Latar Belakang. Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Harmonisasi Hukum Pengaturan Cyber Crime Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Nani Mulyati, Lucky Raspati, Febri Oknali dan Shinta Agustina Fakultas Hukum Abstrak Perkembangan teknologi informasi menimbulkan dampak positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak negatifnya adalah timbulnya kejahatan baru yang menggunakan komputer dan jaringannya, baik sebagai target kejahatan maupun sebagai alat atau sarana kejahatan cyber crime. Pemerintah telah mengundangkan UU ITE sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, dan mulai berlaku tahun 2008. Agar UU tersebut dapat efektif mencapai tujuan diberlakukannya, maka perlu dilakukan kajian sejauhmana penyusunan UU tersebut telah mengakomodir bentuk-bentuk cyber crime yang dikenal selama ini, baik dalam instrumen hukum internasional maupun yang terjadi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dari hasil kajian terlihat bahwa masih ada bentuk cyber crime yang belum diatur dalam UU ITE, di antaranya adalah spamming, yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis namun menimbulkan gangguan dan perasaan tidak menyenangkan pada pihak korban. Di sisi lain pengaturan kerjasama antar penegak hukum maupun kerjasama internasional dalam UU masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut, agar penerapan UU ini dapat efektif menanggulangi cyber crime yang seringkali bersifat lintas batas teritorial.

C. Latar Belakang.

Kemajuan teknologi informasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru dengan struktur global yang sekat-sekat antar negara semakin memudar borderless. Sistem nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang bersifat lokal menjadi universal. Hal ini pada akhirnya akan membawa dampak pada pergeseran nilai, norma, moral dan kesusilaan. Dengan ditemukannya komputer sebagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadilah konvergensi antara teknologi telekomunikasi, media dan komputer. Konvergensi ketiga hal itu menghasilkan sarana telekomunikasi yang baru, yang dikenal harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 1 dengan internet. Hal terakhir ini kemudian membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. 1 Internet merupakan sekumpulan jaringan komputer yang menghubungkan situs akdemik, pemerintah, komersial, organisasi, maupun perorangan. Internet menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia. 2 Melalui internet manusia dapat melakukan aktivitas layaknya kehidupan di dunia nyata real. 3 Manusia dapat melakukan aktivitas sosial, pendidikan, dan juga usaha transaksi bisnis melalui internet. Dengan media ini kita tidak perlu bertemu langsung dengan rekanan bisnis untuk melakukan suatu kontrak bisnis atau apa pun juga. Media ini sedemikian rupa telah memberi banyak kemanfaatan kepada umat manusia. Namun demikian, media internet sebagaimana juga komputer sebagai perangkat keras-nya, mempunyai dampak negatif yaitu menimbulkan kejahatan baru. Sifat hedonisme manusia, yang selalu mengejar kesenangan, tapi seringkali tanpa mau berusaha, membawa sebagian orang kepada cara-cara instan untuk mengejar kekayaan. Kemampuan mengoperasikan komputer dan pemahaman yang baik akan cara kerja usaha di media internet, dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mencari keuntungan pribadi dengan menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kejahatan yang timbul di dunia maya dikenal dengan istilah cyber crime, atau kejahatan mayantara. 4 Berbagai perbuatan yang berkaitan dengan internet dan komputer yang terjadi menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara materil maupun immateril. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh seseorang dari suatu tempat yang sangat pribadi kamar tidur misalnya tapi menimbulkan kerugian pada seseorang, atau institusi di tempat lain, yang terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer, bahkan seringkali bersifat lintas batas teritorial. Dengan demikian kejahatan ini kemudian membawa sifat 1 Agus Rahardjo 2002. Cyber Crime: Pemahaman dan Upaya Penanggulangan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, hlm 20. 2 Abdul Wahid dan Muhammad Labib 2005. Kejahatan Mayantara cyber crime.Bandung: PT Rafika Aditama, hlm 6. 3 Ninik Suparni 2001. Masalah Cyberspace: Problematika Hukum dan Antisipasi Permasalahannya. Jakarta: Fortuna Mandiri Karya, hlm 41. 4 Barda Nawawi Arief 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti, hlm 25. harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 2 transnational crimes, yaitu kejahatan yang bersifat lintas batas territorial transnational boundaries. Indonesia sebagai salah satu bagian dari negara bangsa di dunia, termasuk negara dalam daftar hitam blacklist dunia perdagangan melalui internet e-commerce. Hal ini disebabkan banyaknya penyalahgunaan jaringan internet, khususnya dalam pemesanan barang-barang melalui internet. 5 Kondisi ini merugikan Indonesia, khususnya dunia perdangangan melalui internet, karena transaksi internet menggunakan kartu yang dikeluarkan oleh pihak perbankan Indonesia langsung ditolak oleh pihak luar negeri. Sebagai suatu bentuk kejahatan baru, cyber crime belum diatur dalam suatu produk hukum apapun di negara kita, hingga awal tahun 2008 yang lalu. Ketika berbagai negara di belahan dunia telah melakukan pembaruan dalam bidang hukum pidananya, guna mengantisipasi bentuk kejahatan ini, konsep KUHP Baru yang disusun sejak tahun 1972 belum juga selesai. 6 Di pihak lain tindak pidana jenis ini sudah sering terjadi, sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam penegakan hukumnya.. Dalam berbagai kasus cyber crime yang ditemui, terlihat upaya penegak hukum untuk melakukan kebijakan aplikatif dalam menanganinya. Kebijakan dimaksud adalah mengenakan pasal-pasal KUHP terhadap kasus-kasus cyber crime dengan melakukan metoda penafsiran hukum yang tersedia, baik penafsiran gramatika, penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif sampai kepada analogi. Namun penerapan hukum yang demikian membawa resiko kepada timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, sebab tidak semua penegak hukum polisi, jaksa, hakim mempunyai persepsi yang sama terhadap metode penafsiran yang digunakan. Khusus terhadap cyber crime masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli dan penegak hukum, apakah terhadap peristiwa cyber crime dapat diterapkan ketentuan KUHP atau tidak. Sebagian pakar menyetujui penerapan pasal-pasal KUHP, namun perlu dikaji terlebih dahulu masing-masing bentuk perbuatan cyber crime tersebut, terutama 5 Ilhamd Wahyudi 2006. Kebijakan Pidana Terhadap Kejahatan Mayantara. Tesis. Program Pascasarjana Unand-Unri. Padang, hlm 5. 6 Konsep KUHP Nasional telah mengalami beberapa kali perbaikan seiring dengan pergantian Tim Penyusun Konsep tersebut. Konsep terakhir direvisi pada tahun 2004, sehingga sering disebut dengan Konsep KUHP tahun 2004. Konsep tersebut sudah disampaikan ke Sekretariat Negara untuk diajukan ke DPR guna dibahas dan disetujui untuk mengganti KUHP peninggalan zaman kolonial yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk salah satunya dalam menghadapi cyber crime ini. harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 3 dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatannya yang kemudian akan ditarik dengan pasal- pasal tertentu yang relevan. 7 Sebagai contoh salah satu bentuk cyber crime adalah hacking yang pelakunya disebut hacker. Hacking adalah bentuk pertama dari kejahatan ini first crime sebagaimana ditetapkan oleh Kongres PBB ke X di Wina tahun 2000. Hal ini disebabkan bentuk perbuatan ini merupakan sesuatu yang istimewa, karena mempunyai kelebihan dari bentuk cyber crime lainnya. Diantaranya adalah bahwa pelaku kejahatan ini sudah barang tentu dapat melakukan cyber crime lainnya. Berikutnya secara teknis imbas dari aktivitas hacking menghasilkan kualitas akibat yang lebih serius dibandingkan dengan bentuk cyber crime lainnya. Untuk menyebarkan gambar porno atau cyber pornography, orang tidak perlu kemampuan hacking, cukup kemampuan minimal internet. 8 Seorang hacker dalam melakukan aksinya melalui beberapa tahapan, sebagai berikut: 9 1. mencari sistem komputer yang hendak dimasuki; 2. menyusup dan menyadap password; 3. menjelajahi sistem komputer; 4. membuat backdoor dan menghilangkan jejak. Dalam dunia nyata perbuatan ini dapat dianalogikan dengan memasuki suatu wilayah tanpa izin. Dalam KUHP perbuatan ini diatur dalam Pasal 167 KUHP, yang unsur-unsurnya antara lain: Ayat 1: 1. barang siapa dengan melawan hak orang lain; 2. masuk dengan memaksa; 3. ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai oleh orang lain; 4. sedang disitu tidak ada haknya; 5. tidak segera pergi dari tempat itu; 6. atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak; Ayat 2: 1. barang siapa; 2. masuk; 3. dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu; 7 Lucky Raspati 2007. Cyber Crime Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Delicti Nomor 2 Volume 2, Padang: Fakultas Hukum-UNAND, hlm 57. 8 Agus Raharjo, op.cit, hlm 200. 9 Abdul Wahid dan Muhammad Labib. Op.cit, hlm 89. harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 4 4. atau barang siapa; 5. dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru, masuk ke tempat tersebut tadi. Dari berbagai unsur perbuatan yang terdapat dalam Pasal 167 ayat 1 dan 2 KUHP tersebut, timbul berbagai pertanyaan jika dikaitkan dengan perbuatan hacking. Pertanyaan tersebut adalah; apakah sistem komputer seseorang atau sebuah organisasi, atau website dalam jaringan komputer internet dapat dikategorikan sebagai objek yang diatur dalam Pasal 167 KUHP? Dengan kata lain apakah dapat disamakan memasuki sistem komputer orang lain dengan memasuki pekarangan atau rumah orang lain? Apakah menyadap password dapat disamakan dengan menggunakan kunci palsu sebagaimana diatur dalam pasal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka hakim harus melakukan penafsiran ekstensif atau analogi, yang penggunaannya dalam hukum pidana masih menimbulkan perdebatan. Model penegakan hukum dengan kebijakan aplikatif, yang membutuhkan penafsiran meluas seperti di atas, menimbulkan ketidakpuasan di banyak kalangan. Ketidakpuasan tersebut karena perbedaan persepsi di antara penegak hukum yang menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum, sampai kepada ancaman pidana dalam pasal-pasal KUHP yang tidak sebanding dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh cyber crime. Desakan kepada pemerintah untuk segera meregulasi bentuk kejahatan ini akhirnya terjawab ketika pemerintah bersama DPR menyetujui untuk memberlakukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya ditulis UU ITE. Meski tidak secara khusus merupakan undang-undang tentang cyber crime, beberapa pasal dalam undang-undang tersebut mengatur tentang cyber crime. Pengaturan suatu permasalahan hukum, termasuk kejahatan, apalagi yang bersifat transnasional, tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan yang terjadi di dunia internasional. Dengan kata lain dalam melakukan regulasi tersebut pemerintah dituntut untuk melakukan harmonisasi hukum dengan instrumen hukum internasional. Hal ini perlu dilakukan agar peraturan yang dibuat dapat diberlakukan secara efektif, karena mendapat dukungan dari dunia intenasional. Penanganan cyber crime yang bersifat transnasional membutuhkan kerjasama dan bantuan hukum mutual legal assistance dari harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 5 negara lain, baik dalam penyelidikan, penyidikan, maupun transfer pelaku ektradisi. Hal ini tidak akan terjadi jika peraturan tentang cyber crime di negara kita berbeda dengan peraturan internasional, yang diakui oleh banyak negara. Oleh karena UU ITE baru diundangkan setahun yang lalu, maka perlu sebuah kajian yang kritis terhadap pasal-pasal yang mengatur cyber crime dalam UU tersebut. Hal ini penting dilakukan karena alasan perlunya harmonisasi hukum di atas, di samping juga karena fakta terbaru bahwa Pasal 27 ayat 3 UU tersebut ternyata dimohonkan uji materil ke Mahkamah Konstitusi. 10 Permohonan uji materil ini menunjukkan bahwa ada pengaturan dalam UU tersebut yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, ataupun dapat menimbulkan permasalahan dalam praktik. D.Permasalahan. 1. Sejauhmana UU ITE mengakomodir bentuk-bentuk cyber crime dalam intrumen hukum internasional? 2. Sejauhmana UU ITE mengatur kebutuhan kerjasama dalam penegakan hukum cyber crime? E.Istilah, Pengertian, dan Bentuk-bentuk Cyber Crime. Ada berbagai istilah yang dikenal dalam tulisan dan praktik penegakan hukum terhadap kejahatan yang terjadi di dunia maya ini. Diantaranya: 1. kejahatan komputer; 2. kejahatan siber; 3. kejahatan yang berhubungan dengan komputer; 4. kejahatan mayantara; 5. cyber crime. Dalam beberapa literatur, cyber crime sering diidentikan dengan computer crime. US Departement of Justice merumuskan computer crime secara sempit, yaitu “setiap perbuatan melawan hukum dimana pengetahuan komputer diperlukan untuk pelaksanaan penyidikan atau penuntutan” any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration, investigation or prosecution. 11 Sementara 10 Harian Kompas, Rabu 21 Januari 2009, hlm 2 11 Eddy Junaedi Kartasudirja 1999. Bahaya Kejahatan Komputer. Jakarta: Tanjung Agung, hlm 2 harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 6 Indra Safitri mengemukakan, kejahatan dunia maya adalah “sejenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas”. 12 Dalam laporan Kongres PBB ke X Tahun 2000 tentang The Prevention of crime and The treatment Of Offender, ditemui dua kategori untuk cyber crime yaitu: 1. Cyber crime in a narrow sense computer crime, any illegal behavior directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them; 2. Cyber crime in a broader sense computer related crimes, any illegal behavior committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possessions, offering or distributing information by means of a computer system or network. Dari pengertian di atas maka dapat dimasukkan dalam klasifikasi pertama, perbuatan yang baru ada atau dikenal setelah dunia mengenal komputer, karena komputer dan data atau sistem yang ada di dalamnya sebagai target kejahatan computer crime. Sedangkan dalam kategori kedua termasuk perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya telah dikenal sebelum adanya teknologi komputer, namun sejak ditemukannya komputer lalu dilakukan dengan media komputer cyber crime. Dari berbagai definisi cyber crime di atas, kita lihat kemudian berbagai bentuk perbuatan yang termasuk kategori kejahatan ini. Dengan merujuk kepada European Covention on Cyber Crime tahun 2001, maka perbuatan tersebut antara lain: 1. Delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer, yaitu: a. mengakses sistem komputer tanpa hak illegal acces; b. Tanpa hak menangkapmendengar pengiriman dan pemancaran illegal interception; c. tanpa hak merusak data data interference; d. tanpa hak mengganggu sistem system interference; 12 Indra Safitri sebagaimana dikutip dalam Ilhamd Wahyudi. Op.cit., hlm 20. harmonisasi hukum cyber crimeshinta-nanidipa09 7 e. menyalahgunakan perlengkapan misuse of device. 2. Delik-delik yang berhubungan dengan komputer, pemalsuan, dan penipuan computer related offences; forgery and fraud; 3. Delik-delik yang bermuatan pornografi anak content-related offences, child pornography; 4. Delik-delik yang berhubungan dengan hak cipta offences related of infringements of copyrights. Berbagai bentuk perbuatan cyber crime dalam European Convention di atas menjadi sandaran untuk menilai pengaturan cyber crime dalam UU ITE dan menilai sejauhmana terdapat harmonisasi hukum dalam pengaturan tersebut. Pengaturan cyber crime dalam European Convention tersebut merupakan pengaturan yang paling komprehensif, dan sebagai suatu instrumen hukum internasional diakui oleh banyak negara.

F. Harmonisasi Hukum dalam Kriminalisasi Tindak Pidana.

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Nasabah Bank Dalam Cyber Crime Terhadap Internet Banking Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

4 66 152

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

Prostitusi Online Dilihat Dari Instrumen Hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik

1 77 107

STUDI KOMPARASI PENGATURAN ALAT BUKTI DAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU CYBER CRIME ANTARA UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN THE AUSTRALIAN CYBER CRIME ACT OF 2001

0 2 72

SINKRONISASI PENGATURAN TINDAK KEJAHATAN DUNIA MAYA (CYBER CRIME) ANTARA COUNCIL OF EUROPE CYBER CONVENTION DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

0 1 13

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

2 8 65

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM.

0 1 104

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan

0 1 45