Faktor Etika Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi | Liando | JURNAL EKSEKUTIF 15100 30307 1 SM

berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik. Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Kata “etika” dibedakan dengan kata “etik” dan “etiket”. Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara hubungan baik sesama manusia. 3 Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma- norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia. 4 . Sedangkan pengertian birokrasi jika dalam praktik dijabarkan sebagai PNS. Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan, birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, 3 Abd Haris, Pengantar Etika Islam. Sidoarjo: Al-Afkar, 2007, 3. 4 Fathoni, Naimah. Konsep Etika Birokrasi Pemerintah .2009. Jakarta: Medik. Hlm. 31 aparat dan system serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan. 5 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif . Proses pengumpulan data primer dilakukan melalui forum group discussion yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi, media dan perguruan tinggi. Data skunder diperoleh dari Dokumen Laporan pemerintahan. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi data reduction , data display serta conclusion drawing verification . 6

2. Faktor

Buruknya Kinerja Birokrasi Seperti disebutkan diatas bahwa buruknya kinerja birokrasi lebih disebabkan oleh faktor manajemen rekrutmen kepegawaian itu sendiri. Selama ini rekrutmen kerap tidak diawali dengan proses 5 Dwidyanto, Agus. 2004 Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia . Yogyakarta : GADJAH 6 Miles, Mathew B., and A. Michael Huberman. 1984. Qualitative data Analysis: A Source book of New Members . Beverly Hills,CA: SAGE. hal 133 perencanaan dan pengawasan. Idealnya rekrutmen itu dilakukan berdasarkan kebutuhan pegawai akibat kekurangan pegawai yang dialami organisasi. Kekurangan pegawai bisa saja terjadi karena ada pegawai yang pensiun, meninggal, berhenti bekerja, penambahan organisasi baru ataupun pencarian tenaga pegawai berdasarkan keahlian khusus akibat ada kebijakan baru. Membludaknya jumlah pegawai diberbagai daerah merupakan suatu pertanda bahwa manajemen perencanaan perekrutan tidak dilakukan dengan baik. Permasalahan membludaknya jumlah pegawai inilah sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium penerimaan CPNS sampai waktu yang belum ditentukan. Banyak peristiwa penangkapan pegawai daerah yang sedang berkeliaran di mall, restoran, warung kopi hingga diberbagai penginapan pada saat jam kantor. Sebagian dari mereka mengakui bahwa mereka mengalami kejenuhan di kantor akibat tidak ada lagi pekerjaan yang hendak dikerjakan. Analisis jabatan dalam organsasi publik sangatlah penting, karena dapat diketahui kebutuhan pegawai dari apek jumlah maupun kehalian. Menurut Sofyandi 7 analisis jabatan job analysis merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengetahui mengenai isi dari suatu jabatan job content yang meliputi tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan, tanggung jawab, kewenangan, dan kondisi kerja, dan mengenai syarat- syarat kualifikasi yang dibutuhkan job requirements seperti pendidikan, keahlian, kemampuan, pengalaman kerja, dan lain-lain, agar seseorang dapat menjalankan tugas-tugas dalam suatu jabatan dengan baik. Rekrutmen tetap dilakukan meski jumlah pegawai masih tersedia dan kerap tidak memperhatikan kebutuhannya. Akhirnya jumlah pegawai membludak dan dipenuhi oleh pegawai-pegawai adminsitrastif. Kemudian promosi yang dilakukan kerap juga tidak didasarkan pada keahlian, pengalaman maupun pendidikan dari seseorang tertentu untuk jabatan tertentu. Penyebabnya hanya karena ada unsur kedekatan emosional antara pejabat yang diangkat dengan pejabat yang mengangkat. Kedua fenomena ini 7 Herman Sofyandi, 2008, Manajemen Sumber Daya Manusia , Edisi Pertama, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. kebanyakan ditimbulkan dari efek pemilukada dan korupsi. Selanjutnya permasalahan manajemen kepegawaian disebabkan oleh ketidaktepatan pegawai antara pendididikan dan keahlian dengan penempatan tugas. Salah satu sebab kurangnya profesionalisme pegawai daerah disebabkan tidak adanya korelasi antara pendidikan yang ia sandang dengan pekerjaan yang ia kerjakan. Profesor Djadja Saefullah 2008:12 mengatakan dalam pengertian umum profesionalisme berisi pemahaman bahwa setiap jabatan dalam lembaga birokrasi harus diisi oleh orang-orang yang mempunyai pendidikan dan kemampuan sesuai dengan jabatan yang bersangkutan. Dilihat dari teori manajemen kepegawaian atau sekarang lebih populer dengan teori managemen sumber daya manusia, untuk memperoleh tenaga-tenaga profesional harus dimulai dari sistem pemilihan dan penempatan yang tepat. Ketepatan ini tidak hanya bergantung pada job spesification yang melekat pada orang yang akan dipilih tetapi lebih dahulu pada job deskription yang sudah ditentuan lebih dahulu. Dengan kata lain, bukan mencari tempat yang sesuai dengan orang yang sudah tersedia, tetapi sebaliknya, mencari orang yang sesuai dengan pekerjaan yang sudah ditentukan. Lembaga birokrasi bisa diisi dengan tenaga- tenaga dari mana saja asal sesuai dengan tugas-tugas yang ada dalam lembaga yang bersangkutan. Kemudian promosi pegawai pada jabatan-jabatan strategis yang tidak lagi memperhatikan Daftar Urut Kepangkatan, pengalaman kerja, pendidikan dan keahlian serta faktor senioritas. Semuanya hanya didasarkan pada faktor like and dislike dari atasan yang mengangkatnya. Akibatnya pegawai yang diangkat tanpa proses yang normal tersebut akhirnya lebih cenderung loyal pada atasannya ketimbang memperhatikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Dwiyanto dan Kusumasari, 2001 bahwa dalam birokrasi di Indonesia pegawai adalah dalam rangka melayani pimpinan. Loyalitas kepada pimpinan sangat tinggi karena menentukan dalam kenaikan jabatan. Sedangkan pelayanan kepada masyarakat menjadi terbengkalai dan dinomorduakan. Kedua, faktor kultural, yaitu adanya ikatan kekerabatan untuk mendahulukan lingkungan terdekat. terdapat beberapa faktor utama penyebab diskriminasi dalam pelayanan publik. Lemahnya pengawasan juga menjadi sebab buruknya kinerja birokrasi. Lembaga pengawas kinerja birokrasi didaerah tidak optimal dari segi kelembagaan. Lembaga pengawas dalam hal ini Inspektorat Daerah merupakan bagian dari SKPD. Ada semangat korps yang terbangun antara sesama SKPD yang dengan demikian sangalah sulit untuk melakukan pengawasan. Kemudian karakter birokrat yang masih terpola pada kebiasaan lama yakni pegawai harus dihormati dan dilayani. Pegawai Negeri Sipil selalu terikat dengan ststus sosial. Sebagian orang menganggap bahwa menjadi PNS adalah untuk meningktakan status sosial yang daripadanya harus selalu dihormati oleh orang lain dan kerap merasa terhina jika harus melayani orang lain terutama kalangan orang miskin. Oleh karena status sosial inilah sehingga banyak yang harus merelakan menjual sawah atau kebun hanya karena ingin mendambakan menjadi PNS.

3. Korupsi Birokrasi