Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta

1. Muara Angke Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah. Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan Muara Angke. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161KptsUm61977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter; b sebagai cagar alam Muara Angke; c sebagai kebun pembibitan; dan d sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”. Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda GB No 24 tanggal 18 Juni 1939 seluas 15,40 ha. Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097Kpts-II1998 tanggal 29 Februari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 56 335,50 ha. Kemudian berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Secara detil disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan luas peruntukan lahan di Kawasan Muara Angke ha Kawasan Menhut 1984 Menhut 1988 Gub DKI 1989 Hutan lindung 49,25 50,80 44,76 Cagar alam Muara Angke 21,45 25,00 25,02 Hutan wisata 91,45 101,60 99,85 Kebun pembibitan kehutanan 10,47 10,47 10,52 Cengkareng Drain 29,05 28,36 28,93 Jalur transmisi PLN 29,90 25,90 23,07 Jalur tol dan jalur hijau 91,37 91,37 95,50 Jumlah 322,60 335,50 327,70 2. Muara Gembong Sejarah pengelolaan mangrove di Muara Gembong Kabupaten Bekasi pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian setelah masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pengelolaan mangrovenya dilakukan oleh Jawatan Kehutanan Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat. Perkembangan berikutnya pada tahun 1976, dengan terbentuknya Unit III Perum Perhutani maka pengelolaan mangrove di kawasan Muara Gembong dilakukan oleh Resort Pemangkuan Hutan Muara Gembong Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Ujung Karawang Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sebagai konsekuensi daerah penyangga DKI Jakarta, aktivitas pembangunan di DKI mengakibatkan permintaan lahan di Kabupaten Bekasi meningkat sehingga dari luasan mangrove 9.764,45 ha yang tersisa menjadi hutan hanya 330,24 ha 3,4, sedangkan yang lainnya telah beralih fungsi menjadi pertambakan 68,85, persawahan 22,30 dan bentuk penggunaan lainnya Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, 2000. Kondisi penggunaan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi adalah: hutan sekitar 1.093,28 ha, sawah sekitar 1.225,95 ha, permukiman 57 sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65 ha dan abrasi mencapai 202,05 ha KPH Bogor, 2004. Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat, sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini, kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani. Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha Suhaeri, 2005. 3. Teluk Naga Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir laut yang dimaksudkan untuk membangun prasarana tambak ternyata menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004.

4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Hasil analisis vegetasi