Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

6.2 Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

  Nilai ekonomi lahan (land rent) diperoleh dari rata-rata land rent dari 30 responden baik responden petani maupun pemilik permukiman. Berdasarkan nilai riil, land rent diperoleh dari rata-rata nilai surplusdefisit usaha dalam analisis finansial masing-masing responden petani dan pemilik permukiman selama kurun waktu satu tahun. Perbandingan Nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian dengan lahan permukiman diketahui sebesar 1 : 79 (Tabel 10) yang berarti land rent permukiman mencapai 79 kali lebih besar dibandingkan land rent pertanian. Berdasarkan nilai perbandingan tersebut dapat dijabarkan bahwa usaha permukiman, pada saat dan jangka waktu yang sama serta luas lahan yang sama lebih menguntungkan 79 kali dibandingkan dengan usaha pertanian. Tabel lengkap perbandingan nilai ekonomi lahan (land rent) berdasarkan nilai riil antara lahan pertanian dan lahan permukiman terdapat pada Lampiran 6.

  Berdasarkan land rent tersebut telah dapat diprediksi bahwa pergeseran penggunaan lahan pertanian ke bentuk non pertanian akan terus berlangsung dan

  akan sangat sulit untuk dihindari. Untuk itu perlu adanya suatu mekanisme pengaturan proses alih fungsi tersebut yang merupakan bagian dari bentuk kebijakan perencanaan tata ruang. Proses pembebasan lahan harus berlangsung secara adil dan tidak merugikan pihak petani pemilik lahan. Pihak petani harus mendapatkan sebagian keuntungan yang diperoleh oleh pihak non petani. Perlu adanya penetapan kebijakan dimana pihak petani pemilik lahan berhak mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan sekian persen dari perbandingan land rent (79 kali) antara petani dan non petani. Sehingga, petani yang telah kehilangan mata pencaharian utamanya mempunyai cukup modal untuk mencari alternatif mata pencaharian baru.

  Tabel 10. Perbandingan Rata-Rata Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent)

  Berdasarkan Nilai Riil Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman (Rpm 2 Tahun)

  Land Rent

  Lahan Pertanian

  Lahan Permukiman

  Nilai rata-rata opportunity cost yang diperoleh merupakan selisih antara nilai rata-rata land rent lahan pertanian dan lahan permukiman, yaitu sebesar Rp 100.911,00m 2 tahun. Nilai ini menunjukkan besarnya nilai kesempatan atau

  keuntungan materi yang tidak dapat diperoleh petani atas konsekuensinya untuk tetap mempertahankan lahan pertanian mereka. Lahan pertanian memiliki manfaat yang sangat besar yang tidak hanya dinikmati oleh petani pemilik lahan saja, melainkan juga dinikmati oleh masyarakat umum, khususnya manfaat lingkungan dan penyediaan hasil produksi pertanian. Jika beban untuk mempertahankan lahan pertanian hanya ditanggung oleh pihak petani, hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Melihat besarnya nilai opportunity cost ini, hendaknya para petani

  diberi kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Salah satu caranya adalah dengan peningkatan produktivitas lahan serta nilai jual produk pertanian. Besarnya nilai keuntungan yang tidak diperoleh oleh petani perlu segera ditangani dan ditindaklanjuti. Jika hal ini terus berlangsung maka proses konversi lahan dapat dipastikan akan terus berlanjut dan akan semakin laju. Hal ini adalah hal yang sangat wajar serta petani tidak dapat disalahkan jika mereka mengkonversi lahan mereka ke bentuk non pertanian yang memiliki land rent yang lebih tinggi dan memberikan nilai keuntungan yang jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, pihak pemerintah dan masyarakat sekitar yang ikut menikmati dan merasakan atas keberadaan lahan pertanian baik dari segi manfaat produksi maupun manfaat lingkungan memiliki tanggung jawab untuk menagnggung beban tersebut. Hal ini dapat berwujud dalam bentuk kebijaksanaan insentif dan disinsentif bagi petani dan non petani.

  Hasil ini semakin memperkuat teori yang mengemukakan bahwa petani cenderung memanfaatkan lahannya untuk penggunaan yang dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terbesar. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa petani cenderung untuk mengkonversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Pada umumnya setiap jenis penggunaan lahan (pertanian dan non pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan (land rent) yang berbeda. Jenis penggunaan dengan nilai keuntungan komparatif tertinggi akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan yang terbesar, sehingga penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan land rent teringgi. Penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih tinggi relatif lebih mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggeser posisi penggunaan

  lahan yang memiliki nilai ekonomi lahan yang lebih kecil. Teori Barlowe (1978) mengemukakan bahwa lahan dengan land rent tertinggi cenderung dikuasai oleh kegiatan jasa, selanjutnya pada tingkat yang lebih rendah berturut-turut yaitu lahan industri, permukiman, pertanian, hutan, hingga lahan tandus.

  Hasil perhitungan land rent lahan pertanian yang dilakukan pada penelitian ini masih terlalu underestimate, karena belum menghitung manfaat fungsi-fungsi lahan pertanian yang lain selain sebagai penghasil bahan pangan. Perhitungan land rent tersebut hanya menghitung nilai budi daya lahan pertanian saja, belum menghitung nilai manfaat jasa lingkungan pertanian dan nilai manfaat multifungsi pertanian. Husen (2006) menyatakan multifungsi lahan pertanian merupakan berbagai fungsi eksternal pertanian selain fungsi utamanya sebagai penghasil pangan dan serat atau barang yang tampak nyata dan dapat dipasarkan. Multifungsi pertanian mencakup fungsi pertanian bagi lingkungan, ekonomi, sosial-budaya, dan ketahanan pangan. Secara umum, karakteristik multifungsi pertanian adalah berupa barang umum hasil ikutan suatu proses produksi.

  Menurut Rahmanto, Irawan, dan Agustin (2003) lahan pertanian memiliki multifungsi sebagai berikut, yaitu (1) penghasil bahan pangan; (2) penyedia lapangan pekerjaan; (3) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan; (4) sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional; (5) sarana tumbuhnya rasa gotong royong; (6) sarana priwisata; (7) mengurangi peluang banjir, erosi, dan tanah longsor; (8) menjaga keseimbangan sirkulasi air; (9) mengurangi pencemaran udara dan lingkungan; (10) sarana pendidikan; (11) sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.