5.4. Matriks Korelasi
Sebelum memulai pengolahan data dengan melalui persamaan VAR perlu dilakukan dulu pengurutan variabel sesuai dengan pengaruh variabel satu dengan
yang lain dari yang terbesar hingga terkecil. Untuk variabel endogen utam total kredit, didapatkan matriks korelasi sebagai berikut:
Tabel 5.4. Pengurutan Variabel dengan Menggunakan Matriks Korelasi LN_K
LN_DPK RS
LN_PDB CAR
NPL LN_K
1,000000 -0,899086 -0,840460 0,747562 -0,631661 -0,235948
Sumber: Lampiran 5, diolah.
5.5. Pemilihan
Lag Optimal
Nilai lag optimal diperoleh dengan melakukan estimasi VAR terlebih dulu. Pada penelitian ini, lag optimal ditentukan dengan memilih nilai SC yang
paling kecil. Hasil uji lag optimal menunjukkan bahwa dari delapan lag maksimal yang diestimasi, nilai SC paling kecil berada pada lag pertama Lampiran 6. Hal
ini berarti akan persamaan akan diestimasi dengan menggunakan lag pertama yaitu pada tingkat lag optimalnya.
5.6. Uji Stabilitas
Setelah didapatkan lag optimal, kemudian dilakukan uji stabilitas untuk mengetahui apakah sistem dalam persamaan tersebut sudah cukup stabil atau
belum. Suatu persamaan VAR dikatakan stabil bila keseluruhan nilai modulusnya kurang dari 1 Lampiran 7.
5.7. Uji Kointegrasi
Tahapan selanjutnya adalah uji kointegrasi. Pada penelitian ini digunakan Johansen Trace Statistic untuk melihat jumlah persamaan yang terkointegrasi.
Analisis uji kointegrasi dapat dilakukan dengan melihat nilai trace statistic yang harus lebih besar dibandingkan critical value nya pada taraf lima persen. Dengan
menggunakan langkah tersebut, dihasilkan dua persamaan yang terkointegrasi Lampiran 9.
5.8. Estimasi VECM
Hasil estimasi VECM menghasilkan persamaan jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat dilihat dari Tabel 5.4. Pada persamaan jangka pendek
yaitu DLN_K, lag yang digunakan adalah lag optimal yaitu satu. Variabel yang menjadi variabel endogen adalah kredit Bank “X” K, sedangkan variabel yang
menjadi variabel eksogen adalah DPK Bank “X”, suku bunga SBI satu bulan RS, PDB, CAR Bank “X”, dan NPL Bank “X”.
Tabel 5.5 juga menginformasikan bahwa terdapat dua variabel yang signifikan pada jangka pendek, yaitu total kredit dan DPK pada lag pertama.
Kredit lag pertama signifikan mempengaruhi kredit periode sekarang pada taraf lima persen secara positif sebesar 0,261268. Artinya setiap satu persen
peningkatan pada kredit periode sebelumnya akan mengakibatkan peningkatan volume penyaluran kredit sekarang 0,261268 persen.
Sedangkan DPK mempengaruhi kredit secara negatif pada lag pertama. Bila DPK naik sebesar satu persen maka akan mengakibatkan penurunan kredit
sebesar 0,333566. Hal ini berlawanan dengan teori dan hipotesis, dimana
seharusnya bila terjadi peningkatan DPK maka akan diikuti peningkatan volume penyaluran kredit. Hal ini memang merupakan fenomena yang terjadi pada Bank
”X”, dimana pada rentang waktu 2001:1 hingga 2006:12 terjadi penurunan pada DPK, namun volume penyaluran kredit meningkat
12
. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu karena upaya Bank ”X” dalam merestrukturisasi kredit
non-performing, penagihan kredit, dan menambah fasilitas kredit yang diberikan tanpa memperhatikan fungsi intermediasi perbankan itu sendiri.
Tabel 5.5. Hasil Estimasi VECM DLN_K dan LN_K
Variabel Koefisien
T-Statistik DLN_K
DLN_K-1 0,261268 1,97666
DLN_DPK-1 -0,333566 -2,00836
DRS-1 -0,013620 -1,57559
DLN_PDB-1 -0,024077 -0,09362
DCAR-1 0,000398 0,08333
DNPL-1 -0,000158 -0,56959
CointEq1 -0,368399 -3,63104
CointEq2 0,081714 2,66705
LN_K RS-1 -0,036065
14,1590 PDB-1 0,886507
-152,590 CAR-1 0,005769
-1,60418 NPL-1 -0,001081
3,06889
Sumber: Lampiran 10, diolah. Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5, nilai t-stat = 1,96; -1,96.
Pada hubungan jangka pendek tersebut, juga dapat ditarik informasi bahwa RS tidak berpengaruh signifikan terhadap volume penyaluran kredit. Hal ini
sesuai dengan kenyataan yang ada dimana kredit kurang responsif terhadap penurunan RS, seperti fenomena yang terjadi dewasa ini yaitu penurunan RS tidak
12
Grafik mengenai hubungan antara volume penyaluran kredit dengan DPK dapat dilihat pada Lampiran 13.
serta merta diimbangi oleh peningkatan volume penyaluran kredit. Hal ini ditengarai karena sebagian besar kredit yang diberikan Bank “X” adalah
corporate loan yaitu sebesar 45,3 persen, yang keseluruhannya merupakan kredit dalam jangka panjang.
Bahkan di sisi lain, BI mengungkapkan dana yang terparkir pada instrumen SBI semakin besar, yakni mencapai Rp 238,8 trilyun pada 9 Februari
2007. Pada akhir 2007, dana SBI akan melebihi angka Rp 300 trilyun jika fungsi intermediasi perbankan tidak segera diperbaiki Abdullah, 2007. Hal ini
mengindikasikan bank lending channnel tidak efisien sebagai instrumen kebijakan moneter dalam jangka pendek.
RS Bank Lending
Source of financing Investasi Y
Sementara dunia perbankan menilai hal ini bukan dikarenakan perbankan tidak ingin mengucurkan kredit, namun karena risiko usaha dan pelaku usaha
yang belum bisa mengambil kredit yang hendak dikucurkan. Selain itu ketidakpastian di sektor riil yaitu masih berkembangnya isu tentang kepastian
hukum, UU Pajak, Cukai, dan Penanaman Modal Martowardojo, 2007. Menurut
Sugema
13
, untuk mengatasi hal tersebut di atas, ada beberapa opsi yang bisa dipilih agar kebijakan moneter dapat didesain untuk secara langsung
mempengaruhi keputusan bank dalam mengalokasikan kredit, antara lain: 1. Diciptakan suatu sistem insentif disinsentif untuk mendorong perbankan
melakukan ekspansi kredit. Salah satu contohnya adalah kebijakan GWM
13
Pernyataan tersebut disampaikan pada dua kesempatan yang berbeda, sumber: Kompas online, dan Sindo online.
tambahan bagi bank yang kreditnya rendah LDR rendah. Apabila GWM dibuat conditional terhadap LDR, maka bank yang kurang rajin menyalurkan
kredit akan terkena penalti berupa cost of fund yang lebih tinggi. 2. Fluktuasi dalam nilai tukar, suku bunga dan harga harus diredam sehingga
risiko makroekonomi dapat diminimalisasi. 3. Diciptakan mekanisme short circuit untuk dapat mengatasi kelebihan dana yang
setengah menganggur di sistem perbankan, agar uang tidak hanya berputar- putar di antara deposito dan SBI serta Fasbi.
4. Dana perbankan yang tersimpan dalam SBI dibatasi sebesar 10-20 persen dari DPK. Hal ini untuk mengurangi banyaknya jumlah dana yang tersimpan dalam
SBI. 5. BI harus memberikan disinsentif berupa pemotongan bunga SBI sebesar satu
persen setiap kelebihan dana yang tersimpan. Pada persamaan jangka panjang, yang menjadi variabel endogen adalah
kredit Bank “X” K, sedangkan yang menjadi variabel eksogen adalah DPK Bank “X”, CAR Bank “X”, suku bunga SBI satu bulan RS, dan NPL Bank “X”.
Sementara DPK tidak memiliki hubungan jangka panjang terhadap kredit Bank “X” namun memiliki hubungan jangka panjang terhadap variabel endogen yang
lain. Selain itu, juga terbentuk dua persamaan yang terkointegrasi, namun khusus dalam penelitian ini digunakan persamaan kointegrasi yang pertama dikarenakan
memiliki akar ciri yang paling besar.
Dari hasil estimasi VECM tersebut, terbentuklah persamaan jangka panjang sebagai berikut:
LN_K
t
= - 0,036065 RS
t-1
+ 0,886507 LN_PDB
t-1
- 0,001081 NPL
t-1
5.1 Persamaan jangka panjang di atas menunjukkan bahwa variabel RS, PDB,
dan NPL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyaluran kredit pada taraf lima persen, namun variabel CAR tidak berpengaruh secara signifikan.. RS
secara signifikan mempengaruhi penyaluran kredit Bank “X” secara negatif sebesar 0,036065 artinya bila terjadi peningkatan pada RS sebesar satu persen
akan mengakibatkan penurunan penyaluran kredit sebesar 0,036065 persen. Nilai ini sesuai dengan teori mekanisme transmisi kebijakan moneter yaitu apabila suku
bunga SBI meningkat akan diikuti oleh penurunan penawaran kredit dari Bank ”X”. Hal ini berarti mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui bank lending
channel efisien dalam jangka panjang. RS Bank Lending
Source of financing Investasi
Y
Variabel kedua adalah PDB yang mempengaruhi kredit secara positif dan signifikan sebesar 0,886507. Artinya setiap satu persen peningkatan yang terjadi
pada PDB, dalam hal ini menggambarkan output nasional, akan mengakibatkan peningkatan volume penyaluran kredit Bank “X” sebesar 0,886507 persen.
Variabel terakhir yang berpengaruh signifikan adalah NPL secara negatif sebesar 0,001081. Artinya dalam jangka panjang setiap satu persen peningkatan
NPL akan menyebabkan penurunan pada penyaluran kredit secara rata-rata sebesar 0,001081 persen. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi di dunia
perbankan, dimana bila NPL semakin meningkat maka perbankan akan enggan untuk menyalurkan kredit karena default risk yang tinggi.
Variabel CAR tidak mempengaruhi penyaluran kredit secara signifikan. Hal ini disebabkan karena modal dan pendapatan bunga pada Bank “X” masih
didominasi oleh obligasi pemerintah bukan dari modal sendiri ataupun dari kelebihan penerimaan pembayaran dari saldo pokok kredit, sehingga memang
rasio CAR Bank “X” jauh di atas syarat minimum yang ditetapkan Bank Indonesia yaitu delapan persen.
5.7. Analisis