Pendahuluan Etika Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi | Liando | JURNAL EKSEKUTIF 15100 30307 1 SM

1. Pendahuluan

Buruknya kinerja birokrasi merupakan permasalahan utama yang sedang dialami bangsa Indonesia. Sejumlah literatur dan ulasan-ulasan dalam berbagai makalah dan sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa buruknya kinerja itu lebih disebabkan oleh banyak hal yakni masih terjebaknya birokrasi pada prilaku orde baru yaitu ingin dilayani daripada melayani. Aparatur Daerah belum mampu menyesuaikan kinerja mereka dengan paradigma birokrasi yakni melayani dan mengayomi masyarakat. Kemudian lemahnya inovasi para aparatur dalam menjalankan tugas- tugasnya. Pegawai bekerja masih harus berdasarkan tuntunan dan perintah atasan, jika tidak, mereka tidak akan bekerja. Agus Dwiyanto, dkk, mengatakan birokrasi masih terkurung dalam budaya kerja yang bersandar pada mentalitas “minta petunjuk” pimpinan dalam setiap gerak langkahnya, sehingga banyak pola pengambilan keputusan pelayanan yang dirasa sangat lamban dan merugikan masyarakat pengguna layanan. 1 Kuranganya inisiatif sangat mempengaruhi kualitas aparatur daerah. Adanya inisitaif sangat penting karena tidak semua permasalahan publik terjangkau oleh kebijakan atau saja jika sewaktu- waktu terjadi permasalahan interpretasi terhadap sebuah kebijakan dan atasan tentu tidak selamanya berada ditempat padahal dalam waktu yang sama pegawai harus segera mengambil keputusan. Tentang perlunya inisiatif menurut Flipo bahwa seseorang agar mencapai kinerja yang tinggi tergantung pada kerja sama, kepribadian, kepandaian yang beraneka ragam, kepemimpinan, keselamatan, pengetahuan perkarjaan, kehadiran, kesetiaan, ketangguhan dan inisiatif. 2 Kemudian budaya setor merupakan kebiasaan buruk yang sering mengganggu kinerja birokrasi. 1 Agus, Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006 2 Flippo, E.B. 1984. Personnel Management, Singapore :McGraw Hill . Banyak pejabat yang sama sekali tidak memiliki keahlian dan profesionalisme tetapi tetap dipertahankan dan dipercayakan untuk memegang jabatan strategis. Penyebabnya adalah terjerumusnya pejabat tersebut pada kebiasaan menyetor uang pada atasannya. Bambang Wicaksono Staf Pengajar Magister Studi Kebijakan MSK UGM mengatakan bahwa selama otonomi daerah berlangsung, belum terlihat adanya perubahan secara sistematis pada birokrasi menyangkut pengembangan nilai-nilai tata-pemerintahan yang baik. Birokrasi belum sepenuhnya mengembangkan konsep tentang profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas nilai-nilai moral dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Banyaknya fenomena korupsi di lingkungan birokrasi pemerintah, memperlihatkan tidak adanya kontrol publik secara efektif terhadap lembaga birokrasi pemerintah. Disamping itu, birokrasi dan pejabat di dalamnya cenderung masih mengembangkan paradigma ketertutupan dan logika kekuasaan dalam menjalankan fungsinya, seperti tidak adanya publikasi mengenai anggaran belanja pegawai secara terbuka dan terperinci kepada masyarakat, rente birokrasi dalam pemberian pelayanan publik, mekanisme kritik yang tidak berjalan efektif, serta tidak mengembangkan kriteria kinerja sebagai basis dalam menilai kompetensi pejabat atau pegawai di lingkungan birokrasi. Tahun 2010 lalu terdapat dua lembaga besar yang mengumumkan hasil penelitian mereka dengan menyebutkan buruknya birokrasi di Indonesia terutama dalam hal kinerja pelayanan publik. Dua lembaga tersebut adalah KPK RI dan Political and Economic Risk Consultancy PERC. Hasil Survey Komisi Pemberantasan Korupsi KPK memberikan penilaian indeks prestasi pelayanan publik 5,42 dari skala 1-10. Artinya, masyarakat menilai pelayanan publik di Indonesia tidak memuaskan, cenderung korup, dan merugikan. Temuan ini sejalan dengan penelitian PERC tahun 2010 lalu yang menempatkan kualitas birokrasi Indonesia ranking kedua terburuk di Asia setelah India. Pemeringkatan itu telah dilakukan sejak 1999-2010 yang hasilnya adalah kualitas birokrasi Indonesia selalu menempati peringkat terendah. Manajemen pelayanan publik yang seharusnya dikembangkan dalam bentuk pelayanan yang mengedepankan pada visi pelayanan yang berpihak pada customer-driven , secara faktual belum banyak dilakukan perubahan secara cukup mendasar di lingkungan birokrasi pemerintah. Orientasi pelayanan dari sebagian besar aparatur birokrasi pemerintah masih cenderung diarahkan untuk kepentingan birokrasi atau pejabat birokrasi, bukannya pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat Dwiyanto, dkk., 2001. Masih buruknya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia menurut Dwiyanto 2002, menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan otonomi daerah masih belum dapat dipahami secara benar oleh banyak pejabat birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang masih diskriminatif, terjadinya rente birokrasi, suap, pungutan liar, tidak adanya kepastian pelayanan, arogansi kekuasaan, serta masih lemahnya posisi tawar warga masyarakat terhadap pejabat birokrasi, menunjukkan bahwa mind-set birokrasi dalam memberikan pelayanan masih belum banyak mengalami perubahan seperti yang diharapkan. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai- nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Penelitian ini untuk mengevaluasi sekaligus hendak menjawab tiga pertanyaan yaitu pertama mengapa kinerja birokrasi belum dapat memuaskan masyarakat meskipun berbagai kebijakan telah dibeanahi dalam rangka pencapaian kinerja yang baik. Kedua faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya korupsi birokrasi. Ketiga hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam rangka memperkuat integritas birokrasi Untuk memandu pengumpulan data dan analisis, maka penelitian ini menggunakan teori etika dan birokrasi. Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama manusia. 3 Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma- norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia. 4 . Sedangkan pengertian birokrasi jika dalam praktik dijabarkan sebagai PNS. Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan, birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, 3 Abd Haris, Pengantar Etika Islam. Sidoarjo: Al-Afkar, 2007, 3. 4 Fathoni, Naimah. Konsep Etika Birokrasi Pemerintah .2009. Jakarta: Medik. Hlm. 31 aparat dan system serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan. 5 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif . Proses pengumpulan data primer dilakukan melalui forum group discussion yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi, media dan perguruan tinggi. Data skunder diperoleh dari Dokumen Laporan pemerintahan. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi data reduction , data display serta conclusion drawing verification . 6

2. Faktor