Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan

4.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan

Menurut Spaemann, walaupun nampaknya etika eudaimonia, etika Kristiani, etika Kant, dan etika-etika selanjutnya tidak mampu mempertahankan kesatuan antara kalon dan kagathon, atau antara apa yang menjadi kewajiban dengan apa yang membahagiakan, masih terdapat harapan untuk penyatuan tersebut. Spaemann melihat harapan tercapainya kesatuan antara apa yang membahagiakanku dan apa yang menjadi kewajiban dalam konsep Leibniz

1 Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame 2 Press, 2000, hal. 78.

Ibid., hal. 97.

tentang cinta, yaitu sebagai delectatio in felicitate alterius, dan dalam konsep Aristoteles tentang persahabatan.

Dalam persahabatan, sahabat mencintai sahabatnya demi dirinya sendiri. Kebersamaan dengan dia adalah bagi sahabat-sahabatnya sumber kebahagiaan, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa sahabat dicintai demi kebahagiaan itu. Cinta adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Cinta adalah kebahagiaan tertinggi tetapi tidak mementingkan diri dan dengan akan kewajiban terhadap yang dicintai. Dalam memenuhi “kewajiban” cinta itu sendiri langsung terletak pada kebahagiaan. Pengalaman cinta adalah pengalaman kehidupan yang berhasil. Dalam cinta moralitas tidak tampak kepentingan dan kehidupan yang berhasil tidak egoistik. Apa yang memotivasikan tindakan moral, cinta-adalah sekaligus apa yang pemenuhannya dipikirkan sebagai kebahagian. Oleh karena itu Spaemann menunjuk pada fenomena cinta. Disitu egoisme dan altruisme tidak terpisah, kebahagiaan dan tanggung jawab terhadap orang diluar ‘aku’ bersatu.

Tentang cinta/persahabatan, Spaemann membedakan antara cinta yang bersifat sentimental seperti yang menjadi pemahaman umum, dan cinta yang merupakan kebaikan hati. Ketika Spaemann berbicara tentang cinta/persahabatan, yang dimaksudkannya adalah relasi yang dicirikan oleh kebaikan hati.

Menurut Spaemann, kebaikan hati mengandaikan dua hal. Pertama, bahwa manusia memiliki struktur teleologis/keterarahan, sehingga orang yang menjadi tujuan dari kebaikan hati dapat menjadi berarti, bermakna baginya. Kedua, pihak yang menjadi tujuan dari tindak kebaikan hati tersebut dapat menampak sebagai dirinya sendiri. Untuk menjelaskannya, mengikuti Aristoteles, Spaemann membedakan dua model bertindak, yaitu untuk apa dan bagi siapa. Pada model untuk apa, suatu tindakan dilakukan demi tujuan-tujuan yang impersonal. Sedangkan pada model bagi siapa, suatu tindakan dilakukan dan diarahkan pada subjek yang bersifat personal. Dalam tindakan yang bersifat bagi siapa ini, selain subjek pelaku muncul, juga subjek yang menjadi tujuan dari tindakan tersebut menampakkan diri.

Ketika itu, menurut Spaemann, dalam cinta dan kebaikan hati subjek yang menjadi tujuan dari ‘tindakanku’ menjadi muncul. ‘Aku‘ melihat orang lain yang ‘kucintai’ atau ‘sahabatku’ dan menjadi tujuan dari kebaikan ‘hatiku’ sebagai pribadi yang lain dari ‘diriku’, yang memiliki identitasnya sendiri, memiliki realitasnya sendiri. Dalam cinta/persahabatan terjadi apa yang oleh Spaemann sebut sebagai keterjagaan terhadap kenyataan. Dalam cinta/persahabatan, ‘aku’ dapat melihat ‘sahabatku’, orang lain sebagai nyata. Spaemann menulis :

One discovers beneath all of our purposes which have an “in-order-to-do-something” character , a goal which one can characterize as a ”for-the-sake-of,” and this discovery is accuretely described in this analysis as awakening to “actuality.” We could also say “awakening to reality,” since everything in our world which has significance only shows it self in this its function, not as its ownself, not in its own reality. Only the for-the-sake-of which goes beyond any involvements the real pure and simple. It is a for the-sake-of not just in the sense of a purpose to be realized but as that “final end,” which is always presupposed as a reality in order that something can appear to us as worth striving for. When Kant call humans ends-in-themselves, or when, in the tradition of metaphysics, God is called the “final end,” then “end”does not mean that which is to be realized, but that which is presupposed as a ground in every realization. The showing-it self of this ground is that which we call awakening to reality or “the becoming real of reality for me (Spaemann, Happines and Benevolence 93).

Keterjagaan terhadap kenyataan, tidak lain daripada terbagunnnya akal budi. Karena itu yang dapat memiliki kebaikan hati hanyalah makhluk rasional. Kebaikan hati tidak dapat dipahami sebagai sekedar dorongan insting-insting. Untuk menjelaskan bahwa kebaikan hati adalah lebih sekedar daripada insting, Spaemann mengambil contoh tentang insting mempertahankan diri. Pada manusia, seperti pada binatang, juga terdapat insting untuk mempertahankan diri. Tetapi berbeda dari binatang yang tidak dapat berfikir tentang insting pertahanan diri tersebut, manusia dapat menyebut dorongan tersebut sebagai insting mempertahankan diri, karena manusia memiliki akal budi yang memampukannya melakukan refleksi. Dan dari refleksilah manusia kemudian dapat menemukan bahwa dirinya dipengaruhi oleh insting untuk mempertahankan diri. 3

Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa manusia selain memiliki insting- insting, memiliki daya lain, yaitu akal budi. Dan dalam kapasitas akal budi inilah manusia dapat memiliki kebaikan hati. Namun, bagi Spaemann, sekalipun manusia memiliki akal budi dapat dikatakan bahwa pada umumnya akal budi

Ibid., hal. 93-94.

manusia berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Akal budi baru menjadi sadar ketika realitas diluar dirinya dapat tampak sebagai realitas, bukan sekedar sebagai bagian dari dirinya. Hal ini berbeda dari binatang, di mana lingkungan bagi binatang tidak pernah menjadi sesuatu yang lain daripada dirinya, melainkan merupakan bagian dari dirinya. Dan memang, bagi Spaemann, manusia telah dapat membedakan dirinya dari lingkungannya, bahwa dia berhadapan dengan lingkungannya. Namun itu berubah setengah dari proses terjaganya akal budi. Akal budi baru sungguh terjaga ketika kita dapat melihat bahwa pribadi lain merupakan suatu realitas yang lain dari ‘diriku’, dan bahwa realitas tersebut memuat tuntutan untuk dihormati, diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekedar benda lain ataupun sarana untuk mencapai tujuan.

Menurut Spaemann, keyakinan bahwa pribadi merupakan suatu realitas/kenyataan yang bernilai pada dirinya sendiri dan harus dihormati, dapat dianggap sebagai suatau keyakinan metafisika. Hal ini tidak berbeda dari keyakinan, karena persoalannya adalah melihat atau tidak melihat, tidak dapat dibuktikan. Keyakinan ini pula yang termuat dalam keyakinan religius. Karena itu, Spaemann mengambil contoh, bahwa hanya manusia religius saja yang memiliki alasan untuk menentang pembunuhan. Manusia religius disini maksudnya adalah mereka yang dapat menangkap akan adanya ‘yang suci’ dalam eksistensi pribadi manusia. Bila manusia tidak dapat melihat ‘yang suci’ dalam pribadi manusia maka dia sesungguhnya tidak memiliki alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa membunuh orang lain tidak diperbolehkan. Karena itu, dia dapat saja membenarkan pembunuhan atas seseorang berdasarkan suatu pertimbangan atau alasan, atau bahkan tanpa alasan apapun. Hal itu berbeda dengan manusia religius, yang dapat menangkap bahwa ada ‘yang suci’ dalam pribadi manusia, sehingga setiap pribadi wajib untuk dihormati eksistensinya. 4

Bagi Spaemann, seseorang perlu ‘terbangun’ agar dapat melihat realitas orang lain. Dan salah satu momen di mana kita dapat terbangun atau melihat realitas orang lain adalah dalam persahabatan atau cinta. Dalam persahabatan dan cinta, kita melihat orang lain, ‘sahabatku’ secara jernih, sebagai makhluk yang

Ibid., hal. 95.

memiliki nilai pada dirinya sendiri. Sahabat adalah orang yang dicintai demi dirinya sendiri, jadi bukan demi hal-hal lain di luar dirinya, atau pun demi manfaatnya ‘bagiku.’ Ketika seseorang menjadi sahabat, maka apapun akan dilakukan demi kebaikan atau kebahagiaan sahabatnya. ‘Aku’ bahagia ketika ‘dia’ bahagia, bila ‘aku’ melihat dia dalam kesulitan, maka secara spontan ‘aku’ akan membantunya. Pertimbangan apakah ‘aku’ wajib atau tidak wajib untuk membantunya tidak lagi relevan.

timbal balik antara persahabatan/cinta dengan kemampuan untuk melihat kenyataan. Di satu sisi, persahabatan membuat realitas sahabat menjadi nampak. Dan di sisi lain, karena ‘aku’ dapat memandang orang lain secara jernih, di mana ‘aku’ memperlakukan dia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka dia dapat menjadi sahabat ‘bagiku’. Tidak mungkin ‘aku’ dapat memiliki sahabat bila ‘aku’ tidak mampu melihatnya sebagai realitas pada dirinya sendiri, sebagai seseorang yang menjadi tujuan ‘tindakanku’.

Menurut Spaemann, terjadi

hubungan

Sesungguhnya dalam persahabatan, persoalan tentang egoisme telah dilampaui. Memang pada akhirnya kita pun mendapatkan kebahagiaan atas apa yang kita lakukan demi sahabat kita, dan hal itu tidaklah menjadi masalah. Walaupun kita mendapatkan kebahagiaan, kebahagian itu bersifat tidak langsung, sebagai dampak saja. Apa yang kita lakukan bukanlah pertama-tama demi kebahagian tersebut, melainkan demi sahabat kita. Fenomena persahabatan pun membuat etika Kantian yang berdasarkan tindakan moral pada intuisi tentang apa yang wajib menjadi kehilangan kekuatannya. Dalam persahabatan, dihadapkan pada situasi di mana sahabat berada dalam kesulitan dan membutuhkan bantuan kita, persoalan wajib atau tidak wajib tidak lagi relevan. Bila memang sungguh dia adalah sahabat kita, tentu kita akan membantu dia, tanpa harus melalui refleksi apakah saya wajib untuk membantunya atau tidak. Bila dalam situasi semacam itu kita masih bertanya apakah saya wajib untuk membnatu dia, maka dapat dipertanyakan apakah saya memang sahabat yang baik bagi dia.