KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN ETIKA MODERN

3.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa

Stoa mengambil sikap yang bertolak dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk dalam dimensi waktu, ia sadar bahwa kenikmatan sesaat tidak menjamin kebahagiaan. Makin manusia beridentifikasi dengan keseluruhan, makin ia mencapai autarkia, kemandirian, dimana ia tidak dapat mengalami sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Cita-cita ini adalah ataraxia, Stoa mengambil sikap yang bertolak dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk dalam dimensi waktu, ia sadar bahwa kenikmatan sesaat tidak menjamin kebahagiaan. Makin manusia beridentifikasi dengan keseluruhan, makin ia mencapai autarkia, kemandirian, dimana ia tidak dapat mengalami sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Cita-cita ini adalah ataraxia,

Menurut Spaemann, ada beberapa keunggulan dari etika Stoa dibandingkan dengan etika Epikuros. Etika Epikuros mengalami masalah besar berkenaan dengan dimensi waktu. Etika tersebut tidak dapat menampung dimensi waktu ke dalam sistem etikanya. Etika Epikuros gagal untuk memandang eudaimonia sebagai keseluruhan proses hidup seseorang. Sedangkan etika Stoa berhasil melihat eudaimonia sebagai kondisi di mana hidup seseorang dinilai secara keseluruhan. Artinya hidup seseorang dikatakan berhasil atau tidak berhasil bila yang dijadikan materi penilaian adalah keseluruhan perjalanan hidupnya. Pada Stoa, seseorang mencapai eudaimonia, atau dapat dikatakan hidupnya berhasil bila dia dapat mempertahankan diri, dapat menyesuaikan dirinya dengan hukum alam.

Dengan demikian, Stoa menemukan dasar bagi kehidupan manusia: perbuatan yang baik adalah menyesuaikan dengan diri dengan hukum alam, perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang tidak dapat dihindari. Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai autarki. Autaraki adalah kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarki/autarkia adalah pertahanan diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. Dalam menyatu dengan seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apa pun diluar dirinya. Dalam

situasi apa pun ia berada pada dirinya sendiri, adalah autarki. 8

Yang menjadi dasar persoalannya adalah pada premis dasar, bahwa tujuan manusia adalah mempertahankan diri. Bagi Spaemann, mempertahankan diri hanyalah prasyarat awal untuk hidup, namun tidak memadai untuk dijadikan tujuan hidup manusia. Dengan membatasi tujuan manusia pada sekedar mempertahankan hidup, Stoa telah mereduksi aspek-aspek lain dari kehidupan manusia, yang sesungguhnya merupakan langkah selanjutnya dari mempertahankan diri.

Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 58.

Bagi Spaemann, pemahaman Stoa tentang eudaimonia telah mendekati apa yang seharusnya menjadi eudaimonia, yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Pada Stoa, eudaimonia dicapai dengan menyesuaikan diri dengan hukum alam sehingga diri seluruhnya dapat menyatu dengan alam. Diri tidak lagi dibingungkan atau dikacaukan oleh segala yang terjadi, baik penderitaan, kekecewaan, dan kegembiraan. Diri telah mecapai autarki, penuh pada dirinya sendiri dan tidak lagi membutuhkan apapun dari luar dirinya. Memang paham eudaimonia semacam ini memenuhi kriteria Spaemann tantang eudaimonia, yaitu hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Pribadi Stoa pada dirinya sendiri mendapati dirinya bahagia, dan kebahagiaan mereka pun memiliki dimensi objektif sehingga orang lain pun dapat memulai hidup mereka sebagai bahagia.

Namun terdapat masalah pada pemahaman Stoa tentang autarki. Orang yang autarki, yang penuh pada dirinya sendiri sesunggguhnya telah menutup diri pada kemungkinan terjadinya pemenuhan di masa yang akan datang. Spaemann mempertentangkan antara autarki/penuh pada dirinya sendiri dengan kemungkinan terjadinya pemenuhan, misalnya dalam cinta. Hanya orang yang menemukan dirinya tidak utuh atau kosong yang dapat mengusahakan pemenuhannya, dan terbuka pada kemungkinan pemenuhannya. Pemenuhan tersebut, menurut Spaemann, dapat dipandang sebagai kebahagiaan/eudaimonia. Sedangkan orang yang cukup pada dirinya sendiri tertutup pada unsur-unsur lain dari luar dirinya sendiri, misalnya cinta. Menurut Spaemann, tidanya cinta adalah bayaran yang cukup mahal untuk suatu ketercukupan diri/autarki.

3.1.5. Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles

Menurut Aristoteles manusia mendua. Ia berpatisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka kebahagiaan tertinggi yang dicapai manusia adalah theoria, memandang hal-hal abadi. Kekhasan manusia adalah sebagai zon politicon, yaitu mahkluk yang dapat mengembangkan diri dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya, melaui praksis/komunikasi dalam lingkungan- Menurut Aristoteles manusia mendua. Ia berpatisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka kebahagiaan tertinggi yang dicapai manusia adalah theoria, memandang hal-hal abadi. Kekhasan manusia adalah sebagai zon politicon, yaitu mahkluk yang dapat mengembangkan diri dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya, melaui praksis/komunikasi dalam lingkungan-

Spaemann melihat bahwa etika Aristoteles merupakan upaya untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh konsep eudaimonia. Walaupun Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa eudaimonia sejati manusia dicapai lewat theoria, dia sadar bahwa hidup manusia tidak dapat hanya terdiri dari theoria saja. Manusia bukan semata-mata makhluk rohani sehingga dapat melepaskan diri dari keseharian. Melainkan manusia adalah makhluk campuran, terdiri dari rohani dan jasmani, yang karenanya terikat pada keseharian. Aristoteles melihat bahwa kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan dirinya.

Kemudian, menurut Spaemann, dengan menempatkan manusia ke dalam polis, Aristoteles berusaha untuk memenuhi tuntunan bahwa hidup yang berhasil haruslah dapat dinilai secara subjektif sekaligus objektif. Dengan mengarahkan tindakannya bagi kepentingan polis, individu mendapatkan kepuasan karena dapat berbuat sesuatu bagi polis atau sesama warga negara lainnya, sekaligus juga tindakan tersebut memang nyata memberikan manfaat bagi polis. Aristoteles juga berhasil memecahkan persoalan yang dihadapi oleh etika eudaimonia yang lain, di mana walupun eudaimonia merupakan tujuan manusia, tindakan manusia tidak dapat langsung ditujukan untuk mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Ketika tindakan dilakukan dengan tujuan memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan malah tidak dapat dicapai. Pemecahan Aristoteles dapat dipandang sebagai jalan memutar, yaitu dengan mengarahkan tindakan demi kepentingan polis, maka individu secara tidak langsung memperoleh kebahagiaan.

Tapi kemudian, menurut Spaemann, yang juga telah disadari oleh Aristoteles, jalan keluar yang ditawarkan ini hanya akan menghasilkan

Bertens, K., Op.Cit., hal. 243.

eudaimonia yang bersifat relatif. Hal ini karena kehidupan polis yang sesungguhnya tidak pernah sempurna, pasti banyak kekecewaan, kegagalan. Namun memang kebahagiaan yang ditawarkan Aristoteles adalah kebahagiaan yang paling mungkin bagi manusia, karena sesuai dengan kondisi manusia.

3.2. Kritk Robert Spaemann terhadap Etika Modern

3.2.1 Etika Kristiani

Setelah membahas etika eudaimonia yang pada akhirnya harus berhadapan dengan sifat antinominya sendiri, Spaemann mulai membahas tradisi etika lain yang juga dapat dipandang sebagai reaksi terhadap etika eudaimomia, yaitu etika Kristiani. Dalam membahas etika Kristiani, Spaemann memulainya dengan menunjukkan pertentangan antara etika Kristiani dengan etika eudaimonia. Menurut Spaemann, tokoh-tokoh etika Kristiani, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas sangatlah akrab dengan etika eudaimonia. Pemikiran mereka yang bersumberkan pada ajaran agama Kristiani, tetaplah dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran yang berkembang pada masanya, di antaranya adalah etika eudaimonia.

Etika Yunani pasca Plato tidak berhasil. Eudemonisme Yunani lemah karena eudemonia tidak berhasil di rumuskan. Kebahagiaan sebagai sekedar perasaan puas tidak memadai, sedangkan sebagai keberhasilan kehidupan terlihat tidak menjamin pengalaman kebahagiaan yang kiranya juga termasuk eudaimonia. Keberhasilan kehidupan mengandaikan suatu perspektif dimana hidup kita dilihat sebagai kesatuan. Antisipasi kebahagiaan yang menurut Aristoteles, konstitutif bagi segala tindakan kita, bukan sesuatu yang empiris. Wawasan keberhasilan kehidupan itu secara hakiki transenden, yakni meluap ke dimensi pasca kematian. Filsafat moral Yunani pasca Plato gagal, karena tidak terbuka terhadap dimensi transenden tersebut. Etika Kristiani menegaskan bahwa kebahagiaan yang sebenarnya hanya dapat tercapai dalam visio beatifica, yakni dalam memandang Tuhan.

Menurut Spaemann, berbeda dari etika eudaimonia yang tidak memberikan tempat pada unsur transenden, etika Kristiani malah berpusat pada unsur transenden tersebut, yaitu Ketuhanan. Untuk memberikan tempat bagi unsur ini, dalam pemikiran etika Kristiani, Agustinus dan Thomas Aquinas mulai dengan menunjukkan bahwa etika eudaimonia lebih merupakan suatu fiksi atau utopia. Bagi Agustinus dan Aquinas, eudaimonia tidak dapat disamakan dengan hidup bermoral. Alasannya karena dalam konsep eudaimonia terkandung pemahaman bahwa eudaimonia haruslah melampaui kematian. Padahal ketika berhadapan dengan kematian, moralitas pun akan musnah. Sekalipun seseorang hidup secara bermoral, namun ketika dia mati, maka tidak ada lagi yang tersisa. Demikianlah bila eudaimonia disamakan dengan hidup bermoral. Padahal, bagi Spaemann, seharusnya eudaimonia bersifat abadi, melampaui kematian.

Etika Kristiani menunjukkan bahwa etika eudaimonia tidak memadai karena tidak dapat bertahan berhadapan dengan fakta kematian manusia, etika Kristiani masuk dengan menawarkan konsep baru tentang kebahagiaan. Bagi etika Kristiani, kebahagiaan adalah ketika manusia dapat bersatu dengan Tuhan, yakni setelah kematian. Dan bagi etika Kristiani, tidak ada usaha apapun yang dapat yang dapat dilakukan oleh manusia agar nanti setelah kematian dapat bersatu dengan Tuhan. Manusia dapat bersatu dengan Tuhan sepenuhnya karena rahmatNya, karena Tuhan telah menjanjikannya. Yang kini dapat dilakukan oleh manusia dalam hidup ini adalah menanti pemenuhan janji tersebut dengan penuh harapan. Dan harapan itulah yang menjadi kebahagiaan bagi manusia selama ia masih di dunia ini.

Selain memahami kebahagiaan sebagai bersatu dengan Tuhan nanti di surga, etika Kristiani juga memahami moralitas sebagai bentuk ekspresi cinta manusia akan Tuhan. Jadi bagi etika kristiani, moralitas bukanlah kebahagiaan itu sendiri, ataupun sarana untuk memperoleh ganjaran di surga. Melainkan cinta akan Tuhan-lah yang menjadi motivasi manusia untuk bertindak moral.

Bagi Spaemann, etika Kristiani memang berhasil mengatasi persoalan yang dihadapi oleh konsep eudaimonia yang tidak dapat bertahan behadapan dengan kematian, dengan memahami kebahagiaan sebagai persatuan dengan

Tuhan di surga. Namun kemudian kebahagiaan tersebut hanya akan terpenuhi nanti setelah kematian. Etika Kristiani juga dapat memberikan alasan mengapa orang bertindak moral, yaitu sebagai ekspresi cinta akan Tuhan. Tetapi dengan demikian tidak ada kaitan langsung antara kebahagiaan/eudaimonia dengan moralitas. Di sinilah kritik Spaemann terhadap etika Kristiani, bahwa etika Kristiani tidak berhasil menyatukan kebahagiaan dengan moralitas, antara “yang baik” dan “yang indah”, antara yang bermanfaat bagiku dan yang “luhur”. Kaitan antara kebahagiaan dengan moralitas menjadi tidak langsung. Dengan demikian, seseorang melakukan tindakan moral bukanlah karena tindakan itu sendiri memberikan kebahagiaan. Padahal seharusnya, suatu tindakan haruslah memiliki daya tarik sehingga orang mau untuk melakukannya. Barulah ketika tindakan memiliki daya tarik yang dapat membuat orang mau untuk melakukannya, di situ tercapai kesatuan antara “yang baik” dan “yang indah”.

3.2.3. Etika Kant

Menurut Kant, bahwa tindakan manusia berada dibawah keterikatan moral yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawaban oleh orang lain. penilaian dan tindakan moral harus dapat dibenarkan dengan argumentasi yang rasional. Adapun Kant menempatkan argumentasi itu atas dasar sebuah prinsip moralitas

tertinggi. 10 Perdebatan dengan Kant terjadi di mana etika dewasa ini sendiri tidak lagi sepakat tentang penentuan prinsip moral itu. Filsafat moral Kant merupakan salah satu model etika terpenting. Dengan serangannya yang frontal terhadap etika hedonisme, etika Kant merupakan salah satu alternatif dalam usaha perumusan prinsip moralitas, yakni pada dua pola dasar etika universalitik: eudaimonisme dan etika kewajiban Kant.

Etika Kant berada dalam jalur yang searah dengan etika Kristiani. Etika Kristiani memisahkan antara kebahagian dengan moralitas, di mana moralitas tidak menjadi syarat satu-satunya untuk mencapai kebahagian. Etika Kristiani menolak pemahaman tentang relasi antara moralitas dan kebahagiaan sebagai

Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 141.

relasi antara sebab dan akibat. Begitu juga dengan Kant yang kemudian sama sekali menolak moralitas atau tindakan baik yang didasarkan oleh motif untuk memperoleh eudaimonia/kebahagiaan pribadi. Bagi Kant, tindakan baik yang dilakukan dengan maksud memperoleh eudaimonia/kebahagiaan tidak lain daripada sikap egoistis. Kant bertolak dari pengandaian bahwa eudaimonia, perhatian terhadap kehidupan yang berhasil, bersifat instrumentalistik dan egoistik. Artinya, moralitas direndahkan menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan, adalah kepentingan pribadi. Moralitas, menurut Kant, adalah

tindakan semata-semata karena hormat terhadap hukum. 11 Spaemann melihat bahwa kritik Kant terhadap etika eudaimonia adalah disebabkan kesalahan dalam

memahami moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas harus berarti bebas dari segala kepentingan pribadi, sedangkan pengajaran atas kebahagiaan di pandang sebagai sikap egoistis.

Kemudian Spaemann membahas tentang bagaimana etika Kristiani dan Kant masih tetap dapat mempertahankan moralitas, ketika moralitas tidak lagi dipandang sebagai syarat mutlak untuk memperoleh eudaimonia. Menurut Spaemann, kunci dari etika Kristiani adalah konsep tentang cinta akan Tuhan. Pada etika Kristiani, cinta akan Tuhan menjadi dasar bagi semua moralitas,

sebagai forma virtutum. 12 Sedangkan pada Kant, yang menjadi dasar moralitas adalah rasa hormat terhadap hukum, terhadap apa yang menjadi kewajiban. Kant

memang mengakui akan adanya kebaikan tertinggi yang merupakan kesatuan antara berbuat baik dan kebahagiaan. Namun kebaikan tertinggi tersebut haruslah dipahami sebagai sifat ekstrinsik dari moralitas. Dan kebaikan tertinggi tersebut bukanlah komponen pokok dari moralitas itu sendiri, melainkan kepercayaan yang kadang mendukung moralitas.

3.2.4. Utilitarisme

Aliran ini berasal dari pemikiran moral di United Kingdom dan kemudian hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Pada Jermy

12 Bertens, K., Op.Cit., hal. 256. Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 77.

Bentham, dengan bukunya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), utilitarisme dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbarui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Menurut Bentham, manusia pada dasarnya menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini Bentham sebenarnya melanjutkan begitu saja dari hedonisme

klasik. 13

Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebnyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan manusia. Dengan demikian Bentham mencapai pada the principles of utility yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, “kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.”

Utilitarisme muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan perlunya panduan dalam bertindak secara praktis. Bagi Spaemann, utilitarian tidak lagi etika yang bersifat normatif seperti etika eudaimonia ataupun etika-etika sebelumnya. Etika utilitarisme mungkin dapat dapat dipandang sebagai kelanjutan dari etika kewajiban Kant. Namun berbeda dari Kant yang tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi “kewajibanku”, etika utilitarisme mengklaim dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut etika utilitarisme, kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, adalah semata-mata tergantung daripada akibat dari tindakan tersebut, baik akibat aktual, ataupun akibat yang baru merupakan kemungkinan. Suatu tindakam menjadi tindakan yang wajib dilakukan bila tindakan tersebut akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang mungkin bagi pelaku. Prinsip ini menjadi prinsip umum yang diterima oleh berbagai macam variasi dari etika utilitarisme. Perbedaan yang terdapat di antara etika utilitarisme terutama mengenai cara menentukan nilai/bobot dari akibat-akibat yang mungkin muncul.

Bertens, K., Op.Cit., hal. 247.

Spaemann menyebutkan beberapa varian dari utilitarisme yang berbeda dalam hal tolak ukur yang digunakan untuk menilai akibat-akibat dari suatu tindakan. Yang pertama adala Jeremy Bentham yang menyusun semacam sistem kalkulasi untuk menentukan bobot nikmat yang dimiliki oleh setiap tindakan, dan dengan demikian dapat dibandingkan dengan bobot nikmat yang dihasilkan antara tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Kalkulasi Bentham ini sangat bersifat hedonistik karena nikmat yang ingin dinilai dalam setiap tindakan dipahami sebatas nikmat jasmani. Karena itu, John Stuart Mill mengajukan alternatif tolak ukur lain dalam menentukan bobot/nilai suatu tindakan. Berbeda dengan Bentham yang membatasi nikmat pada nikmat jasmani, Mill juga mengakui adanya nikmat rohani. Bahkan nikmat rohani lebih bernilai daripada nikmat jasmani. Oleh karena itu, mungkin saja seseorang mengorbankan nikmat jasmani demi memperoleh nikmat rohani. Dengan demikian, Mill lebih menawarkan agar suatu tindakan dinilai secara kualitatif, bukan secara kuantitatif seperti yang disarankan oleh Bentham.

Tokoh Terakhir yang diambil oleh Spaemann untuk mewakili utilitarisme adalah George Edward Moore. Berbeda dengan Bentham dan Mill yang masih berpikir dalam kerangka etika hedonistik, di mana nikmat menjadi satu-satunya kriteria untuk menilai bobot dari akibat suatu tindakan, Moore berhasil keluar dari kerangka pemikiran hedonistik. Sebagai tolak ukur dalam menghitung konsekuensi dari suatu tindakan, Moore mengajukan teori nilai. Dalam teori nilai tersebut, nikmat hanyalah satu nilai di antara banyak nilai lain.

Bagi Spaemann, Moore masih memandang etika sebagai upaya maksimalisasi kebaikan. Cara memandang seperti itu masih dalam kerangka rasionalitas instrumental. Konsekuensi dari kerangka berpikir semacam itu, mengindikasikan bahwa tujuan dari tanggung jawab, objek kebaikan hati akhirnya bukanlah orang atau kelompok orang tertentu, melainkan dunia sebagai keseluruhan. Tindakan dipandang tepat dan karenanya baik secara moral ketika dilihat secara keseluruhan akan menghasilkan dunia yang lebih baik dibandingkan dengan alternatif-alternatif tindakan lain yang mungkin.

Ada beberapa kritik yang disampaikan oleh Spaemann berkenaan dengan utilitarisme. Pertama, Spaemann melihat bahwa fokus etika utilitarisme yaitu sebanyak mungkin bermanfaat bagi semua orang yang terkena akibat dari suatu tindakan, pada akhirnya hanya akan menjadi pengabaian terhadap pribadi-pribadi konkrit. Bagi Spaemann, “keseluruhan” adalah suatu konsep abstrak. Padahal sesuatu yang abstrak tidak dapat menjadi tujuan dari suatu tindakan moral.

Moralitas selalu berkenaan dengan pribadi-pribadi konkrit. 14

Ketika berhadapan dengan berbagai pilihan tindakan, utilitarisme menuntut agar kita mempertimbangkan semua kemungkinan akibat yang akan timbul terhadap setiap pihak yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Dalam hal ini, utilitarisme menuntut kita untuk membuat kalkulasi menyeluruh terhadap tindakan-tindakan yang kita ambil. Maksud dari kalkulasi tersebut ialah agar kita dapat menentukan mana tindakan yang paling tepat, yaitu paling banyak menghasilkan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Dari sinilah kelemahan berikutnya dari utilitarisme yang ditujukkan oleh Spaemann. Bagi Spaemann, kita tidak akan mungkin dapat membuat kalkulasi universal semacam itu. Alasannya adalah kita tentu tidak akan dapat sepenuhnya memperhitunghkan akibat dari tindakan yang kita ambil terhadap setiap pihak yang terkena dampaknya, dan untuk jangka waktu yang panjang. Dapat saja terjadi bahwa tindakan yang sebelumnya kita perhitungkan akan bermanfaat pada waktu yang akan datang ternyata malah menghasilkan akibat-akibat negatif.

Konsekuensi dari utilitarisme yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur untuk menilai suatu tindakan menimbulkan kesan bahwa utilitarisme mendukung

pandangan tujuan menghalalkan segala cara. 15 Memang sudah merupakan konsekuensi dari etika-etika teleologis, di mana utilitarisme termasuk di dalamnya

yang meletakkan bobot moral suatu tindakan pada akibat dari tindakan tersebut, tidak dapat menghindar dari kesan bahwa etika utilitarisme mendukung paham demi tujuan-tujuan yang dipandang baik, dengan cara apapun dapat dilakukan. Padahal, bagi Spaemann, pandangan bahwa tujuan menghalalkan segala cara, bertentangan dengan intuisi moral dari kebanyakan orang dan tradisi-tradisi etika

15 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 127. Bertens, K., Op.Cit., hal. 251.

dalam semua kebudayaan. Dengan demikian, bagi Spaemann, utilitarisme menghadapi tantangan yang berat karena bertentangan dengan intuisi moral manusia yang pada umumnya menolak bahwa tindakan apapun dapat dibenarkan bila tujuannya baik.

Kemudian menurut Spaemann, etika utilitarisme tidak dapat menampung konsep oidos, rasa malu, yakni perasaan yang muncul ketika manusia sampai kepada batas-batas di mana mereka harus berhenti dalam mengejar tujuan mereka. Pada utilitarisme, sejauh suatu tindakan dilakukan demi tujuan yang baik atau bermanfaat bagi keseluruhan, tindakan tersebut benar bahkan wajib untuk dilakukan. Dari sinilah tidak ada lagi batas-batas tentang perbuatan apa yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan. Kepantasan tidak lagi menjadi kriteria dalam menilai suatu tindakan. Pada utilitarisme, kata-kata seperti ‘pengkhianatan’, ‘perbuatan rendah’ tidak lagi memiliki arti yang independen dalam tindakan itu sendiri. Padahal dalam intuisi moral, kebanyakan orang akan mengatakan bahwa pengkhianatan, perbuatan-perbuatan rendah tidak dapat diterima apapun tujuannya.

Konsekuensi lebih lanjut dari paham yang memandang bahwa tujuan menghalalkan segala cara adalah adanya bahaya pada individu-individu konkrit yang akhirnya diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Di sini orang tidak lagi diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri seperti yang dituntut oleh etika Kant, melainkan orang dapat saja ditundukkan demi tujuan atau kepentingan bersama.

3.2.5. Etika Diskursus

Menurut Sapemann, kegagalan etika utilitarisme dalam mempertahankan subjek konkrit merupakan salah satu pemicu munculnya etika diskursus. Etika diskursus merupakan upaya merevitalisasi kembali etika Kant di mana subjek memperoleh jaminan akan keberadaannya, yaitu diri tidak sekedar dijadikan sarana untuk mencapai tujuan, melainkan tujan dari tindakan atau keputusan moral yang dibuat

Walaupun etika Kant telah membuat pengakuan terhadap individu konkrit, tetapi etika tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah masih terlalu abstrak dan individualistik. Prinsip universalisasi Kant masih tetap tidak dapat memberitahukan apa yang menjadi kewajiban subjek dalam suatu situasi konkrit. Selain itu, ketika rasio atau pertimbangan pribadi dijadikan satu-satunya patokan dalam menentukan tindakan apa yang dapat diuniversalisasikan dan karenanya wajib untuk dilakukan, menurut Spaemann, tetap ada kemungkinan bahwa pertimbangan tersebut dikaburkan oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Karena itu, keputusan moral yang diambil dapat saja salah.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, muncullah etika diskursus yang berusaha menginterpretasikan kembali etika Kant dan keluar dari sifat formalistik Kant. Etika diskursus berusaha untuk memberikan isi konkrit terhadap prinsip universalisasi Kant dan juga mengatasi sifat individualistiknya, di mana keputusan moral semata dibuat berdasarkan pertimbangan pribadi. Upaya untuk memberikan isi konkrit tersebut dilakukan lewat diskursus yang melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Lewat diskursus diharapkan dapat dihasilkan prinsip atau norma konkrit yang dapat memecahkan persolan-persoalan moral tertentu. Karena dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak itu pula etika diskursus sekaligus mengatasi kelemahan etika Kant yang masih sangat bersifat individualistik.

Spaemann menyebutkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar tercipta diskursus yang ideal. Syarat pertama adalah proses diskursus tersebut harus bebas dari dominasi. Masing-masing pihak hadir dalam posisi yang setara dan memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan dan memperjuangkan kepentingan- kepentingannya. Syarat kedua adalah masing-masing pihak yang terlibat dalam diskursus, memiliki pengetahuan yang cukup sehingga dapat mengetahui dengan jelas akan apa yang menjadi kepentingnnya. Syarat ketiga adalah adanya kapasitas moral tertentu sehingga masing-masing pihak yang terlibat mau untuk membuka diri terhadap kemungkinan bahwa rumusan kepentingannya mengalami perubahan setelah melalui proses diskursus. Masing-masing pihak bersedia untuk Spaemann menyebutkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar tercipta diskursus yang ideal. Syarat pertama adalah proses diskursus tersebut harus bebas dari dominasi. Masing-masing pihak hadir dalam posisi yang setara dan memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan dan memperjuangkan kepentingan- kepentingannya. Syarat kedua adalah masing-masing pihak yang terlibat dalam diskursus, memiliki pengetahuan yang cukup sehingga dapat mengetahui dengan jelas akan apa yang menjadi kepentingnnya. Syarat ketiga adalah adanya kapasitas moral tertentu sehingga masing-masing pihak yang terlibat mau untuk membuka diri terhadap kemungkinan bahwa rumusan kepentingannya mengalami perubahan setelah melalui proses diskursus. Masing-masing pihak bersedia untuk

Spaemann memulai kritiknya terhdap etika diskursus dengan membahas masing-masing persyaratan yang dibutuhkan untuk terciptanya diskursus. Pertama, tentang proses diskursus yang harus bebas dominasi. Menurut Spaemann, dalam diskursus nyata, tidak akan ada proses diskursus yang bebas dari dominasi. Spaemann mencontohkan bahwa dalam diskursus, tentu orang- orang yang pandai dalam berbicara atau menyampaikan pikirannya, misalnya orang-orang terpelajar, kemungkinan besar akan mendominasi proses diskursus. Spaemann pun memberikan contoh lain, yaitu sejarah sains yang selama ini dianggap berkembang semata berdasarkan faktor-faktor objektif dari sains itu sendiri, yang berarti bebas dari dominasi atau faktor-faktor di luar sains itu sendiri, ternyata dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar sains.

Kritik berikutnya adalah mengenai syarat adanya kompetensi moral dan kejujuran yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus. Menurut Spaemann ketika masing-masing pihak telah memiliki kejujuran dan keterbukaan untuk berdialog, sesungguhnya apa yang ingin dicapai lewat diskursus malah sulit tercapai. Nilai moral dari kesediaan untuk melakukan diskursus terletak bukan pada menghasilkan norma-norma, melainkan pada kesediaan untuk menguji keyakinan-keyakinan moral yang diyakini.

Selanjutnya Spaemann, adanya permasalahan dalam tuntutan etika diskursus akan kesetaraan dalam hal kapasitas intelektual dari pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus. Spaemann mengemukakan bahwa walaupun masing- masing pihak yang terlibat mempu untuk berpikir secara rasional, pada kenyataannya orang tidak hanya dipengaruhi oleh sisi kognitif atau rasionalitasnya. Manusia bukanlah semata makhluk rasional. Setiap orang memiliki sisi-sisi yang lain, misalnya dorongan-dorongan instingtualnya, dan harapan-harapannya. Tentu sisi-sisi lain ini pun akan mempengaruhi persepsi dan keputusan orang tentang suatu persoalan moral. Menurut Spaemann yang diperlukan untuk suatu diskursus tidak hanya kesetaraan dalam kapasitas Selanjutnya Spaemann, adanya permasalahan dalam tuntutan etika diskursus akan kesetaraan dalam hal kapasitas intelektual dari pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus. Spaemann mengemukakan bahwa walaupun masing- masing pihak yang terlibat mempu untuk berpikir secara rasional, pada kenyataannya orang tidak hanya dipengaruhi oleh sisi kognitif atau rasionalitasnya. Manusia bukanlah semata makhluk rasional. Setiap orang memiliki sisi-sisi yang lain, misalnya dorongan-dorongan instingtualnya, dan harapan-harapannya. Tentu sisi-sisi lain ini pun akan mempengaruhi persepsi dan keputusan orang tentang suatu persoalan moral. Menurut Spaemann yang diperlukan untuk suatu diskursus tidak hanya kesetaraan dalam kapasitas

Spaemann juga melihat bahwa etika diskursus diarahkan untuk menyelesaikan konflik-konflik tentang moralitas. Padahal menurut Spaemann tugas utama etika bukanlah untuk menyelesaikan konflik-konflik moral. Etika terutama adalah refleksi atas kondisi yang diperlukan untuk hidup yang berhasil.

Malah sering kali keyakinan etis menghasilkan konflik. 16

3.3. Penutup

Sebelumnya telah dibahas analisa Spaemann terhadap pemikiran etika Yunani untuk menemukan jawaban tentang apa sesungguhnya yang menjadi isi bagi eudaimonia. Pada Plato, Spaemann menemukan adanya benih pemikiran yang kiranya dapat menjawab persoalan dasar etika, yaitu pertentangan antara keutamaan dan kebahagiaan. Plato mencita-citakan terjadinya penyatuan antara kalon (yang luhur/yang indah) yang terwujud dalam keutamaan, dan agathon (yang baik bagiku) yang menimbulkan kebahagiaan/kepuasan. Kalonkagathon atau kesatuan antara kalon dan agathon tercapai ketika manusia dapat memandang Sang Ilahi dalam kegiatan theoria.

Namun para filsuf Yunani berikutnya tidak melanjutkan proyek Plato. Seperti pada Aristoteles yang memilih untuk membahas persoalan eudaimonia dengan berangkat dari condito humania, dan bukannya ide dari Sang Ilahi. Namun eudaimonia yang ditawarkan oleh Aristoteles adalah eudaimonia yang

Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 140.

kompromistik, eudaimonia yang bersifat relatif, karena memang eudaimonia semacam itulah yang mungkin dicapai manusia mengingat kodratnya sebagai manusia.

Kemudian pada Epikuros yang menawarkan nikmat sebagai isi kebahagiaan manusia, Spaemann mengakui bahwa Epikuros menyumbangkan suatu pemikiran yang bermanfaat bagi kita dalam memahami eudaimonia, yakni sesuatu yang menjadi tujuan hidup kita haruslah mampu untuk membuat kita tertarik untuk mengejarnya. Sesuatu itu haruslah memiliki daya tarik, misalnya menjanjikan kepuasan ketika kita berhasil mendapatkannya. Namun selain itu, pemikiran Epikuros juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tidak dapat menampung dimensi waktu. Padahal menurut Spaemann, manusia berada dalam dimensi waktu, dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Kemudian kelemahan lain, Epikuros mengidentikan kebahagiaan dengan nikmat psikologis yang sama sekali bersifat subjektif. Di sini Spaemann memberikan ilustrasi tentang seorang pasien yang tidak sadarkan diri dan oleh dokter, di otaknya dipasang alat-alat yang merangsang timbulnya perasaan nikmat pada pasien tersebut. Spaemann memandang bahwa ide Epikuros tentang kebahagiaan tidaklah berbda dengan keadaan pasian yang dirangsang untuk merasakan nikmat terus-menerus. Dan Spaemann berpendapat bahwa keadaan tersebut tidaklah memadai untuk dipandang sebagai eudaimonia/kebahagiaan manusia.

Tantang etika Stoa, Spaemann melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh etika Stoa sebagai eudaimonia, yaitu keadaan cukup diri, hanyalah alternatif lain bagi eudaimonia, yang levelnya adalah lebih rendah dari eudaimonia. Menurut Spaemann, ketika manusia merasa cukup diri, dia akan menutup diri terhadap kemungkinan yang sesungguhnya, misalnya yang dicapai lewat cinta, atau lewat realitas orang lain.

Dari seluruh filsuf Yunani yang telah dibahas, menurut Spaemann tidak ada yang berhasil memecahkan persoalan tentang isi eudaimonia. Kegagalan tersebut bagi Spaemann memang tidak dapat dihindari karena eudaimonia itu sendiri mengandung antinomi. Kita memang dapat memiliki gagasan eudaimonia yang absolut atau kebahagiaan sejati. Namun, gagasan kita tentang kebahagiaan Dari seluruh filsuf Yunani yang telah dibahas, menurut Spaemann tidak ada yang berhasil memecahkan persoalan tentang isi eudaimonia. Kegagalan tersebut bagi Spaemann memang tidak dapat dihindari karena eudaimonia itu sendiri mengandung antinomi. Kita memang dapat memiliki gagasan eudaimonia yang absolut atau kebahagiaan sejati. Namun, gagasan kita tentang kebahagiaan

dan merelatifkan setiap kepuasan yang kita capai. 17

Menurut Spaemann, ketika kita mencoba untuk memahami eudaimonia sebagai konsep empiris yang dapat direalisasikan dalam tataran empiris, kita hanya akan dihadapkan pada antinomi. Karakter antinomi dari eudaimonia tersebut, menurut Spaemann, sudah tampak dalam definisi eudaimonia, yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Padahal, hidup seseorang tampak sebagai secara keseluruhan hanya ketika dilihat dari perspektif orang lain/dari luar, dan ketika orang tersebut sudah mati. Karena itu, sisi lain, ketika hidup dipandang lewat perspektif objektif, atau perspektif orang lain, dimensi subjektifitas, yaitu perasaan orang yang bersangkutan tidak dapat masuk dalam penilaian atas berhasil atau tidaknya hidup seseorang. Padahal, kebahagiaan juga berarti bahwa orang tersebut merasakan dirinya sebagai bahagia. Sedangkan ketika eudaimonia hendak dicoba dilihat dari perspektif subjektif, bahwa seseorang merasakan dirinya bahagia, perspektif ini tidak dapat mengakomodasi tuntunan bahwa hidup yang berhasil harus mencakup keseluruhan hidup.

Pada etika modern, Spaemann telah melihat bahwa etika Kristiani sebagai tanggapan terhadap etika eudaimonia berhasil mengatasi beberapa kelemahan dari etika eudaimonia, di antaranya adalah persoalan bahwa seharusnya kebahagiaan terus berlanjut setelah kematian, bukan berhenti begitu saja ketika seseorang mati. Namun konsekuensi dari etika Kristiani adalah terjadinya pemisahan antara apa yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’. Padahal bagi Spaemann, etika yang memadai haruslah dapat mempertemukan antara apa yang ‘membahagiakanku’ dengan apa yang wajib’. Dan selajutnya etika Kant pun semakin menegaskan pemisahan tersebut, di mana Kant sungguh membuang wacana tentang kebahagiaan dari wilayah etika. Etika adalah semata persoalan

Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 61.

kewajiban. Upaya untuk mengejar kebahagiaan tidak lain daripada upaya memuaskan dorongan ego, dan itu sama sekali tidak relevan untuk moralitas.

Pemikiran-pemikiran etika selanjutnya yang sangat terpengaruh oleh etika Kantian, seperti etika utilitarisme dan etika diskursus pun semakin jauh dari persoalan pokok etika, yaitu bagaimana mempertemukan antara apa yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang bagaimana mencapai hidup yang berhasil. Namun usaha Spaemann untuk mengembalikan tugas pokok etika, yaitu sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil, dimana tercapai kesatuan antara yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, belumlah berakhir.