Latar Belakang Karakteristik Keluarga dan Ketersediaan pangan Keluarga di Lingkungan XIII Kelurahan Tanjung Rejo Medan Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Data statistik daripada United Nation Foods and Agriculture Organization FAO, menyatakan bahwa kekurangan gizi di dunia mencapai 1,02 milyar orang yaitu kira-kira 15 populasi dunia dan sebagian besar berasal dari negara berkembang. Anak-anak adalah golongan yang sering mengalami masalah kekurangan gizi. Kira-kira setengah daripada 10,9 juta anak yaitu kira-kira 5 juta anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi FAO, 1989. Menurut data daripada World Health Organization, terdapat empat jenis masalah kekurangan gizi utama dan berpengaruh pada golongan berpendapatan rendah di negara berkembang. Masalah gizi utama tersebut adalah Kurang Energi Protein KEP, Anemia Gizi Besi AGB, Kurang Vitamin A KVA dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium GAKY World Health Organization, 1989. Masalah malnutrisi pada anak usia di bawah lima tahun dapat mengganggu proses tumbuh kembang secara fisikal maupun mental dan ini dapat memberikan dampak yang negatif pada sumber daya manusia pada masa mendatang. Menurut kerangka pikir UNICEF 1998 terdapat faktor langsung dan faktor tidak langsung terhadap terjadinya gizi kurang dan gizi buruk pada anak. Faktor yang langsung mempengaruhi adalah tingkat konsumsi dan ada tidaknya penyakit. Faktor tidak langsung terdiri atas ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, serta kesehatan lingkungan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, Universitas Sumatera Utara pengetahuan, dan keterampilan dari anggota keluarga. Lebih lanjut Riyadi 2006 menyatakan bahwa status gizi dan keadaan kesehatan merupakan dua faktor yang saling berinteraksi. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik diantaranya ditentukan oleh ketersediaan makanan yang bergizi sejak dini. Namun sayang untuk beberapa daerah akses terhadap produk makanan yang bergizi dan terjangkau sangatlah rendah. Hal ini diperparah dengan minimnya pengetahuan dan pendidikan ibu tentang gizi seimbang untuk anak-anak mereka. Namun kondisi ini dapat diperbaiki salah satunya dengan mengatasi masalah-masalah di atas serta upaya meningkatkan peran Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu posyandu yang dapat menjangkau tersebar luas di seluruh negeri Fauziaty, 2007. Masalah gizi terjadi disetiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan janin, bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi. Pada tingkat individu, keadaan gizi dipengaruhi oleh asupan gizi dan penyakit infeksi yang saling terkait. Apabila seseorang tidak mendapat asupan gizi yang cukup akan mengalami kekurangan gizi dan mudah sakit. Demikian juga bila seseorang sering sakit akan menyebabkan gangguan nafsu makan dan selanjutnya akan mengakibatkan gizi kurang Depkes RI, 2007. Status gizi masyarakat dapat diindikasikan oleh status gizi balita dan ibu hamil. Masalah gizi pada dua kelompok tersebut dapat berpengaruh pada rendahnya Universitas Sumatera Utara kualitas SDM. Pengaruh dari kedua masalah gizi ini sangat luas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, baik dalam konteks masalah sosial budaya, maupun ekonomi dan status bangsa. Dinkes Propinsi Sumatra Utara, 2006. Menurut laporan UNICEF United Nations International Children’s Emergency Fund jumlah anak balita penderita gizi buruk mengalami lonjakan dari 1,8 juta 2005, menjadi 2,3 juta 2006 diluar 2,3 juta penderita gizi buruk masih ada 3 juta lebih mengalami gizi kurang yaitu sekitar 28 dari total balita di seluruh Indonesia. Dari jumlah balita penderita gizi buruk dan kurang sekitar 10 berakhir dengan kematian. Dari angka kematian balita yang 37 per 1000 ini, separuhnya adalah kurang gizi Depkes, 2006. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar riskesdas Nasional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk nasional berdasarkan presentase berat badan per umur BBU pada anak balita mencapai 5,4 dan gizi kurang sebesar 13 Laporan Riset Kesehatan Dasar Nasional, 2007. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk sejak tahun 1989-2010 menunjukkan penurunan. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2007 prevalensi gizi buruk di Indonesia berdasarkan indeks BBU sebesar 5,4, gizi kurang 13, sedangkan menurut indeks BBTB sangat kurus 6,2, kurus 7,4. Pada tahun 2010 prevalensi gizi buruk berdasarkan indeks BBU sebesar 4,9, gizi kurang 13, jika dibandingkan dengan prevalensi di Propinsi Sumatera Utara jauh lebih tinggi yaitu pada tahun 2007 menurut indeks BBU gizi buruk 8,4, gizi kurang 14,3, menurut indeks BBTB sangat kurus 9,1, kurus 7,9 dan pada tahun 2010 prevalensi Universitas Sumatera Utara berdasarkan indeks BBU gizi buruk 7,8, gizi kurang 13,5, sedangkan berdasarkan BBTB kurus 5,6 dan kurus 8,4. Hasil RISKESDAS 2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17.9 dan gizi buruk menjadi 4.9. Di Indonesia jumlah anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2003 mencapai 27,5 dari total jumlah balita. Pada tahun 2004 mencapai 19,37 dari total jumlah balita. Pada tahun 2005 sebanyak 73.041 kasus balita yang mengalami gizi buruk di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 2.580 mengalami marasmus, 88 orang mengalami kwashiorkor, 140 orang mengalami marasmus kwashiorkor, serta sebanyak 70.203 orang mengalami kasus gizi non klinis Dewan Ketahanan Pangan, 2006. Meningkatnya gizi buruk, terutama pada anak-anak di Indonesia harus diwaspadai. Khomsan 2008 menyebutkan bahwa pada tahun 2007 anak usia dibawah lima tahun balita yang mengalami gizi buruk sebanyak tujuh ratus ribu anak dan yang mengalami gizi kurang sebanyak empat juta balita. Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini juga masih memprihatinkan, terutama pada anak- anak. Hasil penelitian program pangan dunia pada tahun 2008 yang menyebutkan bahwa sebanyak 13 juta anak Indonesia menderita mal nutrisi atau gizi buruk. Kesehatan anak bukan hanya dipengaruhi oleh konsumsi makanan saja, tetapi juga oleh sistem sosial budaya yang ada, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek pengasuhan, praktek pemberian makan serta perawatan kesehatan Zeltin et al. 1990. Peningkatan status gizi balita dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan gizi ibu dan perilaku keluarga sadar gizi KADARZI. Tahun 1998 Depkes RI telah mencanangkan program kadarzi. Kadarzi merupakan sasaran Universitas Sumatera Utara program perbaikan gizi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah gizi. Dengan adanya program keluarga sadar gizi diharapkan tidak ada lagi bayi berat badan lahir rendah BBLR, gizi lebih, dan status gizi semua anggota keluarga baik Dinkes Propinsi Sumatra Utara, 2006. Tingkat pendidikan ibu mempengaruhi sikap, perilaku, pola asuh, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Pentingnya pengetahuan gizi ibu, pola asuh, dan perilaku KADARZI dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia menjadi dasar perlu dilakukannya penelitian untuk mengetahui kaitan antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan kesehatan, perilaku KADARZI serta status gizi anak. Pengetahuan gizi ibu dapat mempengaruhi penyediaan dan pengelolaan pangan bagi anggota keluarganya serta perilaku KADARZI. Selain daripada itu, dikarenakan oleh sebagian besar penduduk di bawah garis kemiskinan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan jumlah dan kualitas yang mencukupi norma gizi. Sebagai akibatnya sebagian anggota keluarga pada kelompok rumah tangga miskin mengalami gangguan pertumbuhan dan kecerdasan terutama anak anak, serta memiliki produktifitas kerja dan status kesehatan yang rendah. Dengan demikian kelompok penduduk ini pada umumnya akan mengalami kurang gizi atau gizi buruk yang akan berakibat rendahnya kualitas SDM untuk dapat beraktifitas pada pembangunan pada umumnya dan peningkatan pendapatan pada khususnya. Dengan kata lain, kelompok penduduk ini juga akan sulit untuk meningkatkan pendapatan atau terbebas dari kemiskinan, yang pada gilirannya akan berakibat pada rendahnya kemampuan untuk mengakses pangan dan mencapai status Universitas Sumatera Utara gizi yang baik. Pada kondisi ini akan terjadi lingkaran sebab akibat antara akses pangan, status gizi dan kemiskinanpendapatan Dinkes Provinsi Sumut, 2006. Daya beli atau pendapatan keluarga yang memadai untuk memenuhi biaya hidup merupakan salah satu kunci ketersediaan makanan bergizi keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dan pola alokasi pendapatan menentukan daya beli keluarga terhadap pangan Soekirman, 2000. Ketersediaan makanan bergizi sangat dipengaruhi oleh daya beli keluarga yang ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein. Ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga menjadi kurang, baik dalam jumlah, mutu maupun keragamannya. Hal ini akan berdampak buruk terhadap status gizi anak balita. Pada tahun 2000 di Sumatera Utara terdapat kasus gizi kurang sebesar 17,3 dan gizi buruk 9,16. Tahun 2003 terjadi peningkatan, gizi kurang 18,59 dan gizi buruk 12,3, tahun 2005 terjadi penurunan gizi kurang menjadi 15,78 dan gizi buruk menjadi 8,82 pada tahun 2006 terjadi penurunan persentase balita dengan gizi buruk sebesar 1,02 menjadi 7,8 tetapi balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 20,5. Pada tahun 2006 balita yang tergolong gizi buruk yang mendapat perawatan di Sumatera Utara hanya mencapai 43,9, tahun 2007 prevalensi gizi buruk 4,4 dan prevalensi gizi kurang 18,8, bila dibandingkan dengan target 2010 yaitu 100 masih sangat rendah Dinkes Provinsi Sumut,2006. Dari hasil laporan RISKESDAS tahun 2007 bahwa prevalensi status gizi anak balita di Propinsi Sumatera Utara tahun 2007, menurut indeks BBU terdapat 8,40 balita gizi buruk, 14,30 balita gizi kurang, dan menurut indeks TBU terdapat Universitas Sumatera Utara 25,20 balita sangat pendek, 17,90 balita pendek dan menurut indeks BBTB terdapat 9,10 balita sangat kurus, 7,90 balita kurus. Berdasarkan data surveilans gizi buruk yang dilaksanakan pada tahun 2008 di Kota Medan berdasarkan indeks BBU gizi buruk sebanyak 447 balita 0,6, gizi kurang 6545 balita 9,6, tahun 2009 terdapat gizi buruk sebanyak 761orang 0,6, gizi kurang sebanyak 7036 orang 5,9, tahun 2010 terdapat gizi buruk sebesar 1018 balita 0,8, gizi kurang 5466 balita4,6. Dinkes Kota Medan, 2010. Hasil penelitian Fauziaty 2007 menyatakan bahwa, diantara 50 keluarga yang berasal dari keluarga dengan ketahanan pangan keluarga cukup, terjamin terdapat 2,0 berstatus gizi lebih, 32 keluarga dengan ketahanan pangan dengan tingkat kelaparan tingkat ringan terdapat 43,7 dengan status gizi kurang, 16 keluarga rawan pangan tingkat sedang terdapat 68,7 balita dengan status balita gizi kurang, 2 keluarga rawan pangan tingkat berat 100 berstatus gizi buruk. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendapatan. Selama ini telah dilakukan upaya perbaikan gizi mencakup promosi gizi seimbang termasuk penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI, pemberian suplemen gizi kapsul Vitamin A dan tablet tambah darah TTD, pemantauan dan penanggulangan gizi buruk. Kenyataannya masih banyak keluarga yang belum berperilaku gizi baik sehingga penurunan masalah gizi berjalan lambat Depkes RI, 2007. Dinas Kesehatan Sumatera Utara mencatat sepanjang tahun 2012 terdapat sebanyak 746 kasus gizi buruk terjadi di beberapa wilayah Sumut. Dari jumlah itu, Universitas Sumatera Utara Kota Medan di urutan pertama dengan 143 kasus. Setiap kasus gizi buruk dan gizi kurang akan ditangani khusus oleh Pusat Pemulihan Gizi PPG yang ada di puskesmas-puskesmas. Dari 80 Puskesmas yang ada di Medan, ada 10 unit yang bisa menangani PPG. Di puskesmas tersebut ibu dan balita penderita gizi buruk akan ditangani intensif rawat inap selama satu bulanYuzrizal, 2008. Wilayah kerja Puskesmas Medan Sunggal terdapat 28 orang anak dengan status gizi kurang dan gizi buruk, delapan orang diantaranya dengan gizi buruk, 20 orang diantaranya adalah gizi kurang. Kelurahan Tanjung Rejo memiliki 3 orang anak dengan gizi buruk dan 6 orang anak dengan gizi kurang, 2 orang diantara balita gizi buruk dan 3 orang balita gizi kurang yang ditemukan pada masing-masing dari 3 tiga keluarga di Lingkungan XIII. Berdasarkan survei pendahuluan yang peneliti lakukan, Kelurahan Tanjung Rejo mempunyai jumlah penduduk 42.121 jiwa, serta 9872 KK. Tingkat pendidikan masyarakat mayoritas Sekolah Menengah. Penghasilan penduduk mayoritas dari Karyawan swasta dan berdagang dengan pendapatan rendah sampai menengah. Pendapatan keluarga tersebut telah menuntut ibu turut bekerja di luar rumah, sehingga ibu hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus balitanya di rumah Puskesmas Medan Sunggal, 2012. Hasil penjelasan petugas gizi di Puskesmas Sunggal, menyatakan bahwa tindakan ibu dalam mengunjungi posyandu untuk memantau tumbuh kembang balita terbilang rendah. Ibu rajin datang membawa balita ke posyandu jika diberi susu dan roti, sehingga apabila tidak diberi maka ibu tidak akan datang ke posyandu. Kesadaran dan sikap ibu dalam menerima informasi serta pelayanan kesehatan masih sangat rendah. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan tersebut maka diduga maslaah gizi uruk disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang rendah dan adanya infeksi pada balita. Asupan yang rendah ini disebabkan oleh karena ketersediaan pangan yang kurang dalam keluarga dan faktor lainnya seperti karakteristik keluarga, sehingga peneliti bermaksud untuk mengetahui ketersediaan pangan dalam keluarga dan karakteristik keluarga di lingkungan XIII Kelurahan Tanjung Rejo.

1.2. Perumusan masalah