ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN LAND RENT P

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

  Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

  ANDIKA PAMBUDI. Analisis Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) pada Lahan Pertanian dan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. (Dibawah bimbingan NINDYANTORO)

  Dengan semakin berkembangnya pembangunan dan meningkatnya pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor maka lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian seperti permukiman, perdagangan, dan industri semakin meningkat serta sering terjadi benturan kepentingan fungsi lahan. Perubahan struktur perekonomian akibat dari berkembangnya suatu wilayah berdampak kepada perubahan nilai ekonomi lahan. Pada umumnya apabila terjadi peningkatan pendapatan penduduk akan menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan permintaan komoditas pertanian, dan juga naiknya permintaan lahan untuk kegiatan diluar pertanian dengan laju yang lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan lahan pertanian, sehingga nilai ekonomi lahan pertanian menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan non pertanian. Nilai ekonomi lahan yang lebih tinggi pada kegiatan non pertanian seperti permukiman, perdagangan, dan industri dibandingkan pada kegiatan pertanian mengakibatkan meningkatnya perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian.

  Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, bertujuan untuk (1) mengidentifikasi perubahan fungsi lahan dari kegiatan pertanian ke kegiatan non pertanian, (2) Mengidentifikasi dan menghitung perbedaan antara nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian dan lahan non pertanian atau permukiman, dan (3) Menganalisis dan menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan pada sektor pertanian dan permukiman.

  Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yaitu pada Maret hingga April 2008. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) berdasarkan kondisi penggunaan lahan di lokasi tersebut. Pada penelitian ini diambil 60 responden yang terdiri dari 30 petani dan 30 orang pemilik lahan permukiman, pengambilan contohsampel dilakukan secara purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan wawancara menggunakan kuisioner kepada petani dan pemilik lahan permukiman. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dalam memperkirakan nilai ekonomi lahan. Pengolahan data dilakukan secara bertahap terdiri dari analisis pertumbuhan, analisis nilai ekonomi lahan (land rent), dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi land rent secara statistik menggunakan analisis regresi berganda.

  Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan analisis pertumbuhan perubahan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tujuh tahun mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -2,70 persen tiap tahunnya. Sedangkan pada lahan permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar 3,96 persen tiap tahunnya. Pada hasil perhitungan land rent, land rent lahan permukiman lebih besar 79 kali dibandingkan land rent lahan pertanian. Sedangkan, keuntungan yang tidak diperoleh oleh pihak petani atas hilangnya kesempatan akibat konsekuensi mereka dalam mempertahankan lahan Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan analisis pertumbuhan perubahan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tujuh tahun mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar -2,70 persen tiap tahunnya. Sedangkan pada lahan permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar 3,96 persen tiap tahunnya. Pada hasil perhitungan land rent, land rent lahan permukiman lebih besar 79 kali dibandingkan land rent lahan pertanian. Sedangkan, keuntungan yang tidak diperoleh oleh pihak petani atas hilangnya kesempatan akibat konsekuensi mereka dalam mempertahankan lahan

  Berdasarkan hasil analisis regresi, faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan pertanian yaitu status lahan, total penerimaan, dan total biaya operasional pada taraf nyata lima persen, sedangkan variabel luas lahan, pajak, dan jarak ke pasar tidak berpengaruh nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan permukiman adalah luas lahan, kondisi rumah, total penerimaan, jarak ke jalan utama pada taraf lima persen, sedangkan variabel biaya operasional, pajak, dan jarak ke fasilitas-fasilitas publik lainnya tidak berpengaruh nyata.

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075

  Skripsi

  Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada

  Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

  Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2008

  Judul

  : Analisis Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Pada Lahan

  Pertanian dan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

  Nama : Andika Pambudi

  NRP : A14304075

  Program Studi

  : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

  Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Nindyantoro, MSP NIP. 131 879 829

  Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

  Tanggal Lulus :

PERNYATAAN

  DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SKRIPSI INI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

  Bogor, Agustus 2008

  Andika Pambudi A14304075

RIWAYAT HIDUP

  Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 24 Juni 1986 sebagai anak ke-empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Utomo Kartosuwondo dan Ibu Sinar Dyah Sukiswati. Pada tahun 1992 penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Hosana Bogor, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 1 Bogor pada tahun 1998, pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Bogor pada tahun 2001, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor tahun 2004.

  Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004

  Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) dan UKM Koperasi Mahasiswa (KOPMA). Selain itu, penulis menjadi asisten dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum selama lima semester pada tahun 2006-2008. Penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa Supersemar pada tahun 2006-2007.

KATA PENGANTAR

  Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas tuntunannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan judul “Analisis Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Pada Lahan Pertanian dan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

  Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi perubahan fungsi lahan pertanian dan permukiman, menghitung perbedaan nilai ekonomi lahan antara pertanian dan permukiman, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan pada sektor pertanian dan permukiman. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tentu belum sempurna dan masih mempunyai banyak kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini berguna bagi para pembaca.

  Bogor, Agustus 2008

  Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

  Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada :

  1. Bapaku, Ibuku, dan Kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan

  baik materil, moril, dan doa.

  2. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP sebagai dosen pembimbing yang telah

  memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

  3. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc dan Ibu Eva Anggraini, SPi, Msi

  sebagai dosen penguji utama dan dosen penguji wakil departemen yang memberi koreksi dan masukan bagi penulisan skripsi ini.

  4. Aparat-aparat Kecamatan dan Desa, serta masyarakat di Kecamatan

  Ciampea yang telah bersedia menjadi responden dalam pengambilan data primer pada penelitian ini.

  5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen serta seluruh Staf Program Studi

  Ekonomi Pertanian Sumberdaya yang telah sangat membantu selama penulis menempuh kuliah.

  6. Seluruh rekan-rekan EPS 41 atas dukungan, bantuan, dan persahabatannya

  7. Keluarga dan teman-teman KKP Desa Kamurang, Kecamatan Cikalong

  Kulon, Kabupaten Cianjur.

  8. Pihak-pihak yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung atas

  bantuannya dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian skripsi.

  iii

DAFTAR TABEL

  Nomor Teks Halaman

  1. Jumlah Penduduk di Kecamatan Ciampea Tahun 2003 – 2006 ....... 4

  2. Luas Lahan Panen (Ha) Di Kecamatan Ciampea Tahun 2004 – 2006 ...................................................................................... 4

  3. Variabel tidak bebas Variabel Respon (Y) dan Variabel Bebas Variabel Penjelas (X) untuk Menentukan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Pertanian. .... 36

  4. Variabel tidak bebas Variabel Respon (Y) dan Variabel Bebas Variabel Penjelas (X) untuk Menentukan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Permukiman 36

  5. Jarak Antar Desa (Km) di Kecamatan Ciampea Tahun 2003 ........... 40

  6. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Ciampea ......................................................................... 42

  7. Jumlah Penduduk (Jiwa) Kecamatan Ciampea Berdasarkan Mata Pencaharian.............................................................................. 42

  8. Perubahan Luas Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor .............................................................................. 51

  9. Perubahan Luas Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor .............................................................................. 54

  10. Perbandingan Rata-Rata Nilai Ekonomi Lahan

  (Land Rent) Berdasarkan Nilai Riil Antara Lahan Pertanian dan Lahan Permukiman (Rpm 2 Tahun) ........................................... 57

  11. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor............ 60

  12. Analisis Ragam Model Land Rent Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor........................................... 66

  13. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ...... 67

  14. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (tanpa variabel pajak)........................................................................ 68 14. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (tanpa variabel pajak)........................................................................ 68

  15. Analisis Ragam Model Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor........................................... 72 15. Analisis Ragam Model Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor........................................... 72

DAFTAR GAMBAR

  Nomor Teks Halaman

  1. Perbedaan Land Rent Karena Perbedaan Tingkat Kesuburan Lahan. 19

  2. Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent ........... 20

  3. Hubungan Antara Land Rent dan Alokasi Sumberdaya Lahan ......... 22

  4. Konversi Lahan Pertanian-Permukiman Berdasarkan Land Rent...... 23

  5. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian.............................................. 27 5. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian.............................................. 27

DAFTAR LAMPIRAN

  Nomor Teks Halaman

  1. Peta Landuse Kabupaten Bogor Tahun 2005...................................... 79

  2. Peta Kesesuian Lahan Kabupaten Bogor ............................................ 80

  3. Peta RTRW Kabupaten Bogor ............................................................ 81

  4. Kuisioner untuk Lahan Pertanian........................................................ 82

  5. Kuisioner untuk Pemilik Lahan Permukiman ..................................... 85

  6. Perbandingan Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent) Antara Lahan Pertanian Dan Lahan Permukiman .......................................... 86

  7. Data Land Rent Lahan Pertanian di Kecamatan Ciampea .................. 87

  8. Data Land Rent Lahan Permukiman di Kecamatan Ciampea............. 88

  9. Output Minitab untuk Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land rent Lahan Pertanian.................................................................. 89

  10. Output Minitab untuk Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Land rent Lahan Permukiman ............................................................ 91

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Lahan merupakan sumberdaya alam sebagai wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, permukiman, industri, pertambangan, dan transportasi (Supamoko, 1989). Kabupaten Bogor merupakan kabupaten yang dalam pembangunannya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat disebabkan karena Kabupaten Bogor berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yang merupakan Ibukota negara serta sebagai pusat pemerintahan, perekonomian, dan perdagangan. Kabupaten Bogor bersama dengan Kota dan Kabupaten lainnya yang mengelilingi DKI Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan Depok merupakan daerah pheripheri yang berfungsi sebagai kawasan tempat tinggal atau perumahan bagi yang bekerja di Jakarta. Secara Bio-fisik kawasan Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok ditetapkan sebagai daerah resapan air untuk pasokan air tanah atau kawasan konservasi air dan tanah, sehingga kawasan tersebut dapat memberikan perlindungan bagi DKI Jakarta.

  Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, ada tiga fungsi utama wilayah Kabupaten Bogor, yaitu 1) penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan permukiman perkotaan sebagai dalam sistem Metropolitan Jabotabek; 2) konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Metropolitan Jabotabek; 3) pengembangan pertanian, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang

  selanjutnya makin dipicu. Berdasarkan fungsi tersebut maka Kabupaten Bogor memiliki beberapa jenis kawasan seperti kawasan lindung, kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan peruntukkan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan permukiman.

  Dengan semakin berkembangnya pembangunan dan meningkatnya pertambahan penduduk di Kabupaten Bogor maka lahan yang dibutuhkan untuk kegiatan non pertanian seperti permukiman, perdagangan, dan industri semakin meningkat serta sering terjadi benturan kepentingan fungsi lahan. Alih fungsi lahan cenderung tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan perkembangan nilai lahan yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas pertanian, yang semakin memicu perubahan tataguna lahan pertanian. Jumlah penduduk yang terus meningkat juga mempengaruhi peningkatan kebutuhan tempat tinggal dan fasilitas penunjangnya seperti rumah sakit, jalur transportasi, areal industri, dan lain-lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengurangan jumlah luas wilayah pertanian.

  Perubahan struktur perekonomian akibat dari berkembangnya suatu wilayah berdampak kepada perubahan nilai ekonomi lahan. Nilai ekonomi lahan yang lebih tinggi pada kegiatan non pertanian seperti permukiman, perdaganagn, dan industri dibandingkan pada kegiatan pertanian mengakibatkan meningkatnya perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan non pertanian dapat menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Salah satu dampak negatifnya yaitu terganggunya ketahanan pangan suatu wilayah akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan. Kesempatan kerja pertanian juga akan berkurang,

  padahal sektor lain diluar pertanian secara umum belum mampu menyediakan kesempatan kerja secara memadai. Permasalahan lingkungan juga akan timbul akibat adanya konversi lahan pertanian, misalnya intensitas banjir yang cenderung meningkat akhir-akhir ini.

  Berdasarkan peta penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun 2005 (Lampiran 1) terlihat bahwa sebagian besar lahan digunakan untuk penggunaan permukiman atau perkampungan, sedangkan berdasarkan peta kesesuaian lahan (Lampiran 2) hampir seluruh lahan di Kabupaten Bogor sangat sesuai untuk digunakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman tahunan. Oleh karena itu dalam peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor (Lampiran 3) terdapat beberapa Kecamatan yang lebih difungsikan sebagai lahan pertanian lahan basah, salah satunya di Kecamatan Ciampea. Hal ini disebabkan karena keberadaan lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor yang pengembangan tata ruangnya menunjukkan pola pengembangan baru atau ekstensifikasi. Pola tersebut merubah bentuk pemanfaatan atau memperkenalkan bentuk pemanfaatan baru. Dengan pola ini diharapkan muncul simpul pelayanan baru yang akan mengarah menjadi kota. Pemanfaatan ruang di Kecamatan Ciampea terbagi menjadi beberapa kawasan yaitu kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan tanaman tahunan, kawasan hutan produksi, kawasan permukiman perdesaan, dan kawasan pengembangan perkotaan.

  Peningkatan penduduk yang cukup signifikan tiap tahunnya yang dapat dilihat pada Tabel 1 merupakan faktor utama yang menyebabkan Kecamatan Ciampea telah banyak mengalami perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi non pertanian. Hal ini dilihat dari menurunnya luas lahan panen tanaman pangan yang cukup signifikan dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini (Tabel 2)

  Tabel 1. Jumlah Penduduk di Kecamatan Ciampea Tahun 2003 – 2006

  No. Tahun 2 Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (JiwaKm )

  Sumber : BPS, Kabupaten Bogor dalam Angka

  Tabel 2. Luas Lahan Panen (Ha) di Kecamatan Ciampea Tahun 2004 – 2006

  Jenis Tanaman

  Padi Sawah

  Ubi Kayu

  Ubi Jalar

  Kacang Tanah

  Jagung 24 Sumber : BPS, Kabupaten Bogor dalam Angka

  Dari tabel di atas terlihat bahwa dalam kurun waktu 2004 – 2006 luas lahan panen untuk semua jenis tanaman yang dibudidayakan di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan. Untuk padi sawah menurun sebesar 2.397 hektar, ubi kayu menurun sebesar 1.123 hektar, ubi jalar menurun sebesar 383 hektar, kacang tanah menurun sebesar 3 hektar, dan jagung menurun sebesar 24 hektar. Pemanfaaatan ruang untuk kawasan permukiman, dalam RTRW Kabupaten Bogor rencana penambahan kebutuhan rumah di Kecamatan Ciampea untuk tahun 2009 sebesar 4.682 unit.

  Semakin meningkatnya kebutuhan dan persaingan lahan baik itu untuk pertanian maupun untuk kegiatan lainnya, sehingga memerlukan pemikiran dan

  pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas untuk masyarakat dan lingkungan setempat di masa sekarang dan akan datang.

1.2 Perumusan Masalah

  Dari sisi ekonomi lahan merupakan input tetap utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan non pertanian. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas non pertanian. Oleh karena itu pembangunan ekonomi yang berdampak pada peningkatan pendapatan penduduk cenderung menyebabkan naiknya permintaan komoditas non pertanian dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan permintaan komoditas pertanian.

  Peningkatan pendapatan penduduk juga akan menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian dengan laju yang lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan lahan pertanian, sehingga nilai ekonomi lahan pertanian menjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan non pertanian. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan yang tinggi dan cepat, banyak petani pemilik lahan menjual atau mengkonversi lahannya menjadi lahan non pertanian.

  Alih fungsi lahan pada kawasan pertanian beririgasi teknik maupun kawasan yang potensial unruk irigasi teknik mengakibatkan investasi yang sudah dikeluarkan cukup besar hilang dan dapat menurunkan produksi dan produktivitas pertanian. Apabila dilihat dari potensi sumberdaya lahan pertanian yang sangat

  luas dengan kesesuaian lahan yang sesuai untuk lahan pertanian serta sumberdaya manusia pada sektor pertanian dengan jumlah yang cukup besar, maka mempertahankan lahan pertanian yang ada penting untuk dilakukan.

  Berdasarkan latar belakang dan kondisi yang terjadi berhubungan dengan alih fungsi lahan akibat perbedaan nilai ekonomi lahan pertanian dan non pertanian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Seberapa besar perubahan fungsi lahan dari kegiatan pertanian ke kegiatan non pertanian antara tahun 2000 – 2007 ?

  2. Seberapa besar perbedaan nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian dan lahan non pertanian atau permukiman ?

  3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan pada sektor pertanian dan permukiman ?

1.3 Tujuan

  Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Mengidentifikasi perubahan fungsi lahan dari kegiatan pertanian ke kegiatan non pertanian.

  2. Mengidentifikasi dan menghitung perbedaan nilai ekonomi lahan antara lahan pertanian dan lahan non pertanian atau permukiman

  3. Menganalisis dan menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ekonomi lahan pada sektor pertanian dan permukiman.

1.4 Manfaat Penelitian

  Dengan mengetahui nilai ekonomi lahan (land rent) antara lahan pertanian dan non pertanian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, diharapkan memberikan manfaat sebagai :

  1. Masukkan dan pertimbangan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah di Kecamatan Ciampea khususnya dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan sistem insentif dan disinsentif yang terkait dengan penggunaan sumberdaya lahan

  2. Masukkan bagi pemilik atau pemegang hak lahan dalam memperkirakan nilai ekonomi lahannya.

  3. Bahan pertimbangan, referensi, dan literatur bagi penelitian-peneltian selanjutnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Lahan

  Lahan merupakan sumberdaya, wadah, dan faktor produksi strategis bagi pembangunan untuk meningkatkan kesejateraan manusia. Menurut Sitorus dalam Kurniawati (2005), sumberdaya lahan adalah bagian dari bentang lahan (land scape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografirelief, hidrologi, termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Menurut Arsyad dalam Kurniawati (2005), lahan dapat diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, dan vegetasi, serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lampau dan sekarang, seperti reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dalam hal ini juga mengandung pengertian ruang dan tempat.

  Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia, hal ini karena sumberdaya lahan merupakan masukaninput yang diperlukan untuk setiap bentuk aktivitas manusia seperti untuk pertanian, industri, permukiman, transportasi, rekreasi, dal lain-lain. Lahan juga merupakan faktor produksi yang sangat menentukan bagi proses pembangunan ekonomi suatu negara. Negara yang memiliki lahan yang subur sangatlah mungkin memiliki tingkat produktivitas pertanian yang tinggi pada tahap awal dari pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas pertanian akan

  sangat mempengaruhi perkembangan sektor-sektor lain seperti sektor industri dan jasa pada tahap perkembangan ekonomi lebih lanjut (Suparmoko, 1989).

2.2 Penggunaan Lahan

  Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat menetap (permanen) maupun daur (siklus) yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spriritual (Priatmono dalam Sari, 2004). Penggunaan lahan pada umumnya tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan atas sifat-sifat yang merupakan penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air, dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan-penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi khususnya untuk daerah-daerah permukiman, untuk lokasi-lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1989)

  Penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk sektor pertanian yang meliputi penggunaan untuk pertanian tanaman pangan, pertanian tanaman keras, untuk kehutanan, maupun untuk ladang pengembalaan dan perikanan. Tetapi untuk daerah kota, penggunaan lahan yang utama adalah untuk permukiman, industri, serta perdagangan. Penggunan lahan untuk rekreasi juga menempati urutan yang tinggi karena meliputi pantai, pegunungan, dan danau (Suparmoko, 1989).

  Menurut Harsono dalam Akib (2002), Penggunaan lahan secara garis besar dibedakan menjadi dua golongan :

  1. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan tanah, kandungan mineral, atau terdapatnya endapan bahan galian pertambangan di bawah permukaannya.

  2. Penggunaan tanah dalam kaitannya dengan pemanfaatannya sebagai ruang pembangunan yang secara tidak langsung tidak memanfaatkan potensi alami dari tanah, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan antara tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, diantaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.

  Menurut Arsyad dalam Sari (2004), penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam peggunaan lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya. Barlowe (1978) membagi penggunaan lahan untuk (1) lahan permukiman, (2) lahan industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan mineralpertambangan, (7) lahan rekreasi, (8) lahan pelayanan jasa, (9) lahan transportasi, dan (10) lahan tempat pembuangan.

  Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik-biologis berkaitan dengan lingkungan

  fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan dukungan sifat-sifat alamyang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi meliputi produktivitas, pemasaran, transportasi, dan kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar, dan transportasi. Untuk faktor kelembagaan dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta kepercayaan yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.

  Menurut Rahim (2007), secara teoritis alokasi pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan melalui beberapa mekanisme, yaitu :

  1. penataan ruang oleh pemerintah melalui undang-undang

  2. melalui mekanisme pasar

  3. kombinasi antara pengaturan pemerintah dan mekanisme pasar Penggunaan lahan oleh masyarakat pada suatu wilayah merupakan pencerminan dari kegiatan manusia pada wilayah yang mendukungnya. Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan bertujuan untuk menghasilkan barang-barang pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi (Suparmoko, 1989). Saefulhakim dan Nasoetion dalam Kurniawati (2005), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Hal ini mengakibatkan masalah yang berkaitan dengan lahan

  merupakan masalah yang kompleks. Penggunaan lahan merupakan refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahanpun bersifat dinamis bisa berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga sebaliknya.

2.3 Nilai Ekonomi Lahan (Land Rent)

  Lahan memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Lahan di perkotaan yang digunakan untuk kegiatan industri dan perdagangan memiliki nilai pasar yang tertinggi karena di tempat tersebut terletak tempat tinggal dan sumber penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang tertinggi. Para pemilik sumberdaya lahan cenderung menggunakan lahan untuk tujuan-tujuan yang memberikan harapan untuk diperolehnya penghasilan yang tertinggi. Mereka akan menggunakan lahannya sesuai dengan konsep penggunaan yang tertinggi dan terbaik. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas serta kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan. Penggunaan yang terbaik dan tertinggi biasanya untuk daerah industri dan perdagangan, menyusul untuk daerah permukiman, kemudian untuk daerah pertanian, dan yang terakhir untuk ladang penggembalaan dan daerah liar yang tidak ditanami (Suparmoko, 1989).

  Menurut Hardjowigeno dalam Akib (2002), lahan paling sedikit mempunyai tiga jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu :

  1. Ricardian Rent, nilai lahan yang berkaitan dengan sifat dan kualitas tanah

  2. Locational Rent, nilai lahansehubungan dengan sifat lokasi relatif dari lahan

  3. Enviromental Rent, sifat tanah sebagai komponen utama ekosistem

  Menurut Barlowe (1978) nilai ekonomi lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

  1. Sewa Lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.

  2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.

  Pada penelitian ini istilah nilai ekonomi lahan (land rent) yang digunakan adalah konsep yang kedua dari penjelasan Barlowe tersebut yaitu keuntungan usaha atau economic rent dari suatu usaha yang dilakukan pada suatu lahan tertentu.

  Salah satu cara untuk menentukan nilai faktor produksi yang berasal dari alam seperti lahan adalah dengan menggunakan konsep land rent. Land rent merupakan konsep yang penting dalam mempelajari penerimaan ekonomi dari penggunaan sumberdaya lahan untuk produksi. Land rent dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total (Suparmoko, 1989). Sementara menurut Nasution dalam Rahim (2007), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unit ruang dengan teknologi dan efisiensi manajemen tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal (biasanya satu tahun). Oleh karena itu, suatu bidang lahan tidak mempunyai nilai ekonomi lahan selama tidak melakukan usaha atau kegiatan pada lahan tersebut. Mubyarto (1985) menjelaskan pula bahwa sewa ekonomi lahan merupakan bagian dari nilai produksi lahan yang merupakan bagian dari nilai

  produksi secara keseluruhan sebagai hasil usaha yang dilakukan pada lahan tersebut. Jasa produksi lahan tersebut merupakan jasa yang diperoleh dari pengelolaan lahan bukan jasa karena pemilikan lahan tersebut. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surpuls ekonomi karena lokasi ekonomi.

  David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa lahan diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah yang dekat dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko, 1989)

  Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri- industri atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan sebagai berikut : Industri > Perdagangan > Permukiman > Pertanian Intensif > Pertanian Ekstensif (Barlowe, 1978). Hal ini dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang komersial

  dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis.

  Menurut Mubyarto (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi land rent adalah :

  1. perbedaan kesuburan tanah

  2. perbedaan jarak dari pasar

  3. perbedaan biaya produksi

  4. perbedaan lahan yang terbatas (scarsity of land) sehubungan dengan kondisi lingkungan lahan tersebut

2.4 Penelitian Terdahulu

  Mulyani (1994) dalam penelitiannya mengenai analisis konversi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan non pertanian dengan pendekatan nilai ekonomi lahan (land rent) dan daya dukung lahan di Kabupaten Garut, memperoleh nilai ekonomi lahan pertanian sebesar Rp 38,00m 2 bulan dan nilai ekonomi lahan perumahan sebesar Rp 3.532,00m 2 bulan. Hal ini menunjukkan

  bahwa secara finansial usaha permukiman lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan usahatani padi sawah. Dengan kata lain usaha permukiman yang memiliki land rent lebih tinggi akan mendesak usahatani padi sawah yang memiliki land rent yang relatif lebih rendah.

  Penelitian mengenai penilaian ekonomi berbagai pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek dan DAS Ciliwung, Kabupaten Bogor, yang dilakukan oleh Sulistiyono (2006) menunjukkan besarnya nilai ekonomi penggunaan lahan pada kawasan lindung memberikan kontribusi sebesar Rp 9.550.570.083,00tahun atau

  Rp 1.470.531.390,00 lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan lahan berdasarkan RTRW tahun 2000 yang memberikan kontribusi sebesar Rp 8.080.038.693,00tahun. Dalam jangka pendek secara ekonomi pola penggunaan lahan yang ada di Sub DAS Ciesek lebih menguntungkan tetapi dari segi lingkungan dalam jangka panjang akan membahayakan terutama bagi daerah hilir.

  Menurut Akib (2002), dalam penelitiannya mengenai keterkaitan antara nilai manfaat lahan (land rent) dan konversi lahan pertanian di Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, dengan menggunakan alat analisis komponen utama dan regresi berganda menunjukkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai suatu land rent, antara lain biaya pengeluaran untuk benih, biaya pengeluaran untuk insektisida dan herbisida, biaya pengeluaran untuk tenaga kerja non keluarga, biaya sewa lahan, kesesuaian lahan tanaman tahunan, luas lahan pertanian unit, serta jarak antara lahan usaha dengan letak pasar terdekat. Berdasarkan analisis finansial Net Present Value (NPV), antara lahan pertanian dan non pertanian terdapat ratio land rent yang sangat besar yaitu 1 : 1.261.99. Nilai opportunity cost yang diperoleh dari selisish antara land rent pertanian

  dengan non pertanian yaitu sebesar Rp 21.840.867,00m 2 tahun. Perbandingan

  land rent berdasarkan suku bunga yang berlaku juga menunjukkan nilai perbandingan yang sangat besar yaitu 1 : 860,49 dengan nilai opportunity cost

  sebesar Rp 5.937.392,00m 2 tahun.

  Sementara itu dalam penelitiannya Sari (2002) mengenai analisis konversi lahan dan sewa ekonomi lahan pada lahan sawah dan lahan permukiman di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, perubahan penggunaan lahan sawah

  mengalami pengurangan dan penambahan, sedangkan pada lahan permukiman cenderung mengalami penambahan. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa land rent lahan permukiman lebih menguntungkan dibandingkan dengan land rent lahan sawah pada suku bunga 8,50 persen. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan permukiman non sawah. Berdasarkan hasil analisis korelasi berganda dan regresi berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi land rent lahan sawah adalah luas lahan milik sendiri, luas lahan sewa, biaya pembelian pestisida, upah tenaga kerja wanita, biaya pembelian alat pertanian, dan total penerimaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi land rent pada lahan permukiman adalah biaya untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kondisi rumah, pengeluaran untuk kebutuhan primer, dan total pengeluaran. Faktor yang berpengaruh meningkatkan land rent antara lain pengeluaran untuk kebutuhan primer, total pengeluaran, dan biaya pajak (PBB).

  Ongkowijono (2006) dalam penelitiannya mengenai perbandingan land rent antara lahan komoditas hortikultura dengan padi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Pacet dan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, berdasarkan hasil analisis land rent, untuk komoditi hortikultura diperoleh nilai dari kisaran Rp – 2.993,00 – Rp 17.304,00 sedangkan untuk land rent komoditas padi sebesar Rp 517,00. Dengan menggunakan analisis regresi berganda dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap land rent yaitu luas tanam, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, pajak, alat produksi, dan nilai sisa alat.

  III.

  KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

  Adanya kelangkaan sumberdaya lahan menyebabkan lahan memiliki nilai yang semakin tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan konsep sewa ekonomi lahan (land rent) yang merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan. Ada dua aspek penting yang menentukan nilai ekonomi lahan, yaitu faktor kesuburan lahan dan jarak lahan tersebut dari pusat fasilitas. Terkait dengan aspek-aspek tersebut, ada beberapa ahli yang mengemukakan teori sewa ekonomi lahan antara lain :

1) Teori Ricardian Rent

  David Ricardo dalam Suparmoko (1989) mengemukakan bahwa sewa tanah dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi atas tanah tersebut. Artinya, keuntungan yang didapat atas dasar produksi dari tanah tersebut setelah dikurangi biaya. Adanya perbedaan surplus ekonomi yang didapat pada suatu tanah dikarenakan perbedaan tingkat kesuburan. Andaikan ada tiga jenis lahan dengan tingkat kesuburan yang berbeda dipergunakan untuk memproduksi komoditas yang sama dan menggunakan faktor-faktor lain yang sama. Menurut teori ini, karena perbedaan kesuburan lahan, maka pada tingkat harga output dan input yang sama akan diperoleh surplus yang berbeda seperti dijelaskan pada Gambar 1.

  P 1 P 1 Land Rent

  P 1 C 3

  Land Rent

  C 2 C 1 Biaya Produksi

  Biaya Produksi

  Biaya Produksi

  X 1 X 2 X 3

  Jumlah Output

  Tanah subur sekali

  Tanah subur

  Tanah tidak subur

  Gambar 1. Perbedaan Land Rent Karena Perbedaan Tingkat Kesuburan

  Lahan

  keterangan gambar :

  P 1 : Harga produksi

  C 1 ,C 2 ,C 3 : Biaya produksi

  X 1, X 2 ,X 3 : Tingkat produksi AC : Biaya rata-rata

  MC

  : Biaya marginal

2) Teori Lokasi Von Thunen

  Berdasarkan teori lokasi Von Thunen dalam Suparmoko (1989), bahwa surplus ekonomi suatu lahan banyak ditentukan oleh lokasi ekonomi (jaraknya ke kota). Menurut Von Thunen, bahwa biaya transportasi dari lokasi suatu lahan ke kota (pasar) merupakan input produksi yang penting, makin dekat lokasi suatu lahan ke kota maka makin tinggi aksesibilitasnya atau biaya transport makin rendah, oleh karena itu sewa lahan akan semakin mahal berbanding terbalik dengan jarak. Semakin jauh jarak ke pusat pasar maka biaya transportasi semakin mahal sehingga land rent semakin turun sejalan dengan semakin meningkatnya biaya transportasi. Hal ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2, misalkan pada jarak 0 km (tepat di lokasi pasar) biaya transportasi tidak ada, maka biaya total produksi sebesar OC (land rent tinggi), kemudian pada jarak OM biaya transportasi meningkat menjadi BA sehingga biaya total produksi menjadi MA,

  sehingga land rent-nya menjadi lebih rendah. Pada jarak OK biaya transportasi sebesar UT, sehingga biaya total produksi sebesar KT, pada kondisi demikian tidak mendapatkan surplus. Oleh karena itu land rent berbanding terbalik dengan jarak, semakin besar jarak maka land rent semakin kecil.

  Rp

  Rp (Land rent)

  T

  P

  Land Rent

  A Biaya transport

  Jarak ke pasar (km)

  Gambar 2. Pengaruh Jarak Terhadap Biaya Transportasi dan Land Rent

  keterangan gambar :

  0 : Pusat pasar

  P

  : Harga produk

  C : Biaya produksi

  M, K, L

  : Jarak

3) Teori Nilai Lahan Pertanian (Agricultural Rent)

  Teori lain yang menjelaskan tentang land rent dikembangkan oleh Dunn dan Isard (Alonso, 1964). Menurut teori ini land rent di setiap lokasi adalah sama dengan nilai dari produk dikurangi biaya produksi dan biaya transportasi. Dalam teori ini diasumsikan hanya ada satu pasar dimana produk-produk pertanian dapat dijual, dan hanya ada satu jenis produk pertanian. Rentang nilai antara penerimaan dan biaya dalam kegiatan pertanian merupakan sewa ekonomi dan juga dapat menjadi sewa yang dibayarkan oleh penggarap kepada pemilik lahan. Land rent pada setiap lokasi dapat diformulasikan sebagai berikut :

  p c (t) = N [ P c –C–k c (t) ]

  dimana :

  p c (t) : land rent per satuan unit lahan pada jarak t dari pasar

  N

  : jumlah produk yang diproduksi per satuan unit lahan P c : harga produk per unit di pasar

  C : biaya produksi K c (t) : biaya transportasi satu unit produk pada jarak t ke pasar

4) Konversi Lahan Berdasarkan Teori Land Rent

  Menurut Barlowe (1978), proses konversi lahan dapat dijelaskan berdasarkan teori atau konsep land rent. Dalam pemilihan penggunaan lahan diantara berbagai alternatif biasanya mencerminkan faktor-faktor seperti keahlian, selera, serta modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh berbagai alternatif tersebut. Para pemilik lahan selalu konsentrasi pada penggunaan yang memberikan keuntungan terbesar pada lokasi tertentu dan dengan kombinasi- kombinasi tertentu dari faktor-faktor produksi. Pemilik lahan selalu membandingkan pendapatan yang dapat dihasilkan pada berbagai alternatif penggunaan lahan. Perbandingan ini berdasarkan pada pengamatan secara umum dan juga berdasarkan perhitungan dari kemungkinan keuntungan ekonomi yang diperkirakan dapat dihasilkan dari masing-masing penggunaan lahan tersebut. Perbandingan ini, terutama sekali melibatkan faktor penggunaan dan lokasi, serta dapat dilihat dari segitiga land rent masing-masing penggunaan lahan.

  Pada Gambar 3 segitiga land rent dapat dilihat mulai dari segitiga EOP’, yang menggambarkan land rent dari penggunaan A, sampai segitiga HOT, yang menggambarkan penggunaan D.Keempat segitiga land rent pada Gambar 3 (EOP’, FOR’, GOS’, dan HOT) dapat digunakan untuk menjelaskan persaingan antara empat jenis penggunaan lahan. Empat penggunaan tersebut dapat mewakili penggunaan untuk industri, permukiman, pertanian, dan kehutanan. Dengan

  masing-masing contoh tersebut, penggunaan yang menghasilkan land rent tertinggi biasanya menjadi kapasitas penggunaan lahan yang tertinggi di suatu area tertentu. LAND RENT

  G B

  ersi d

  Batas konv

  Zona konv A dan B ke B

  Tidak

  Batas konversi

  B dan C

  Zona konversi dari B

  ke C

  Tidak

  Batas konversi

  Zona konversi dari C C dan D

  PENURUNAN KAPASITAS PENGGUNAAN LAHAN

  Gambar 3. Hubungan Antara Land Rent dan Alokasi Sumberdaya Lahan

  Pada Gambar 3, sisi miring dari masing-masing keempat segitiga land rent menggambarkan batas intensif untuk penggunaan lahan tertentu. Batas intensif untuk penggunaan A digambarkan oleh garis EP’ dan batas intensif untuk penggunaan B, C, dan D digambarkan oleh garis FR’, GS’, dan HT. Titik perpotongan antara batas intensif disebut batas konversi. Perpotongan antara batas intensif untuk penggunaan A dan B berada pada titik ab (titik P). Pada titik ini lebih menguntungkan untuk mengkonversi lahan menjadi penggunaan B dibandingkan melanjutkan penggunaan A. Batas konversi lain berada di titik bc atau R dimana di titik ini lebih menguntungkan untuk mengkonversi lahan

  menjadi penggunaan C dibandingkan melanjutkan penggunaan B, dan di titik cd atau S lebih menguntungkan untuk mengkonversi lahan menjadi penggunaan D dibandingkan melanjutkan penggunaan C.

  Pemilik lahan pada masing-masing kasus tersebut dapat melanjutkan penggunaan lahan yang sebelumnya melebihi batas konversinya sampai pada titik batas tidak ada rent (no-rent). Jarak antara batas konversi dan batas no-rent (antara P dan P’ pada penggunaan A; R dan R’ pada penggunaan B; serta S dan S’ pada penggunaan C) disebut zona konversi. Penggunaan lahan yang berada pada zona tersebut tidaklah menguntungkan. Dengan contoh yang diberikan ini, konsep dari land rent dan highest and best use dapat digunakan untuk menjelaskan persaingan antara penggunaan lahan. LAND RENT

  B B’

  bc b’c’

  C P S

  PENURUNAN KAPASITAS PENGGUNAAN LAHAN

  Gambar 4. Konversi Lahan Pertanian-Permukiman Berdasarkan Land Rent

  Alokasi penggunaan lahan dan proses konversi biasanya tidak selalu berjalan mulus seperti yang digambarkan pada Gambar 3, banyak faktor yang menahan lahan tersebut untuk tidak terkonversi seperti yang seharusnya terjadi. Pada Gambar 4 mengaambarkan situasi masalah antara penggunan lahan untuk permukiman (B) dan pertanian (C). Saat penduduk belum banyak, batas area permukiman berada pada titik P di Gambar 4. Apabila terjadi peningkatan

  penduduk maka akan menyebabkan area permukiman yang sudah ada digunakan secara lebih intensif dan juga dibutuhkan tambahan area permukiman di sekitar pinggiran kota, sehingga batas intensif dari penggunaan permukiman bergeser menjadi B’ dan batas area permukiman menjadi di titik S.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

  Kabupaten Bogor khususnya Kecamatan Ciampea memiliki wilayah pertanian yang potensial dan cukup luas yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana seperti irigasi yang merupakan investasi yang tidak sedikit nilainya. Di samping itu sebagian masyarakatnya juga bermata pencaharian dan memiliki keahlian sebagai petani., tetapi tingginya laju konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di wilayah tersebut merupakan hal yang kontradiktif dengan potensi-potensi tersebut. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan petani merupakan salah satu penyebab masalah konversi lahan terus terjadi. Oleh karena itu, masalah perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani dan juga menjadi fenomena umum yang menjadi masalah nasional.

  Pemerintah menetapkan kebijakan tentang penataan ruang yang bertujuan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dan menjaga ketahanan pangan nasional. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Bogor menetapkan penggunaan lahan di Kabupaten Bogor selain sebagai pengembangan permukiman perkotaan, tetapi juga sebagai kawasan konservasi dan pengembangan pertanian sesuai dengan potensi yang telah ada. Hal ini tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor mengenai fungsi

  utama wilayah Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, dengan mempertahankan luas lahan pertanian yang sudah ada merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan sektor pertanian sebagai salah satu basis pembangunan daerah.

  Apabila melihat tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya masyarakat tani, maka yang terjadi yaitu petani pemilik lahan cenderung lebih memilih untuk mengalihfungsikan lahan pertanian mereka ke bentuk non pertanian. Hal ini disebabkan karena lebih memberikan keuntungan materi bagi para pemilik lahan pertanian. Keadaan ini cenderung bertolak belakang dengan apa yang pemerintah rencanakan dalam hal penataan ruang dan penggunaan lahan. Untuk itu, upaya peningkatan kesejahteraan petani dengan peningkatan nilai ekonomi lahan (land rent) pertanian perlu dilakukan.