Profil Kasus Endometrosis di Poloklinik Genekologi RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012
PROFIL KASUS ENDOMETRIOSIS DI POLIKLINIK GINEKOLOGI
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2010-2012
T E S I S
OLEH :
MASITHAH THAHARUDDIN
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat ridho dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang magister kedokteran klinik. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan pustaka, dengan judul:
“PROFIL KASUS ENDOMETRIOSIS DI POLIKLINIK GINEKOLOGI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2010-2012”
Dengan selesainya penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (KGEH) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Universitas Sumatera Utara.
Prof. dr Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
(3)
Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) dan Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K), selaku ketua dan sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU, Medan.
Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK USU, Medan.
Kepada : Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG. K, dr. Indra G. Munthe, SpOG. K sebagai pembimbing dan kepada Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M. Ked (OG), SpOG. K, dr. Hotma Partogi Pasaribu, M. Ked(OG), SpOG, dr. Iman Helmi Effendi, M. Ked(OG), SpOG. K sebagai pembanding tesis saya.
Terimakasih kepada para guru saya di tim 5, atas segala koreksi, kritik yang membangun, serta atas segala bantuan, bimbingan, juga waktu dan pikiran yang telah diluangkan dengan penuh kesabaran, dalam rangka melengkapi penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat terselesaikan.
Para guru-guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi, RSU Haji Mina, RS Tembakau Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II Putri Hijau, Medan, yang telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.
(4)
Kepada senior-senior, teman seangkatan dan rekan-rekan PPDS saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan selama ini.
Hormat dan terimakasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang tersayang ayahanda alm. Haji Thaharuddin dan Ibunda Chadijah yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya. Kepada saudara-saudara saya dan kepada M.Syaffan ST,terimakasih atas dukungan dan bantuan kepada saya selama menjalani pendidikan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.
Medan, Mei 2015
(5)
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
DAFTAR SINGKATAN ABSTRAK
(6)
PROFIL KASUS ENDOMETRIOSIS DI POLIKLINIK GINEKOLOGI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2010 - 2012
Masithah Thaharuddin, Delfi Lutan, Indra G.Munthe, Fidel Ganis Siregar, Hotma Partogi Pasaribu, Iman Helmi Effendi.
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TUJUAN: Untuk mengetahui profil penderita endometriosis di RSUP Haji Adam Malik Medan selama 3 tahun (2010- 2012) meliputi usia, menarke, status haid, paritas,keluhan,Kadar CA125,penatalaksanaan dan untuk mengetahui hubungan karakteristik penderita endometriosis yang meliputi umur, keluhan, dan paritas dengan kadar CA 125.
METODE:Penelitian bersifat deskriptif retrospektif.Analisa data berdasarkan data yang dikumpulkan melalui data sekunder yang dikumpulkan melalui rekam medik pasien yang berobat pada poli ginekologi dalam kurun waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2012. Data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi atau diagram. Untuk menganalisa perbedaan antar variabel dilakukan uji statistik dengan uji kai kuadrat dan uji Fisher exact
HASIL: Karakteristik wanita dengan endometriosis pada penelitian ini adalah umumnya pada usia 32-42 tahun, dengan usia menarke seluruhnya ≥ 10 tahun, umumnya masih mengalami haid, lebih banyak pada kelompok nulipara. Keluhan utama terbanyak adalah nyeri haid diikuti dengan infertilitas dan kadar CA 125 yang terbanyak > 35 ng/dl..
KESIMPULAN: Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, keluhan dan paritas penderita endometriosis dengan kadar CA 125.
Kata Kunci : Endometriosi,usia,menarke,status haid,paritas,keluhan,CA 125, penatalaksanaaan.
(7)
ENDOMETRIOSIS PROFILES IN GYNAECOLOGY OUTPATIENT CLINIC AT ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL FROM 2010 – 2012
Masitah Thaharuddin, Delfi Lutan, Indra G. Munthe, Fidel Ganis Siregar, Hotma Partogi Pasaribu, Iman Helmi Effendi
Obstetric and Gynaecology Department Sumatera Utara Medical Faculty
ABSTRACT
OBJECTIVE : To determine profiles of endometriosis patients at Adam Malik General Hospital from 2010 to 2012, that included parity, complains, CA 125 levels treatment and to determine the association between characteristic of these patient (age, complain, and parity) with CA 125 levels.
METHOD : This descriptive retrospective studies analized secondary datas collected from medical recorcds of patient of visiting of the genology outpatient clinic from January 1st until 31st
RESULTS : Characteristic of wemen of endometriosis in this study shows that they were predominately age 32-42 years old, menache at ≥ 10 years old, generally still menstrustion an nulliparous. Most subject complain menstrual pain, followed by infertility. Most subject had CA 125 levels > 35 ng/dl.
2012. The data will tabulated and presentated with distribution tables and diagram. Chi quadrat test and Fisher Exact test was used to analized the differenced with two variables.
CONCLUSION : Age, complains and parity in patient with endometriosis was not associated with CA 125 levels.
(8)
PROFIL KASUS ENDOMETRIOSIS DI POLIKLINIK GINEKOLOGI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2010 - 2012
Masithah Thaharuddin, Delfi Lutan, Indra G.Munthe, Fidel Ganis Siregar, Hotma Partogi Pasaribu, Iman Helmi Effendi.
Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TUJUAN: Untuk mengetahui profil penderita endometriosis di RSUP Haji Adam Malik Medan selama 3 tahun (2010- 2012) meliputi usia, menarke, status haid, paritas,keluhan,Kadar CA125,penatalaksanaan dan untuk mengetahui hubungan karakteristik penderita endometriosis yang meliputi umur, keluhan, dan paritas dengan kadar CA 125.
METODE:Penelitian bersifat deskriptif retrospektif.Analisa data berdasarkan data yang dikumpulkan melalui data sekunder yang dikumpulkan melalui rekam medik pasien yang berobat pada poli ginekologi dalam kurun waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2012. Data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi atau diagram. Untuk menganalisa perbedaan antar variabel dilakukan uji statistik dengan uji kai kuadrat dan uji Fisher exact
HASIL: Karakteristik wanita dengan endometriosis pada penelitian ini adalah umumnya pada usia 32-42 tahun, dengan usia menarke seluruhnya ≥ 10 tahun, umumnya masih mengalami haid, lebih banyak pada kelompok nulipara. Keluhan utama terbanyak adalah nyeri haid diikuti dengan infertilitas dan kadar CA 125 yang terbanyak > 35 ng/dl..
KESIMPULAN: Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, keluhan dan paritas penderita endometriosis dengan kadar CA 125.
Kata Kunci : Endometriosi,usia,menarke,status haid,paritas,keluhan,CA 125, penatalaksanaaan.
(9)
ENDOMETRIOSIS PROFILES IN GYNAECOLOGY OUTPATIENT CLINIC AT ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL FROM 2010 – 2012
Masitah Thaharuddin, Delfi Lutan, Indra G. Munthe, Fidel Ganis Siregar, Hotma Partogi Pasaribu, Iman Helmi Effendi
Obstetric and Gynaecology Department Sumatera Utara Medical Faculty
ABSTRACT
OBJECTIVE : To determine profiles of endometriosis patients at Adam Malik General Hospital from 2010 to 2012, that included parity, complains, CA 125 levels treatment and to determine the association between characteristic of these patient (age, complain, and parity) with CA 125 levels.
METHOD : This descriptive retrospective studies analized secondary datas collected from medical recorcds of patient of visiting of the genology outpatient clinic from January 1st until 31st
RESULTS : Characteristic of wemen of endometriosis in this study shows that they were predominately age 32-42 years old, menache at ≥ 10 years old, generally still menstrustion an nulliparous. Most subject complain menstrual pain, followed by infertility. Most subject had CA 125 levels > 35 ng/dl.
2012. The data will tabulated and presentated with distribution tables and diagram. Chi quadrat test and Fisher Exact test was used to analized the differenced with two variables.
CONCLUSION : Age, complains and parity in patient with endometriosis was not associated with CA 125 levels.
(10)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endometriosis merupakan penyakit jinak yang didefenisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrium diluar uterus dan dihubungkan dengan nyeri panggul, termasuk nyeri yang bersifat siklik, dismenorrhea, dispareunia, disuria, dischezia dan infertilitas. Jaringan endometrium ektopik ini biasanya berlokasi di panggul tetapi bisa juga terlihat di berbagai tempat ditubuh.
Endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi, dijumpai sekitar 3-10%. Insidennya yang pasti belum diketahui, namun prevalensinya pada kelompok tertentu cukup tinggi. Misalnya, pada kelompok wanita dengan infertilitas yang belum diketahui penyebabnya ditemukan endometriosis sebanyaknya 70-80%; sedangkan pada kelompok wanita dengan infertilitas primer ditemukan endometriosis sebanyak 25%. Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Evers mendapatkan angka kejadian endometriosis pada 60-80% wanita dengan dismenore, 30-50% wanita dengan keluhan nyeri perut, dan 30-40% wanita dengan infertilitas. Angka kejadian yang cukup tinggi ini menempatkan endometriosis menjadi salah satu masalah reproduksi yang utama saat ini.
1,2
Penelitian di Boston mendapatkan 70% remaja dengan nyeri panggul kronik yang tidak memberi respons dengan pil kontrasepsi
(11)
mempunyai endometriosis yang dibuktikan dengan laparoskopi.Sebanyak 20–60% penderita endometriosis mengalami infertilitas. Pada infertilitas primer kejadiannya sebesar 25% sedangkan pada infertilitas sekunder sebanyak 15%.Bila wanita infertil disertai nyeri maka kemungkinan mempunyai endometriosis meningkat menjadi 80%. Pada wanita dengan nyeri panggul kronik tetapi tidak infertil insidensinya sekitar 70%. Walaupun endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi, tetapi telah dilaporkan bahwa endometriosis juga terjadi pada remaja dan wanita pasca menopause yang sedang mendapat terapi sulih hormon.
Adanya tanda secara klinis digunakan untuk sistem klasifikasi endometriosis dan memberikan suatu pemahaman tentang pembentukan dan patofisiologi penyakit ini. Patofisiologi endometriosis berubah seiring evolusinya. Sistem klasifikasi fungsional endometriosis sangat diperlukan. Implantasi endometriosis telah diketahui untuk membedakan aktivitas fungsionalnya,implantasi berwarna merah seperti petechial paling banyak memproduksi prostaglandin, implantasi berwarna coklat menghasilkan prostaglandin dalam jumlah yang lebih sedikit dan implantasi berwarna hitam memproduksi prostaglandin dalam jumlah yang sangat sedikit. Implantasi endometrial secara bebas lebih dihubungkan dengan infertilitas dan implantasi aktif didaerah pelvis berhubungan dengan rasa nyeri.
5,6,7
8
Belum ditemukan adanya data mengenai profil penderita endometrosis di Poli Ginekologi RSHAM.
(12)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil penderita endometriosis di poliklinik ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010- 31 Desember 2012 ?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil penderita endometriosis di RSUP Haji Adam Malik Medan selama 3 tahun (2010- 2012).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita endometriosis meliputi usia, menarke, status haid, paritas.
1. Untuk mengetahui keluhan penderita endometriosis 2. Untuk mengetahui Kadar CA125 penderita endometriosis 3. Untuk mengetahui penatalaksanaan penderita
endometriosis
4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik penderita endometriosis yang meliputi umur, keluhan, dan paritas dengan kadar CA 125.
(13)
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai endometriosis, sehingga dapat menyadari pentingnya penanganan awal pada kasus endometriosis.
(14)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Endometriosis merupakan penyakit jinak yang didefenisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrium diluar uterus dan dihubungkan dengan nyeri panggul, termasuk nyeri yang bersifat siklik, dysmenorrhea, dyspareunia, dysuria, dyschezia dan infertilitas. Jaringan endometrium ektopik ini biasanya berlokasi di panggul tetapi bisa juga terlihat di berbagai tempat ditubuh. 1,2
2.2 Patogenesis dari Endometriosis
Teori arus balik menstruasi
Salah satu penyebab potensial dari penyakit ini adalah arus balik menstruasi yang menghasilkan penumpukan jaringan endometrium pada rongga peritoneum. Penelitian terhadap binatang menunjukkan jika sel endometrium menumpuk di rongga peritoneum, akan terbentuk lesi yang sama dengan lesi endometriosis pada wanita. Baboon digunakan sebagai hewan percobaan untuk memahami kejadian awal dan perkembangan yang berhubungan dengan munculnya penyakit ini. Jika darah menstruasi diletakkan pada peritoneum hewan yang bebas penyakit, akan terbentuk lesi ektopik. Selanjutnya, seiring waktu akan terjadi perkembangan dan perubahan yang dapat diamati pada ektopik dan eutopik endometrium secara bersamaan. 9,10
(15)
Tidak adekuatnya penghancuran debris dari refluks menstruasi, dipasangkan dengan adanya kemampuan jaringan endometrium yang terlepas untuk menghindari respon alami imun dan dengan cepat menginvasi peritoneum, hal ini merupakan faktor yang paling berperan pada wanita untuk mengalami endometriosis. Dalam hal ini, makrofag merupakan sel imunitas primer didalam rongga peritoneum yang berperan untuk mengeliminasi debris selular dan sel apoptosis, termasuk penumpukan jaringan endometrium akibat arus balik menstruasi.
Penyebaran melalui kelenjar limph atau pembuluh darah
11
Banyak bukti yang menyokong konsep terjadinya endometriosis akibat penyebaran jaringan endometrium melalui saluran limfatik atau pembuluh darah. Dijumpainya endometriosis pada tempat yang tidak lazim, seperti pada perineum atau selangkangan, mendukung teori ini. Regio retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang sangat banyak. Karenanya, kasus dimana tidak adanya implantasi pada peritoneal , tetapi terdapat lesi retroperitoneal yang cukup jelas, menunjukkan penyebaran secara limfatik. Sebagai tambahan. Kecenderungan penyebaran adenocarcinoma endometrium melalui jalur limfatik juga mengindikasikan adanya kemungkinan transport endometrium melalui rute ini. Walaupun teori ini sangat menarik, sedikit sekali penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengevaluasi transmisi endometriosis melalui jalur limfatik.12
(16)
Teori coelomic metaplasia
Teori lainnya menyatakan bahwa epitel peritoneum dapat bertransformasi menjadi jaringan endometrium, mungkin hal ini terjadi karena inflamasi kronis atau iritasi kimiawi akibat arus balik darah menstruasi. Teori “coelomic metaplasia” didasari dengan observasi sel endometrium dan peritoneum yang berasal dari epitel coelomic, hal ini memungkinkan terjadinya transformasi dari satu bentuk sel ke bentuk sel lainnya.
Faktor keturunan
9,13
Ada peningkatan bukti yang menunjukkan kemungkinan endometriosis merupakan penyakit turunan. Temuan terbaru yang mendukung teori ini termasuk resiko keluarga pada manusia dan pada monyet rhesus, efek penunjang yang terdeteksi pada populasi islandia, kejadian yang sama pada kembar identik, munculnya keluhan pada umur yang sama pada saudara kandung yang tidak kembar, prevalensi endometriosis yang meningkat 6 sampai 9 kali pada saudara kandung dibandingkan dengan populasi umum dan gambaran MRI pada saudara kandung wanita dengan endometriosis derajat III-IV 15% prevalensinya menunjukkan endometriosis sesuai dengan classification of the American Society of Reproductive Medicine. Induksi terbentuknya endometriosis pada manusia karena aktivasi genetik allele oncogenic K–ras juga mendukung teori genetik untuk penyakit ini.13
(17)
Ketergantungan pada Hormonal
Aktivasi COX-2 pada sel stroma endometrium terjadi akibat upregulasi PGE2 , stimulator yang kuat untuk aromatase pada sel stroma endometrium. Aktivitas aromatase terjadi akibat aromatisasi androgen intraselular untuk meningkatkan estradiol intraselular melalui suatu mekanisme intracrine. a = androgen; E2 = estradiol; COX-2 = cyclooxygenase 2; PGE2 = prostaglandin E2; IL-1 = interleukin 1 ; VEGF = vascular endothelial growth factor.
Satu faktor yang secara pasti dinyatakan menjadi penyebab terbentuknya endometriosis adalah estrogen. Walaupun kebanyakan estrogen pada wanita secara langsung diproduksi oleh ovarium, berbagai jaringan perifer juga bisa menghasilkan estrogen dengan cara aromatisasi androgen ovarium dan adrenal. Implantasi endometriosis menunjukkan ekspresi dari aromatase dan 17 -hydroxysteroid dehydrogenase tipe 1, enzim ini bertanggung jawab untuk konversi androstenedione menjadi estrone dan estrone menjadi estradiol, secara
(18)
berurutan. Implantasi mengalami defisiensi 17 -hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2, yang menginaktivasi estrogen. Kombinasi enzim ini akan membuat implantasi terpapar pada kondisi estrogenik. Selanjutnya produksi estrogen lokal pada lesi endometriosis akan mengeluarkan efek biologis untuk jaringan atau sel yang sama sesuai tempat produksinya, proses ini dikenal dengan sebutan intracrinology. Sebaliknya, endometrium normal tidak menunjukkan aromatase dan memiliki peningkatan kadar 17 -hydroxysteroid dehydrogenase tipe 2 sebagai respon terhadap progesteron, hal ini melemahkan estrogen sabagai respon terhadap progesteron.Hasilnya progesteron melawan efek estrogen pada endometrium normal selama fase luteal saat siklus haid. Endometriosis, merupakan manifestasi dari resistensi relatif terhadap progesteron, yang mencegah berkurangnya stimulasi estrogen pada jaringan ini.
Prostaglandin E2 (PGE2 ) merupakan pemicu utama aktifitas aromatase pada sel stroma endometrium, bekerja melalui subtipe reseptor prostaglandin EP2. Produksi estradiol merupakan respon terhadap peningkatan aktivitas aromatase yang secara tidak langsung meningkatkan produksi PGE2 dengan menstimulasi enzim cyclooxygenase tipe 2 (COX-2) pada sel endotel uterus. Ini menghasilkan feed back positif dan menambah efek estrogenik terhadap proliferasi endometriosis. Konsep produksi lokal estrogen dan aksi estrogen intracrine pada endometriosis menjadi dasar inhibisi farmakologik dari aktifitas aromatase pada kasus endometriosis sebagai terapi standar.
12,14
(19)
Penyebaran Iatrogenik
Banyak laporan tentang penyebaran transplantasi sel endometrium iatrogenik akibat prosedur operasi ginekologi. Endometriosis pada bekas luka di dinding abdomen yang terjadi setelah operasi seksio sesaria, myomektomi dan hysterotomi. Bertumpuknya eksfoliasi sel endometrium akibat arus menstruasi yang pertumbuhannya terlihat secara
in vitro dan in vivo. Darah haid di suntikkan pada lemak subcutaneous
abdomen wanita yang direncanakan menjalani operasi. Lokasi suntikan kemudian dieksisi untuk pemeriksaan histologi 90–180 hari sebelum tindakan laparotomi. Satu dari delapan wanita memiliki kelenjar endometrium yang viabel pada lokasi implantasi dan yang lainnya memiliki fibrosis dan struktur kelenjar. Pada penelitian sebelumnya terhadap tujuh orang perempuan, satu menjadi endometriosis pada tempat implantasi. Empat lainnya menunjukkan fibrosis dan haemosiderin-laden macrophages dan kelenjar tambahan, yang menunjukkan terjadinya pembentukan endometriosis.
Teori sisa jaringan embrionik
8
Teori akhir menyatakan hipotesa bahwa sisa saluran müllerian bisa berdiferensiasi menjadi jaringan endometrium. Situasi yang mungkin terjadi ini belum begitu jelas, tetapi begitu dijumpai endometrium, hal ini akan menimbulkan gejala yang terjadi secara siklik.9
(20)
2.3 Morfologi
Tiga tipe primer dari endometriosis adalah lesi superfisial peritoneum, endometrioma ovarium dan deep infiltrating endometriosis (DIE). Ketiga tipe lesi ini berhubungan dengan nyeri panggul kronis, lokasi dan kedalam lesi tidak terlalu berpengaruh terhadap nyeri dan lokasi nyeri yang dialami. Bagaimanapun, beberapa karakteristik lesi yang dijumpai saat laparaskopi operatif bisa menjadi prediksi kita terhadap kesuburan.
Endometriosis yang tampak dipermukaan berupa lesi “powder burn” atau “gunshot” pada ovarium, permukaan serosa dan peritoneum-lesi berwarna hitam, coklat kehitaman, atau tonjolan berwarna kebiruan, nodul atau kista kecil mengandung bekas perdarahan yang lama dan dikelilingi oleh beragam bentuk fibrosis. Lesi atipikal atau ‘subtle’ juga sering dijumpai, termasuk implantasi berwarna merah (petechial, vesicular, polypoid, hemorrhagic, red flame-like) dan vesikel serous atau jernih. Tampilan lainnya termasuk plak berwarna putih dan berupa bekas luka (skar) dan peritoneum yang berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Endometrioma biasanya mengandung cairan kental seperti ter, kista ini biasanya melekat kedinding peritoneum pada fossa ovarium dan fibrosis yang mengenai tuba dan usus.
2
9
2.4 Menegakkan diagnosa secara klinis
Endometriosis didiagnosa secara inspeksi visual pelvis saat laparaskopi, idealnya diikuti dengan pemeriksaan histologi; gambaran
(21)
histologi yang positif secara pasti akan menegakkan diagnosa, tetapi gambaran histologi yang negatif belum tentu benar juga.
Anamnesa lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan dengan spekulum dan pemeriksaan bimanual, akan membantu diagnosa. Penyakit ini bergantung pada estrogen seperti pada wanita yang haidnya berlebihan, endometriosis diduga lebih sering terjadi pada wanita yang selalu mengalami nyeri saat siklus haid. Tetapi nyeri haid bukan suatu pathognomonik untuk endometriosis, wanita yang menderita fibroid dan adenomiosis juga akan mengalami dismenore. Lebih jauh lagi, banyak penderita endometriosis mengalami nyeri kronis yang tidak terkait dengan siklus haid, merasakan nyeri pada waktu tertentu saat siklus haid, seperti saat ovulasi. Pasien juga dapat mengalami dispareunia, nyeri pada usus maupun saluran kemih, atau kelelahan yang kronis.
12
Penderita endometriosis juga menderita akibat sindroma nyeri lainnya seperti rasa nyeri saat berkemih, irritable bowel syndrome, fibromyalgia, dan migrain. Endometriosis dapat dihubungkan dengan gangguan saluran kemih maupun saluran cerna seperti konstipasi, diare, atau hematokezia atau sering berkemih maupun urgensi berkemih yang bersifat siklik. Gejala gejala ini dapat menjadi panduan untuk melakukan pemeriksaan klinis dan pencitraan.
2
Sering juga tidak ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan fisik pasien endometriosis dan pemeriksaan dengan spekulum tidak membantu untuk menegakkan diagnosa. Begitupun, nodul bersifat fokal ataupun lunak pada ligamentum sakro uterina atau pada cul-de-sac bisa
(22)
diketahui saat melakukan pemeriksaan bimanual. Pembesaran, rasa lunak, massa kistik pada adnexal bisa dicurigai sebagai endometrioma. Uterus retrofleksi yang terfiksir atau “frozen pelvis” bisa dinilai saat pemeriksaan atau dengan MRI, hal ini akan menyarankan pemeriksaan saluran cerna sebelum dilakukan tindakan operasi. Walaupun ada pernyataan bahwa nodul pada ligamentum sakro uterina lebih mudah dipalpasi saat haid, belum ada penelitian yang menyimpulkan hal ini. Kenyataannya, negative predictive value yang jelek dari pemeriksaan pelvis telah dibuktikan pada suatu penelitian terhadap 91 pasien, sebanyak 47% pasien yang terbukti menderita endometriosis secara operatif dan mengalami nyeri pelvis yang kronis memiliki hasil pemeriksaan bimanual yang normal. Walau pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas, atau predictive value yang jelek untuk diagnosa endometriosis, hasil pemeriksaan ini akan membuat kita melakukan pencitraan sebelum tindakan operasi.
Beberapa pasien datang dengan keluhan nyeri dan akan kesulitan untuk menahan rangsangan yang tidak menghasilkan nyeri, termasuk pemeriksaan dengan spekulum atau pemeriksaan bimanual; respon terhadap jenis rangsangan yang tidak menghasilkan nyeri ini disebut hyperalgesia. Pasien pasien ini juga cenderung mengalami allodynia (exaggerated respon terhadap rangsang nyeri) dan mengalami penurunan ambang batas nyeri. Jika dijumpai nyeri sistemik yang parah pada penderita endometriosis, hal ini mungkin tidak akan terobati dengan laparaskopi operatif maupun terapi hormonal. Hal ini dapat digunakan
(23)
untuk menegakkan diagnosa endometriosis pada pasien, mereka mungkin menderita akibat berbagai sindroma nyeri. Pasien seperti ini harus ditangani dengan berbagai cara penanganan nyeri kronis, melibatkan tim dari berbagai bagian, termasik ahli nyeri, urologi, gastroenterologi, dan bagian non-ginekologi lainnya. 2
Mekanisme yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada penderita endometriosis salah satunya adalah inflamasi lokal pada peritoneum, deep infiltration dengan kerusakan jaringan, adanya perlengketan, penebalan fibrosis, dan penumpukan darah haid yang keluar pada implan endometriosis, menimbulkan rasa nyeri akibat tarikan pada gerakan jaringan yang fisiologis. Pada nodul endometriosis rektovaginal, terdapat hubungan yang dekat secara histologi antara persarafan dan lesi endometriosis juga antara persarafan dengan komponen nodul yang mengalami fibrosis.
Untuk memahami hubungan endometriosis dengan rasa nyeri, sangat penting untuk memulai dengan prinsip awal: nyeri untuk semua individu terjadi akibat aktivitas CNS individu tersebut. Karenanya muncul pertanyaan, bagai mana dan dalam kondisi seperti apa endometriosis berhubungan dengan CNS untuk memicu simptom nyeri yang berbeda. Beberapa hipotesa menyatakan bagaimana lesi endometriosis berhubungan dengan CNS sehingga menghasilkan nyeri. Lesi bisa saja menimbulkan nyeri karena menekan atau menginfiltrasi persarafan yang dekat dengan lesi tersebut. Adanya nerve growth factor (NGF) pada lesi mungkin menjadi penyebab nyeri, khususnya pada nodul deep
(24)
adenomyotic yang dapat menimbulkan hyperalgesia, yaitu intensitas nyeri yang muncul jika dilakukan penekanan pada fornix posterior.
Yang lebih penting, Mechsner et al. (2009) menemukan densitas serabut saraf berhubungan dengan keparahan rasa nyeri pada panggul atau dismenore.
17
17
Gambar ini menunjukkan bagaimana lesi endometriosis berhubungan dengan sistem persyarafan untuk menimbulkan rasa nyeri dan kondisi co-morbid17. Bagian 1: bagian ini menunjukkan gambaran laparoskopik dari organ panggul (dilihat dengan memasukkan laparoscope melalui umbilikus untuk melihat organ reproduksi) pada gambar ini tampak lesi deeply infiltrating pada ligamentum sakrouterina kiri yang masuk kedalam. Peptidergic sensory (biru) dan serabut saraf simpatis (hijau) cabang axon (garis merah putus putus) dari serabut saraf yang inervasinya dekat dengan pembuluh darah untuk inervasi lesi ini.
(25)
Serabut sensorik yang memiliki axon baru menjadi terangsang (bintang merah). Rangsangan tambahan secara dinamis dimodulasi oleh estradiol dan penyatuan sympatis-sensory. Bagian 2: koneksi dua arah antara innervasi lesi dan tulang belakang terjadi di segmen sakrum regio pelvis. Rangsangan saraf tepi, akan merangsang neuron pada sacrum. ‘central sensitization’ ini, ditunjukkan oleh bintang merah pada segmen sacrum, bisa bersifat independen dan modulasinya berbeda dari rangsangan perifer. Bagian 3: walaupun input serabut aferen saraf tepi ke spinal cord melalui akar bagian dorsal yang terdapat pada segmen tempat inervasi serabut saraf (segmen sakrum), cabang dari serabut ini memanjang ke segmen lainnya (garis biru putus putus). Secara normal, cabang akar bagian dorsal memiliki pengaruh yang sedikit terhadap neuron di segmen lainnya jika serabutnya tidak dirangsang. Tetapi jika serabutnya dirangsang, maka neuron pada segmen lainnya ikut terangsang juga. Aksi ini ditunjukkan dengan garis merah putus putus dan bintang merah pada masing masing tingkat kedalam tonjolan tulang lumbal, thorakal dan servikal. Bagian 4: secara normal, koneksi multipel intersegmental pada tulang belakang bertujuan untuk koordinasi fungsi tubuh yang sehat dengan jalan merangsang dan menghambat koneksi sinaptik, ditunjukkan dengan tanda panah dua arah berwarna hitam. Komunikasi intersegmental ini mempengaruhi sensitisasi sentral untuk modifikasi neuron untuk modifikasi informasi nociceptive dan nonnociceptive (remote central sensitization), ditunjukkan dengan bintang merah.
(26)
Secara bersamaan, aksi pada bagian 3 dan 4 akan meningkatkan nociception tidak hanya pada segmen sakrum tetapi pada semua segmen. Bagian 5: berbagai koneksi yang muncul dari setiap tingkat spinal cord sampai ke otak (ditunjukkan oleh garis biru) dan turun dari otak menuju spinal cord (ditunjukkan oleh garis hijau). Pada keadaan sehat, input dari spinal cord berhubungan dengan neuron mencapai otak yang secara sendiri terhubung melalui kompleks sinaps inhibitory/excitatory ascending
dan descending. Input rangsangan dari neuron spinal mempengaruhi
aktivitas melalui neuroaxis, merubah proses normal informasi nociceptive dan non-nociceptive.
Beberapa regio yang terlibat ditunjukkan oleh bintang merah. Walaupun tanda bintang tampak dipermukaan medial cortex, pengaruh terhadap beberapa area meluas ke lateral prefrontal, frontal,lobus parietal dan didalam lobus temporal (dotted black ellipses). Pengaruhnya bisa menjadi independent dan berhubungan dengan sensitisasi perifer yang terkait dengan innervasi lesi (Part 1). Aksi ini mendukung mekanisme nyeri yang berbeda beda terkait dengan endometriosis dan nyeri
(27)
2.5 Stadium
Cara mendiagnosa endometriosis sesuai lokasinya
Pelvic localization of endometriosis. Stadium endometriosis
13
9
American society for reproductive medicine revised classification of endometriosis 5
(28)
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Transvaginal sonography (TVS)
Diagnosa endometriosis pelvis didasari oleh perbedaan kriteria morfologi yang bervariasi untuk setiap lokasi anatomi penyakit ini dan mencakup penebalan dan nodul echogenic massa dengan batas yang tegas atau pun tidak.
USL(utero sacro ligament) dianggap terkena jika pada pemeriksaan 3D dijumpai penebalan atau terlihat nodul hipoechogenik yang reguler ataupun tidak didaearah serviks. Keterlibatan fornix posterior vagina terlihat seperti kista atau daerah yang menebal. Abnormalitas seperti ini
(29)
bibir posterior serviks, dibawah peritoneum. Terlibatnya kolon sigmoid di diagnosa jika dijumpai area hypoechogenic dengan batas irregular yang memasuki dinding usus.
Beberapa penelitian memberikan aturan TVS dalam menegakkan diagnosa rektovagina endometriosis, terutama yang melibatkan rektosigmoid dengan sensitivitas sekitar 91 dan 98% dengan spesifisitas sekitar 97–100%. Kemajuan akurasi diagnostik telah dideskripsikan jika TVS dilakukan dengan saline solution kedalam vagina atau dengan air-kontras kedalam rektum. Dibutuhkan pelatihan khusus untuk diagnosa rektovaginal endometriosis. Kemungkinan untuk mengetahui kedalaman infiltrasi didaerah rektum dengan TVS sejauh ini juga baru divalidasi oleh satu penelitian dan pengukuran jarak antara lesi dan batas anus cukup sulit. Lebih jauh, TVS dibatasi dengan ketidakmampuan untuk mendiagnosa infiltrasi endometriotik diatas rectosigmoid junction.
15
Rectal endoscopic sonography/transrectal ultrasonography
19
Pada beberapa penelitian yang relatif kecil, telah ditemukan bahwa rectal endoscopic sonography atau transrectal ultrasonography dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk rektovaginal endometriosis,terutama untuk mengevaluasi infiltrasi kolorektal, alat ini memiliki sensitivitas sekitar 78 sampai 100% dengan spesifisitas 66 sampai 100%. Kebanyakan penelitian yang membandingkan rectal
endoscopic sonography dengan magnetic resonance imaging (MRI)
menunjukkan bahwa sonografi lebih unggul dalam mendeteksi infiltrasi kedalam dinding rektum. Jika dibandingkan dengan TVS, tidak dijumpai
(30)
perbedaan bermakna dalam hal diagnosa keterlibatan dinding rektum, hal ini dijumpai pada penelitian prospektif terhadap 134 pasien, sementara pada penelitian lainnya terhadap 81 pasien TVS dianggap lebih akurat untuk mendiagnosa intestinal endometriosis, dengan sensitifitas 93 dan 89% dan spesifisitas 100 dan 93%, secara berurutan. Keterbatasan dari rectal endoscopic sonography adalah tidak dapat mendiagnosa lesi selain lesi didaerah retrouterin dan dibutuhkan keahlian radiologis atau gastroenterologis, juga dibutuhkan persiapan terhadap usus bahkan dibutuhkan sedasi.
Magnetic resonance imaging
18
Endometriosis pelvis didiagnosa dengan MRI jika terlihat setidaknya satu lokasi yang terkena (ovarium atau deep pelvic endometriosis). Deeply infiltrating pelvic endometriosis didefenisikan jika dijumpai adanya endometriosis pada salah satu daerah berikut ini: torus uterinus dan USL, vagina, rectovaginal septum, sigmoid colon, ureter, dan kandung kemih. Kista endometriosis didiagnosa dengan MRI jika kista endometriosis memiliki sinyal yang tinggi pada T1 dan T2-weighted
sequences, dan menetap pada gambaran subsequent fatsuppressed
T1-weighted. Terdapat variasi intensitas sinyal pada gambaran T2-weighted yang diseskripsikan sabagai ‘‘shading’’ dan gambaran spesifik lainnya. Perlengketan interovarian disebut dengan ‘‘kissing ovaries’’. Endometriosis ligamentum sakrouterina didiagnosa jika dijumpai nodul kecil ataupun besar dengan hipointensitas pada daerah belakang serviks dengan gambaran axial T2-weighted. Pada gambaran T2-weighted lesi ini
(31)
diidentifikasi sebagai gambaran iso- atau hypointense pada miometrium. Pada gambaran T1-weighted fat suppressed ditandai dengan nodul asimetris dengan USL irregular dan dihubungkan dengan bintik - bintik hyperintense.
Gambaran resonansi magnetik endometriosis vagina dan rectovaginal septum T2-hypointensity dan berbagai variasi intensitas gambaran sinyal T1-weighted dihubungkan dengan bintik - bintik
hyperintense pada gambaran fat-suppressed T1-weighted. Kriteria
diagnostik invasi sigmoid pada MRI adalah penebalan asimetris pada permukaan terendah dari dinding sigmioid dan menampilkan gambaran ikatan zat kontras pada gambaran T1-weighted MR. Adanya obliterasi parsial maupun total dari kavum douglas atau adanya penumpukan cairan semua dicatat. Penebalan dinding kandung kemih yang terlokalisir biasanya menonjol kedalam lumen kandung kemih memberikan kriteria diagnosa utama untuk endometriosis kompartemen anterior. Hal ini menampilkan gambaran isointense pada T2-weighted dengan bintik bintik hiperintense pada sekuensi T1-weighted. endometriosis ureter tampak pada sekuensi T2-weighted sebagai nodul hipointense dan dihubungkan dengan gambaran hiperintense yang sangat dekat dengan ureter pada kedua sekuensi T1- dan T2- weighted.
15
Computerized tomography
15
Pada sebuah penelitian terhadap 98 pasien, didapatkan sensitivitas sebesar 99% dan spesifisitas 100% untuk diagnosa endometriosis usus, dengan computerized tomography pada distensi kolon. Walaupun telah
(32)
diketahui suatu gambaran kolonoscopi dengan computerized tomography untuk deep pelvic endometriosis, hal ini tetap harus dievaluasi lebih jauh. Eksposur tarhadap radiasi harus diperhitungkan.
Double-contrast barium enema
18
Double-contrast barium enema sebelumnya dipakai dalam investigasi rektovaginal endometriosis, tetapi hanya sedikit penelitian yang berhasil. Pada penelitian retrospektif, 99% akurat untuk memprediksi kebutuhan operasi saluran cerna dijumpai 108 pasien dengan gejala yang menunjukkan endometriosis saluran cerna. Penelitian terbaru dijumpai sensitivitas 88% dan spesifisitas 93% untuk endometriosis usus pada 234 pasien, pemeriksaan dengan double-contrast barium enema tampaknya lebih unggul dibandingkan dengan MRI. Dua penelitian lainnya menilai pemeriksaan double-contrast barium enema pada rektovaginal endometriosis menunjukkan infiltrasi ke rektum secara tepat hanya sebesar 54 dan 33%, secara berurutan dan rectal endoscopic ultrasound mungkin lebih baik. Double-contrast barium enema tidak menampilkan seluruh dinding usus begitu juga dengan kedalaman infiltrasi.
Kolonoskopi
18
Lesi endometriosis biasanya didiagnosa dengan kolonoskopi, tetapi kebanyakan lesi tidak menginfiltrasi mukosa, hasil dari penelitian ini biasanya dilakukan untuk pasien dengan diagnosa banding penyakit saluran cerna.
Transvaginal ultrasound, MRI atau transrectal ultrasound dapat
menampilkan endometrioma dan deep infiltrating endometriosis. Pada
(33)
kebanyakan kasus transvaginal ultrasound tampaknya lebih unggul dibandingkan dengan transrectal ultrasound. Secara terpisah MRI membantu ultrasonografi untuk memastikan massa pelvis dan mendiagnosa endometriosis ureter, kandung kemih, dan rektosigmoid.18
2.7 Terapi
Karena penyembuhan endometriosis secara sempurna tidak mungkin sampai saat ini, terapi yang telah ada memiliki tiga tujuan utama: (i) untuk mengurangi nyeri; (ii) untuk meningkatkan angka kehamilan pada wanita yang menginginkan anak dan (iii) untuk selama mungkin menghambat pertumbuhan kembali.
Walaupun terapi terbaik untuk endometriosis secara umum adalah operasi yang dikombinasi dengan pemberian obat obatan. Laparoskopi merupakan gold standard terapi operasi untuk endometriosis.
22
Terapi endokrin
16
Setelah diagnosa endometriosis dipastikan secara histologi, terapi endokrin dapat dipakai sebagai neo-adjuvant atau terapi adjuvant, hal ini juga digunakan dalam penilaian kekambuhan. Ahli bedah secara umum tidak menyukai terapi endokrin karena efek yang tidak menyenangkan terhadap pertumbuhan jaringan. Karenanya cukup masuk akal untuk memberikan adjuvant terapi endokrin dengan tujuan menciptakan kondisi amenore.16
(34)
Berikut adalah beberapa pilihan terapi: a. Gestagen
16
Gestagen mempegaruhi perubahan endometrium sekresi setelah terekspos dengan estrogen.
b. Pil kontrasepsi
Pil kontrasepsi (jika dipakai untuk endometriosis) mengandung regimen pseudopregnancy. Efek samping telah diketahui dengan baik, masing masing berbeda antara satu jenis pil KB dengan jenis lainnya, termasuk perdarahan lucut, nausea, nyeri kepala, dan peningkatan resiko tromboemboli vena, penurunan libido, reaksi pada kulit, retensi sodium dan cairan yang menimbulkan kenaikan berat badan, rasa tidak nyaman pada payudara dan kenaikan tekanan darah. Secara umum pil KB sangat bisa ditoleransi. Tujuan terapi untuk menurunkan haid (therapeutic amenorrhea). Jika terjadi perdarahan lucut, pasien bisa meminum pil kontrasepsi sehari dua kali sehari selama perdarahan masih berlanjut dan satu hari setelah perdarahan berhenti, kemudian kembali minum satu tablet perhari. Sangat penting memberitahukan hal ini kepada pasien.
c. Danazol
16
Efek dari danazol adalah menghasilkan androgen dalam tingkat tinggi, dengan estrogen yang rendah (sesuai dengan kadar estrogen pada fase folikuler awal sampai kadar post menopause) hal ini menghambat pertumbuhan endometriosis dan amenore mencegah tumbuhnya implantasi baru dari uterus kedalam kavum peritoneum.13
(35)
d. GnRH analog
GnRH menimbulkan keadaan “functional oophorectomy,” misalnya menimbulkan kondisi hypogonadotropic hypogonadism. 12 Setelah pemberian gonadotropin-releasing hormone agonist , endometriosis aktif dan aktivitas mitotik sangat rendah diperitoneum, tetapi hal ini berbeda pada rektovaginal endometriosis. Pada kondisi ini beberapa implantasi tidak merespon pemberian terapi hormonal karena (1) fibrosis yang mengelilingi menghambat masuknya obat; (2) sel endometriosis memiliki program genetik sendiri sedangkan pengaruh hormonal merupakan pendukung saja dan bergantung pada tingkatan dan diferensiasi sel; atau (3) sangat sedikit reseptor estrogen, atau reseptor steroid yang ada tidak aktif secara biologis.
e. Terapi nyeri
8,21
Dari seluruh penelitian observasional, menyatakan kombinasi arometase inhibitor dengan senyawa progestogen, pil KB, atau gonadotropin releasing hormone analog dapat menurunkan intensitas nyeri yang disebabkan endometriosis.
f. Kombinasi keduanya
10,22
Sebagai tambahan operasi dan pemberian obat obatan, terapi komplementer bisa digunakan walaupun manfaat nya belum terbukti secara ilmiah. Wanita yang kualitas hidupnya terganggu akibat nyeri kronis bersifat siklik akan mengharapkan terapi yang bisa menghilangkan rasa nyeri ini untuk memperbaiki kualitas hidupnya dan meningkatkan kemungkinan produktivitasnya.16
(36)
g. Pendekatan terapi eksperimental
Sel endometriosis memiliki sifat invasif, dapat berpindah tempat, metastasis, angiogenesis dan neurogenesis hal ini sama dengan kemampuan tumor ganas. Respon mereka terhadap sitokin, tumor necrosis factor (TNF-α), cyclooxygenase-2 (COX-2), oksitosin dan aromatase saat ini memberikan metode baru untuk diagnosa dan penatalaksanaan. Walaupun kombinasi dari aromatase inhibitor dengan gestagen atau GnRH analog telah terbukti efektif, bentuk terapi ini terbatas pada efek samping dan harganya. 16
(37)
Algoritma diagnostik dan treatment untuk wanita dengan sangkaan atau telah terbukti menderita endometriosis. COCs = combination oral contraceptives; GnRH = gonadotropin-releasing hormone; IUI = intrauterine insemination; NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs.12
Terapi Operatif a . Laparoskopi :
Laparoskopi adalah teknik pembedahan atau operasi yang dilakukan dengan membuat 2 atau 3 lubang kecil pada dinding perut pasien, satu lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam rongga
(38)
perut ke layar monitor, sementara 2 lubang yang lain untuk instrumen bedah yang lain. Keuntungan laparaskopi secara umum : nyeri post operasi berkurang, masa rawatan di RS pendek, untuk segera kembali beraktifitas lebih cepat, lebih kecil resiko untuk terjadinya perlengketan dibanding laparatomi.
b. Laparatomi :
Prosedur dengan membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam rongga perut.
2.8. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsep ialah rangkaian variabel-variabel yang tersusun dalam suatu bagan yang menjelaskan hubungan masing-masing sesuai tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
(39)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memakai metode yang bersifat deskriptif retrospektif. Deskriptif retrospektif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melakukan eksplorasi gambaran secara retrospektif untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai gambaran karakteristik dari keluhan penderita, usia menarke (saat mulai haid), status haid, paritas, kadar CA 125, penatalaksanaan penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010 - 31 Desember 2012.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Obgyn RSUP Haji Adam Malik Medan, data di peroleh dari Rekam Medik.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian mulai dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari komisi etik FK USU Medan.
(40)
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah data seluruh penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010-31 Desember 2012.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah data seluruh penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010-31 Desember 2012 (total sampling).
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medik penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010-31 Desember 2012, kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan variabel yang diteliti.
3.5 Teknik Analisa Data
Analisa data berdasarkan data yang dikumpulkan melalui data sekunder yang dikumpulkan melalui rekam medik pasien yang berobat dalam kurun waktu 1 Januari 2010 sampai 31 Desember 2012. Data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi atau diagram. Untuk menganalisa perbedaan antar variabel dilakukan uji
(41)
statistik dengan uji kai kuadrat dan bila tidak memenuhi syarat akan dilakukan uji Fisher exact dengan derajat kepercayaan 95%.
3.6 Definisi Operasional
1. Endometriosis
Wanita yang didiagnosa menderita endometriosis berdasarkan hasil PA yang didapat setelah pasien menjalani operasi di RSUP HAM Medan periode 1 Januari 2010-31 Desember 2012. Alat ukur adalah dengan menggunakan rekam medis.
2. Usia
Adalah berdasarkan usia saat pertama kali pasien di diagnosa dengan endometriosis, dibagi dalam:
• ≤ 20 • 21 - 31 • 32 – 42 • ≥ 42
Skala rasio (variable numerik) 3. Menarke
Adalah usia saat haid,dikelompokkan dalam : - < 10 tahun
- ≥ 10 tahun
(42)
4. Status Haid
Adalah status haid penderita endometriosis yang datang memeriksa di Poli Ginekologi RSUP HAM. Alat ukur menggunakan rekam medik.Hasil dikelompokkan menjadi:
- Haid
- Menopause 5. Paritas
Adalah jumlah persalinan yang pernah dialami ibu,dikelompokkan menjadi:
- Nullipara: belum pernah melahirkan janin usia >20 minggu
- Paritas ≥ 1: pernah melahirkan janin usia > 20 minggu sebanyak 1kali atau lebih.
Skala ukur adalah ordinal. 6. Keluhan
Adalah keluhan yang dialami penderita Endometrosis di Poli Ginekologi RSUP HAM Medan,meliputi :
• Nyeri haid (Dismenore) : nyeri perut yang di alami selama menstruasi,nyeri mulai timbul sesaat sebelum atau selama menstruasi. • Infertilitas : Suatu kondisi di mana pasangan suami istri belum mampu
memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3x seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
• Benjolan di perut: Pembentukan massa di perut yang terlihat menonjol di perut atau dapat teraba pada palpasi.
(43)
• Nyeri pelvik : Nyeri yang di rasakan di daerah tulang panggul / pelvik. • BAK tersendat : BAK tidak lancar.
7. Kadar CA 125
Kadar CA 125 pasien penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik. Konsentrasi CA 125 dalam serum merupakan prediktor yang cukup baik untuk membedakan antara pasien dengan dan tanpa endometriosis.
Cara ukur adalah dengan observasi. Alat ukur adalah dengan menggunakan rekam medis. Hasil ukur dapat dikelompokan sebagai berikut:
- ≤ 35 - > 35
Skala ukur adalah ordinal. 8. Penatalaksanaan
Adalah penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan. Cara ukur adalah dengan observasi. Alat ukur adalah dengan menggunakan rekam medis.Penatalaksanaan dikelompokkan sebagai :
1. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dalam penelitian ini adalah GnRH analog / Tapros.
(44)
2. Terapi Operatif a. Laparoskopi :
Adalah teknik pembedahan atau operasi yang dilakukan dengan membuat 2 atau 3 lubang kecil pada dinding perut pasien, satu lubang pada pusar digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar dalam rongga perut ke layar monitor, sementara 2 lubang yang lain untuk instrumen bedah yang lain.
b. Laparatomi :
Prosedur dengan membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam rongga perut.
- Terapi Kombinasi :
Terapi kombinasi pada kasus endometriosis yang diberikan pada pasien dalam penelitian ini, mencakup:
1. Laparatomi + GnRH analog 2. Laparoskopi + GnRH analog
(45)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan subyek penelitian yang terdiri dari 49 wanita yang menderita endometriosis yang datang memeriksa di poli ginekologi RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2010 - 31 Desember 2012 dan diagnosa endometriosis di dapat dari hasil patologi anatomi setelah os menjalani operasi.
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik n %
Usia (tahun) - ≤ 20 - 21-31 - 32-42
- ≥ 43
Keluhan
- BAK tersendat - Infertilitas - Nyeri Haid - Nyeri Pelvik
2 14 26 7 1 14 22 12 4,0 28,6 53,1 14,3 2,0 28,6 44,9 24,5 Usia Menarke
- < 10 tahun - ≥ 10 tahun Status Haid
- Haid
- Menopause Paritas
- Nulipara - Paritas ≥ 1 Kadar CA 125
- ≤ 35 ng/dl - >35 ng/dl
0 49 48 1 28 21 11 38 0 100 98,0 2,00 57,1 42,9 22,4 77,6
(46)
4.2 Pembahasan
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa karakteristik subyek penelitian wanita yang menderita endometriosis berdasarkan usia yang terbanyak adalah kelompok usia 32 – 42 tahun (53,1%) diikuti dengan kelompok usia 21 -31 tahun (28,6%) dan terendah adalah kelompok usia ≤ 20 tahun.
Berdasarkan keluhan yang dialami wanita yang menderita endometriosis, yang terbanyak adalah nyeri haid (44,9%), diikuti dengan keluhan infertilitas (28,6%) dan yang terendah adalah dengan keluhan BAK tersendat ( 2%). Keluhan ini dapat digunakan dalam membantu diagnosa endometeriosis. 2 Beberapa penelitian menyatakan bagaimana lesi endometriosis berhubungan dengan CNS sehingga menghasilkan nyeri. Lesi bisa saja menimbulkan nyeri karena menekan atau menginfiltrasi persarafan yang dekat dengan lesi tersebut. Adanya nerve growth factor (NGF) pada lesi mungkin menjadi penyebab nyeri, khususnya pada nodul deep adenomyotic yang dapat menimbulkan hyperalgesia, yaitu intensitas nyeri yang muncul jika dilakukan penekanan pada fornix posterior. Demikian juga menemukan densitas serabut saraf berhubungan dengan keparahan rasa nyeri pada panggul atau dysmenorrhea.
Berdasarkan usia menarke, wanita yang menderita endometriosis seluruhnya mengalami menarke pada usia ≥ 10 tahun (100%).
17
Berdasarkan status haid, wanita yang menderita endometriosis hampir seluruhnya masih mengalami haid (98%).
(47)
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa paritas wanita yang menderita endometriosis lebih banyak dengan nullipara (57,1%). Penelitan lainnya menjelaskan bahwa sebanyak 20–60% penderita endometriosis mengalami infertilitas. Riwayat infertilitas meningkatkan kemungkinan diagnosis endometriosis dan riwayat infertilitas menjadi faktor resiko yang kuat. Pada infertilitas primer kejadiannya sebesar 25% sedangkan pada infertilitas sekunder sebanyak 15%. Bila wanita infertil disertai nyeri maka kemungkinan mempunyai endometriosis meningkat menjadi 80%. Pada wanita dengan nyeri panggul kronik tetapi tidak infertil insidensinya sekitar 70%. Walaupun endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi, tetapi telah dilaporkan bahwa endometriosis juga terjadi pada remaja dan wanita pasca menopause yang sedang mendapat terapi sulih hormon.
Tabel di atas menjelaskan bahwa hasil pengukuran kadar CA 125 terhadap wanita yang menderita endometriosis sebagian besar dengan kadar >35 (77,6%).
5,6,7
Tabel 4.2 Distribusi Penatalaksanaan Endometriosis
Penatalaksanaan n %
Laparatomi 22 44,9
Laparaskopi 14 28,6
Laparatomi & GnRH analog Laparaskopi & GnRH analog
3
10
6,1 20,4
Total 49 100
Berdasarkan tabel di atas menjelaskan bahwa penatalaksanaan terhadap endometriosis yang paling banyak dilakukan adalah tindakan laparatomi (44,9%) diikuti dengan tindakan laparaskopi (28,6%) dan
(48)
tindakan yang paling jarang dilakukan adalah laparatomi dengan GnRH analog (6,1%).
Terapi yang dilakukan saat ini bertujuan (i) untuk mengurangi nyeri; (ii) untuk meningkatkan angka kehamilan pada wanita yang menginginkan anak dan (iii) untuk selama mungkin menghambat pertumbuhan kembali.
Laparoskopi merupakan gold standard terapi operasi untuk endometriosis. Banyak bukti untuk metode operasi yang dipakai untuk terapi endometriosis atau deep infiltrating endometriosis (seperti pada penyakit lainnya).
22
16
4.2 Hubungan Karakteristik Penderita Endometriosis dengan Kadar CA 125
Untuk mengetahui hubungan karakteristik penderita endometriosis dengan kadar CA 125 maka dilakukan uji statistik dengan Chi-square dan bila tidak memenuhi syarat maka akan dilakukan uji Fisher exact. Hasil analisa statistik ditunjukkan pada tabel-tabel berikut ini.
Tabel 4. 3 Hubungan Umur Penderita Endometriosis dengan Kadar CA 125
Kel_Umur ≤ 35Kadar CA125 Total Nilai p
>35
<25 tahun 2 (33,3%) 4 (66,7%) 6 (100,0%)
0,436 25 - 35 tahun 6 (30,0%) 14 (70,0%) 20 (100,0%)
36 - 45 tahun 2 (11,1%) 16 (88,9%) 18 (100,0%) 46 - 55 tahun 1 (20,0%) 4 (80,0%) 5 (100,0%) Total 11 (22,4%) 38 (77,6%) 49 (100,0%)
(49)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada tiap-tiap kelompok umur sebagian besar dengan kadar CA 125 >35. Secara statistik dengan
uji Fisher exact didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan kadar CA 125.
Tabel 4. 4 Hubungan keluhan penderita endometriosis dengan Kadar CA 125
Keluhan Kadar CA125 Total Nilai p
≤ 35 >35
BAK tersendat 1 (100%) 0 (0%) 1 (100,0%)
0,226 Infertilitas 4 (26,7%) 11 (73,3%) 15 (100,0%)
Nyeri haid 5 (23,8%) 16 (76,2%) 18 (100,0%) Nyeri pelvic 1 (8,3%) 11 (91,7%) 12 (100,0%) Total 11 (22,4%) 38 (77,6%) 49 (100,0%)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa penderita endometriosis dengan keluhan infertilitas, nyeri haid dan nyeri pelvic, sebagian besar dengan kadar CA 125 >35. Secara statistik dengan uji Fisher exact didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara keluhan dengan kadar CA 125.
Tabel 4. 4 Hubungan Paritas Penderita Endometriosis dengan Kadar CA 125
Paritas ≤ 35Kadar CA125 Total Nilai p
>35
Virgo 0 (0%) 2 (100%) 2 (100,0%)
0,704 Nullipara 7 (28%) 18 (72%) 25 (100,0%)
Paritas ≥ 1 4 (18,2%) 18 (81,8%) 22 (100,0%) Total 11 (22,4%) 38 (77,6%) 49 (100,0%)
(50)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa penderita endometriosis dengan dengan paritas virgo, nullipara dan pernah melahirkan, sebagian besar dengan kadar CA 125 >35. Secara statistik dengan uji Fisher exact didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan kadar CA 125.
(51)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Karakteristik wanita dengan endometriosis pada penelitian ini adalah umumnya pada usia 32-42 tahun, dengan usia menarke seluruhnya ≥ 10 tahun, umumnya masih mengalami haid, lebih banyak pada kelompok nulipara. Keluhan utama terbanyak adalah nyeri haid diikuti dengan infertilitas dan kadar CA 125 yang terbanyak > 35 ng/dl.
2. Penatalaksanaan terhadap wanita dengan endometriosis yang paling banyak dilakukan adalah laparatomi diikuti dengan laparoskopi.
3. Tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, keluhan dan paritas penderita endometriosis dengan kadar CA 125.
5.2Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai Profil Kasus endometriosis RSUP H. Adam Malik dengan jangka waktu lebih lama.
(52)
DAFTAR PUSTAKA
1. Fritz MA, Sperrof L. Endometriosis in clinical gynecologic endocrinology and infertility, lippincott williams & wilkins 8th edition, 2011; 1222-1249.
2. Hsu AL, Khachikyan I, Stratton P. In Invasive and non invasive methods for the diagnosis of endometriosis, clin obstet gynecol, juni 2010 ; 413-419.
3. Baziad A. Endometriosis. Dalam: Endokrinologi Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius, 2003 ; 1-25.
4. Evers JLH. Do all women have endometriosis? Reflections on pathogenesis. In: Minaguchi H, Sugimoto O. Endometriosis Today Advances in Research and Practice. The proceeding of 5th Conggres on Endometriosis.
5. Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta: Media Aesculaptus, 2003.
6. D’Hooge TM, Hill JA. Endrometriosis. Dalam: Berek JS., Adashi EY., Hillard PA (Penyunting). Novak’s Gynecology. Edisi ke-13. Baltimore: William & Wilkins, 2002 ; 931-59.
7. Bimbaum MD. Incidence of endometriosis. Tersedia dari:
8. Overton C, Davis C, Mc Millan L, Shaw RW. Atlas endometriosis, informa, 3rd edition, UK ltd, 2007.
(53)
9. Agarwal N, Subramanian A. Endometriosis-morphology, clinical presentations and mollecular pathology. Journal lab physicians, juni 2010 ; 1-9.
10. Otto C, Schkoldow J, Krahl E, Fuchs I, Ulbrich H. Use of a murine endometriosis interna model for the characterization of compounds that effectively treat human endometriosis, experimental and therapeutic medicine, oktober 2011; 410-414
11. Herington JL,Bruner-Tran KL, Lucas JA, Osteen KG. Immune interaction in endometriosis , expert rev clin immunol, september 2011; 611-626.
12. Schorge J.O, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman B, Bradshaw KD, Cunningham FG. Endometriosis in Williams Gynecology. mc.grawhill company, 2008; 477-514.
13. D’hooghe TM, Hill III JN. Endometriosis in berek novaks gynecology. lippincott williams & wilkins 14th edition, 2007; 1627-1881.
14. Jacoeb TZ, Hadisaputra W. Penanganan endometriosis panduan klinis dan algoritme. Sagung seto, 2009.
15. Grasso FR, Di Giacomo V, Sedati P, Sizzi O, Florio G, Faiella E, Rossetti A, Del Vescovo R, Zobel BB. Diagnosis of deep infiltrating endometriosis: accuracy of magnetic resonance imaging and transvaginal 3D ultrasonography, springer science+ bussiness media, 2010 ; 716-725.
(54)
16. Halis G, Mechsner S, Ebert AD. The diagnosis and treatment of deep infiltrating endometriosis, deutsches arzteblatt international, juni 2010 ; 446-456.
17. Stratton P, Berkley KJ. Chronic pelvic pain and endometriosis: translational evidence of the relationship and implications, human reproduction update, 2011; 327-346
18. Kruse K, Seyer-Hansen M, Forman A. Diagnosis and treatment of rectovaginal endometriosis: an overveiw, acta obstetricia et gynecologica, oktober 2011; 648-657
19. Busard MPH, Van der houwen LEE, Bleeker MCG, Van den bos ICP, Cuesta MA, Van kuijk C, Mijatovic V, Hompes PGA, Van waesberghe JHTM. Deep infiltrating endometriosis of the bowel: MR imaging as a method to predict muscular invasion, agustus 2011; 549-557.
20. Guo S, recurrence of endometriosis and its control. Human reproduction update, maret 2009, p441-461.
21. Brosens I, Benagiano G. Endometriosis a modern syndrome, indian journal of medical research, juni 2011; 581-593.
22. Ferrero S, Gillot DJ, Venturini PL, Remorgida V. Use of aromatase inhibitors to treat endometriosis –related pain symptoms: a systematic review, reproductive biology and endocrinology, 2011 ; 1-10.
23. Bulletti C, Coccia ME, Battistoni S, Borini A. Endometriosis and infertility, journal assist reprod genet, February 2010 ; 441-447
(55)
24. Broekmans F.J ,Soules M.R., Fauser B.C. Ovarian Aging : Mechanisms and Clinical Consequense. Endocrine Rev.2009 ; 30:465-493
25. Newman T.A, Bailey, J.L, Stocker L.J, Woo Y.L, Macklon N.S, Cheong Y.C. Expression of neuronal markers in the endometrium of woman with and those without endometriosis. Hum. Reproduction, 2013; 2502-2510
26. Schorge et al. Endometriosis. In Schorge, Schaffe, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunnigman. Williams Gynecology. Mc Graw Hill, 2008;
27. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Endometriosis. In Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Glass’ Office Gynecology. Lippincott Williams and Wilkins, 2006;
28. Yermachenko A, Dvornyk V, Nongenetic Determinants of Age at Menarche : A systematic Riview. BioMed Research International Volume 2014.
(56)
Lampiran 2.
No Nama MR Usi
a Paritas
Statu s Haid
Ca 125 Keluhan Menarche
Penatalaksanaan
1 Sa’diah 42.82.23 51 P1A0 meno
pause
75,34 Nyeri Pelvic 13 Thn Laparotomi
2 Dewi Chalika 44.59.23 32 P0A0 Haid 60,20 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi
3 Surianti 41.28.87 14 P1A0 Haid 57,79 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparotomi
4 Sri Handayani 43.13.58 28 P1A0 Haid 21,56 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
5 Hafni 40.10.32 41 P0A0 Haid 171,7 Infertilitas 14 Thn Laparotomi
6 Sulely H 48.08.31 48 P2A1 Haid 76,91 Nyeri Pelvic 11 Thn Laparotomi
7 Rohati M 49.89.38 48 P2A1 Haid 9,67 BAK tersendat 12 Thn Laparotomi
8 Remiata Sufriani 52.20.00 26 P0A0 Haid 90,2 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
9 Ramlah 46.41.36 46 P3A2 Haid 724,0 Nyeri Haid 15 Thn Laparoskopi
10 Misna 46.63.93 36 P0A0 Haid 73,5 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi
11 Mira 45.52.89 22 P0A0 Haid 4,67 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
12 Nurhikmah 50.89.88 28 P0A0 Haid 52,57 Nyeri Haid 14 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
13 Nurmin Sinaga 50.37.52 34 P0A0 Haid 12,64 Infertilitas 13 Thn Laparotomi
14 Yellis Sonya 50.94.81 41 P0A0 Haid 272,50 Infertilitas 15 Thn Laparoskopi
15 Hotmauli Siregar 50.92.81 40 P3A0 Haid 117,30 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi
(57)
17 Desi Yuliani 51.46.19 21 VIRGO Haid 90,7 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi & Tapros (Kombinasi)
18 Syamsiah 42.15.06 26 P0A0 Haid 197 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi & Tapros
(kombinasi)
19 Evi Malda 48.22.14 29 P0A0 Haid 82,20 Infertilitas 12 Thn Laparotomi
20 Hirul Bariah 43.21.57 39 VIRGO Haid 48,60 Nyeri Pelvic 17 Thn Laparotomi
21 Marlina 45.47.18 38 P0A0 Haid 40,10 Infertilitas 12 Thn Laparotomi
22 Wildan 45.08.60 19 P0A0 Haid 89,12 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
23 Mira 52.06.19 37 P2A0 Haid 440,61 Nyeri Pelvic 17 Thn Laparotomi
24 Marchaini br Trg 44.23.24 44 P2A0 Haid 557,20 Nyeri Pelvic 18 Thn Laparotomi
25 Novrayetti 44.87.19 39 P0A0 Haid 22,15 Infertilitas 18 Thn Laparoskopi
26 Zulfiani Nst 42.20.07 39 P0A1 Haid 53,20 Nyeri Pelvic 12 Thn Laparotomi & Tapros
(Kombinasi)
27 Raodah 51.35.51 37 P2A0 Haid 122,2 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi
28 Idanesia B 51.53.44 48 P3A0 Haid 78,63 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
29 Sulastri 53.17.87 29 P1A0 Haid 95,32 Nyeri Haid 14 Thn Laparotomi
30 Erin Sulastri 52.22.22 30 P0A1 Haid 104,40 Nyeri Haid 15 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
31 Rahmawati 53.03.52 34 P0A0 Haid 35,58 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(KombinasI)
32 Rusli Alam Trg 51.37.65 38 P3A1 Haid 44,38 Nyeri Pelvic 13 Thn Laparotomi
33 Roby Sulastri 51.08.04 34 P4A0 Haid 22,33 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparotomi
34 Masithoh 51.11.83 25 P0A0 Haid 191 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi & Tapros
(58)
35 Sulasni 50.47.36 42 P2A0 Haid 90,10 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi
36 Nurrapyka 53.16.71 24 P0A0 Haid 23,26 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
37 Risnawati 53.33.69 37 P0A0 Haid 33,00 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi
38 Khairina 49.29.39 26 P0A0 Haid 32,16 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
49 Nurfaedah 48.28.80 34 P2A1 Haid 38,6 Nyeri Haid 11 Thn Laparotomi
40 Rosmeir 44.20.10 38 P0A0 Haid 139,20 Infertilitas 14 Thn Laparotomi & Tapros
(Kombinasi)
41 Dewi Alfiani S 43.85.20 31 P1A2 Haid 71,04 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi
42 Nurhabibah P 43.99.70 33 P0A0 Haid 171,60 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
43 Nurhayati 49.55.48 42 P2A0 Haid 52,75 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
44 Tiamsi Hrp 50.30.67 42 P5A0 Haid 179 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparoskopi
45 Rahmawaty 53.35.33 34 P0A2 Haid 58,70 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
46 Pesta Marbun 49.23.82 34 P1A0 Haid 640,60 Nyeri Pelvic 15 Thn Laparotomi
47 Ratna Lisda Tpb 49.73.91 32 P0A0 Haid 118,60 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi
48 Harin
Rumondang
50.13.04 31 P1A1 Haid 11,72 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
(59)
Lampiran 3. Crosstabs
Kel_Umur * Kel_CA125
Crosstab
Kel_CA125
Total =< 35 >35
Kel_Umur <25 tahun Count 2 4 6
% within Kel_Umur
33,3% 66,7% 100,0%
25 - 35 tahun
Count 6 14 20
% within Kel_Umur
30,0% 70,0% 100,0%
36 - 45 tahun
Count 2 16 18
% within Kel_Umur
11,1% 88,9% 100,0%
46 - 55 tahun
Count 1 4 5
% within Kel_Umur
20,0% 80,0% 100,0%
Total Count 11 38 49
% within Kel_Umur
22,4% 77,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 2,410a 3 ,492 ,523
Likelihood Ratio 2,553 3 ,466 ,643
Fisher's Exact Test 2,700 ,436
Linear-by-Linear Association
1,424b 1 ,233 ,312
N of Valid Cases 49
a. 6 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,12.
(60)
Keluhan * Kel_CA125
Crosstab
Kel_CA125
Total =< 35 >35
Keluhan BAK tersendat
Count 1 0 1
% within Keluhan
100,0% ,0% 100,0%
Infertilitas Count 4 11 15
% within Keluhan
26,7% 73,3% 100,0%
Nyeri Haid Count 5 16 21
% within Keluhan
23,8% 76,2% 100,0%
Nyeri Pelvic Count 1 11 12
% within Keluhan
8,3% 91,7% 100,0%
Total Count 11 38 49
% within Keluhan
22,4% 77,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided) Pearson
Chi-Square
5,004a 3 ,172 ,216
Likelihood Ratio 4,854 3 ,183 ,195
Fisher's Exact Test 4,326 ,226
N of Valid Cases 49
a. 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,22.
(61)
Kel_Paritas * Kel_CA125
Crosstab
Kel_CA125
Total =< 35 >35
Kel_Parita s
Virgo Count 0 2 2
% within Kel_Paritas
,0% 100,0% 100,0%
Nullipara Count 7 18 25
% within Kel_Paritas
28,0% 72,0% 100,0%
Paritas>1 Count 4 18 22
% within Kel_Paritas
18,2% 81,8% 100,0%
Total Count 11 38 49
% within Kel_Paritas
22,4% 77,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1,252a 2 ,535 ,519
Likelihood Ratio 1,678 2 ,432 ,454
Fisher's Exact Test ,938 ,704
Linear-by-Linear Association
,085b 1 ,770 1,000
N of Valid Cases 49
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,45.
(1)
Lampiran 2.
No Nama MR Usi
a Paritas
Statu s Haid
Ca 125 Keluhan Menarche
Penatalaksanaan
1 Sa’diah 42.82.23 51 P1A0 meno
pause
75,34 Nyeri Pelvic 13 Thn Laparotomi 2 Dewi Chalika 44.59.23 32 P0A0 Haid 60,20 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi
3 Surianti 41.28.87 14 P1A0 Haid 57,79 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparotomi
4 Sri Handayani 43.13.58 28 P1A0 Haid 21,56 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
5 Hafni 40.10.32 41 P0A0 Haid 171,7 Infertilitas 14 Thn Laparotomi
6 Sulely H 48.08.31 48 P2A1 Haid 76,91 Nyeri Pelvic 11 Thn Laparotomi
7 Rohati M 49.89.38 48 P2A1 Haid 9,67 BAK tersendat 12 Thn Laparotomi
8 Remiata Sufriani 52.20.00 26 P0A0 Haid 90,2 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
9 Ramlah 46.41.36 46 P3A2 Haid 724,0 Nyeri Haid 15 Thn Laparoskopi
10 Misna 46.63.93 36 P0A0 Haid 73,5 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi
11 Mira 45.52.89 22 P0A0 Haid 4,67 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
12 Nurhikmah 50.89.88 28 P0A0 Haid 52,57 Nyeri Haid 14 Thn Laparoskopi & Tapros (Kombinasi) 13 Nurmin Sinaga 50.37.52 34 P0A0 Haid 12,64 Infertilitas 13 Thn Laparotomi 14 Yellis Sonya 50.94.81 41 P0A0 Haid 272,50 Infertilitas 15 Thn Laparoskopi 15 Hotmauli Siregar 50.92.81 40 P3A0 Haid 117,30 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi
(2)
17 Desi Yuliani 51.46.19 21 VIRGO Haid 90,7 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi & Tapros (Kombinasi) 18 Syamsiah 42.15.06 26 P0A0 Haid 197 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi & Tapros
(kombinasi)
19 Evi Malda 48.22.14 29 P0A0 Haid 82,20 Infertilitas 12 Thn Laparotomi
20 Hirul Bariah 43.21.57 39 VIRGO Haid 48,60 Nyeri Pelvic 17 Thn Laparotomi
21 Marlina 45.47.18 38 P0A0 Haid 40,10 Infertilitas 12 Thn Laparotomi
22 Wildan 45.08.60 19 P0A0 Haid 89,12 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparoskopi & Tapros (Kombinasi)
23 Mira 52.06.19 37 P2A0 Haid 440,61 Nyeri Pelvic 17 Thn Laparotomi
24 Marchaini br Trg 44.23.24 44 P2A0 Haid 557,20 Nyeri Pelvic 18 Thn Laparotomi 25 Novrayetti 44.87.19 39 P0A0 Haid 22,15 Infertilitas 18 Thn Laparoskopi 26 Zulfiani Nst 42.20.07 39 P0A1 Haid 53,20 Nyeri Pelvic 12 Thn Laparotomi & Tapros
(Kombinasi)
27 Raodah 51.35.51 37 P2A0 Haid 122,2 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi
28 Idanesia B 51.53.44 48 P3A0 Haid 78,63 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
29 Sulastri 53.17.87 29 P1A0 Haid 95,32 Nyeri Haid 14 Thn Laparotomi
30 Erin Sulastri 52.22.22 30 P0A1 Haid 104,40 Nyeri Haid 15 Thn Laparoskopi & Tapros (Kombinasi) 31 Rahmawati 53.03.52 34 P0A0 Haid 35,58 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(KombinasI) 32 Rusli Alam Trg 51.37.65 38 P3A1 Haid 44,38 Nyeri Pelvic 13 Thn Laparotomi 33 Roby Sulastri 51.08.04 34 P4A0 Haid 22,33 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparotomi 34 Masithoh 51.11.83 25 P0A0 Haid 191 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi & Tapros
(3)
35 Sulasni 50.47.36 42 P2A0 Haid 90,10 Nyeri Haid 12 Thn Laparotomi 36 Nurrapyka 53.16.71 24 P0A0 Haid 23,26 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi) 37 Risnawati 53.33.69 37 P0A0 Haid 33,00 Infertilitas 12 Thn Laparoskopi
38 Khairina 49.29.39 26 P0A0 Haid 32,16 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
49 Nurfaedah 48.28.80 34 P2A1 Haid 38,6 Nyeri Haid 11 Thn Laparotomi
40 Rosmeir 44.20.10 38 P0A0 Haid 139,20 Infertilitas 14 Thn Laparotomi & Tapros (Kombinasi) 41 Dewi Alfiani S 43.85.20 31 P1A2 Haid 71,04 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi 42 Nurhabibah P 43.99.70 33 P0A0 Haid 171,60 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi) 43 Nurhayati 49.55.48 42 P2A0 Haid 52,75 Nyeri Haid 13 Thn Laparoskopi & Tapros
(Kombinasi)
44 Tiamsi Hrp 50.30.67 42 P5A0 Haid 179 Nyeri Pelvic 14 Thn Laparoskopi
45 Rahmawaty 53.35.33 34 P0A2 Haid 58,70 Nyeri Haid 12 Thn Laparoskopi
46 Pesta Marbun 49.23.82 34 P1A0 Haid 640,60 Nyeri Pelvic 15 Thn Laparotomi 47 Ratna Lisda Tpb 49.73.91 32 P0A0 Haid 118,60 Infertilitas 13 Thn Laparoskopi 48 Harin
Rumondang
50.13.04 31 P1A1 Haid 11,72 Nyeri Haid 13 Thn Laparotomi
(4)
Lampiran 3.
Crosstabs
Kel_Umur * Kel_CA125
Crosstab
Kel_CA125
Total
=< 35
>35
Kel_Umur <25 tahun
Count
2
4
6
% within
Kel_Umur
33,3%
66,7% 100,0%
25 - 35
tahun
Count
6
14
20
% within
Kel_Umur
30,0%
70,0% 100,0%
36 - 45
tahun
Count
2
16
18
% within
Kel_Umur
11,1%
88,9% 100,0%
46 - 55
tahun
Count
1
4
5
% within
Kel_Umur
20,0%
80,0% 100,0%
Total
Count
11
38
49
% within
Kel_Umur
22,4%
77,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square
2,410
a3
,492
,523
Likelihood Ratio
2,553
3
,466
,643
Fisher's Exact Test
2,700
,436
Linear-by-Linear
Association
1,424
b1
,233
,312
N of Valid Cases
49
a. 6 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 1,12.
(5)
Keluhan * Kel_CA125
Crosstab
Kel_CA125
Total
=< 35
>35
Keluhan BAK
tersendat
Count
1
0
1
% within
Keluhan
100,0%
,0% 100,0%
Infertilitas
Count
4
11
15
% within
Keluhan
26,7%
73,3% 100,0%
Nyeri Haid
Count
5
16
21
% within
Keluhan
23,8%
76,2% 100,0%
Nyeri Pelvic
Count
1
11
12
% within
Keluhan
8,3%
91,7% 100,0%
Total
Count
11
38
49
% within
Keluhan
22,4%
77,6% 100,0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Pearson
Chi-Square
5,004
a3
,172
,216
Likelihood Ratio
4,854
3
,183
,195
Fisher's Exact Test
4,326
,226
N of Valid Cases
49
a. 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,22.
(6)