Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

6.1 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman

6.1.1 Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian

  Kabupaten Bogor selama beberapa tahun terakhir mengalami konversi lahan yang cukup cepat. Khususnya Kecamatan Ciampea yang dalam RTRW Kabupaten Bogor merupakan kecamatan yang lebih difungsikan sebagai lahan pertanian lahan basah, mengalami konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun.

  Konversi lahan pertanian juga merambah sarana dan prasarana pertanian dan telah menghabiskan investasi yang cukup besar. Laju degradasi lahan pertanian selama tujuh tahun yaitu dari tahun 2000 sampai 2007 dapat dilihat di Tabel 8. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga tahun 2007 luas lahan pertanian di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan dari 1558 ha menjadi 1.286,4 ha, sehingga pertumbuhannya selama kurun waktu tersebut sebesar –271,6 ha. Untuk laju pertumbuhan lahan pertanian tiap tahunnya sebesar –2,70 persen per tahun. Salah satu berkurangnya luas lahan pertanian adalah akibat kegiatan pengalihfungsian lahan pertanian ke penggunaan lain.

  Tabel 8. Perubahan Luas Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea,

  Kabupaten Bogor

  Luas Penggunaan Lahan (Ha)

  Pertumbuhan

  No Desa Tahun 2000 Tahun 2007 Pertumbuhan

  1 Ciampea Udik

  5 Tegal Waru

  6 Bojong Jengkol

  7 Cihideung Udik

  8 Cihideung Ilir

  80 -63 -44,056

  9 Cibanteng

  10 Bojong Rangkas

  47 45 -2 -4,255

  91 40 -51 -56,044 13 Ciampea 16 30 14 87,500

  Sumber : BPS, 2000 dan Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007

  Perubahan luas lahan pertanian berbeda-beda di setiap desa, ada yang bertambah dan ada juga yang mengalami penurunan. Dari hasil analisis pertumbuhan untuk lahan pertanian terlihat bahwa ada lima desa yang mengalami penambahan luas lahan pertanian dan enam desa yang mengalami penurunan (alih fungsi) luas lahan pertanian. Sedangkan ada dua desa yang tidak ada perubahan data luas penggunaan lahan selama kurun waktu tujuh tahun. Desa yang

  mengalami penambahan luas lahan pertanian adalah Ciampea Udik, Cicadas, Bojong Jengkol, Cihideung Udik, dan Ciampea. Hal ini disebabkan karena di keempat desa tersebut mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat adalah sebagai petani dan hampir tidak adanya penduduk baru dari luar desa tersebut yang pindah ke desa-desa tersebut dalam kurun waktu tujuh tahun. Sehingga penambahan luas lahan pertanian dibutuhkan sebagai tuntutan dari jumlah petani yang semakin besar. Desa-desa yang mengalami penurunan luas lahan pertanian ada empat desa yaitu Cinangka, Cibuntu, Tegal Waru, Cihideung Ilir, Bojong Rangkas, dan Benteng. Hal ini disebabkan karena terjadi pengalihfungsian lahan pertanian ke penggunaan lain khususnya menjadi kawasan permukiman- permukiman baru yang dibangun oleh pihak pengembang (developer) dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal.

  Pada tahun 2007 jika diperbandingkan antara luas lahan pertanian seluas 1.286,4 ha dan jumlah penduduk yang bermatapencaharian utama sebagai petani sebesar 8.978 jiwa atau 20,45 dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki pekerjaan (Tabel 7), maka terlihat luas lahan pertanian tersebut tidaklah memadai dan luasannya sangat kecil untuk dijadikan sebagai lahan usaha tani yang optimal. Jika dirata-ratakan, maka setiap petani hanya memiliki luas lahan pertanian seluas

  1.432,83 m 2 atau 0,143 ha. Berdasarkan penelitian Kurnia dalam Akib (2002), diketahui bahwa petani dapat digolongkan berlahan sempit jika luas lahan usaha

  pertanian mereka kurang dari 0,5 ha. Dapat diperkirakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah petani gurem. Akan tetapi, pada kenyataannya dari penelitian yang dilakukan terlihat bahwa kepemilikan lahan pertanian di Kecamatan Ciampea tidaklah merata karena ada beberapa petani yang memiliki lahan dengan

  luas lebih dari dua hektar namun ada juga petani yang memiliki lahan hanya kurang dari 0,5 ha.

  Peningkatan teknologi menjadi kecil peranannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani berlahan sempit (< 0,5 ha). Hal ini akan meningkatkan ketidakpastian dalam usaha tani yang secara tidak langsung disebabkan oleh penguasaan lahan dan secara langsung disebabkan oleh peningkatan kebutuhan yang semakin meningkat. Akibatnya petani berlahan sempit semakin terdorong untuk menjual lahannya atau mengkonversi lahannya dari penggunaan pertanian ke non pertanian, sementara kemampuan diversifikasi usaha mereka relatif rendah. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat faktor utama yang menyebabkan petani mengalih gunakan lahannya yang sempit. Faktor utama adalah rendahnya land rent dan yang kedua adalah skala usaha yang sangat kecil (subsisten).

  Nilai laju pertumbuhan lahan pertanian yang bernilai negatif tiap tahunnya, disamping dapat mengakibatkan berubahnya fenomena fisik luasan lahan pertanian, juga dapat berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya, dan politik masyarakat. Meskipun alih fungsi lahan merupakan suatu proses yang wajar dan diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan wilayah, proses ini tetap harus dijaga agar sejauh mungkin tidak merugikan dan berlangsung sesuai dengan aturannya. Perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri dan pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan.

6.1.2 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman

  Salah satu bentuk pengkonversian lahan pertanian adalah konversi lahan pertanian ke bentuk non pertanian atau lahan terbangun. Lahan terbangun,

  khususnya lahan untuk permukiman, pada lokasi penelitian terlihat mulai merambah areal pertanian. Data mengenai luas perubahan lahan permukiman pada tahun 2000 samapai 2007 dapat dilihat pada Tabel 9. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2007 luas lahan permukiman di Kecamatan Ciampea mengalami peningkatan sebesar 337 ha dari 1.080 ha menjadi 1.417 ha. Untuk laju pertumbuhan lahan permukiman tiap tahunnya sebesar 3,96 persen per tahun. Permukiman-permukiman baru selama kurun waktu tujuh tahun tersebut tentunya mengalihfungsikan lahan-lahan kosong atau bahkan lahan pertanian yang masih produktif menjadi rumah huniperumahan demi tuntutan pemenuhan kebutuhan akan lahan.

  Tabel 9. Perubahan Luas Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea,

  Kabupaten Bogor

  Luas Penggunaan Lahan (Ha)

  Pertumbuhan

  No Desa Tahun 2000 Tahun 2007 Pertumbuhan

  1 Ciampea Udik

  5 Tegal Waru

  6 Bojong Jengkol

  7 Cihideung Udik

  8 Cihideung Ilir

  10 Bojong Rangkas

  75 -40 -34,783

  11 Cibadak

  95 -21 -18,103

  12 Benteng

  98 -11 -10,092

  Sumber : BPS, 2000 dan Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea, 2007

  Berdasarkan hasil analisis pertumbuhan permukiman menunjukkan ada tujuh desa yang mengalami penambahan dan empat desa yang mengalami penurunan. Lima desa lainnya tidak ada perbedaan data luas penggunaan lahan antara tahun 2000 dan tahun 2007. Desa yang mengalami penambahan luas lahan permukiman adalah Cianangka, Cibuntu, Cicadas, Tegal Waru, Cihideung Udik,

  Cihideung Ilir, dan Cibanteng. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan akan lahan untuk permukimantempat tinggal juga semakin meningkat. Dari hasil analisis pertumbuhan untuk lahan permukiman terlihat bahwa Desa Cinangka dan Tegal Waru mengalami penambahan lahan permukiman yang sangat tinggi, yaitu sebesar 429,412 persen dan 397,368 persen. Hal ini disebabkan karena adanya perbaikan akses jalan, sehingga menyebabkan tumbuhnya daerah permukiman baru yang banyak bermunculan. Desa-desa yang mengalami penurunan luas lahan permukiman adalah Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Cibadak, dan Benteng, hal ini terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan permukiman menjadi penggunaan lainnya seperti perdagangan, industri, atau jasa.

  Sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi. Akibatnya realokasi sumberdaya dari sektor pertanian ke non pertanian sangat sulit dihindari. Meskipun demikian, proses realokasi tersebut perlu diatur, diarahkan, dan dibatasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan penetapan kebijakan perencanaan tata ruang. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah perencanaan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pengoptimalan pengimplementasian RTRW merupakan suatu alat untuk mengarahkan dalam penentuan daerah yang menjadi lokasi pemanfaatan lahan non pertanian. Lahan- lahan potensial dan produktif tinggi ditetapkan untuk tidak dikonversi ke bentuk lahan non pertanian. Sedangkan lahan-lahan yang tingkat pemanfaatannya relatif belum intensif dapat lebih diprioritaskan untuk diarahkan ke penggunaan non pertanian.

  Konversi lahan juga akan mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan nasional, khususnya pada sektor pertanian. Semakin laju konversi lahan pertanian akan mengakibatkan berkurangnya dan menyempitnya luas lahan pertanian dan skala usaha tani. Kondisi ini akan semakin memberatkan sektor pertanian dimasa depan, karena sektor pertanian masih merupakan penampung sebagian besar tenaga kerja nasional. Akibatnya, pada saat sektor pertanian tidak lagi sanggup untuk menampung tenaga kerja tersebut, maka akan banyak penduduk desa yang pindah ke kota besar untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian.