tidak terbatas dan dapat dimanfaatkan kapanpun diperlukan. Namun, persepsi ini mulai berubah sejak disadari bahwa ketersediaan kawasan alam mulai terus menurun. Sejak itu, pembentukan kawasan konservasi tidak hanya ditujukan semata-mata untuk


(35)

wisata dan rekreasi saja, tetapi juga untuk melindungi keseluruhan ekosistem. Karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kawasan konservasi merupakan manifestasi dari respon manusia menanggapi adanya ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya alam (Dixon & Sherman 1990).

Taman Nasional Yellowstone merupakan tonggak sejarah awal pengembangan kawasan konservasi modern. Hingga saat ini, kawasan konservasi telah menjadi satu bentuk penggunaan lahan yang paling signifikan di muka bumi. Namun, paradigma pengembangan kawasan konservasi telah bergeser dengan pendekatan konsep yang lebih luas, menurut Chapeet al. (2005) mencakup: 1) formulasi kategori pengelolaan kawasan konservasi yang lebih spesifik

dengan mempertimbangkan lingkup dan nilai dari tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang berbeda-beda;

2) integrasi konservasi ke dalam agenda pembangunan dengan mengharmonisasikan tujuan konservasi dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan;

3) pemahaman terhadap pentingnya nilai sosial dan budaya; dan

4) pemahaman terhadap peran kawasan konservasi sebagai indikator kunci untuk menilai pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global.

Ekosistem yang sehat merupakan prasyarat untuk keberlanjutan pembangunan dan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam hayati mendukung kehidupan manusia melalui keragaman dan fungsi ekosistem yang memberikan jasa lingkungan yang mendukung berbagai sektor ekonomi. Namun, kecenderungan yang terjadi pada pembangunan ekonomi secara tipikal kurang menghargai jasa dan proses ekosistem sehingga mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam hayati. Eksploitasi yang berlebihan dari kegiatan pembangunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan kepunahan spesies dan degradasi habitat. Kondisi yang seperti ini tidak memungkinkan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan hanya akan tercapai jika pembangunan ekonomi juga mengintegrasikan strategi konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang efektif. Pendekatan tradisional konservasi sumber daya hayati adalah dengan melakukan


(36)

konservasi spesies dan mengembangkan berbagai berbagai bentuk kawasan konservasi. Namun, keanekaragaman hayati tidak mungkin dapat terkonservasi secara efektif hanya melalui pembentukan kawasan konservasi saja. Tekanan terhadap kawasan konservasi yang mengakibatkan fragmentasi dan degradasi habitat akan menyebabkan penurunan viabilitas kawasan konservasi dalam jangka panjang sebagai akibat meningkatnya kerentanan spesies terhadap erosi genetik dan perubahan iklim. Pada sisi yang lain, manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem alam. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi dan kesejahteraan manusia sangat bergantung kepada komponen lain dan interaksi manusia dengan komponen lain dalam ekosistem. Kondisi tersebut memunculkan pemahaman bahwa untuk mempertahankan eksistensi sumber daya alam hayati hanya mungkin dicapai melalui pengelolaan kawasan terpadu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, memelihara dan merestorasi integritas ekosistem dan mengkonservasi sumber daya hayati secara simultan (Pirotet al. 2000). 2.2 Pengelolaan Taman Nasional

Pengelolaan taman nasional telah bergeser dari hanya terfokus pada stok sumber daya alam hayati dan spesies terancam punah menuju kepada pengelolaan yang lebih menyeluruh, termasuk upaya pengelolaan kolaborasi dan memperhatikan pembangunan ekonomi masyarakat lokal Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa 42% dari kawasan konservasi di dunia berada di negara berkembang dimana pengelola dihadapkan oleh banyak persoalan, antara lain keterbatasan dana, rendahnya pemasukan dari kegiatan pariwisata, tidak adanya manfaat ekonomi langsung (tangible benefits) maupun sikap yang tidak mendukung dari masyarakat lokal (hostile neighbours). Meskipun persoalan ini bukan monopoli negara berkembang, tetapi kebutuhan agar taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal lebih besar di negara berkembang. Di lain pihak, kawasan konservasi merupakan satu-satunya alat penting yang dapat memastikan daya hidup (survival) kebanyakan spesies dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pengelolaan taman nasional di negara berkembang seharusnya menjangkau keluar batas kawasan dan menunjukkan


(37)

adanya keterkaitan dan sinergi dengan pembangunan dimana kawasan tersebut berada (MacKinnon 2001).

Kebijakan dan implementasi pengelolaan di Indonesia hampir sama dengan pengelolaan di Laos, Vietnam, Kamboja dan Thailand. Di negara tersebut, menurut Carew-Reid (2003) telah ditetapkan kawasan konservasi, sebagian besar berbentuk taman nasional dengan proporsi luas kawasan terbesar di dunia. Pendekatan pengelolaan kawasan lebih menekankan pada isolasi kawasan dan terlepas dari penggunaannya bagi kepentingan manusia. Hal ini dilakukan dengan argumentasi untuk kebaikan upaya konservasi. Implementasi upaya konservasi juga sedikit relevansinya untuk menjawab tantangan pembangunan yang dihadapi keempat negara tersebut. Ketentuan hukum juga telah mengatur bahwa penggunaan ekstraktif tidak diperbolehkan. Namun, dalam prakteknya masyarakat terus mengambil sumber daya hayati yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Pemerintah lokal juga sering mengabaikan kepentingan pengelolaan kawasan jika dihadapkan pada pilihan antara konservasi dan kebutuhan pembangunan ekonomi lokal, misalnya pembangunan jalan, jaringan listrik, dan ekstensifikasi pertanian. Hasil review pembangunan kawasan pelestarian di negara tersebut menunjukkan bahwa meskipun luasan kawasan pelestarian secara legal cenderung meningkat akan tetapi nilai keanekaragaman hayati terus merosot yang diindikasikan dari meningkatnya luasan kerusakan habitat. Kawasan konservasi di negara ini berada di kawasan dengan tingkat penduduk miskin tinggi yang umumnya memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumber daya di dalam kawasan untuk penghidupannya seperti bahan pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan rumput, maupun manfaat ekologi, seperti fungsi regulasi suplai air irigasi dan fungsi pemeliharaan stok ikan. Nasib masyarakat ini di masa depan sangat tergantung dari kebijakan dan implementasi pengelolaan taman nasional. Kebijakan dan implementasi pengelolaan yang ekslusif dengan sedikit upaya untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi sebagai pengganti biaya oportunitas masyarakat, telah menempatkan taman nasional sebagai sumber konflik (Morris & Vathana 2003).


(38)

Di Indonesia, permasalahan sosial dan ekonomi banyak dihadapi dalam pengelolaan taman nasional. Perambahan lahan oleh masyarakat yang menyebabkan kerusakan kawasan terjadi di Taman Nasional Kutai, perburuan satwa dilindungi di Taman Nasional Rawa Aopa Watu Mohai dan Lore Lindu dan perambahan, penebangan liar dan perburuan liar terjadi di Taman Nasional Meru Betiri (Riyanto 2005) dan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2007). Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga menyebabkan konflik antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pengelola (Galudra 2009).

Kondisi demikian semakin memperkuat gagasan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan ekonomi dengan elemen ekologi dalam pengelolaan taman nasional. Phillips (2003) menyatakan bahwa model klasik pengelolaan taman nasional sudah tidak memadai untuk abad ke-21 dan untuk beberapa kasus dapat berpotensi kontra produktif. Model klasik pengelolaan taman nasional dicirikan antara lain oleh:

1) Tujuan ditetapkan hanya untuk keperluan konservasi semata, khususnya untuk perlindungan pemandangan dan hidupan liar dengan penekanan lebih pada bentuk fisik dari pada fungsi sistem alam. Dikelola khusus untuk pengunjung dan wisatawan dengan nilai utamanya sifat liar pada kawasan sehingga diupayakan perlindungan dan bebas dari pengaruh manusia.

2) Pengelolaan oleh pemerintah pusat.

3) Masyarakat lokal tidak dilibatkan dan aspirasinya kurang dipedulikan dalam perencanaan dan pengelolaan, serta menghindari pengaruh manusia kecuali wisatawan.

4) Cakupan pengelolaan tidak menyeluruh, dikembangkan secara parsial dan terpisah seperti pulau biologi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan sekitarnya.

Sedangkan paradigma pengelolaan yang sesuai untuk kondisi saat ini dan mendatang memiliki elemen penting berikut:

1) Tujuan mencakup aspek sosial, ekonomi dan konservasi maupun rekreasi. Umumnya dikembangkan juga untuk tujuan ilmiah, ekonomi dan budaya sehingga menambah kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan dimaksudkan


(39)

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, disamping aspek perlindungan, rehabilitasi dan restorasi dilakukan sehingga nilai-nilai yang tererosi dapat dikembalikan.

2) Pengelolaan dilakukan dengan kemitraan dan melibatkan para pihak yang berkepentingan.

3) Masyarakat lokal berperan aktif dan tidak dipandang sebagai penerima manfaat secara pasif karena taman nasional dikelola bersama, untuk dan bahkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal diposisikan sebagai penerima manfaat sehingga kepentingannya perlu diakomodasikan.

4) Cakupan pengelolaan menyeluruh, direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional bahkan internasional, serta diperlakukan bukan sebagai pulau biologi melainkan berbentuk jaringan dengan koridor-koridor hijau sebagai daerah penyangga.

Kongres Taman Nasional Sedunia V (IUCN 2005) memandatkan secara tegas bahwa pengelolaan kawasan taman nasional harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial untuk pengelolaan taman nasional dalam abad ke-21 diperlukan mengingat berbagai tantangan dan perubahan global. Menurut Sukmadi (2005), seiring dengan perkembangan terkini tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini penting karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan di Indonesia masih mengikuti model klasik pengelolaan kawasan konservasi.

Efektifitas pengelolaan memerlukan perluasan spektrum model dan mekanisme tata kelola di luar batas model pengelolaan tersentralisasi oleh pemerintah yang saat ini mendominasi pola pikir dan praktek pengelolaan. Semakin beragamnya pilihan tata kelola dan pengelolaan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan melibatkan beragam stakeholder, khususnya masyarakat lokal dan adat (Barber 2004). Dengan demikian, efektifitas pengelolaan taman nasional dapat diukur dengan menggunakan tiga indikator, yaitu 1) aspek ekologi, yang menunjukkan bahwa


(40)

kawasan konservasi atau taman nasional sebagai manifestasi fisik dari potensi sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat terjamin kelestariannya, 2) aspek ekonomi dan sosial, yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kawasan konservasi atau taman nasional dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat lokal yang dicirikan oleh tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang cenderung meningkat, dan 3) persepsi dan partisipasi, yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi cenderung meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi atau taman nasional (Darusman & Widada 2004).

Sistem pengelolaan taman nasional mendatang menuntut penggabungan berbagai pendekatan secara komprehensif dan harus dapat merespon secara sistematis terhadap adanya perubahan biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan taman nasional yang ada saat ini tidak didesain untuk merespon terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan (Barber et al. 2004). Sehingga jika diukur kinerja pengelolaan kawasan taman nasional saat ini maka akan dapat dikatakan bahwa kinerja pengelolaan pada umumnya belum efektif. Belum efektifnya kinerja pengelolaan ini dapat ditunjukkan oleh adanya fakta-fakta antara lain: 1) proses degradasi sumber daya alam hampir di seluruh kawasan taman nasional sampai saat ini masih terjadi dan cenderung meningkat, dan 2) perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional pada umumnya sampai saat ini masih sangat rendah, yang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan, termasuk tingkat pendidikan masyarakat (Darusman & Widada 2004).

2.3 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat atau publik pada hakekatnya adalah proses komunikasi dua arah yang interaktif dimana kebutuhan dan tata nilai masyarakat terakomodasi untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang lebih baik karena mendapatkan dukungan publik (Creighton 2005). Sedangkan menurut Ostrom (1994) partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses


(41)

pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Masyarakat akan berpartsisipasi jika terdapat faktor pendorong, seperti kebutuhan, harapan, keuntungan dan tersedianya kelembagaan untuk berpartisipasi.

Berdasarkan definisi tersebut maka secara garis besar partisipasi masyarakat memiliki karakteristik yang mencakup: 1) partisipasi publik diaplikasikan dalam pengambilan keputusan administratif lembaga pemerintah, 2) tidak hanya penyediaan informasi kepada publik melainkan terjalinnya interaksi antara organisasi pengambil keputusan dengan masyarakat yang ingin berpartisipasi, 3) partisipasi publik melibatkan proses yang terorganisasi dan terencana untuk melibatkan publik, bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja, dan 4) partisipan berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat (Creighton 2005). Partisipasi masyarakat dapat dilakukan untuk mengeksplorasi persoalan pengelolaan dalam tahap penetapan tujuan, perencanaan, implementasi, maupun monitoring. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik karena informasi dan perspektif para pihak yang penting untuk efektifitas pengelolaan akan tertangkap secara efektif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang beragam akan mendorong tumbuhnya pembelajaran sosial karena memungkinkan berlangsungnya transformasi relasi, perubahan persepsi dan mengidentifikasi cara baru untuk bekerja sama mencapai tujuan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dapat digunakan sebagai sarana komplementer untuk menutupi kelemahan pendekatan topdown yang selama ini banyak diterapkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga legitimasi dan dukungan masyarakat akan meningkat (Stringer et al. 2006).

Secara umum terdapat tiga faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional, mencakup: 1) kemauan, 2) kemampuan, dan 3) kesempatan. Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kerugian yang diperolehnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, seperti tingkat pendidikan formal, non formal dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat, serta variabel kebijakan (Brännlund et al. 2009). Oleh karena itu, faktor-faktor penting yang


(42)

menentukan partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan taman nasional perlu dipahami dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan.

Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional pada umumnya telah mempunyai hubungan yang panjang dengan taman nasional dan dapat mempunyai peran penting dalam pengelolaan taman nasional. Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional akan mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi antara masyarakat lokal dengan taman nasional. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif terhadap taman nasional, yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005).

Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya dari masyarakat. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnik dapat secara signifikan membentuk persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional (Mehta & Heinen 2001; Jim et al. 2002; Cihar & Stankova 2006; Allendorf 2007; Allendorf et.al. 2007). Persepsi masyarakat lokal terhadap taman nasional dipengaruhi oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumber daya taman nasional (Badola 1998, Soto et al. 2001; Silori 2007), maupun pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005). Selanjutnya, pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman nasional (Kideghesho et al. 2007; Spiteri & Nepal 2008). Mengingat kondisi masyarakat lokal yang tidak homogen dan memiliki tata nilai yang mungkin tidak sama maka akan menyebabkan relasi dan sikap masyarakat lokal terhadap sumber daya alam atau taman nasional akan sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga (Geoghehan & Renard 2002). Pengabaian terhadap perbedaan ini dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang (Agrawal & Gibson 1999). Dengan demikian, identifikasi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007) dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikapstakeholderterhadap upaya konservasi dan


(43)

taman nasional sangat diperlukan sebagai masukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi untuk peningkatan peran serta masyarakat agar efektifitas pengelolaan taman nasional dapat meningkat.

2.4 Pembangunan Berkelanjutan

Alternatif lain dari keberlanjutan secara implisit hanya ada satu, yaitu ketidak berlanjutan. Namun, karena keberlanjutan melibatkan dimensi waktu maka ancaman terhadap keberlanjutan untuk menjadi keadaan yang tidak berkelanjutan sangat jarang mengimplikasikan suatu ancaman yang akibatnya dapat segera dirasakan. Terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara ancaman terhadap keberlanjutan dengan realisasi kondisi menjadi ketidak berlanjutan. Di masa lampau, pembangunan lebih ditekankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pelaku pembangunan kurang menyadari adanya ancaman terhadap keberlanjutan pembangunan. Ancaman ini muncul karena pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas yang berbasis pada sumber daya yang terbatas merupakan hal yang tidak mungkin untuk dapat berlanjut secara terus menerus. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan masyarakat dunia akan aktifitas manusia yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan manusia telah berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, didefinisikan untuk pertama kalinya dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980) sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan kemanusiaan yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pengertian ini,


(44)

pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan kondisi harmoni yang statis terhadap pemenuhan kebutuhan antar generasi, tetapi lebih merupakan proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, kegiatan investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan diarahkan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan mempunyai 3 dimensi utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan. Dimensi ekonomi didasari oleh prinsip bahwa kemiskinan dihilangkan dan kesejahteraan masyarakat ditingkatkan, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Dimensi sosial mengacu kepada keterkaitan antara alam dan manusia, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemenuhan standar minimal keamanan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dimensi ini juga mengacu kepada pembangunan keragaman budaya, pluralisme dan pelibatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Aspek keadilan (equity), yaitu distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dari dimensi ekonomi dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Dimensi lingkungan meliputi upaya konservasi dan perbaikan basis sumber daya fisik, biologi dan ekosistem. Sedangkan Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di negara berkembang tujuan utamanya sebaiknya adalah mengurangi kemiskinan absolut melalui penyediaan penghidupan yang layak dan berkelanjutan dan yang meminimalkan deplesi sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan ketidak stabilan sosial budaya.


(45)

Konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang (Goodland & Ledoc 1987). Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan keharusan penggunaan sumber daya alam terbarukan dengan cara-cara yang tidak merusak atau menghabiskan sumber daya alam itu sendiri karena kerusakan atau kehilangan sumber daya alam tersebut pada saat sekarang akan mengurangi manfaatnya bagi generasi yang akan datang. Sedangkan pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dilakukan dengan kecepatan serendah mungkin dan memastikan adanya transisi menuju penggunaan sumber daya energi yang terbarukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan diharapkan akan dapat menjamin kelangsungan hidup manusia secara berkualitas melalui pemeliharaan sistem pendukung kehidupan, seperti udara, air, lahan, dan biota, dan pengembangan infrastruktur dan kelembagaan yang dapat mendistribusikan dan melindungi komponen-komponen sistem pendukung kehidupan (Livermanet al.1988).

Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global, seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozone, kerusakan sumber daya terbarukan dan kerusakan komponen lingkungan lainnya menyebabkan masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global menuju ke arah pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan hidup dan pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (UNCED 1992). Pengangkatan isu yang mengkaitkan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari pembangunan, didasarkan pada dua hal, yaitu:

1) Selama ini lingkungan dan pembangunan seolah-olah merupakan dua hal yang terpisah, sehingga sering terjadi pertentangan dalam pemilihan antara kepentingan pembangunan atau lingkungan.


(46)

2) Munculnya keprihatinan terhadap kemampuan sumber daya alam untuk dapat menopang pembangunan secara terus menerus.

Kesepakatan internasional untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan. Sehingga untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan ini maka harus dilakukan secara bersama oleh semua unsur baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Keberlangsungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama semua negara, sedangkan implementasi program kerja Agenda 21 disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masing-masing negara.

Evaluasi terhadap pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) yang diselenggarakan di Johannesberg pada tahun 2002. Pertemuan ini menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu:

1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen dunia internasional untuk menghadapinya.

2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi.

3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju dan lembaga internasional.

Perencanaan atau strategi nasional pembangunan berkelanjutan merupakan focal point untuk mengintegrasikan lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan, dan untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan


(47)

prioritas pembangunan berkelanjutan. Tantangan utama dalam penyusunan strategi nasional pembangunan berkelanjutan adalah menterjemahkan konsep dan komitmen pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program yang kongkrit untuk mencapai atau minimal mengarah kepada tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu kehidupan masyarakat yang berkualitas yang secara sosial diharapkan masyarakat, layak secara ekonomi, mampu mempertahankan ekosistem pendukung kehidupan secara berkelanjutan dan dapat dipertahankan untuk generasi mendatang (Dalal-Clayton et al. 1994). Meskipun pembangunan berkelanjutan menyangkut prinsip-prinsip universal tertentu, namun formulasi tujuan dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri secara tepat dan operasional seharusnya dinegosiasikan secara lokal pada masing-masing daerah atau negara. Hal ini disebabkan karena komunitas dan individu-individu pada daerah tersebut yang akan melakukan pengambilan keputusan terhadap penggunaan sumber daya di daerahnya, dimana pada akhirnya keputusan-keputusan tersebut yang akan mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu, perencanaan atau formulasi strategi nasional atau daerah pembangunan berkelanjutan memerlukan partisipasi semaksimal mungkin dari komunitas lokal dan para pemangku kepentingan.

Pada dasarnya prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1999) ada 3, yaitu:

1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).

2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender (kesetaraan antar manusia manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara (kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang akan datang.

3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan dan partisipasi.


(48)

Dalam rangka menginterpretasikan prinsip pembangunan berkelanjutan, beberapa model telah dikembangkan agar konsep tersebut dapat diimplementasikan. Model yang paling populer adalah Model Tiga Pilar, yaitu segitiga dengan dimensi pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan konservasi lingkungan yang digunakan sebagai landasan dan tujuan pembangunan. Setelah itu berkembang alternatif model yang diusulkan untuk menggantikan Model Tiga Pilar dengan Model Prisma, yaitu dengan menambahkan dimensi kelembagaan untuk mengakomodasikan sejumlah elemen sosial dan budaya yang penting (Keiner 2005). Pengembangan model ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya merupakan suatu bentuk pembangunan bertujuan merekonsiliasi kebutuhan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan saja melainkan juga merupakan proses tata kelola yang memerlukan kelembagaan dan tata kelola yang dapat menjamin keberlanjutan. Model Prisma ini menurut Spangenberg (2002) menyediakan suatu kerangka kerja yang mampu mengakomodasikan beragam konsep pembangunan berkelanjutan dan keterkaitan yang seimbang dan terintegrasi dari dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga dapat menghindari kerusakan yang tidak dapat pulih dari salah satu dimensi.

Meskipun kedua model tersebut terlihat terlalu sederhana untuk menggambarkan realitas dan kompleksitas pembangunan, tetapi model tersebut dapat digunakan secara efektif sebagai tujuan primer untuk berargumentasi dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan pembangunan. Hal ini terkonfirmasi dari diadopsinya Model Tiga Pilar sebagai panduan pembangunan yang disepakati oleh UN International Forum on National Strategies for Sustainable Development (UNDESA 2001) dan Model Prisma diterima sebagai landasan sistem indikator oleh United Nations Commission on Sustainable Development (UNDESA 2002).

Tujuan primer pembangunan berdasarkan Model Tiga Pilardapat diuraikan sebagai berikut (UNDESA 2002):

1) Pertumbuhan Ekonomi: pembangunan ekonomi ditujukan untuk peningkatan masyarakat dan upaya pengentasan kemiskinan dimaksimalkan melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Prioritas diberikan untuk peningkatan kemampuan masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.


(1)

C.

Perbandingan Tujuan

5

Pelaku usaha

No

Tujuan

Tujuan

BB

BT

BA

1 Perlindungan ekosistem yang penting

0.50

1.00

1.50 Pelestarian keanekaragaman hayati

2 Perlindungan ekosistem yang penting

0.47

0.62

0.90 Peningkatan pendapatan masyarakat

3 Pelestarian keanekaragaman hayati

0.60

0.76

1.00 Peningkatan pendapatan masyarakat

4 Pelestarian keanekaragaman hayati

0.67

1.00

2.00 Perlindungan ekosistem yang penting

5 Peningkatan pendapatan masyarakat

0.43

0.52

0.63 Perlindungan ekosistem yang penting

6 Peningkatan pendapatan masyarakat

0.59

0.76

0.95 Pelestarian keanekaragaman hayati

Agregasi Pakar

D.

Perbandingan Alternatif

1

Perlindungan ekosistem

No

Alternatif

Alternatif

BB

BT

BA

1

Penguatan kelembagaan

0.84

1.22

1.68

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

2

Penguatan kelembagaan

1.22

1.61

2.08

Pelembagaan partisipasi masyarakat

3

Penguatan kelembagaan

1.14

1.52

1.99

Pengembangan sistem informasi dan relasi

publik

4

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

0.43

0.52

0.63

Pelembagaan partisipasi masyarakat

5

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

1.50

2.00

2.50

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

6

Pelembagaan partisipasi masyarakat

1.11

1.61

2.11

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

7

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

0.59

0.82

1.19

Penguatan kelembagaan

8

Pelembagaan partisipasi masyarakat

0.48

0.62

0.82

Penguatan kelembagaan

9

Pelembagaan partisipasi masyarakat

0.56

0.76

1.07

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

10

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.50

0.67

1.00

Penguatan kelembagaan

11

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.40

0.50

0.67

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

12

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.47

0.62

0.90

Pelembagaan partisipasi masyarakat


(2)

D.

Perbandingan Alternatif

2

Pelestarian keanekaragaman hayati

No

Alternatif

Alternatif

BB

BT

BA

1

Penguatan kelembagaan

0.50

0.90

1.36

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

2

Penguatan kelembagaan

0.50

0.67

1.00

Pelembagaan partisipasi masyarakat

3

Penguatan kelembagaan

0.50

0.67

1.00

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

4

Pengentasan kemiskinan sebagai sarana

upaya konservasi

0.29

0.33

0.40

Pelembagaan partisipasi masyarakat

5

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

1.11

1.61

2.11

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

6

Pelembagaan partisipasi masyarakat

1.00

1.50

2.00

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

7

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

0.74

1.11

2.00

Penguatan kelembagaan

8

Pelembagaan partisipasi masyarakat

1.00

1.50

2.00

Penguatan kelembagaan

9

Pelembagaan partisipasi masyarakat

0.50

0.67

1.00

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

10

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

1.00

1.50

2.00

Penguatan kelembagaan

11

Pengembangan sistem informasi dan relasi

publik

0.47

0.62

0.90

Pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi

12

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.50

0.67

1.00

Pelembagaan partisipasi masyarakat

Agregasi Pakar


(3)

D.

Perbandingan Alternatif

3

Peningkatan pendapatan masyarakat

No

Alternatif

Alternatif

BB

BT

BA

1

Penguatan kelembagaan

1.11

1.61

2.11

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

2

Penguatan kelembagaan

1.22

1.73

2.24

Pelembagaan partisipasi masyarakat

3

Penguatan kelembagaan

0.76

0.91

1.10

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

4

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

1.50

2.00

2.50

Pelembagaan partisipasi masyarakat

5

Pengentasan kemiskinan sebagai sarana

upaya konservasi

1.50

2.00

2.50

Pengembangan sistem informasi dan relasi publik

6

Pelembagaan partisipasi masyarakat

1.00

1.50

2.00

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

7

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

0.47

0.62

0.90

Penguatan kelembagaan

8

Pelembagaan partisipasi masyarakat

0.45

0.58

0.82

Penguatan kelembagaan

9

Pelembagaan partisipasi masyarakat

0.40

0.50

0.67

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

10

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.41

0.52

0.71

Penguatan kelembagaan

11

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.40

0.50

0.67

Pengentasan kemiskinan sebagai saranaupaya konservasi

12

Pengembangan sistem informasi dan relasipublik

0.50

0.67

1.00

Pelembagaan partisipasi masyarakat

Agregasi Pakar

Lampiran 13 Nilai eigen faktor, stakeholder, tujuan dan alternatif kebijakan

Bobot

Pemerintah Pemda Masyarakat Perguruan Pelaku Faktor

Pusat

Lokal

Tinggi

Usaha

1

Internal manajemen

0.43

0.17

0.20

0.15

0.05

0.28

2

Kondisi sosek masyarakat

0.22

0.30

0.21

0.10

0.17

0.22

3

Kondisi fisik kawasan

0.18

0.26

0.22

0.15

0.20

0.04

4

Partisipasi masyarakat

0.19

0.30

0.33

0.11

0.07

0.31

5

Kebijakan sektoral/daerah

0.26

0.40

0.10

0.15

0.08

0.15

Bobot Stakeholder

0.27

0.28

0.23

0.13

0.09

Stakeholder


(4)

Bobot

Perlindungan

Pelestarian

Peningkatan Stakeholder

ekosistem

Keanekaragaman hayati

pendapatan

1

Pemerintah Pusat/Pengelola

0.33

0.35

0.32

0.27

2

Pemerintah Daerah

0.37

0.36

0.27

0.28

3

Masyarakat lokal

0.34

0.35

0.31

0.23

4

Perguruan tinggi

0.35

0.32

0.33

0.13

5

Pelaku usaha

0.35

0.36

0.29

0.09

Bobot Tujuan

0.35

0.35

0.30

Tujuan

No

Stakeholder

Penguatan

Pengentasan

Pelembagaan Relasi

Bobot

kelembagaan kemiskinan untuk konservasi partisipasi

Publik

Tujuan

1

Perlindungan ekosistem

0.34

0.27

0.25

0.13

0.35

2

Pelestarian keanekaragaman

hayati

3

Peningkatan pendapatan

0.34

0.36

0.20

0.10

0.30

Bobot Alternatif

0.29

0.29

0.25

0.16

0.24

0.35

No

Tujuan

Alternatif


(5)

Lampiran 14 Bagan organisasi Lembaga Penjaminan Dana Bergulir KUMKM

Direktur Utama

Satuan Pemeriksaan Intern

Direktur Keuangan dan Umum Direktur Pengembangan Usaha Direktur Bisnis D ivi si B is ni s I Dewan Pengawas D iv is i U m um D iv is i K eua nga n D iv is i H uku m da n H um as D iv is i P er enc ana an D iv is i E va lua si da n P engka ji an D ivi si B is ni s II D iv is i M ana je m en R es iko


(6)

Lampiran 14 Bagan organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan