1. Pendahuluan
Buruknya kinerja
birokrasi merupakan permasalahan utama yang
sedang dialami bangsa Indonesia. Sejumlah literatur dan ulasan-ulasan
dalam berbagai makalah dan sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa
buruknya kinerja itu lebih disebabkan oleh
banyak hal
yakni masih
terjebaknya birokrasi pada prilaku orde baru yaitu ingin dilayani daripada
melayani. Aparatur Daerah belum mampu menyesuaikan kinerja mereka
dengan paradigma birokrasi yakni melayani dan mengayomi masyarakat.
Kemudian lemahnya inovasi para aparatur dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Pegawai bekerja masih harus
berdasarkan tuntunan
dan perintah atasan, jika tidak, mereka
tidak akan bekerja. Agus Dwiyanto, dkk, mengatakan birokrasi masih
terkurung dalam budaya kerja yang bersandar pada mentalitas “minta
petunjuk” pimpinan dalam setiap
gerak langkahnya, sehingga banyak pola
pengambilan keputusan
pelayanan yang dirasa sangat lamban dan merugikan masyarakat pengguna
layanan.
1
Kuranganya inisiatif sangat mempengaruhi
kualitas aparatur
daerah. Adanya
inisitaif sangat
penting karena
tidak semua
permasalahan publik terjangkau oleh kebijakan atau saja jika sewaktu-
waktu terjadi
permasalahan interpretasi terhadap sebuah kebijakan
dan atasan tentu tidak selamanya berada ditempat padahal dalam waktu
yang sama pegawai harus segera mengambil
keputusan. Tentang
perlunya inisiatif
menurut Flipo
bahwa seseorang
agar mencapai
kinerja yang tinggi tergantung pada kerja sama, kepribadian, kepandaian
yang beraneka ragam, kepemimpinan, keselamatan, pengetahuan perkarjaan,
kehadiran, kesetiaan, ketangguhan dan inisiatif.
2
Kemudian budaya
setor merupakan kebiasaan buruk yang
sering mengganggu kinerja birokrasi.
1
Agus, Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia
. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
2
Flippo, E.B. 1984. Personnel Management, Singapore :McGraw Hill
.
Banyak pejabat yang sama sekali tidak memiliki keahlian dan profesionalisme
tetapi tetap
dipertahankan dan
dipercayakan untuk
memegang jabatan strategis. Penyebabnya adalah
terjerumusnya pejabat tersebut pada kebiasaan
menyetor uang
pada atasannya.
Bambang Wicaksono
Staf Pengajar Magister Studi Kebijakan
MSK UGM mengatakan bahwa selama otonomi daerah berlangsung,
belum terlihat adanya perubahan secara
sistematis pada
birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai
tata-pemerintahan yang
baik. Birokrasi
belum sepenuhnya
mengembangkan konsep
tentang profesionalisme,
transparansi, akuntabilitas,
efisiensi, efektivitas
nilai-nilai moral
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Banyaknya fenomena korupsi di lingkungan
birokrasi pemerintah,
memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap lembaga
birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat di dalamnya
cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan dan logika
kekuasaan dalam
menjalankan fungsinya, seperti tidak adanya
publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka dan terperinci
kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian pelayanan publik,
mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif, serta tidak mengembangkan
kriteria kinerja sebagai basis dalam menilai
kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan birokrasi.
Tahun 2010 lalu terdapat dua lembaga besar yang mengumumkan
hasil penelitian
mereka dengan
menyebutkan buruknya birokrasi di Indonesia terutama dalam hal kinerja
pelayanan publik.
Dua lembaga
tersebut adalah KPK RI dan
Political and
Economic Risk
Consultancy
PERC. Hasil
Survey Komisi
Pemberantasan Korupsi
KPK memberikan penilaian indeks prestasi
pelayanan publik 5,42 dari skala 1-10. Artinya,
masyarakat menilai
pelayanan publik di Indonesia tidak memuaskan, cenderung korup, dan
merugikan. Temuan ini sejalan dengan penelitian PERC tahun 2010 lalu yang
menempatkan kualitas
birokrasi Indonesia ranking kedua terburuk di
Asia setelah India. Pemeringkatan itu telah dilakukan sejak 1999-2010 yang
hasilnya adalah kualitas birokrasi
Indonesia selalu menempati peringkat terendah.
Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan dalam
bentuk pelayanan
yang mengedepankan pada visi pelayanan
yang berpihak pada
customer-driven
, secara
faktual belum
banyak dilakukan perubahan secara cukup
mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah. Orientasi pelayanan dari
sebagian besar aparatur birokrasi pemerintah
masih cenderung
diarahkan untuk kepentingan birokrasi atau pejabat birokrasi, bukannya pada
peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat Dwiyanto, dkk.,
2001. Masih
buruknya kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia menurut Dwiyanto 2002,
menunjukkan bahwa
esensi dari
kebijakan otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar
oleh banyak
pejabat birokrasi.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih diskriminatif, terjadinya
rente birokrasi, suap, pungutan liar, tidak adanya kepastian pelayanan,
arogansi kekuasaan,
serta masih
lemahnya posisi
tawar warga
masyarakat terhadap pejabat birokrasi, menunjukkan
bahwa
mind-set
birokrasi dalam
memberikan pelayanan
masih belum
banyak mengalami perubahan seperti yang
diharapkan. Prosedur
dan etika
pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-
nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara
yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya,
tidak dibuat
untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih
untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya
berbelit-belit dan rumit. Penelitian
ini untuk
mengevaluasi sekaligus
hendak menjawab
tiga pertanyaan
yaitu
pertama
mengapa kinerja birokrasi belum dapat memuaskan masyarakat
meskipun berbagai kebijakan telah dibeanahi dalam rangka pencapaian
kinerja yang baik.
Kedua
faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu
terjadinya korupsi birokrasi.
Ketiga
hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka memperkuat integritas
birokrasi Untuk memandu pengumpulan
data dan analisis, maka penelitian ini menggunakan
teori etika
dan birokrasi. Secara etimologis kata etika
berasal dari bahasa Yunani yaitu
ethos
dan
ethikos, ethos
yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang
baik.
Ethikos
berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang
baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata etik
berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain
sebagainya dalam
masyarakat beradaban
dalam memelihara
hubungan baik sesama manusia.
3
Etika adalah kebiasaan yang baik
dalam masyarakat,
yang kemudian mengendap menjadi norma-
norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam
perikehidupan manusia.
4
. Sedangkan pengertian birokrasi
jika dalam praktik dijabarkan sebagai PNS.
Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan
dan pembangunan,
birokrasi berkenaan
dengan kelembagaan,
3
Abd Haris, Pengantar Etika Islam. Sidoarjo: Al-Afkar, 2007, 3.
4
Fathoni, Naimah. Konsep Etika Birokrasi Pemerintah
.2009. Jakarta: Medik. Hlm. 31
aparat dan system serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan.
5
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
.
Proses pengumpulan data primer dilakukan
melalui
forum group
discussion
yang melibatkan
masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi, media dan perguruan tinggi.
Data skunder diperoleh dari Dokumen Laporan pemerintahan. Analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas,
sehingga datanya
jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi
data reduction
,
data display
serta
conclusion drawing verification
.
6
2. Faktor