KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Kondisi Fisik Wilayah

  Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah pengembangan Kabupaten Bogor Wilayah Barat, yang mempunyai luas

  wilayah sekitar 55,63 km 2 , yang terdiri dari 13 Desa, terbagi atas 43 Dusun, 120 Rukun Warga (RW), serta 470 Rukun Tetangga (RT). Kecamatan Ciampea secara

  geografis mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

  a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kecamatan Kemang.

  b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya.

  c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang.

  d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga (Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007)

  Tabel 5. Jarak Antar Desa (Km) di Kecamatan Ciampea Tahun 2003

  g jeng

  en

  g Rang kg

  jon ibada ent

  Ciampea Udi

  C C Cicadas

  Tegal waru

  Bo

  C Cih

  C Bo C B Ciampea

  Ciampea Udik

  Tegal waru

  Bojong jengkol

  Cihideung Udik

  Cihideung Hilir

  Bojong Rangkas

  Sumber : BPS, Kecamatan Ciampea dalam Angka Tahun 2003

  Berdasarkan jarak orbitas serta sarana transportasi antara pusat pemerintahan Kecamatan Ciampea dengan ibukota negara (Jakarta), ibukota propinsi (Bandung), ibukota kabupaten (Cibinong), dan desa yang terjauh masing- masing sekitar 80 km, 147 km, 45 km, dan 5 km. Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah Kecamatan Ciampea terdiri atas dataran sampai berombak sekitar

  45 persen dan berombak sampai berbukit sekitar 55 persen. Ketinggian wilayah berada di antara 300 m di atas permukaan laut. Suhu udara yang terjadi di

  Kecamatan Ciampea sekitar antara 20 o – 30

  o

  C. Banyaknya hari hujan antara

  15 – 31 dan banyaknya curah hujan antara 79 – 491 mm, hari hujan rata-rata pertahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan sekitar 278 mmt. (Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007). Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran penting tentang penentuan lahan atau kesesuaian lahan terutama peruntukan wilayah pertanian, jenis tanaman, dan pola cocok tanam.

  Pemanfaatan lahan yang telah dilakukan di Kecamatan Ciampea diantaranya digunakan untuk permukiman (rumah), sawah, ladangkebun, empang, dan lain-lain. Untuk mengetahui luas lahan yang digunakan untuk masing-masing pemanfaatan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

5.2 Kondisi Kependudukan

  Jumlah penduduk Kecamatan Ciampea sampai dengan akhir bulan Desember 2006 (Sensus Daerah) tercatat sebanyak 33.389 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 139.980 jiwa yang terdiri atas laki-laki sebanyak 72.359 jiwa dan perempuan sebanyak 67.621 jiwa. Kepadatan Penduduk

  di Kecamatan Ciampea sebanyak 200 jiwakm 2 . Jumlah penduduk yang termasuk ke dalam angkatan kerja sebanyak 76.144 jiwa, yang terdiri atas laki-laki

  sebanyak 37.876 jiwa dan perempuan sebanyak 38.268 jiwa (Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007). Penduduk Kecamatan Ciampea mempunyai pekerjaan yang beraneka ragam, namun secara garis besar sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani dan buruh. Keadaan masyarakat berdasarkan mata pencahariannya, dapat dilihat pada Tabel 7.

  Tabel 6. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan

  Ciampea

  No. Desa

  Rumah Sawah

  LadangKebun Empang Lain-lain

  1. Ciampea Udik 103

  5. Tegal Waru

  6. Bojong Jengkol 109

  7. Cihideung Udik

  8. Cihideung Ilir 101

  10. Bojong Rangkas 75

  Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea Tahun 2007

  Tabel 7. Jumlah Penduduk (Jiwa) Kecamatan Ciampea Berdasarkan Mata

  Pencaharian

  No. Mata Pencaharian

  Jumlah

  1. Petani pemilik lahan

  2. Petani penggarap sawah

  3. Buruh tani

  6. Buruh industri

  8. Buruh pertambangan

  12. Pegawai Negeri Sipil

  Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea Tahun 2007

5.3 Kondisi Pendidikan

  Pendidikan merupakan salah satu modal dasar bagi kehidupan manusia, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, pendidikan perlu diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia menuju Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dan ketersediaan serta penyebaran fasilitas pendidikan dapat mempengaruhi kualitas penduduk. Fasilitas pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) memiliki jumlah terbesar di Kecamatan Ciampea, sedangkan jumlah fasilitas paling kecil adalah tingkat Perguruan Tinggi.

  Sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Ciampea sebanyak 10 gedung Taman Kanak-Kanak (TK), 48 gedung Sekolah Dasar (SD) Negeri, 1 gedung SD swasta, 1 gedung Sekolah Lanjuan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri, 8 gedung SLTP Swasta, 1 gedung Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, 5 gedung SMA Swasta Umum, 3 gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta, 1 gedung Universitas Swasta, sarana pendidikan keagamaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 19 gedung, Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebanyak 8 gedung, dan Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 3 gedung. (Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007). Kesadaran dan cita-cita orang tua untuk menyekolahkan anaknya cukup tinggi dan terjangkau yang dapat dilihat dari jumlah murid yang sesuai dengan kapasitas gedung di masing-masing sekolah.

5.4 Kondisi Pertanian

  Kegiatan pertanian di Kecamatan Ciampea terdiri dari pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian tanaman pangan dan peternakan merupakan sektor komoditi andalan bagi penduduk

  Kecamatan Ciampea yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dalam meningkatkan produksi pangan baik kualitas maupun kuantitas. Dari subsektor tanaman pangan utama komoditi unggulan adalah padi, jagung, kacang tanah, dan sayur-sayuran, sedangkan dari subsektor tanaman perdagangan komoditi unggulan adalah kelapa, kelapa sawit, dan kopi. Di sektor perikanan jenis ikan yang dibudidayakan adalah mas, gurame, mujair, lele, dan bawal. Pada sektor peternakan jenis ternak yang menjadi komoditi andalan adalah ayam petelur dan ayam pedaging.

  Kecamatan Ciampea mempunyai lahan sawah irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujansawah rendengan, namun tidak memiliki lahan sawah beririgasi teknis. Luas lahan sawah irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan masing-masing sebesar 1.189,47 Ha, 43 Ha, dan 325 Ha dengan rata-rata luas lahan pertanian yang diusahakan oleh penduduk seluas 2,5 Ha (Laporan Monografi Kecamatan Ciampea Semester II, 2007).

5.5 Kondisi Perekonomian

  Kecamatan Ciampea merupakan salah satu Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor serta termasuk di wilayah pengembangan dan pembangunan di Bogor Barat. Secara umum kondisi perekonomian masyarakat di Kecamatan Ciampea sampai saat ini masih di bawah garis kemiskinan dengan mata pencaharian yang beraneka ragam , namun secara garis besar sebagian penduduk bekerja sebagai petani dan buruh. Wilayah ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pengembangan permukiman, pariwisata, kerajinan, pertanian, perikanan, dan pelestarian sumberdaya air.

  Sarana perekonomian yang ada di Kecamatan Ciampea antara lain Koperasi Unit Desa (KUD) sebanyak 12 unit, Koperasi Produksi sebanyak 5 unit, Koperasi lainnya sebanyak 3 unit, pasar umum sebanyak 1 unit, pasar bangunan permanen sebanyak 1 unit, pasar bangunan semi permanen sebanyak 401 unit, tikokioswarung sebanyak 645 unit, dan Bank sebanyak 1 unit. Selain itu terdapat juga industri, antara lain industri besar sebanyak 17 lokasi, industri sedang sebanyak 12 lokasi, industri kecil sebanyak 75 lokasi, dan Usaha Kecil Mikro (UKM) sebanyak 460 lokasi, semua industri tersebut tersebar di 13 desa. Jenis usaha lain yang terdapat di Kecamatan Ciampea yaitu rumah makanwarung makan sebanyak 46 unit dan perdagangan sebanyak 670 unit.

  Pada bidang pertanian akan dikembangkan bagi kegiatan pertanian berupa pertanian lahan basah, agrowisata, lahan keringperkebunanpalawija. Dalam bidang peternakan dan perikanan, Kecamatan Ciampea merupakan sentra peternakan unggas potong, yang hasilnya untuk pasokan bagi masyarakat Ibukota Negara Jakarta, serta daerah sekitar seperti Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Depok. Pada saat ini Kecamatan Ciampea sedang diupayakan untuk dapat bertumbuh kembangnya Usaha Kecil Mikro (UKM) yang memproduksi tas dan jaket untuk pemasaran di daerah Jabotabek. Kendala yang dihadapi pada UKM tersebut yaitu harga jualnya kalah bersaing dengan tas dan jaket yang berasal dari pabrik besar di Kota Bogor, hal ini disebabkan masalah permodalan akibat suku bunga bank yang tinggi yang berpengaruh terhadap nilai jual barang.

5.6 Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ciampea

  Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor, pemanfaatan ruang wilayah Kecamatan Ciampea secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan tanaman tahunanperkebunan, kawasan hutan produksi, kawasan permukiman perdesaan, dan kawasan pengembangan perkotaan. Pengelolaan kawasan-kawasan tersebut dilakukan bagi kepentingan masyarakat melalui kegiatan budidaya dengan mempertimbangkan aspek teknis seperti daya dukung dan kesesuaian tanah, aspek sosial, serta aspek ruang, dan bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam serta sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia untuk menyerasikan pemanfaatan ruang dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan sasaran dari pengelolaan kawasan-kawasan tersebut yaitu terwujudnya pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat yang memberikan keuntungan besar pada masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Kebijakan pembangunan untuk masing-masing kawasan secara rinci diuraikan sebagai berikut :

a. Kawasan Pertanian Lahan Basah

  Kawasan pertanian lahan basah di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 3.120 Ha. Pengelolaan kawasan pertanian lahan basah dilakukan melalui upaya memanfaatkan potensi tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi pertanian lahan basah dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

b. Kawasan Pertanian Lahan Kering

  Kawasan pertanian lahan kering di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 330 Ha. Pengelolaan kawasan pertanian lahan kering dilakukan melalui upaya memanfaatkan potensi tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi pertanian lahan kering dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

c. Kawasan Tanaman TahunanPerkebunan

  Kawasan tanaman tahunanperkebunan di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 1.045 Ha. Pengelolaan kawasan tanaman tahunan dilakukan melalui upaya memanfaatkan potensi tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi pertanian tanaman tahunan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

d. Kawasan Hutan Produksi

  Kawasan hutan produksi di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 1.365 Ha. Pengelolaan kawasan hutan produksi dilakukan melalui upaya : - Menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang

  beserta sumberdaya hutan di kawasan hutan produksi terbatas dan di kawasan hutan produksi tetap untuk memperoleh hasi-hasil hutan bagi kepentingan negara, masyarakat, industri, dan ekspor dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

  - Menerapkan cara pengelolaan hutan yang tepat dalam memanfaatkan ruang

  kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi guna mendukung pengembangan transportasi, transmigrasi, pertanian, permukiman, perkebunan,

  industri, dan lain-lain dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

e. Kawasan Permukiman Perdesaan

  Kriteria dari kawasan permukiman perdesaan yaitu kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman dapat meningkatkan ketersediaan permukiman beserta sarana dan prasarananya. Lokasinya terkait dengan kawasan hunian yang telah berkembang. Kawasan permukiman perdesaan di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 690 Ha. Pengelolaan kawasan permukiman perdesaan dilakukan melalui upaya : - Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim dengan menyediakan

  lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat.

  - Permukiman yang telah berkembang ditata lingkungannya, sehingga memenuhi

  persyaratan fisik, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian.

f. Kawasan Pengembangan Perkotaan

  Kriteria kawasan pengembangan perkotaan yaitu kawasan yang apabila dikembangkan dapat menampung permukiman perkotaan berskala besar dan dapat dikembangkan ke pusat-pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan jasa. Lokasinya terkait dengan sistem kota-kota di sekitarnya. Kawasan pengembangan perkotaan di Kecamatan Ciampea mempunyai luas 710 Ha. Pengelolaan kawasan permukiman perdesaan dilakukan melalui upaya : - Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim dengan menyediakan

  lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat.

  - Permukiman yang telah berkembang ditata lingkungannya, sehingga memenuhi

  persyaratan fisik, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

  Alih fungsi lahan adalah suatu proses dinamis yang wajar terjadi mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Proses ini tetap perlu dijaga, diatur, dan sedapat mungkin dihindari agar tidak merugikan bagi penggunaan lahan yang telah ada maupun terhadap kemungkinan pemanfaatan potensi lahan untuk pengembangan penggunaannya dimasa datang.

  Land rent dapat dijadikan dasar untuk menerangkan bagaimana suatu usaha menekan usaha lainnya yang berlangsung pada wilayah yang sama sehingga dapat diduga bagaimana proses pergeseran yang terjadi dari satu bentuk penggunaan lahan ke bentuk penggunaan lahan lainnya. Dengan demikian pengetahuan mengenai land rent dan faktor-faktor yang mempengaruhinya perlu untuk diketahui. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bagaimana dan sejauh mana proses perubahan penggunaan lahan pada lahan pertanian dan non pertanian yang terjadi pada lokasi penelitian. Selain itu juga diperoleh hasil berupa land rent lahan pertanian dan lahan non pertanian pada lokasi penelitian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

6.1 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

6.1.1 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian

  Kabupaten Bogor selama beberapa tahun terakhir mengalami konversi lahan yang cukup cepat. Khususnya Kecamatan Ciampea yang dalam RTRW Kabupaten Bogor merupakan kecamatan yang lebih difungsikan sebagai lahan pertanian lahan basah, mengalami konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun.

  Konversi lahan pertanian juga merambah sarana dan prasarana pertanian dan telah menghabiskan investasi yang cukup besar. Laju degradasi lahan pertanian selama tujuh tahun yaitu dari tahun 2000 sampai 2007 dapat dilihat di Tabel 8. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga tahun 2007 luas lahan pertanian di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan dari 1558 ha menjadi 1.286,4 ha, sehingga pertumbuhannya selama kurun waktu tersebut sebesar –271,6 ha. Untuk laju pertumbuhan lahan pertanian tiap tahunnya sebesar –2,70 persen per tahun. Salah satu berkurangnya luas lahan pertanian adalah akibat kegiatan pengalihfungsian lahan pertanian ke penggunaan lain.

  Tabel 8. Perubahan Luas Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea,

  Kabupaten Bogor

  Luas Penggunaan Lahan (Ha)

  Pertumbuhan

  No Desa Tahun 2000 Tahun 2007 Pertumbuhan

  1 Ciampea Udik

  5 Tegal Waru

  6 Bojong Jengkol

  7 Cihideung Udik

  8 Cihideung Ilir

  80 -63 -44,056

  9 Cibanteng

  10 Bojong Rangkas

  47 45 -2 -4,255

  91 40 -51 -56,044 13 Ciampea 16 30 14 87,500

  Sumber : BPS, 2000 dan Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007

  Perubahan luas lahan pertanian berbeda-beda di setiap desa, ada yang bertambah dan ada juga yang mengalami penurunan. Dari hasil analisis pertumbuhan untuk lahan pertanian terlihat bahwa ada lima desa yang mengalami penambahan luas lahan pertanian dan enam desa yang mengalami penurunan (alih fungsi) luas lahan pertanian. Sedangkan ada dua desa yang tidak ada perubahan data luas penggunaan lahan selama kurun waktu tujuh tahun. Desa yang

  mengalami penambahan luas lahan pertanian adalah Ciampea Udik, Cicadas, Bojong Jengkol, Cihideung Udik, dan Ciampea. Hal ini disebabkan karena di keempat desa tersebut mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat adalah sebagai petani dan hampir tidak adanya penduduk baru dari luar desa tersebut yang pindah ke desa-desa tersebut dalam kurun waktu tujuh tahun. Sehingga penambahan luas lahan pertanian dibutuhkan sebagai tuntutan dari jumlah petani yang semakin besar. Desa-desa yang mengalami penurunan luas lahan pertanian ada empat desa yaitu Cinangka, Cibuntu, Tegal Waru, Cihideung Ilir, Bojong Rangkas, dan Benteng. Hal ini disebabkan karena terjadi pengalihfungsian lahan pertanian ke penggunaan lain khususnya menjadi kawasan permukiman- permukiman baru yang dibangun oleh pihak pengembang (developer) dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal.

  Pada tahun 2007 jika diperbandingkan antara luas lahan pertanian seluas 1.286,4 ha dan jumlah penduduk yang bermatapencaharian utama sebagai petani sebesar 8.978 jiwa atau 20,45 dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki pekerjaan (Tabel 7), maka terlihat luas lahan pertanian tersebut tidaklah memadai dan luasannya sangat kecil untuk dijadikan sebagai lahan usaha tani yang optimal. Jika dirata-ratakan, maka setiap petani hanya memiliki luas lahan pertanian seluas

  1.432,83 m 2 atau 0,143 ha. Berdasarkan penelitian Kurnia dalam Akib (2002), diketahui bahwa petani dapat digolongkan berlahan sempit jika luas lahan usaha

  pertanian mereka kurang dari 0,5 ha. Dapat diperkirakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah petani gurem. Akan tetapi, pada kenyataannya dari penelitian yang dilakukan terlihat bahwa kepemilikan lahan pertanian di Kecamatan Ciampea tidaklah merata karena ada beberapa petani yang memiliki lahan dengan

  luas lebih dari dua hektar namun ada juga petani yang memiliki lahan hanya kurang dari 0,5 ha.

  Peningkatan teknologi menjadi kecil peranannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani berlahan sempit (< 0,5 ha). Hal ini akan meningkatkan ketidakpastian dalam usaha tani yang secara tidak langsung disebabkan oleh penguasaan lahan dan secara langsung disebabkan oleh peningkatan kebutuhan yang semakin meningkat. Akibatnya petani berlahan sempit semakin terdorong untuk menjual lahannya atau mengkonversi lahannya dari penggunaan pertanian ke non pertanian, sementara kemampuan diversifikasi usaha mereka relatif rendah. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat faktor utama yang menyebabkan petani mengalih gunakan lahannya yang sempit. Faktor utama adalah rendahnya land rent dan yang kedua adalah skala usaha yang sangat kecil (subsisten).

  Nilai laju pertumbuhan lahan pertanian yang bernilai negatif tiap tahunnya, disamping dapat mengakibatkan berubahnya fenomena fisik luasan lahan pertanian, juga dapat berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya, dan politik masyarakat. Meskipun alih fungsi lahan merupakan suatu proses yang wajar dan diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan wilayah, proses ini tetap harus dijaga agar sejauh mungkin tidak merugikan dan berlangsung sesuai dengan aturannya. Perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri dan pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan.

6.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman

  Salah satu bentuk pengkonversian lahan pertanian adalah konversi lahan pertanian ke bentuk non pertanian atau lahan terbangun. Lahan terbangun,

  khususnya lahan untuk permukiman, pada lokasi penelitian terlihat mulai merambah areal pertanian. Data mengenai luas perubahan lahan permukiman pada tahun 2000 samapai 2007 dapat dilihat pada Tabel 9. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2007 luas lahan permukiman di Kecamatan Ciampea mengalami peningkatan sebesar 337 ha dari 1.080 ha menjadi 1.417 ha. Untuk laju pertumbuhan lahan permukiman tiap tahunnya sebesar 3,96 persen per tahun. Permukiman-permukiman baru selama kurun waktu tujuh tahun tersebut tentunya mengalihfungsikan lahan-lahan kosong atau bahkan lahan pertanian yang masih produktif menjadi rumah huniperumahan demi tuntutan pemenuhan kebutuhan akan lahan.

  Tabel 9. Perubahan Luas Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea,

  Kabupaten Bogor

  Luas Penggunaan Lahan (Ha)

  Pertumbuhan

  No Desa Tahun 2000 Tahun 2007 Pertumbuhan

  1 Ciampea Udik

  5 Tegal Waru

  6 Bojong Jengkol

  7 Cihideung Udik

  8 Cihideung Ilir

  10 Bojong Rangkas

  75 -40 -34,783

  11 Cibadak

  95 -21 -18,103

  12 Benteng

  98 -11 -10,092

  Sumber : BPS, 2000 dan Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007

  Berdasarkan hasil analisis pertumbuhan permukiman menunjukkan ada tujuh desa yang mengalami penambahan dan empat desa yang mengalami penurunan. Lima desa lainnya tidak ada perbedaan data luas penggunaan lahan antara tahun 2000 dan tahun 2007. Desa yang mengalami penambahan luas lahan permukiman adalah Cianangka, Cibuntu, Cicadas, Tegal Waru, Cihideung Udik,

  Cihideung Ilir, dan Cibanteng. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan akan lahan untuk permukimantempat tinggal juga semakin meningkat. Dari hasil analisis pertumbuhan untuk lahan permukiman terlihat bahwa Desa Cinangka dan Tegal Waru mengalami penambahan lahan permukiman yang sangat tinggi, yaitu sebesar 429,412 persen dan 397,368 persen. Hal ini disebabkan karena adanya perbaikan akses jalan, sehingga menyebabkan tumbuhnya daerah permukiman baru yang banyak bermunculan. Desa-desa yang mengalami penurunan luas lahan permukiman adalah Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Cibadak, dan Benteng, hal ini terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan permukiman menjadi penggunaan lainnya seperti perdagangan, industri, atau jasa.

  Sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi. Akibatnya realokasi sumberdaya dari sektor pertanian ke non pertanian sangat sulit dihindari. Meskipun demikian, proses realokasi tersebut perlu diatur, diarahkan, dan dibatasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan penetapan kebijakan perencanaan tata ruang. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah perencanaan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pengoptimalan pengimplementasian RTRW merupakan suatu alat untuk mengarahkan dalam penentuan daerah yang menjadi lokasi pemanfaatan lahan non pertanian. Lahan- lahan potensial dan produktif tinggi ditetapkan untuk tidak dikonversi ke bentuk lahan non pertanian. Sedangkan lahan-lahan yang tingkat pemanfaatannya relatif belum intensif dapat lebih diprioritaskan untuk diarahkan ke penggunaan non pertanian.

  Konversi lahan juga akan mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan nasional, khususnya pada sektor pertanian. Semakin laju konversi lahan pertanian akan mengakibatkan berkurangnya dan menyempitnya luas lahan pertanian dan skala usaha tani. Kondisi ini akan semakin memberatkan sektor pertanian dimasa depan, karena sektor pertanian masih merupakan penampung sebagian besar tenaga kerja nasional. Akibatnya, pada saat sektor pertanian tidak lagi sanggup untuk menampung tenaga kerja tersebut, maka akan banyak penduduk desa yang pindah ke kota besar untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian.

6.2 Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

  Nilai ekonomi lahan (land rent) diperoleh dari rata-rata land rent dari 30 responden baik responden petani maupun pemilik permukiman. Berdasarkan nilai riil, land rent diperoleh dari rata-rata nilai surplusdefisit usaha dalam analisis finansial masing-masing responden petani dan pemilik permukiman selama kurun waktu satu tahun. Perbandingan Nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian dengan lahan permukiman diketahui sebesar 1 : 79 (Tabel 10) yang berarti land rent permukiman mencapai 79 kali lebih besar dibandingkan land rent pertanian. Berdasarkan nilai perbandingan tersebut dapat dijabarkan bahwa usaha permukiman, pada saat dan jangka waktu yang sama serta luas lahan yang sama lebih menguntungkan 79 kali dibandingkan dengan usaha pertanian. Tabel lengkap perbandingan nilai ekonomi lahan (land rent) berdasarkan nilai riil antara lahan pertanian dan lahan permukiman terdapat pada Lampiran 6.

  Berdasarkan land rent tersebut telah dapat diprediksi bahwa pergeseran penggunaan lahan pertanian ke bentuk non pertanian akan terus berlangsung dan

  akan sangat sulit untuk dihindari. Untuk itu perlu adanya suatu mekanisme pengaturan proses alih fungsi tersebut yang merupakan bagian dari bentuk kebijakan perencanaan tata ruang. Proses pembebasan lahan harus berlangsung secara adil dan tidak merugikan pihak petani pemilik lahan. Pihak petani harus mendapatkan sebagian keuntungan yang diperoleh oleh pihak non petani. Perlu adanya penetapan kebijakan dimana pihak petani pemilik lahan berhak mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan sekian persen dari perbandingan land rent (79 kali) antara petani dan non petani. Sehingga, petani yang telah kehilangan mata pencaharian utamanya mempunyai cukup modal untuk mencari alternatif mata pencaharian baru.

  Tabel 10. Perbandingan Rata-Rata Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent)

  Berdasarkan Nilai Riil Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman (Rpm 2 Tahun)

  Land Rent

  Lahan Pertanian

  Lahan Permukiman

  Nilai rata-rata opportunity cost yang diperoleh merupakan selisih antara nilai rata-rata land rent lahan pertanian dan lahan permukiman, yaitu sebesar Rp 100.911,00m 2 tahun. Nilai ini menunjukkan besarnya nilai kesempatan atau

  keuntungan materi yang tidak dapat diperoleh petani atas konsekuensinya untuk tetap mempertahankan lahan pertanian mereka. Lahan pertanian memiliki manfaat yang sangat besar yang tidak hanya dinikmati oleh petani pemilik lahan saja, melainkan juga dinikmati oleh masyarakat umum, khususnya manfaat lingkungan dan penyediaan hasil produksi pertanian. Jika beban untuk mempertahankan lahan pertanian hanya ditanggung oleh pihak petani, hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Melihat besarnya nilai opportunity cost ini, hendaknya para petani

  diberi kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Salah satu caranya adalah dengan peningkatan produktivitas lahan serta nilai jual produk pertanian. Besarnya nilai keuntungan yang tidak diperoleh oleh petani perlu segera ditangani dan ditindaklanjuti. Jika hal ini terus berlangsung maka proses konversi lahan dapat dipastikan akan terus berlanjut dan akan semakin laju. Hal ini adalah hal yang sangat wajar serta petani tidak dapat disalahkan jika mereka mengkonversi lahan mereka ke bentuk non pertanian yang memiliki land rent yang lebih tinggi dan memberikan nilai keuntungan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, pihak pemerintah dan masyarakat sekitar yang ikut menikmati dan merasakan atas keberadaan lahan pertanian baik dari segi manfaat produksi maupun manfaat lingkungan memiliki tanggung jawab untuk menagnggung beban tersebut. Hal ini dapat berwujud dalam bentuk kebijaksanaan insentif dan disinsentif bagi petani dan non petani.

  Hasil ini semakin memperkuat teori yang mengemukakan bahwa petani cenderung memanfaatkan lahannya untuk penggunaan yang dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terbesar. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa petani cenderung untuk mengkonversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Pada umumnya setiap jenis penggunaan lahan (pertanian dan non pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan (land rent) yang berbeda. Jenis penggunaan dengan nilai keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan yang terbesar, sehingga penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan land rent teringgi. Penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih tinggi relatif lebih mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggeser posisi penggunaan

  lahan yang memiliki nilai ekonomi lahan yang lebih kecil. Teori Barlowe (1978) mengemukakan bahwa lahan dengan land rent tertinggi cenderung dikuasai oleh kegiatan jasa, selanjutnya pada tingkat yang lebih rendah berturut-turut yaitu lahan industri, permukiman, pertanian, hutan, hingga lahan tandus.

  Hasil perhitungan land rent lahan pertanian yang dilakukan pada penelitian ini masih terlalu underestimate, karena belum menghitung manfaat fungsi-fungsi lahan pertanian yang lain selain sebagai penghasil bahan pangan. Perhitungan land rent tersebut hanya menghitung nilai budi daya lahan pertanian saja, belum menghitung nilai manfaat jasa lingkungan pertanian dan nilai manfaat multifungsi pertanian. Husen (2006) menyatakan multifungsi lahan pertanian merupakan berbagai fungsi eksternal pertanian selain fungsi utamanya sebagai penghasil pangan dan serat atau barang yang tampak nyata dan dapat dipasarkan. Multifungsi pertanian mencakup fungsi pertanian bagi lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, dan ketahanan pangan. Secara umum, karakteristik multifungsi pertanian adalah berupa barang umum hasil ikutan suatu proses produksi.

  Menurut Rahmanto, Irawan, dan Agustin (2003) lahan pertanian memiliki multifungsi sebagai berikut, yaitu (1) penghasil bahan pangan; (2) penyedia lapangan pekerjaan; (3) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan; (4) sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional; (5) sarana tumbuhnya rasa gotong royong; (6) sarana priwisata; (7) mengurangi peluang banjir, erosi, dan tanah longsor; (8) menjaga keseimbangan sirkulasi air; (9) mengurangi pencemaran udara dan lingkungan; (10) sarana pendidikan; (11) sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) pada Lahan Pertanian

  Sebelum dilakukan analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan analisis korelasi berganda terhadap variabel-variabel penjelas, hasil analisis korelasi berganda dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan nilai korelasi (r) antara masing-masing variabel penjelas terlihat ada nilai korelasi yang tinggi atau

  bernilai lebih dari 50 persen yaitu antara status lahan (X 2 ) dengan biaya operasional (X 4 ) dan antara total penerimaan (X 3 ) dengan pajak (X 5 ). Sehingga,

  perlu dilihat nilai VIF masing-masing variabel penjelas agar diketahui ada atau tidaknya multikolinearitas.

  Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, diketahui terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan pertanian. Analisis yang dilakukan dalam perhitungan ini adalah Analisis Regresi Berganda. Berdasarkan land rent sebagai variabel tidak bebasrespon (Y) dan nilai variabel- variabel bebaspenjelas (X), dilakukan analisis lanjutan berupa analisis regresi berganda. Hasil analisis ini dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan nilai P pada

  masing-masing variabel terlihat bahwa variabel X 2 ,X 3 , dan X 3 menunjukkan

  pengaruh yang nyata terhadap land rent.

  Tabel 11. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent

  Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

  Variabel Interpretasi

  Koefisien SE Koefisien T

  X 1 Luas Lahan -0,008 0,015 -0,50 0,620 1,3

  X 2 Status Lahan

  X 3 Total Penerimaan

  X 4 Biaya Operasional -0,741 0,188 -3,94 0,001 3,1

  X 5 Pajak (PBB)

  X 6 Jarak ke Pasar

  S = 474,166 R-Sq = 89,2 R-Sq(adj) = 86,3

  Keterangan : nyata pada taraf 5, nyata pada taraf 1

  Dari hasil analisis tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 89,2 persen dan nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R-Sq(adj)) sebesar 86,3 persen. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keragaman yang bisa diterangkan oleh variabel-variebel penjelas (X) yang digunakan dalam model terhadap nilai Y (Land Rent) yaitu sebesar 86,3 persen. Sedangkan sisanya sebesar 13,7 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diamati dalam model analisis. Pada Tabel 11 didapatkan pula nilai VIF untuk masing-masing variabel yang dapat digunakan untuk melihat adanya multikolinearitas antar variabel penjelas. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa semua variabel mempunyai nilai VIF kurang dari lima yang artinya tidak ada masalah multikolinearitas pada model analisis. Sedangkan uji heteroskedastisitas yang dilakukan, diperoleh bahwa model tidak terdapat heteroskedastisitas. Hal ini dijelaskan dari plot data antara nilai residual dengan nilai dugaan variabel respon bersifat acak atau tidak ada pola tertentu. Variabel nyata mempengaruhi nilai ekonomi lahan (land rent) pada tingkat kepercayaan lebih dari 95 persen (p<0,05). Berdasarkan hasil analisis dimana Y merupakan nilai ekonomi lahan (land rent), model regresi berganda yang dihasilkan adalah :

  Y = - 583,5 – 0,008 X 1 + 620,4 X 2 + 0,838 X 3 – 0,741 X 4 + 4,336 X 5 + 0,004 X 6

  Hasil regresi ini menujukkan faktor-faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap land rent. Berdasarkan analisis ini menunjukkan bahwa faktor

  yang memberikan pengaruh nyata terhadap land rent adalah variabel X 2 (Status Lahan) dan yang memberikan pengaruh yang sangat nyata adalah variebel X 3

  (Penerimaan) serta variabel X 4 (Biaya Operasional), sedangkan variabel lain tidak

  berpengaruh nyata. Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap

  model artinya pengaruh variabel-variabel penjelas terhadap perubahan land rent sangat kecil.

  Dari hasil analisis regresi, variabel jarak antara lahan dengan pasar tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Nilai P yang diperoleh sebesar 0,473 artinya pengaruh perubahan jarak dengan pasar terhadap perubahan land rent sangat kecil. Hal ini bertolak belakang dengan teori lokasi yang mengemukakan bahwa semakin dekat jarak suatu lahan ke pusat kota atau pasar maka land rent juga akan semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ada faktor yang menyebabkan jarak lahan dengan pasar tidak nyata terhadap model yaitu hampir setengah dari petani responden bekerja sama dengan tengkulak dalam mendapatkan sarana produksi dan menjual hasil produksinya. Berdasarkan definisi yang menyebutkan bahwa pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli di dalam suatu kegiatan ekonomi, maka jarak lahan dengan pasar bagi responden yang bekerjasama dengan tengkulak bernilai nol, karena proses jual dan beli berlangsung di lahan tersebut. Sedangkan, untuk petani responden yang mendapatan sarana produksi dan menjual hasil produksinya di pasar, jarak antara lahan dengan pasar lebih ditentukan oleh jenis komoditi yang diproduksi. Hal ini disebabkan karena masing-masing jenis komoditi memiliki pasar induk yang berbeda-beda. Selain itu, jarak antara lahan dengan pasar tidak begitu mencerminkan besarnya biaya transportasi, karena biaya sewa angkutan untuk mengangkut hasil produksi ke pasar dihitung berdasarkan banyaknya hari pemakaian angkutan tersebut dan bobot hasil produksinya. Interpretasi variabel dengan penjelasan terhadap masing-masing variabel yang berpengaruh nyata dan sangat nyata adalah sebagai berikut :

  Status Lahan

  Variabel X 2 diinterpretasikan sebagai status lahan bagi petani responden

  yang menggarap lahan pertanian. Variabel ini merupakan variabel dummy yang bernilai satu apabila petani responden merupakan petani pemilik lahan, dan bernilai nol apabila petani responden bukan sebagai pemilik lahan atau hanya merupakan petani penggarap. Telah menjadi fenomena umum di semua desa Kecamatan Ciampea, terdapat beberapa pemilik lahan bukan penduduk stempat melainkan penduduk kota, yang umumnya penduduk Kota Bogor dan Kota Jakarta, yang menyewakan atau menyakapkan lahan mereka kepada petani setempat. Hal ini mempengaruhi jenis komoditi yang ditanam dan yang diusahakan oleh petani. Masyarakat kota sebagai pemilik lahan menentukan jenis tanaman dengan melihat komoditi yang sedang dan diperkirakan akan memiliki nilai jual yang tinggi. Terkadang, pemilihan jenis tanaman ini tanpa melihat kesesuaian lahannya dan memaksakan pertumbuhan tanaman tersebut dengan input yang lebih besar.

  Nilai koefisien regresi untuk variabel status lahan adalah 620,4 ini menunjukkan bahwa selisih land rent antara petani yang berstatus pemilik lahan

  dengan petani yang berstatus penggarap lahan sebesar Rp 620,40m 2 tahun pada

  saat variabel lain bernilai tetap. Berdasarkan nilai tersebut menunjukkan bahwa petani yang berstatus sebagai pemilik lahan memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan petani yang hanya berstatus bukan pemilik lahan atau hanya sebagai penggarap lahan. Hal ini disebabkan karena petani bukan pemilik lahan harus menambah jumlah input mereka dengan mengeluarkan biaya sewa lahan atau dengan membagi jumlah keuntungan usaha tani mereka dengan pemilik

  lahan. Semakin besar nilai input yang mereka keluarkan maka akan semakin menurunkan land rent usaha tani mereka.

  Total Penerimaan (Rpm 2 tahun)

  Variabel X 3 diinterpretasikan sebagai total penerimaan. Penerimaan

  merupakan hasil yang diperoleh oleh petani selama melakukan kegiatan usaha tani, total penerimaan didapatkan dari hasil produksi selama satu tahun dikali dengan harga komoditi yang ditanam. Total penerimaan yang didapatkan oleh petani juga dapat menggambarkan tingkat produktivitas lahan pertanian dan harga komoditi pertanian, apabila produktivitas lahan pertanian atau harga komoditi pertanian tinggi maka penerimaan yang diterima petani juga relatif besar, dan sebaliknya. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian harga yang diterima oleh semua responden relatif seragam untuk komoditi yang sama. Oleh

  karena itu, dalam penelitian ini variabel total penerimaan (X 3 ) dapat

  menggambarkan tingkat produktivitas atau kesuburan lahan pertanian, seperti yang dikemukakan oleh David Ricardo bahwa semakin tinggi tingkat produktivitas atau kesuburan lahan pertanian semakin tinggi land rent lahan tersebut.

  Total penerimaan tersebut selanjutnya dibagi dengan luas lahan, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya korelasi yang tinggi antara variabel total penerimaan dengan variabel-variabel lain yang nilainya tergantung dengan nilai luas lahan, seperti biaya operasional, pajak, serta luas lahan itu sendiri. Berdasarkan hasil koefisien regresi yang diperoleh untuk variabel total penerimaan menunjukkan bahwa penambahan satu satuan total penerimaan akan

  meningkatkan land rent lahan pertanian sebesar 0,833 satuan pada saat variabel lain tetap.

  Biaya Operasional (Rpm 2 tahun)

  Variabel X 4 diinterpretasikan sebagai biaya operasional. Biaya operasional

  merupakan penjumlahan dari biaya-biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja non keluarga. Sedangkan yang termasuk biaya sarana produksi yaitu biaya pembelian bibit, pupuk, pestisida, serta biaya transportasi untuk mengangkut hasil pertanian ke pasar terdekat. Biaya-biaya tersebut dihitung berdasarkan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan kegiatan usaha tani selama kurun waktu satu tahun. Biaya operasional pada penelitian ini dapat menggambarkan tingkat kesuburan lahan pertanian, karena dari hasil pengamatan dan wawancara pada semua responden terlihat bahwa harga saprodi dan biaya tenaga kerja relatif sama di lokasi penelitian. Oleh karena itu, apabila ada reponden yang memiliki luas lahan yang sama dan menanam komoditi yang sama tetapi biaya operasionalnya berbeda, maka hal ini yang berbeda dari responden tersebut adalah tingkat kesuburan lahannya.

  Biaya operasional tersebut selanjutnya dibagi dengan luas lahan, agar tidak terjadi korelasi yang tinggi dengan variabel-variabel lain yang nilainya tergantung dengan nilai luas lahan. Berdasarkan hasil koefisien regresi untuk biaya operasional menunjukkan setiap penambahan satu satuan biaya yang dikeluarkan oleh petani akan menurunkan land rent 0,741 satuan, pada saat variabel lain tetap. Hal ini sesuai dengan teori David Ricardo bahwa semakin

  rendah tingkat kesuburan lahan, dalam hal ini diwakilkan oleh biaya operasional

  (X 4 ), maka land rent juga akan semakin rendah.

  Berdasarkan analisis ragam pada pendugaan model Land Rent lahan pertanian yang diperoleh, pada Tabel 12 didapatkan nilai F-hitung sebesar 31,51 yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Land Rent di dalam model secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap Land Rent pada lahan pertanian.

  Tabel 12. Analisis Ragam Model Land Rent Lahan Pertanian di Kecamatan

  Ciampea, Kabupaten Bogor

  Residual Error

  Total 29 47681037

6.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) pada Lahan Permukiman

  Sebelum dilakukan analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan analisis korelasi berganda terhadap variabel-variabel penjelas, hasil analisis korelasi berganda dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan nilai korelasi (r) antara masing-masing variabel penjelas terlihat ada nilai korelasi yang tinggi atau

  bernilai lebih dari 50 persen yaitu antara pajak (X 5 ) dengan luas lahan (X 1 ), penerimaan (X 3 ), dan biaya operasional (X 4 ); antara penerimaan dengan luas lahan dan biaya operasional; antara jarak ke pasar (X 7 ) dengan jarak ke puskesmas (X 9 ); serta antara jarak ke sekolah (X 8 ) dengan jarak ke kantor desa (X 10 ). Oleh

  karena itu, perlu dilihat nilai VIF masing-masing variabel penjelas agar diketahui ada atau tidaknya multikolinearitas. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diketahui terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan permukiman. Berdasarkan land rent sebagai variabel tidak bebasrespon (nilai Y)

  dan nilai variabel-variabel bebaspenjelas (X), dilakukan analisis lanjutan berupa analisis regresi berganda.

  Tabel 13. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent

  Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

  Variabel Interpretasi

  Koefisien SE Koefisien T P

  X 1 Luas Lahan -346,9 101 -3,44 0,003 1,8

  X 2 Kondisi Rumah

  X 3 Total Penerimaan

  X 4 Biaya Operasional -0,0002 0,003 -0,05 0,958 2,0

  X 5 Pajak (PBB) -0,147 0,153

  X 6 Jarak ke Jalan utama

  X 7 Jarak ke Pasar

  X 8 Jarak ke Sekolah

  X 9 Jarak ke Puskesmas

  X 10 Jarak ke Kantor Desa 6,73

  S = 55619,3 R-Sq = 82,1 R-Sq(adj) = 72,7

  Keterangan : nyata pada taraf 5, nyata pada taraf 1

  Dari Tabel 13 diatas, nilai VIF untuk variabel penerimaan (X 3 ) bernilai 5,2

  atau lebih dari lima, apabila ada variabel penjelas memiliki nilai VIF lebih besar dari lima, hal ini menunjukkan bahwa persamaan atau model tersebut mengalami multikolinearitas. Maka untuk mengatasi masalah multikolinearitas, salah satu yang paling “sederhana” untuk dilakukan adalah mengeluarkan satu dari variabel yang berkolinear (Gujarati, 1978). Dalam hal ini variabel yang dikeluarkan adalah

  variabel pajak (PBB) (X 5 ), karena variabel ini yang memiliki nilai korelasi paling

  tinggi dengan variabel penerimaan. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi land rent lahan permukiman dengan model yang tidak mengalami masalah multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 14.

  Berdasarkan nilai P pada masing-masing variabel terlihat bahwa variabel

  X 1 ,X 2 ,X 3 , dan X 6 menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap land rent pada

  tingkat kepercayaan lebih dari 95 persen (P<0,05). Dari hasil analisis tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi (R-Sq) sebesar 81,3 persen dan nilai

  koefisien determinasi yang disesuaikan (R-Sq(adj)) sebesar 72,8 persen. Nilai tersebut menunjukkan keragaman yang dapat diterangkan oleh model terhadap nilai Y (Land Rent) yaitu sebesar 72,8 persen. Sedangkan sisanya sebesar 27,2 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diamati dalam model analisis.

  Tabel 14. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent

  Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (tanpa variabel pajak)

  Variabel Interpretasi

  Koefisien SE Koefisien T P

  X 1 Luas Lahan -366,25 98,78 -3,71 0,001 1,7

  X 2 Kondisi Rumah

  X 3 Total Penerimaan

  X 4 Biaya Operasional

  X 6 Jarak ke Jalan utama

  X 7 Jarak ke Pasar

  X 8 Jarak ke Sekolah

  X 9 Jarak ke Puskesmas

  X 10 Jarak ke Kantor Desa 6,98

  S = 55.512,8 R-Sq = 81,3 R-Sq(adj) = 72,8

  Keterangan : nyata pada taraf 5, nyata pada taraf 1

  Pada Tabel 14 didapatkan pula nilai VIF untuk masing-masing variabel yang dapat digunakan untuk melihat adanya multikolinearitas antar variabel penjelas. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa semua variabel mempunyai nilai VIF kurang dari lima yang artinya tidak ada masalah multikolinearitas pada model analisis. Sedangkan uji heteroskedastisitas yang dilakukan, diperoleh bahwa model tidak terdapat heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil analisis dimana Y merupakan nilai ekonomi lahan (land rent), model regresi berganda yang dihasilkan adalah :

  Y = 80.903 – 366,25 X 1 + 66.154 X 2 + 0,002 X 3 – 0,0002 X 4 – 61,93 X 6

  – 9,446 X 7 + 4,05 X 8 + 9,327 X 9 + 6,98 X 10

  Hasil regresi ini menujukkan faktor-faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap land rent. Berdasarkan analisis ini menunjukkan bahwa faktor

  yang memberikan pengaruh nyata terhadap land rent adalah variabel X 2 (Kondisi

  rumah) dan variabel X 6 (Jarak ke jalan utama), serta yang memberikan pengaruh

  yang sangat nyata adalah variebel X 1 (Luas lahan) dan variabel X 3 (Total

  penerimaan), sedangkan variabel lain tidak berpengaruh nyata. Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap model artinya pengaruh variabel-variabel penjelas terhadap perubahan land rent sangat kecil. Lebih jelas variabel-variabel yang berpengaruh nyata dan sangat nyata diterangkan sebagai berikut :

  Luas Lahan (m 2 )

  Variabel X 1 diinterpretasikan sebagai luas lahan. Luas lahan merupakan

  total luas lahan permukiman baik luas lahan bangunan maupun luas lahan perkarangan. Hasil nilai koefisien regresi untu variabel luas lahan adalah -366,25 ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu satuan luas lahan akan menurunkan land rent lahan permukiman sebesar 366,25 satuan, pada saat variabel lainnya tetap. Ada beberapa faktor yang menyebabkan luas lahan berkorelasi negatif dengan land rent lahan permukiman, yaitu dengan semakin meningkatnya luas lahan maka biaya operasional untuk membangun atau merawat rumah akan semakin besar. Selain itu, berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian rumah dengan luas lahan yang besar dan hanya memiliki satu lantai memiliki harga sewa yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah dengan luas lahan yang kecil namun memiliki lebih dari satu lantai. Hal ini disebabkan karena rumah dengan lantai yang lebih dari satu lebih disukai oleh para penyewa rumah,

  terutama apabila rumah tersbut digunakan untuk kost atau tempat tinggal mahasiswa.

  Kondisi Rumah

  Variabel X 2 diinterpretasikan sebagai kondisi rumah. Variabel ini

  merupakan variabel dummy yang bernilai satu untuk rumah dengan kondisi permanen dan bernilai nol untuk rumah dengan kondisi semi permanen. Berdasarkan hasil koefisien regresi untuk variabel kondisi rumah didapatkan nilai sebesar 66.154, ini menunjukkan bawa selisih land rent antara rumah dengan

  kondisi permanen dan semi permanen sebesar Rp 66.154m 2 tahun pada saat variabel lain bernilai tetap. Sehingga dapat disimpulkan, semakin baik kondisi

  rumah maka land rent juga akan semakin tinggi.

  Total Penerimaan (Rptahun)

  Variabel X 3 diinterpretasikan sebagai total penerimaan. Penerimaan

  merupakan hasil yang diperoleh oleh pemilik lahan permukiman selama satu tahun. Penerimaan ini dihitung berdasarkan biaya yang dibayarkan penyewa rumah kepada pemilik lahan permukiman selama satu tahun. Berdasarkan hasil koefisien regresi untuk variabel total penerimaan diperoleh nilai sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan bahwa apabila total penerimaan meningkat sebesar satu satuan maka akan meningkatkan land rent lahan permukiman sebesar 0,002 satuan pada saat variabel lain bernilai tetap.

  Jarak ke Jalan Utama (m)

  Dalam penelitian ini aspek jarak yang digunakan hanya jarak tempuh (km), sedangkan aspek lainnya seperti waktu tempuh dan biaya transportasi tidak termasuk ke dalam variabel jarak. Hal ini merupakan keterbatasan penelitian

  untuk menghitung aspek lain dari jarak, karena waktu tempuh dan biaya transportasi dari permukiman ke fasilitas-fasilitas publik tidak bernilai absolut tetapi relatif tergantung pada situasi dan kondisi pada saat menempuhnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi keterbatasan penelitian ini waktu tempuh dan biaya transportasi dari permukiman ke fasililitas-fasilitas publik tidak dimasukkan ke dalam model.

  Variabel X 6 diinterpretasikan sebagai jarak antara lahan permukiman

  dengan jalan utama. Jalan utama merupakan jalur yang dilalui oleh alat trasportasi atau kendaraan umum. Dari jarak fasilitas-fasilitas publik dengan lahan permukiman yang diduga sebagai variabel penjelas dalam model yang mempengaruhi land rent, hanya jarak ke jalan utama yang berpengaruh nyata. Sedangkan, untuk jarak ke fasilitas-fasilitas lain, seperti pasar tradisional terdekat, fasilitas pendidikan atau sekolah terdekat, fasilitas kesehatan atau puskesmas terdekat, dan fasilitas pemerintahan atau kantor desa, tidak berpengaruh nyata dalam model. Berdasarkan hasil koefisien regresi untuk variabel jarak ke jalan utama diperoleh nilai sebesar -61,93. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang negatif antara jarak lahan permukiman terhadap jalan utama dengan land rent. Dengan melihat nilai koefisien regresi tersebut dapat disimpulkan apabila jarak antara jalan utama dengan lahan permukiman bertambah sebesar satu satuan, maka land rent lahan permukiman berkurang sebesar 61,93 satuan pada saat variabel lain bernilai tetap. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terlihat bahwa areal permukiman sangat jarang terdapat dan berkembang di lokasi yang jauh dari jalan utama, sehingga semakin jauh letak lahan permukiman dari jalan utama atau semakin tidak strategis lokasinya maka harga sewa lahan juga

  terlihat semakin rendah, atau sebaliknya jika semakin strategis letak suatu lahan permukiman maka akan semakin tinggi harga sewa lahannya.

  Berdasarkan analisis ragam pada pendugaan model Land Rent lahan permukiman yang diperoleh, pada Tabel 15 didapatkan nilai F-hitung sebesar 9,63 yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Land Rent di dalam model secara bersama- sama berpengaruh nyata terhadap Land Rent pada lahan permukiman.

  Tabel 15. Analisis Ragam Model Land Rent Lahan Permukiman di

  Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

  Residual Error

  Total 29 3,28799E+11

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

  Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian yang yang telah dilakukan di lokasi penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Pada Kecamatan Ciampea, perubahan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tujuh tahun dari tahun 2000 sampai 2007 mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -2,70 persen tiap tahunnya. Sedangkan pada lahan permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar 3,96 persen tiap tahunnya.

  2. Berdasarkan hasil perhitungan land rent, terdapat perbedaan yang sangat besar antara land rent pertanian dan permukiman. Berdasarkan nilai riil, land rent lahan permukiman lebih besar 79 kali dibandingkan land rent lahan pertanian. Berdasarkan perbandingan land rent pertanian dan permukiman, keuntungan yang tidak diperoleh oleh pihak petani atas hilangnya kesempatan akibat konsekuensi mereka dalam mempertahankan lahan pertanian (opportunity

  cost) sebesar Rp 100.911,00m 2 tahun

  3. Berdasarkan hasil analisis regresi, faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan pertanian yaitu status lahan, total penerimaan, dan total biaya operasional pada taraf nyata lima persen, sedangkan variabel luas lahan, pajak, dan jarak ke pasar tidak berpengaruh nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan permukiman adalah luas lahan, kondisi rumah, total penerimaan, jarak ke jalan utama pada taraf lima persen, sedangkan variabel

  biaya operasional, pajak, dan jarak fasilitas-fasilitas lainnya tidak berpengaruh nyata.

7.2 Saran

  Saran dan implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan temuan hasil penelitian adalah :

  1. Dengan nilai opportunity cost lahan pertanian yang relatif tinggi, maka diperlukan peran serta dari semua pelaku ekonomi secara nyata, baik masyarakat, pemerintah, maupun swasta terutama dalam hal konsistensi pemanfaatan ruang yang sudah direncanakan yang didukung oleh kepastian dan penegakan hukum yang adil serta transparan dalam implementasinya. Diharapkan RTRW yang telah ditetapkan sebagai kebijakan pemerinyah dapat terealisasikan dan dipertahankan.

  2. Dirumuskan dan diimplementasikannya kebijakan insentif bagi petani atau lahan pertanian yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan land rent lahan pertanian. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pertanian maka kebijakan insentif tersebut dapat berupa menurunkan biaya operasional pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk, dan obat-obatan; serta meningkatkan penerimaan petani dengan kebijakan harga komoditi pertanian yang tidak terlalu rendah di tingkat petani.

  3. Perlu adanya kebijakan yang bersifat eminent domain dan propietary power dari pemerintah untuk mempertahankan lahan pertanian produktif dan potensial yang berada dekat dengan jalan utama, karena berdasarkan faktor- faktor yang mempengaruhi land rent lahan permukiman, lokasi lahan yang

  berdekatan dengan jalan utama merupakan “sasaran” bagi pengembangdeveloper untuk membangun permukiman. Oleh karena itu, apabila lahan pertanian yang berada di lokasi tersebut tidak dipertahankan maka dapat dipastikan di lokasi tersbut akan terjadi pengalihgunaan fungsi lahan.

  4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai land rent pada lahan-lahan non pertanian lainnya selain lahan permukiman.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

  Akib, Novi Narilla. 2002. Studi Keterkaitan Antara Nilai Manfaat Lahan (Land

  Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

  Alonso, William. 1964. Location and Land Use. Harvard University Press.

  Massachusetts

  Badan Pusat Statistik. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka.

  _________________. 2004. Kecamatan Ciampea Dalam Angka

  Bappeda Kabupaten Bogor. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

  Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor.

  Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. Michigan State University, Printice

  Hall, Englewood Cliffs. New Jersey

  Gujarati, Damodar. 1978. Ekonometrika Dasar. penerjemah Sumarno, Zain

  Erlangga. Jakarta.

  Husen, Edi. 2006. Konsep Multifungsi untuk Revitalisasi Pertanian. Warta

  Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28. no.5

  Irawan, Bambang. 2004. Solusi Konversi Lahan Melalui Pendekatan Sosial

  Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

  Jr, Gibson W. L, R. H Hildreth, dan Gene Wunderlich. 1966. Methods for Land

  Economics Research. University of Nebraska Press. Lincoln

  Kurniawati, Yoyoh. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke

  Non Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap daya dukung Lahan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

  Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta

  Mulyani, Yani 1994. Analisis Konversi Lahan dari Penggunaan Pertanian ke

  Penggunaan Non Pertanian dengan Pendekatan Nilai Sewa Ekonomi Lahan dan Daya Dukung Lahan (Studi Kasus Kabupaten Garut). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

  77

  Ongkowijono, Ineke. 2006. Studi Perbandingan Land Rent Antara Lahan

  Komoditas Hortikultura dengan Padi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kecamatan Pacet dan Warungkondang, Kabupaten Cianjur). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Pemerintah Kabupaten Bogor. 2007. Laporan Monografi Kecamatan Ciampea

  _______________________ . 2007. Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea

  Rahim, Dian A. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap

  Pelaku Konversi (Studi Kasus di Desa Tegalwaru dan Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

  Rahmanto, B, Bambang Irawan, dan Nur Khoiriyah A. 2002. Persepsi Mengenai

  Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi ke Penggunaan Non Pertanian. www.ejournal.unud.ac.idabstrak

  Ramanathan, Ramu. 1989. Introductory Econometrics With Applications Fourth

  Edition. The Dryden Press. Forth Worth.

  Sari, Sapta Eka. 2004. Analisis Konversi Lahan dan Sewa Ekonomi Lahan pada

  Lahan Sawah dan Lahan Pemukiman (Studi Kasus di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi). Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Sitorus, Santun R.P. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung

  Sulistiyono, Nurdin. 2006. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Penggunaan Lahan

  Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

  Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu

  Pendekatan Teoritis. PAU-UGM. Yogyakarta

  Wahyuni, Ekawati Sri. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen Ilmu-

  Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

  LAMPIRAN

  79

Lampiran 1. Peta Landuse Kabupaten Bogor Tahun 2005

  80

Lampiran 2. Peta Kesesuian Lahan Kabupaten Bogor

Lampiran 3. Peta RTRW Kabupaten Bogor

Lampiran 4. Kuisioner untuk Lahan Pertanian

  Nama responden

  Usia responden

  Pendidikan terakhir

  Bertani sejak tahun

  Sampai dengan tahun :

  a. Pemilikan Lahan

  Status Luas Lahan Sistem Bagi Hasil

  Harga Sewa (Rp)

  Milik Sendiri Sewa Garap (bagi hasil)

  b. Penggunaan Lahan

  - Pola tanam : jika monokultur, maka isi tabel b.1,

  atau jika tumpang sari, maka isi tabel b.2

  - Jenis tanaman yang ditanam dalam setahun terakhir : ………..

  b.1 Monokultur

  Parameter Musim-1 Musim-2 Musim-3 Komoditas Luas Tanam (ha) Produktivitas (kgha) Jumlah yang dijual () Jumlah yang dikonsumsi () Harga Jual (Rp)

  b.2 Tumpang Sari

  Parameter Musim-1 Musim-2 Musim-3 Komoditas Luas Tanam (ha) Produktivitas (kgha) Jumlah yang dijual () Jumlah yang dikonsumsi () Harga Jual (Rp)

  c.1 Pembibitan Monokultur

  Tanaman monokultur Tanaman Beli Sumber sendiri Varietas Jumlah (kg) Hargasatuan (Rpkg) Nilai (Rp) Yang mati ()

  c.2 Pembibitan Tumpang Sari

  Tanaman tumpangsari Tanaman Beli Sumber sendiri Varietas Jumlah (kg) Hargasatuan (Rpkg) Nilai (Rp) Yang mati ()

  d. Penggunaan Pupuk

  - Apakah melakukan pemupukan tanaman ? 1 = ya, 2 = tidak - Bila ya, berapa kali setiap tanaman ? 1= satu kali, 2 = dua kali, 3 = tidak tentu

  Jenis

  Jenis Komoditas

  Hargakg

  Luas (ha)

  Pupuk (kgha)

  1. Urea 2. TSP 3. KCL 4. ZA 5. Kandang 6. Kapur 7. …………

  e. Pengendalian Hama, Penyakit, dan Gulma

  - Apakah melakukan pengendalian hama penyakit ? 1 = ya, 2 = tidak - Bila ya, berapa kali setiap tanaman ? 1=satu kali, 2=dua kali, 3=tiga kali, 4=tidak tentu

  Jenis

  Jenis Komoditas

  Hargakg

  Luas (ha)

  f. Input Tenaga Kerja

  Kegiatan`

  Musim – 1

  Musim – 2

  Musim – 3

  Jumlah TK Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita

  Pengolahan Penanaman Pemupukan Penyiraman PHT Penyiangan Panen Total

  Upah (Rphari)

  HOK Pria

  HOK Wanita

  HOK Anak-anak

  g. Biaya Pajak Lahan (jika lahan milik sendiri) : Rp……….tahun

  h. Cara Memperoleh Sarana Produksi adalah melalui :

  a. …………………………………………………….. b. …………………………………………………….

  i. Jarak Lahan dengan pasar : ……………….Kmm

Lampiran 5. Kuisioner untuk Pemilik Lahan Permukiman

  Nama responden : Usia responden : Pendidikan terakhir :

  Luas Lahan yang dimiliki - Pekarangan rumah

  : ………..

  - Sawah : ………

  - Luas bangunan

  : ………..

  - Lainnya : . ….

  - Lahan kering

  : ………..

  Kondisi rumah

  a. Permanen b. Semi Permanen

  Jumlah kamar : ………… Jarak rumah dengan jalan utama

  : …………….. Kmm

  Jarak rumah dengan pasar terdekat

  : …………….. Kmm

  Jarak rumah dengan sekolah terdekat

  : …………….. Kmm

  Jarak rumah dengan puskesmas terdekat

  : …………….. Kmm

  Jarak rumah dengan kantor desa

  : …………….. Kmm

  Harga sewa rumah :

  a. Rp…………..kamartahun

  b. Rp…………..kamarbulan

  c. Rp………….tahun

  d. Rp………….bulan

  Biaya Operasional

  a. Pengecatan ulang

  : Rp………..tahun

  b. Perawatanperbaikan : Rp………..tahun c. Listrikair : Rp………..(bulantahun)

  d. Lain-lain : Rp………..tahun

  Pajak (PBB) : Rp………..tahun

Lampiran 6. Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Antara Lahan

  Pertanian dan Lahan Permukiman

  Land Rent (Rpm 2 tahun)

  No.

  Lahan Pertanian

  Lahan Permukiman

  Rata-rata 1.297

Lampiran 7. Data Land Rent Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea

  Biaya

  Luas Lahan

  Sewa Lahan

  Jarak ke Pasar

  Land rent

  No (m 2 ) Status (Rpm 2 tahun)

  (Rpm 2 tahun)

  (Rpm 2 tahun)

  (Rpm 2 tahun) (m)

  (Rpm 2 tahun)

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Bukan milik

  Ket : Jarak ke Pasar = 0, artinya sarana produksi didapat dari tengkulak dan hasil produksi juga dijual ke tengkulak

Lampiran 8. Data Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea

  jarak ke

  jarak ke jarak ke

  jarak ke

  jarak ke

  Luas

  Penerimaan

  Biaya Operasional Pajak

  Land Rent

  jalan raya

  kantor desa

  No Lahan (m 2 ) Kondisi (Rptahun)

  (Rptahun)

  (Rptahun)

  (Rpm 2 tahun)

  Ket : kondisi : 1 = permanen; 0 = semi permanen

Lampiran 9. Output Minitab untuk Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land

  Rent Lahan Pertanian

  Correlations: Luas Lahan; Status; Penerimaan; Pajak; Biaya Operas; Jarak ke Pasar

  Luas Lahan Status Penerimaan Pajak

  Status 0,071

  Penerimaan -0,125 -0,250

  Pajak -0,221 0,658 -0,025

  Biaya Operas 0,164 -0,197 0,759 -0,158

  Jarak ke Pas -0,062 0,063 -0,226 -0,083

  Biaya Operasional

  Jarak ke Pas -0,319

  Cell Contents: Pearson correlation

  P-Value

  Regression Analysis: Land rent versus Luas Lahan; Status; ...

  The regression equation is Land rent = - 584 - 0,0075 Luas Lahan + 620 Status + 0,838 Penerimaan

  + 4,34 Pajak - 0,741 Biaya Operasional + 0,00377 Jarak ke Pasar

  Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -583,5 272,3 -2,14 0,043 Luas Lahan -0,00752 0,01494 -0,50 0,620 1,3 Status 620,4 288,7 2,15 0,042 2,2 Penerimaan 0,83764 0,07910 10,59 0,000 3,0 Pajak 4,336 6,600 0,66 0,518 2,2 Biaya Operasional -0,7414 0,1880 -3,94 0,001 3,1 Jarak ke Pasar 0,003768 0,005164 0,73 0,473 1,2

  S = 474,166 R-Sq = 89,2 R-Sq(adj) = 86,3

  Analysis of Variance

  Source DF SS MS F P Regression 6 42509879 7084980 31,51 0,000 Residual Error 23 5171158 224833 Total 29 47681037

  Source DF Seq SS Luas Lahan 1 3670202 Status 1 183630 Penerimaan 1 34114934

  Pajak 1 337423 Biaya Operasional 1 4084021 Jarak ke Pasar 1 119668

  Unusual Observations

  Luas Obs Lahan Land rent Fit SE Fit Residual St Resid

  10 7000 2631,1 4158,3 303,9 -1527,1 -4,20R 27 8000 4273,6 3435,3 247,9 838,3 2,07R

  R denotes an observation with a large standardized residual.

  Residuals Versus the Fitted Values

  (response is Land rent)

  Fitted Value

Lampiran 10. Output Minitab untuk Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land

  Rent Lahan Permukiman

  Correlations: Luas Lahan; Kondisi; Penerimaan; Biaya Operas; Pajak; ...

  Luas Lahan Kondisi Penerimaan Biaya Operas

  Biaya Operas 0,366 0,229 0,632

  Jarak ke Jal -0,160 0,178 -0,161 -0,143

  Jarak ke pas 0,195 -0,155 0,085 -0,098

  jarak ke sek -0,050 0,002 0,037 0,038

  jarak ke pus 0,114 -0,046 0,173 0,036

  jarak ke kan -0,029 0,142 0,002 0,134

  Pajak Jarak ke Jal Jarak ke pas jarak ke sek

  Jarak ke Jal -0,225

  Jarak ke pas -0,149 -0,281

  jarak ke sek -0,159 0,132 0,255

  jarak ke pus 0,016 -0,190 0,619 0,275

  jarak ke kan -0,166 0,296 0,236 0,585

  jarak ke pus

  jarak ke kan 0,343

  Cell Contents: Pearson correlation

  P-Value

  Regression Analysis: Land Rent versus Luas Lahan; Kondisi; ...

  The regression equation is Land Rent = 80903 - 366 Luas Lahan + 66154 Kondisi + 0,00212 Penerimaan

  + 0,00026 Biaya Operasional - 61,9 Jarak ke Jalan utama - 9,45 Jarak ke pasar + 4,0 jarak ke sekolah + 9,33 jarak ke puskesmas + 7,0 jarak ke kantor desa

  Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 80903 31658 2,56 0,019 Luas Lahan -366,25 98,78 -3,71 0,001 1,7 Kondisi 66154 30074 2,20 0,040 1,2 Penerimaan 0,0021175 0,0003395 6,24 0,000 2,3 Biaya Operasional 0,000261 0,003226 0,08 0,936 2,0 Jarak ke Jalan utama -61,93 27,77 -2,23 0,037 1,4 Jarak ke pasar -9,446 5,916 -1,60 0,126 2,0 jarak ke sekolah 4,05 15,47 0,26 0,796 1,6 jarak ke puskesmas 9,327 6,700 1,39 0,179 1,8 jarak ke kantor desa 6,98 13,39 0,52 0,608 2,0

  S = 55512,8 R-Sq = 81,3 R-Sq(adj) = 72,8

  Analysis of Variance

  Source DF SS MS F P Regression 9 2,67166E+11 29685124443 9,63 0,000 Residual Error 20 61633344051 3081667203 Total 29 3,28799E+11

  Source DF Seq SS Luas Lahan 1 6955800176 Kondisi 1 17291025500 Penerimaan 1 2,17080E+11 Biaya Operasional 1 1347806556 Jarak ke Jalan utama 1 13027315762 Jarak ke pasar 1 949000919 jarak ke sekolah 1 2124687730 jarak ke puskesmas 1 7554542086 jarak ke kantor desa 1 836119899

  Unusual Observations

  Luas Obs Lahan Land Rent Fit SE Fit Residual St Resid

  1 540 475823 499702 54763 -23879 -2,63R 6 460 20565 -50858 43750 71423 2,09R

  10 100 336359 243181 40409 93178 2,45R 22 180 69364 5612 46049 63752 2,06R

  24 36 263999 157105 24054 106894 2,14R

  R denotes an observation with a large standardized residual.

  93

  Residuals Versus the Fitted Values

  (response is Land Rent)

  Fitted Value